Jalan M. Syafe'i Blok P Nomor 30 Pontianak, Kalimantan Barat. Telp. (0561) 731059

Jumat, 29 April 2011

Nuclear Energy in Pontianak? Oh...NO!!!!

Some of the activists from WALHI organized a campaign for rejecting the use of nuclear energy a couple days ago. The campaign was centered around Digulist Monument. The activists distributed a thousand sheets of paper titled "Keep West Kalimantan away from (Disaster) Nuclear Energy." They said that the purpose of this campaign is to remind the Government of West Kalimantan to stay away from the idea of ​​the construction of Nuclear Power. There must be no nuclear power plants in West Kalimantan, because there are many examples of the negative impact of nuclear matter, particularly a humanitarian catastrophe.

The issue of developing PLTN Kalbar is sounded after the discovered the location of uranium in Melawi recently. Moreover, Kalbar quite safe from causing damage to the reactor because of earthquake and tsunami. However, there is no guarantee of safety for nuclear technology in Indonesia. As we can see, the damage at nuclear reactor in Fukushima, Japan has made people worried about the radiation. Well, from this experience, it is unwise to make people feel unsafe, even in their own environment. WALHI also sent a letter to President Yudhoyono and all heads of state as Southeast Asia, requesting that the plan to establish nuclear power plants should be stopped immediately.

Actually, Kalbar has abundant energy sources. Government can apply solar cells, bio fuels from plants and animals as well as water and wind power. If we can use these kinds of energy sources, why should we use nuclear, and feel worry all the time?

Sumber: http://pontianakinfocus2.blogspot.com/2011/04/nuclear-energy-in-pontianak-ohno.html

Kamis, 28 April 2011

Diungkap 19 Hotspot Perkebunan Sawit

Pontianak | Selasa, 26 Apr 2011
Andi Fachrizal

WAHANA Lingkungan Hidup (Walhi) Kalimantan Barat (Kalbar) membeberkan temuan 19 hotspot (titik api) di 16 area perkebunan sawit di Kabupaten Pontianak, Kubu Raya, Sambas, Bengkayang, Landak, Sanggau, dan Kabupaten Sintang. Kasus pembakaran lahan perkebunan sawit ini memicu polusi udara dan berdampak langsung pada kesehatan manusia.

Data Walhi Kalbar sejak 8 April lalu menyebutkan kebakaran lahan di beberapa lokasi perkebunan sawit dapat disaksikan secara kasat mata. Antara lain, di perkebunan sawit milik PT Sintang Raya di Kubu Raya, PT LG Internasional di Dusun Engkuning, Desa Tapang Pulau, Kabupaten Sekadau, dan PT Peniti Sungai Purun (PSP) di Kabupaten Pontianak.

Koordinator Divisi Riset dan Kampanye Walhi Kalbar, Hendrikus Adam menyebutkan, kebakaran lahan di perkebunan sawit selama ini para pelaku belum dapat sanksi. "Padahal, cerita mandul penegakan hukum atas perusahaan nakal bukan hanya berlangsung saat ini," katanya di Pontianak, Senin (25/4).

Selama ini, pihak terkait hanya mampu menindak reaktif semata. Lemahnya sikap atas pembakar lahan khusus di perkebunan sawit ini seharusnya tidak terus berulang. Sebab, hal ini tak memberi efek jera. "Kita berharap, ancaman pidana selama 10 tahun dan denda Rp5 miliar bagi pelaku pembakar lahan harusnya tidak hanya tertulis dalam Pasal 48 UU Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan. Sanksi hukum untuk menindak tegas pelaku pembakaran lahan mestinya harus dilakukan untuk memberi efek jera," ucap Adam.

Demikian pula evaluasi atas keberadaan perusahaan sawit dan perizinan, harus dengan cara menindak tegas perusahaan nakal. "Mari kita satukan komitmen dan menjadikan hukum sebagai panglima. Jangan malah sebaliknya memosisikan perusahaan nakal itu sebagai raja."

Dalam catatan Walhi, sejak 2007-2008, terdeteksi dua perusahaan sawit milik Wilmar Group di Kabupaten Sambas yang membakar lahan. Perusahaan itu adalah PT Wilmar Sambas Plantation (PT WSP) dan PT Buluh Cawang Plantation (PT BCP). Namun kedua perusahaan itu lolos dari jeratan hukum.

Pada 13 September 2006, kebakaran serupa terjadi dan menghanguskan Bukit Kuali di Dusun Lais, Desa Lalang, Kecamatan Tayan Hilir, Kabupaten Sanggau yang bersumber dari PT Mega Sawindo Perkasa (MSP).

Pada tahun sama, Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (Bapedalda) Kalbar menyebutkan, ada sembilan perusahaan terbukti membakar dengan total area 2.773-3.173 hektare tersebar di seluruh Kalbar. Kebakaran hutan dan lahan terbesar sepanjang sejarah perkebunan sawit terjadi di area PT ANI di Kabupaten Landak dan menghanguskan 60 hektare lahan perkebunan hingga sebagian hutan adat.
[Andi Fachrizal]

Sumber : http://nasional.jurnas.com/halaman/11/2011-04-26/167586

Rabu, 27 April 2011

WALHI Kalbar Tolak PLTN Di Indonesia

Selasa, 26 April 2011 14:37
Pontianak, Indowarta

Mengacu pada kejadian Chernobyl di Ukraina pada 1986 lalu serta kejadian meledaknya reaktor nuklir di Fukushima-Jepang, Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Kalbar menolak rencana pemerintah untuk mengembangkan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) sebagai sumber energi terbarukan dalam mengatasi krisis energi yang terjadi di Indonesia. Penolakan tersebut diwujudkan dalam aksi damai di Kawasan Tugu Digulis-Bundaran Universitas Tanjungpura, Selasa (26/4) dengan membagikan seribu brosur tentang bahaya PLTN.

Koordinator Aksi, Hendrikus Adam mengatakan bahwa pengembangan PLTN merupakan kebijakan yang sarat kepentingan dari para pejabat yang ngotot agar proyek tersebut segera dilaksanakan. “Masih banyak sumber-sumber energi terbarukan yang bisa dikembangkan,” ungkapnya.

Hal tersebut senada dengan seruan dalam selebaran mereka yang menyatakan bahwa Pemerintah tidak memaksakan pembangunan PLTN, tetapi mengalihkan investasi yang ada pada pengembangan sumber-sumber energi terbarukan seperti energi air, surya, angin serta panas bumi (geothermal), yang tidak hanya ramah lingkungan, tetapi juga terjangkau secara finansial dan dapat diandalkan untuk jangka panjang.

Menurut Adam seruan ini mereka fokuskan kepada tiga kepala negara yang sedang gencar merencanakan pembangunan PLTN yaitu Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono, Presiden Filiphina Benigno Aquino serta PM Thailand Abhisit Vejjajiva.

Adam juga mengatakan bahwa promotor energi nuklir diantaranya Batan, Bappeten serta Kementerian Riset dan Teknologi, yang menjadi pihak pendorong pemerintah untuk mengembangkan energi nuklir, penuh kebohongan dalam promosi yang mereka ajukan.

Ketika disinggung tentang upaya Pemerintah Kalbar yang gencar mempromosikan kepada para investor dalam dan luar negeri, terkait potensi Uranium di Kabupaten Melawi, Adam mengatakan bahwa pemerintah daerah hingga saat ini belum transparan terkait hal itu.

“Jika dikaitkan dengan rencana pembangunan PLTN, kami mendesak agar Pemerintah daerah menutup ruang bagi pembangunan PLTN diwilayahnya, khusunya di Kalimantan Barat,”ujar Adam. (Fai/Ry)

Sumber : http://www.indowarta.com/index.php?option=com_content&view=article&id=12280:walhi-kalbar-tolak-pltn-di-indonesia-&catid=137:kalimantan-barat&Itemid=376

Tindak Tegas Perusahaan Membakar Lahan

Rabu, 27 April 2011 , 08:44:00

PONTIANAK – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia meminta agar perusahaan perkebunan yang membuka lahan dengan cara membakar ditindak tegas. “Biar ada efek jera,” tegas Divisi Kampanye dan Riset Walhi Kalbar Hendrikus Adam di Pontianak, kemarin. Walhi mencatat per 8 April 2011 ditemukan 19 titik api (hotspot) pada 16 perusahaan sawit yang tersebar di Kabupaten Sambas, Bengkayang, Kubu Raya, Kabupaten Pontianak, Sintang, Landak, dan Sanggau. Di beberapa lokasi perkebunan sawit terlihat langsung, misalnya, areal milik PT. Sintang Raya (Kubu Raya), PT. LG Internasional (Sekadau), dan PT. Peniti Sungai Purun (Kab. Pontianak).

“Pada tiga tempat ini, nyata-nyata terjadi kebakaran di arealnya. Kebakaran di Dusun Engkuning, Sekadau malah membakar kebun karet produktif warga,” kata Adam.Pihaknya menyayangkan kebakaran yang terjadi di perkebunan kelapa sawit belum mendapat respon dan sanksi tegas dari lembaga berwenang. Cerita mandulnya penegakan hukum atas perusahaan nakal bukan hanya berlangsung saat ini. Di tahun 2007-2008, dua perusahaan sawit milik Wilmar Group di Sambas, yakni PT Wilmar Sambas Plantation dan PT Buluh Cawang Plantation malah lolos dari jeratan hukum.

Menurut Adam, ekspansi perkebunan kelapa sawit skala besar di Kalbar bukan hanya menghilangkan fungsi hutan, tetapi juga menggusur hutan. Akan tetapi, telah menyebabkan terjadinya kabut asap yang berkontribusi pada akumulasi polusi udara yang mengganggu aktivitas warga. “Anehnya, saat belum masa musim membuka lahan bagi peladang, kebakaran lahan di perkebunan sawit justru tetap saja terjadi,” ungkap Adam. Ia mengatakan, ancaman pidana selama 10 tahun dengan denda sebesar Rp5 miliar bagi pelaku pembakar lahan harusnya tidak hanya tertulis sebagaimana pasal 48 UU 18 tahun 2004 tentang Perkebunan. Sanksi hukum untuk menindak tegas pelaku pembakaran lahan mestinya harus dilakukan untuk memberi efek jera. (*/mnk)

Sumber : http://www.pontianakpost.com/index.php?mib=berita.detail&id=90354

Walhi Tolak PLTN Kalbar

Daerah - Kalimantan
Ditulis oleh Era Baru News Rabu, 27 April 2011

Pontianak - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Kalimantan Barat menolak wacana pembangunan Pusat Listrik Tenaga Nuklir di provinsi Kalbar yang memiliki sumber Uranium berlimpah di Kabupaten Melawi.
"Reaktor nuklir adalah sumber tenaga listrik yang kotor dan berbahaya, dan akan selalu berpotensi menimbulkan dampak yang fatal akibat kombinasi kekhilafan maupun kesengajaan manusia, kesalahan dalam rancang bangun, serta bencana alam," kata Kepala Divisi Riset dan Kampanye Walhi Kalbar, Hendrikus Adam disela aksi Tolak Nuklir di Kalbar, di Pontianak, Selasa (26/4)

Menurut dia, banyak terjadi bencana yang bersumber dari kegagalan pengelolaan reaktor nuklir di sejumlah negara.

Bencana tersebut menimbulkan dampak dalam jangka panjang, cakupan yang luas serta berbiaya sangat besar.

"Peringatan dari berbagai bencana nuklir juga kiranya penting sampai pada masyarakat di daerah ini dan lebih khusus sebagai peringatan bagi Pemda Kalbar yang sedang 'mempersiapkan diri' untuk PLTN," kata dia.

Ia mencontohkan kejadian di Chernobyl, tanggal 26 April 1986, yang memporak-porandakan kehidupan di Ukraina seiring dengan meledaknya reaktor nuklir yang mengakibatkan sedikitnya sebanyak tujuh juta orang harus menderita setiap hari.

Kemudian di Mayak, Rusia, tanggal 29 September 1957, yang mengakibatkan 272 ribu orang terkena radiasi tingkat tinggi.

"Banyak orang menderita penyakit kronis, hipertensi, masalah jantung, arthritis dan asma," katanya.

Setiap detik orang dewasa menderita kemandulan, satu dari tiga bayi yang baru lahir menderita cacat, dan satu dari 10 anak lahir secara prematur serta jumlah orang yang menderita kanker meningkat pesat.

Di Seversk (dulu Tomsk-7) Siberia pada 6 April 1993 yang menunjukkan dampak gejala serupa berupa kelainan darah dan kerusakan genetik.

Hal yang sama juga terjadi di Semipalatinsk, Astana pada tahun 1949 hingga tahun 1962 sehingga hampir setengah dari populasi menderita disfungsi sistem syaraf motorik.

Di Jepang, juga pernah terjadi ketika Kota Hiroshima dan Nagasaki diserang tentara sekutu Amerika dengan bom atom serta bencana nuklir di Three Mile Island Amerika pada 1979 yang juga memakan banyak korban.

"Yang paling baru, di Jepang, ketika PLTN Fukushima Daiici dihantam gempa dan tsunami pada 11 Maret lalu," katanya.

Hingga saat ini, lanjut dia, belum ada kepastian dan jaminan pulihnya situasi dari bencana tersebut termasuk kondisi kesehatan warga yang terpapar radiasi nuklir yang berbahaya.

"Bencana nuklir di PLTN Fukushima Daiici sungguh tragis dan patut menjadi pelajaran berharga," katanya menegaskan.

Walhi Kalbar meminta Presiden selaku kepala negara beserta pihak terkait promotor energi nuklir (Batan, Bappeten, dan Kementerian Riset dan Teknologi) menghentikan rencana pengembangan maupun pembangunan energi nuklir melalui PLTN di Indonesia.

Kemudian, Pemerintah Daerah tidak memberi ruang dengan menghentikan rencana pengembangan energi nuklir di Kalbar.

Pemerintah tidak memaksakan pembangunan PLTN, tetapi mengalihkan investasi yang ada pada pengembangan sumber-sumber energi terbarukan (energi air, energi surya, energi angin, panas bumi/geothermal) yang tidak hanya ramah lingkungan, tapi juga terjangkau secara finansial dan dapat diandalkan untuk jangka panjang.

"Kami mengajak segenap lapisan masyarakat untuk peduli serta proaktif melakukan kontrol atas kebijakan agar Kalbar dijauhkan dari (bencana) energi nuklir," kata Hendrikus Adam.

Kalbar memiliki sekitar 24.112 ton uranium yang tersebar di Kabupaten Melawi. Sekitar 910 ton di antaranya yang sudah terukur.

Lokasi utama berada di Desa Kalan, Kecamatan Ella Hilir. Potensi uranium lainnya juga diperkirakan berada di Kabupaten Sanggau dan Landak dengan jumlah yang lebih sedikit.

Jumlah uranium sebanyak itu diperkirakan mampu untuk PLTN selama 150 tahun dengan kapasitas 1.000 Mega Watt.(ant/waa)

Sumber: http://www.erabaru.net/daerah/117-kalimantan/25646-walhi-tolak-pltn-kalbar

Walhi Kampanye Antinuklir

Rabu, 27 April 2011 , 10:48:00

PONTIANAK – Belasan aktivis Wahana Lingkungan Hidup Kalbar kemarin (26/4) sore turun ke jalan mengkampanyekan penolakan penggunaan energi nuklir. Unjuk rasa berjalan damai. Aksi ini dipusatkan di Bundaran Universitas Tanjungpura. Para aktivis membagikan seribu lembar tulisan berjudul “Jauhkan Kalbar dari (Bencana) Energi Nuklir”.Koordinator Aksi Hendrikus Adam mengatakan tujuan Walhi ini adalah mengingatkan kepada Pemerintah Kalbar agar menjauhkan diri dari ide pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir. “Jangan sampai ada PLTN di Kalbar. Sudah banyak contoh soal dampak negatif dari nuklir, terutama bencana kemanusiaan,” ujarnya.

Wacana pembangunan PLTN Kalbar memang sayup-sayup terdengar setelah baru-baru ini ditemukan lokasi uranium di Melawi. Apalagi Kalbar cukup aman dari penyebab kerusakan reactor macam gempa dan tsunami. Namun kata Hendrikus, tidak ada jaminan keamanan untuk teknologi nuklir di negeri ini.

Radiasi nuklir di Fukushima, Jepang telah membuat gempar dunia akhir-akhir ini. “Kita lihat Ukraina tahun 1986 (bagian Uni Soviet dulu), dan Jepang baru-baru ini. Negara-negara yang sangat maju tapi tidak mampu mengatasi kebocoran reaktor nuklir. Tapi terlepas dari gempa dan tsunami, informasi kami reaktor Jepang sudah lebih delapan kali bocor,” jelasnya.

Menurut Hendrikus, Kalbar punya sumber-sumber energi terbarukan yang melimpah. Ia lalu mencontohkan penggunaan sel surya, bioenergi dari tumbuhan dan hewan, tenaga air dan angin. Menanggapi isu PLTN di daerah lain, pria ini juga tegas menolak. “Lalu untuk apa ada nuklir? Untuk kepentingan siapa? Jangan-jangan untuk kepentingan segelintir elit saja,” kata Hendrikus kesal.

Selain di Pontianak, kegiatan ini juga dilakukan oleh Walhi pusat dan daerah-daerah lain. Tidak hanya unjuk rasa. Walhi juga mengirim surat ke Presiden SBY dan semua kepala negara se-Asia Tenggara. Isinya meminta supaya rencana pendirian PLTN segera dihentikan.Aksi ini bertepatan dengan peringatan ke-25 tahun bencana nuklir di Chernobyl, Ukraina Uni Soviet. Peristiwa Chernobyl, adalah kecelakaan reaktor nuklir terburuk dalam sejarah. Pada tanggal 26 April 1986 salah satu rektor nuklir di Chernobyl meledak. Akibatnya, kebakaran hebat terjadi dan efek radioaktif pun menyebar. Puluhan ribu penduduk terpaksa diungsikan dari kota ini. (ars)

Sumber: http://www.pontianakpost.com/index.php?mib=berita.detail&id=90428

Selasa, 26 April 2011

Chernobyl Day Ingatkan Bahaya Nuklir


Bencana Chernobyl membawa korban 7 juta orang terpapar radiasi. Masih banyak energi alternatif belum digali.

VHRmedia, Pontianak -Wahana Lingkungan Hidup Kalimantan Barat memperingati bencana kebocoran reaktor nuklir Chernobyl atau Chernobyl Days. Mereka mengelar aksi dan membagikan 1.000 pamflet peringatan bahaya nuklir di bundaran Universitas Tanjungpura, Pontianak, Selasa (26/4).

Bencana Chernobyl terjadi pada 25 April 1986 di Ukraina, dulu Uni Soviet. Sekitar 7 juta orang menjadi korban dan terpapar radiasi. Berbagai bencana nuklir di seluruh dunia mengingatkan pada rentannya pemakaian nuklir sebagai energi listrik.

“Aksi ini merupakan rangkaian dari aksi yang dilakukan secara nasional,” kata Kepala Divisi Kampanye Walhi Kalbar Hendrikus Adam.

Walhi mendesak Presiden dan pihak terkait menghentikan rencana pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir. Walhi juga mengimbau Pemda Kalbar tidak memberikan ruang dengan menghentikan rencana pengembangan energi nuklir di Kalbar.

Selama ini energi alternatif belum digali maksimal. Misalnya energi angin, air, surya, dan panas bumi. “Pemerintah bisa memaksimalkan energi terbarukan,” kata Hendrikus.

Selain aksi peringatan bencana Chernobyl, Walhi juga mengirimkan surat terbuka kepada presiden Indonesia, Filipina dan Thailand. Sebab, tiga negara itu mempunyai rencana mengembangkan PLTN. (E4)

Foto: VHRmedia / Muhlis Suhaeri

Sumber: http://www.vhrmedia.com/2010/detail.php?.e=2349

Senin, 25 April 2011

Pemerintah Tak Tegas pada Pembakar Lahan

Tak ada tindakan tegas terhadap pembakar hutan dan lahan di Kalbar. Pembakaran lahan sawit telah masuk perkebunan warga.

VHRmedia, Pontianak -Pemerintah tidak tegas menangani berbagai kasus kabut asap di Kalimantan Barat. Tidak ada tindakan tegas terhadap para pembakar hutan dan lahan, khususnya di sekitar perkebunan kelapa sawit.

Hal itu dikatakan Hendrikus Adam, Kepala Divisi Kampanye Wahana Lingkungan Hidup (Walhi)Kalimantan Barat. Menurut dia, kebakaran lahan perkebunan sawit kini bahkan masuk ke perkebunan karet warga di sekitar perkebunan.

Adam memberikan beberapa contoh kebakaran di hot spot atau titik api. Seperti terjadi di areal perkebunan sawit di Kabupaten Kubu Raya, Kabupaten Sekadau, dan di Kabupaten Pontianak. Bahkan kebakaran lahan sawit di Sekadau telah masuk hingga ke perkebunan karet produktif warga. “Di ketiga tempat ini telah nyata-nyata terjadi kebakaran,” katanya.

Menurut Adam, kebakaran lahan di perkebunan sawit bukti lemahnya pemerintah mengantisipasi dan menangani permasalahan. Penanganan kebakaran lahan hanya reaktif. Lemahnya penegakan hukum terhadap pelaku pembakaran lahan di areal konsesi perkebunan sawit menunjukkan tidak berjalannyaperan negara. “Ini juga bukti masih lemahnya komitmen perusahaan,” kata Adam. (E4)

Foto: VHRmedia / Muhlis Suhaeri

Sumber: http://m.vhrmedia.com/detailmobile.php?.e=2224

Hidup Dengan Kapuas Yang Penuh Ancaman

Senin, 25 April 2011

Berita DAerah-alimantan) Kalimantan Barat boleh berbangga memiliki salah satu keajaiban alam berupa Sungai Kapuas yang juga sungai terpanjang di Indonesia.

Panjangnya mencapai 1.086 kilometer, melewati tujuh kabupaten dan kota mulai dari Kapuas Hulu dan bermuara di Kabupaten Pontianak-Kabupaten Kubu Raya.

Daerah aliran sungai (DAS) Kapuas mencakup kawasan dengan luas lebih dari 10 juta hektare.

"Sedikitnya ada 1,7 juta jiwa penduduk Kalbar yang hidupnya bergantung pada keberlanjutan DAS Kapuas," kata Kepala Divisi Riset dan Kampanye Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalbar, Hendrikus Adam.

Dapat dibayangkan betapa banyaknya jiwa penduduk di Kalbar yang terkena dampak langsung maupun tidak kalau DAS Kapuas terganggu dan tercemar. Dan kondisi itu yang sepertinya terjadi.

Hendrikus Adam mengatakan, kualitas air di Sungai Kapuas kian menurun akibat tingginya pencemaran secara kimiawi dan biologis.

"Sungai Kapuas tidak hanya tercemar oleh zat kimia merkuri, tetapi juga oleh limbah pabrik, rumah tangga, bakteri ecoli dan pestisida dari perkebunan," kata dia.

DAS Kapuas tergolong agak kritis dengan luas mencapai 4,24 juta hektare dan yang berpotensi kritis 2,89 juta hektare (data 2009).

DAS Kapuas memiliki kekhususan tersendiri serta menjadi muara dari 9 sub-DAS yakni Kapuas Hulu, Sentarum, Silat/Manday, Melawi (Melawi-Sintang), Ketungau (Kabupaten Sintang), Sekayam, Sekadau, Landak, Mendawak (Kabupaten Pontianak, Sanggau, Ketapang).

Selama ini pemanfaatan kawasan sungai/DAS untuk sumber air bersih dan mandi cuci kakus (MCK), sarana transportasi, sumber penghidupan (pengairan pertanian, budidaya dan menangkap ikan bagi nelayan) serta sarana sosial, budaya dan bahkan religi bagi warga.

Pemantauan Terbatas

Sementara itu, Ketua Badan Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Kalbar, Darmawan mengakui, pantauan terhadap kualitas air Sungai Kapuas masih kurang memadai karena terbatasnya anggaran.

"Anggaran yang terbatas membuat lokasi pengambilan kualitas masih jauh dari angka ideal," kata Darmawan beberapa waktu lalu.

Menurut dia, Sungai Kapuas dengan panjang 1.086 kilometer idealnya mempunyai lokasi pengambilan sampel air sebanyak 720 tempat. Pertimbangannya, jarak antarlokasi sekitar 1,5 kilometer. Biaya yang dibutuhkan diperkirakan Rp1,8 miliar dengan rentang waktu pengambilan contoh air sebanyak enam kali dalam setahun.

Namun, lanjut dia, saat ini pihaknya hanya mampu mengambil contoh air di 30 titik. "Dengan jarak antarlokasi sekitar 35 kilometer," kata Darmawan.

Meski jumlah lokasi pengambilan contoh air belum ideal, namun Darmawan menyatakan bahwa hasil penelitian terhadap kualitas Sungai Kapuas sudah akurat.

Ia menegaskan, secara umum kualitas air Sungai Kapuas dalam kondisi baik.

Ia melanjutkan, kalau pun terjadi peningkatan kadar merkuri, umumnya saat musim penghujan dengan jumlah yang tidak melebihi kadar yang berbahaya.

Ia menjelaskan, meningkatnya kadar merkuri di musim penghujan karena zat tersebut massa jenisnya lebih berat dari air. "Ketika hujan, air yang mengalir lebih deras di sungai sehingga mendorong merkuri naik ke permukaan," katanya.

Sedangkan untuk pencemaran, ia memperkirakan kondisi Sungai Landak yang bermuara di Sungai Kapuas, cukup parah.

Pencemaran terutama berasal dari maraknya penambangan emas tanpa izin yang ada di sekitar daerah aliran sungai Landak tersebut.

Ancaman Emas

Maraknya penambangan emas tanpa izin di Kalbar yang umumnya berada di tepian sungai kini menjadi ancaman tambahan bagi pengguna air DAS Kapuas.

Data Dinas Pertambangan dan Energi Kalbar, hingga Juli 2009 ada 351 izin perusahaan dengan total areal 2.150.171 hektare; 93 izin dengan total 523.155 hektare sudah mengeksploitasi.

Terdapat pula 267 titik PETI (Penambangan Emas Tanpa Izin) di Kalbar dengan luas lahan 6.613 hektare.

Di Tahun 2003, Fakultas MIPA Universitas Tanjungpura Pontianak dan Program Pemberdayaan Sumber Daya Alam Kerakyatan (PPSDAK), lembaga anggota Walhi Kalbar untuk Balai Riset dan Standarisasi Industri dan Perdagangan melakukan penelitian pada tiga kelompok masyarakat.

Yakni pekerja tambang (Sungai Ayak, Sungai Sekayam, Sungai Tayan, Nanga Sepauk, dan Sungai Mandor), warga sekitar tambang dan warga pengguna PDAM. Hasilnya, Sungai Kapuas telah tercemar zat kimia merkuri.

Hal itu terlihat pada pengguna PDAM dengan rata-rata kadar merkuri di kuku adalah 2,80 mg (mikro gram)/g (gram) dengan kadar merkuri tertinggi 27,01 mg/g. Sedangkan rata-rata merkuri pada rambut adalah 1,30 mg/g.

Kadar merkuri pada rambut tertinggi sebesar 8,15 mg/g. Sebanyak 18 persen sampel penambang (11 sampel dari 60 sampel), 6 persen penduduk (3 sampel dari 50 sampel), dan 5 persen pengguna PDAM (2 sampel dari 40 sampel) mempunyai kandungan merkuri 6,0 mikrogram/g.

Hendrikus Adam menambahkan, sementara penelitian Lasmi Yulistiana (2010), mahasiswa pascasarjana Institut Pertanian Bogor, bahwa air Kapuas di Kota Pontianak sudah tercemar dengan indikasi konsentrasi polutan yang tinggi, seperti parameter fisika, kimia dan biologi.

Untuk fisika, menunjukan konsentrasi rata-rata TDS (Total Dissolved Solid/ zat padat terlarut) sebesar 1.223 mg (miligram)/I (liter) dan TSS (Toxic Shock Syndrome) sebesar 250mg/L di muara Jungkat.

Sedangkan untuk parameter kimia menunjukan konsentrasi tinggi dan telah melewati baku mutu air kelas I, II, III dan IV yaitu PP no 82 tahun 2001 yang diindikasikan melalui adanya indikator dimana Sungai Kapuas telah tercemar oleh hg (Merkuri).

Hendrikus Adam melanjutkan, kondisi itu menunjukkan bahwa Sungai Kapuas sebenarnya sudah tidak memenuhi syarat untuk digunakan sebagai air baku minum.

"Sungai Kapuas hanya memenuhi syarat untuk digunakan bagi keperluan irigasi dan keperluan lain karena pencemaran air sangat berdampak pada kesehatan dan biota air yang ada di dalamnya," kata Hendrikus Adam.

Ia mengungkapkan, ada dua komponen, biologi dan non biologis, yang masuk dan dimasukkan ke dalam badan air Sungai Kapuas sehingga kualitas menurun dan tidak sesuai dengan peruntukkannya.

Komponen non biologis dapat berupa pupuk, sampah, minyak, bahan radioaktif, senyawa anorganik dan mineral, termasuk logam-logam berat serta komponen organik sintetik seperti residu pestisida dan deterjen.

Sementara komponen biologis seperti mikroba, khususnya mikroba yang bersifat merugikan manusia dan makhluk hidup lainnya, seperti bakteri patogen dan bakteri pencemar.

Sebelum Terlambat

Hendrikus Adam mengatakan, masih ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk menekan pencemaran di sungai yang luasnya 68,39 persen dari total luas Provinsi Kalbar itu.

Di antaranya, peningkatan pengendalian terhadap eksploitasi serta rehabilitasi hutan dan lahan, konsistensi terhadap tata ruang, meningkatkan kesadaran masyarakat dalam pengelolaan sumber daya air yang lestari.

Selain itu, peningkatan kedisiplinan pemenuhan ketentuan penambangan pasir yang ramah lingkungan, penegakan hukum terhadap penambangan emas tanpa izin, menertibkan pengelolaan daerah sempadan sungai termasuk penertiban bangunan liar.

Kemudian pemberian penghargaan maupun hukuman terhadap lembaga usaha atau pemerintah dalam upaya menjaga mutu air, peningkatan SDM baik internal maupun eksternal, koordinasi seluruh pemangku kepentingan, menyamakan persepsi tentang konservasi sumber daya air, penguatan kelembagaan forum daerah aliran sungai, serta penambahan program muatan lokal tentang lingkungan hidup pada kurikulum sekolah.

"Isu lingkungan harus menjadi pola pikir bersama segenap pihak dan bukan hanya dibicarakan oleh pegiat lingkungan dan atau guru IPA saja," kata dia.

Dibutuhkan pula advokasi yang mengarahkan konsistensi kebijakan dan penataan ruang untuk mengendalikan model global pembangunan yang cenderung eksploitatif dan destruktif.

"Kedepankan aspek pembangunan jangka panjang," katanya.

Ia mengimbau, agar diperkuat akses dan kontrol warga atas sumber daya air dengan menghargai kearifan lokal.

(ma/MA/bd-ant)

Sumber: http://beritadaerah.com/artikel/kalimantan/38292

Walhi Desak Pemerintah Jatuhkan Sanksi kepada Pembakar Lahan

Kalimantan
MENJALAR: Lahan di Perkebunan Sawit PT. LG Internasional yang terbakar menjalar hingga ke kebun karet warga Dusun Engkuning, Kabupaten Sekadau.

Penulis : Aris Munandar
Senin, 25 April 2011 16:37 WIB

PONTIANAK-MICOM: Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalimantan Barat, mendesak pemerintah menindak tegas perusahaan perkebunan yang membakar lahan.

Pemerintah selama ini belum pernah menjatuhkan sanksi terhadap perusahaan perkebunan yang melakukan pembakaran lahan di Kalimantan Barat, kata Kepala Divisi Riset dan Kampanye Walhi Kalimantan Barat Hendrikus Adam, Senin (25/4).

Berdasarkan catatan Walhi terdapat sedikitnya 19 titik api di 16 lokasi perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Barat selama sebulan terakhir. Titik api kebakaran lahan itu tersebar di Kabupaten Pontianak, Kubu Raya, Landak, Bengkayang, Sambas, Sanggau, dan Kabupaten Sintang.

Adam mengungkapkan, selain data sebaran titik api yang diperoleh dari pemantauan satelit tersebut, mereka juga memiliki beberapa dokumentasi mengenai aktivitas pembakaran lahan di perkebunan kelapa sawit. Dokumentasi itu merupakan temuan Walhi saat berada di lapangan beberapa waktu lalu.

Temuan ini bisa menepis tudingan terhadap peladang berpindah yang selama ini dianggap sebagai pelaku pembakaran lahan, tegasnya.

Adam menambahkan, aktivitas pembakaran lahan oleh perusahaan perkebunan sangat merugikan masyarakat karena mengakibatkan kabut asap. Polusi udara tidak saja berdampak terhadap kesehatan, tetapi juga mengganggu aktivitas perekonomian dan kegiatan sehari-hari warga. (AR/OL-01)

Sumber: http://www.mediaindonesia.com/read/2011/04/04/220656/127/101/Walhi_Desak_Pemerintah_Jatuhkan_Sanksi_kepada_Pembakar_Lahan

Ulat Bulu, Perubahan Iklim dan Pencegahan Penyebaran

April, 24 2011, 10:48:23 WIB oleh Heri
Banner News

Sintang-KOTA, (kalimantan-news) - Dua jenis ulat bulu yang ditemukan dalam jumlah banyak di Kecamatan Sintang menjadi pertanda perubahan kualitas lingkungan. Upaya pencegahan penyebaran harus dilakukan segera sebelum menyerang tamanan pertanian dan manusia.

Penemuan pertama yang membuat heboh warga Sintang adalah ulat bulu yang ada di Jalan Lintas Melawi, Gang Hj Fatimah Desa Baning, penemuan kedua hanya berselang dua hari berada di Kelurahan Tanjung Puri tepatnya dibelakang kantor TVRI Sintang.

Dari hasil identifikasi sampel ulat bulu yang dikirim ke Pontianak, Koordinator Pengendalian Hama Pertanian Provinsi, Sudarmo mengatakan jenis ulat bulu yang ditemukan di Gang Hj Fatimah adalah jenis Arctornis sp.

“Ciri utama berwarna abu-abu dan memakan kulit kayu pohon, berasal filum Arthropoda, kelas Insecta, ordo Lepidoptera, Family Lymantriidae, genus Arctornis, spesies Arctornis sp,” katanya baru-baru ini.

Di Kelurahan Tanjungpuri kata dia adalah jenis Lymantria yang berbeda genus dengan Arctornis.

“Lymantria adalah serangga yang beraktivitas pada malam hari karena dari sub-ordo Lymantria ini yang masuk kategori Noctuidea yang berarti ia beraktivitas pada malam hari,” jelasnya.

Kedua ulat bulu yang ditemukan di Sintang ini berasal dari family yang sama yakni Lymantridiaee sehingga ciri-ciri fisik keduanya mirip.

“Menurut pendapat ahli, pada akhir metamorfosisnya akan berubah menjadi ngengat,” kata dia.

Ia menduga munculnya ulat bulu ini dalam jumlah besar karena ada mata rantai makanan yang terputus dimana predator yang sering memangsa mulai berkurang.

“Piramida makanan sudah jelas ketika konsumen tingkat satu berkurang dan konsumen tingkat tinggi bertambah, maka akan terjadi kenaikan jumlah yang signifikan pada konsumen tinggkat II dalam hal ini adalah ulat bulu,” tukasnya.

Ia mengatakan upaya pencegahan penyebaran tetap harus dilakukan dan untuk pembasmiannya dilakukan sampai ke sarang.

“Garam dan abu sudah kami masukkan ke dalam sarangm, begitu juga pembakaran belerang dan ini sebagai upaya kita untuk menekan perkembangan,” tukasnya.

Kepala Bidang Tanaman Pangan dan Holtikultura Dinas Pertanian, Peternakan dan Perikanan Kabupaten Sintang, Robinson Marbun menilai terganggunya predator alami ulat bulu mengakibatkan terjadinya ledakan populasi ulat bulu itu.

“Dugaan kita memang predator alaminya terganggu,” jelasnya.

Ia mengatakan salah satu predator alami ulat bulu adalahs emut rangrang yangs udah mulai jarang ditemukan karena mulai sering diburu untuk diambil telurnya.

“Infonya telur semut itu sangat bagus untuk dijadikan umpan memancing ikan,” jelasnya.
Saya berharap, masyarakat bisa memahami alur rantai makanan ini dan mengurangi bahkan tidak melakukan perburuan terhadap telur semut rangrang.

“Untuk umpan kan bisa menggunakan bahan yang lain, tidak harus telur semut itu, meskipun sepele, tapi saya kira pemahaman ini penting untuk masyarakat dalam upaya pencegahan penyebaran ulat bulu di masa yang akan datang,” tukasnya.

Ia juga meminta masyarakat yang menemukan ulat bulu dalam jumlah banyak bisa segera menginformasikan ke Dinas Pertanian untuk segera ditindaklanjuti.

“Kita terus monitoring termasuk di dua lokasi temuan pertama, yang jelas ini akan jadi masalah dalam pentanian jika tidak disikapi dengan serius,” imbuhnya.

Hal senada disampaikan Bupati Sintang, Milton Crosby yang melihat ada yang terganggu dalam rantai makanan yang berhubungan dengan ulat bulu.

“Semut rangrang, burung atau musuh alami lainnya berkaitan erat dengan ulat bulu ini, makanya saya harapkan masyarakat bisa memahami ini dan menghentikan perburuan predator alami ulat,” tukasnya.

Munculnya serangan ulat bulu itu kata milton menjadi peringatan juga bagi dinas terkait seperti pertanian dan penyuluhan untuk lebih mengintensifkan pengawasan perkembangan hama tanaman.

”Pencegahan itu penting dan saya kira pengawasan dengan ketat terhadap perkembangan hama perlu dilakukan untuk menekan ledakan populasi hama tanaman,” tukasnya.

Ia meminta masyarakat juga tidak panik terhadap serangan ulat bulu ini karena sampai saat ini belum ada ulat bulu yang menyerang tanaman pertanian atau manusia.

“Yang jelas kita waspada saja, perhatikan lingkungan sekitar, jika menemukan ulat bulu dalam jumlah banyak segera laporkan ke pemerintah agar bisa segera diatasi,” harapnya.

Aktivis Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) kalbar, Hendrikus Adam melihat ada keterkaitan erat antara munculnya ulat bulu dan perubahan iklim global yang ditandai dengan menurunnya kualitas lingkungan.

“Ekploitasi besar-besaran dan masif terhadap hutan, invetasi perkebunan kelapa sawit yang cenderung mengabaikan pelstarian lingkungan dan berbagai tindakan yang tidak ramah lingkungan mengakibatkan munculnya berbagai jenis hama dan penyakit tanaman yang habitat alaminya terganggu,” kata dia.

Perubahan lingkungan yang cukup kentara menurut Adam bisa dilihat sepanjang tahun 2010 dimana nyaris tidak kemarau panjang dan banjir yang melanda beberapa kali seperti di Sintang.

“Kondisi itu memberikan tempat yang kondusif bagi hama seperti ulat bulu berkembang, apalagi sampai saat ini hujan masih sering turun,” imbuhnya.

Selain itu ia juga mengingatkan penggunaan pestisida yang berlebihan pada suatu kawasan bisa menimbulkan bencana serangan hama yang resisten terhadap pestisida.

“Penggunaan pestisida yang berlebihan berpotensi menimbulkan ledakan populasi hama kedua, artinya hama penggangu tanaman ini bermutasi sehingga menghasilkan hama yang tahan terhadap pestisida kimia yang sering digunakan saat ini,” ujarnya.

Ia mengatakan jika masalah lingkungan tidak segera diatasi dan pemerintah daerah kurang memberikan perhatian terhadap upaya pelestarian lingkungan, dikhawatirkan akan muncul serangan hama dalam jumlah besar dimasa yang akan datang.

“Kalau sudah menyerang tanaman pertanian, maka akan berdampak pada ketersediaan bahan pangan di masyarakat, kita bisa mengalami krisis pangan dan saya kira ini penting untuk segera diantisipasi,” pungkasnya. (phs)

Sumber: http://www.kalimantan-news.com/berita.php?idb=5994

Sabtu, 23 April 2011

Sanksi Hukum Pembakar Lahan Lemah

Sabtu, 23 April 2011 , 09:17:00
Tindak Tegas Perusahaan Nakal
LAHAN TERBAKAR : Kabut asap sering menjadi kendala dan salah satu penyebabnya adalah kebiasaan warga yang membakar lahan. Foto Syando/Pontianak Post

PONTIANAK--Bencana kabut asap yang terjadi di tahun 1990-an di kawasan sekitar perkebunan sawit Kalimantan Barat masih saja terjadi hingga saat ini. Kondisi seperti ini menunjukkan bahwa masih lemahnya penegakkan hukum atas terhadap pelaku pembakaran hutan dan lahan khususnya di sekitar perkebunan sawit.
Demikian dikatakan Kepala Divisi Riset Wahana Lingkungan Hidup, Hendrikus Adam, Minggu (17/4). Untuk kasus kebakaran lahan di tahun 1990-an, peladang berpindah seringkali dipersalahkan sebagai penyebab kabut asap oleh karena tindakan berladang yang dilakukan secara turun temurun.

“Dulu selalu disalahkan, sekarang kan terbukti penyumbang kabut asap dominan adalah kebakaran di areal perkebunan sawit di Kalbar. Bahkan kebakaran di lahan sawit masuk ke perkebunan karet dan perkampungan warga,” ujar Adam.Beberapa lokasi perkebunan yang kasat mata terlihat kebakaran lahan di areal perkebunan sawit di PT Sintang Raya di Kabupaten Kubu Raya, di PT LG Internasional di Dusun Engkuning, Kabupaten Sekadau dan di perkebunan sawit PT Peniti Sungai Purun (PSP) di Kabupaten Pontianak. ”Ketiga tempat ini telah nyata-nyata terjadi kebakaran di arealnya. Bahkan kebakaran lahan sawit di kampung Engkuning malah menjorok hingga ke perkebunan karet produktif warga,” kata Adam.

Terjadinya kebakaran lahan di perkebunan sawit ini adalah bukti betapa masih lemahnya peran pemerintah untuk melakukan antisipasi hingga ke penanganan kebakaran lahan yang saat ini hanya bersifat reaktif. Disamping itu, ini juga sebagai bukti maish lemahnya komitment pihak perusahaan untuk melakukan managemen perusahaan yang baik.”Penegakan hukum atas pelaku kebakaran lahan di areal konsesi perkebunan sawit adalah wujud dari tidak berjalannya peran negara,” tutur Adam. Hingga saat ini, belum ada sanksi tegas terhadap korporasi yang melakukan pembakaran lahan untuk membuka usahanya. Kalaupun pernah di proses hukum seperti PT. Buluh Cawang Plantition (BCP) sekitar tahun 2008 padahal jelas-jelas melakukan pembakaran, namun malah memenangkan perkara. Ini menunjukkan bahwa memang hukum masih belum menjadi panglima dalam memberikan efek jera atas pembakar lahan.

Hal lain yang menguatkan besarnya potensi kebakaran yang hingga saat ini masih terjadi di perkebunan sawit dapat dilihat dengan besarnya sebaran titik hots spot akhir-akhir ini. Sebagaimana data Walhi per 8 April 2011 menemukan sedikitnya terdapat titik 19 hots spot yang tersebar di beberapa kabupaten yang meliputi Sambas, Bengkayang, Kubu Raya, Kabupaten Pontianak, Sintang, Landak dan Sanggau. (tin)

Sumber: http://www.pontianakpost.com/index.php?mib=berita.detail&id=90109

Selasa, 19 April 2011

Walhi: Hotspot Kalbar Tinggi

Rabu, 13 April 2011 09:02
Chrystanto Novendi

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) mencatat tingginya kabut asap di Kota Pontianak beberapa hari terakhir disebabkan meningkatnya titik api (Hotspot) sejumlah kabupaten/kota di Kalbar.

“ Dari hasil pantauan kami, per 5 April terhitung ada 39 titik api di Kalbar,” kata Deputi Walhi Kalbar, Nicodemus di Kantor Walhi, Selasa (12/4) siang.

Ia mengatakan, berdasarkan hasil kajian Walhi beberapa hari lalu, terdapat 10 hotspot di kota Pontianak dan Kubu Raya dan 7 hotspot di Kabupaten Pontianak.

“ Merupakan hotspot terbanyak untuk wilayah Kalbar yang kami temukan,” kata Nicodemus.

Selain itu, Walhi juga menemukan beberapa hotspot di kabupaten lain, diantaranya 5 titik api di Sambas, 4 di Bengkayang, 1 di Singkawang Kota, dan 5 di Sanggau.

“ Kami juga menemukan masing-masing 1 hotspot di Kabupaten Sintang dan Kayong Utara,” kata Nicodemus.

Akan tetapi, banyaknya hotspot yang ada telah berkurang pada hari setelahnya, bahkan pada 9 dan 11 April tidak ditemukan titik api.

“ Pada 11 April tidak ditemukan hotspot karena beberapa daerah di Kalbar terjadi hujan,” katanya.

Melihat tingginya kabut asap di Pontianak dan hotspot di beberapa daerah Kalbar, pihak Walhi belum dapat menyimpulkan penyebab dari hotspot tersebut.

“ Kita masih dalam tahapan pemantauan, apakan titik api disebabkan pembakaran lahan dari perusahaan atau masyarakat,” kata Nicodemus.

Agar kejadian serupa tidak terus terulang lagi, Walhi mengharapkan pemerintah dapat meningkatkan respon terhadap tingginya hotspot dan memberikan alokasi dana untuk penanggulangan pencegahan kebakaran.

“ Perangkat hukum sudah ada, tinggal bagaiman pemerintah mau bertindak,” kata Nicodemus.

Selain itu, pemerintah dan masyarakat dapat berkerja sama untuk menemukan teknik baru pada pertanian di lahan gambut.

“ Harus ditemukan strategi lain, tidak dengan cara pembakaran lahan,” tambahnya.

Sumber: http://www.borneotribune.com/kapuas-hulu/walhi-hotspot-kalbar-tinggi.html

Hindari Buang Sampai di Sungai Saat Kemarau

Senin, 11 April 2011 , 06:04:00
KURANG PEDULI: Kesadaran atau kepedulian pengunjung Alun-alun Kapuas terhadap kebersihan masih kurang.MUJADI/PONTIANAKPOST

PONTIANAK - Kadiv Riset Walhi Kalimantan Barat Hendrikus Adam mengatakan, tingginya pencemaran di Sungai Kapuas dipengaruhi kimiawi dan biologis. Sungai Kapuas tak hanya tercemar oleh zat kimia merkuri, tetapi juga oleh limbah pabrik, limbah rumah tangga, bakteri coli, dan pestisida dari perkebunan.

“Sekitar 70% - 90% kondisinya rusak,” ucapnya. Kerusakan disebabkan oleh adanya intervensi manusia yang terus menerus dilakukan hingga menimbulkan degradasi disekitar kawasan DAS diantaranya illegal logging, limbah industri, pelarutan zat kimia, dan sampah domestik. “Kondisi ini tidak bisa dibiarkan karena kawasan sungai memiliki berbagai manfaat untuk masyarakat, khususnya yang tinggal di tepiannya,” ujarnya.

Akan tetapi, menurut Hendrikus, status Sungai Kapuas sudah tidak memenuhi sayarat untuk digunakan bagi keperluan air baku untuk minum. Tapi hanya memenuhi syarat untuk digunakan bagi keperluan irigasi dan keperluan lain. Pencemaran air sangat berdampak pada kesehatan dan biota air yang ada di dalamnya.

Di sisi lain, salah satu warga yang tinggal di tepi Sungai Kapuas mengaku merasa khawatir dengan kebersihan air. Ibu rumah tangga, Melani yang tinggal di Jalan Adi Sucipto merasa was-was saat tahu air kapuas sudah mulai tercemar. “Kalau untuk mencuci baju sih tidak apa, tapi kita khawatir menggunakannya bila lagi sikat gigi” ucapnya serius.

Menurutnya, walaupun sekarang belum merasa dampaknya tapi ia masih tetap saja khawatir apalagi saat anak-anak mandi, bisa saja mereka tertelan air kapuas. “Kita kan tahu sendiri bagaimana kalau anak-anak sudah main di sungai,” tambahnya.

Kepala Bidang Pengawasan Dan Pentaatan Hukum Badan Lingkungan Hidup Daerah Kota Pontianak Hariyadi S Tribowo, belum lama ini mengungkapkan hampir semua sungai kecil yang bermuara di sungai Kapuas di Kota Pontianak tercemar. Parahnya lagi, ternyata sungai tersebut sudah terkandung zat yang berbahaya seperti COD, NO2 dan Fe atau logam berat.

”Pencemaran air Sungai Jawi sudah melebihi Standar Baku Mutu seperti yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air Dan Pengendalian Pencemaran Air,” belum lama ini. (des/tin)

Sumber: http://www.pontianakpost.com/index.php?mib=berita.detail&id=89453

Solusi Asap Selalu Kandas

Utama
Senin, 11 April 2011

Pontianak – Kabut asap yang pekat sempat membuat penerbangan terganggu, Sabtu (9/4). Persoalan inti akibat kebakaran lahan ini selalu terulang tiap tahun. Upaya penanganan pemerintah sering kandas dengan beragam alasan yang tidak jelas.

“Antisipasi pemerintah dalam menuntaskan persoalan kebakaran lahan masih lemah. Tindakan pemerintah dinilai hanya sebatas langkah reaktif.

Pemerintah tidak mampu menekan timbulnya kebakaran lahan,” kata Hendrikus Adam, Kepala Divisi Riset Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kalbar kepada Equator, Sabtu (9/4).

Padahal, kata Adam, kebakaran lahan yang terjadi secara berkala seharusnya sudah ada solusinya. Tidak cukup sebatas memadamkan api di lahan yang sudah terbakar.

”Tindakan tegas bagi pihak pembakar lahan sangat diperlukan untuk menimbulkan efek jera. Kalau sekarang belum tampak ketegasan itu,” ujar Adam seraya menjelaskan berdasar pengamatan Walhi, penyumbang terbesar kebakaran lahan di Kalbar yakni pembukaan lahan perkebunan.

Anggota Komisi A DPRD Kalbar bidang Hukum dan Pemerintahan, Bonafatius Benny berharap aparat hukum benar-benar serius dengan komitmennya menindak pelaku pembakaran lahan. ”Kalau benar bersalah, harus ditindak. Jangan hanya ancaman saja,” seru Benny.

Benny juga berharap tidak ada pihak yang dikambinghitamkan dalam persoalan kabut asap ini. ”Jangan nanti masyarakat yang membakar ladang dipersalahkan,” pungkas Benny.

Selama beberapa hari terakhir ini kabut asap menyelimuti Kota Pontianak dan sekitarnya. Sedikitnya lima penerbangan terpaksa ditunda akibat jarak pandang yang pendek, Sabtu pagi (9/10).

Data BMKG Supadio yang mengutip hasil citra satelit National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) menyebutkan, kabut asap mulai terjadi seiring dengan peningkatan titik api (hot spot). Daerah terbanyak penghasil titik api adalah Kabupaten Kubu Raya (KKR), yang pada tanggal 8 lalu tercatat memproduksi 13 titik api.

Bupati Kubu Raya, Muda Mahendrawan mengakui daerahnya sebagai penghasil titik api terbanyak. “Tapi yang terbakar itu bukan hutan. Hanya semak,” kata Muda dikonfirmasi Equator via selularnya, kemarin.

Muda meyakinkan, hotspot yang ada di daerahnya hanyalah kebakaran kecil. Ia juga memastikan hot spot itu bukan aktivitas pembakaran lahan oleh perusahaan perkebunan.

“Asap sisa pembakaran juga tidak sampai mengganggu penerbangan. Partikel asap pembakaran di Kubu Raya maksimal hanya sampai 10 meter. Setelah itu asapnya langsung habis (hilang),” katanya.

Persoalan hot spot yang ada di Kubu Raya, diharapkan Muda, harus juga dilihat dari sisi positifnya. Menurutnya, hot spot itu ada yang berasal dari pembakaran areal pertanian milik warga sebagai bentuk implementasi keikutsertaan warga dalam program pangan KKR.

Kendati demikian, Muda mengaku sudah melakukan pendekatan dengan berbagai pihak terkait persoalan hot spot ini. “Kita sudah ada komunikasi dengan masyarakat dan pihak perusahaan,” kata Muda.
Visibility membaik

Aktivitas penerbangan di Bandara Supadio Pontianak kemarin (10/4) relatif lancar dibandingkan kondisi sehari sebelumnya. Tidak ada pesawat yang menunda keberangkatan karena jarak pandang sedikit mengalami perbaikan.

“Hari ini tidak ada pesawat yang tertunda keberangkatan maupun kedatangannya,” ucap Normal Sinaga, General Manager Bandara Supadio Pontianak kepada Equator, Minggu (10/4).

Pengamatan Equator, tidak ada penumpukan penumpang yang padat di bandara. Seluruh jadwal keberangkatan dan kedatangan penumpang tidak mengalami gangguan yang berarti, seperti yang terjadi Sabtu (9/4) akibat pekatnya kabut asap yang mengganggu jarak pandang (visibility).

“Asapnya sudah berkurang pagi ini. Mungkin sudah tidak banyak lagi yang bakar-bakar (melakukan pembakaran lahan). Jarak pandang rata-rata 2500 meter sampai 3000 meter,” kata Normal.

Meski ada perbaikan jarak pandang, namun pihak bandara selalu melakukan langkah antisipasi jika sewaktu-waktu ada penundaan keberangkatan pesawat yang berakibat adanya penampungan penumpang. Langkah koordinasi tetap dilakukan.

“Kita memang hanya mengatur ketertiban di terminal. Tapi kita juga tetap koordinasi dengan pihak terkait. Termasuk koordinasi dengan pihak maskapai,” ulas Normal.

Soal membaiknya jarak pandang juga diakui pihak Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Supadio Pontianak. Dibanding kondisi Sabtu, jarak pandang kemarin mengalami peningkatan.

“Ada perbaikan. Kondisi sekarang (pukul 17.30), jarak pandang 4000 meter. Pukul 06.00 tadi pagi, jarak pandang 800 meter,” kata Boni, staf informasi BMKG Supadio. (sul/bdu)

Sumber: http://www.equator-news.com/utama/solusi-asap-selalu-kandas

Jumat, 01 April 2011

WALHI: Perlu Langkah Tegas Atasi Pencemaran Kapuas

Maret, 22 2011, 11:30:13 WIB

Kalimantan Barat-PONTIANAK, (kalimantan-news) - Wahana Lingkungan Hidup Kalimantan Barat mendesak semua pihak terkait untuk mengambil langkah tegas dalam menekan angka pencemaran di Sungai Kapuas, sungai terpanjang di Indonesia.

"Sungai Kapuas sudah tercemar berat karena berbagai hal seperti pembukaan lahan untuk perkebunan dan pertanian, penebangan hutan, pertambangan, perindustrian, limbah cair dan lain sebagainya," kata Divisi Riset dan Advokasi Walhi Kalbar, Hendrikus Adam saat memperingati Hari Air di Pontianak, Selasa,

Menurut dia, dengan panjang total 1.143 kilometer dan memiliki luas total 10.040.646 hektare atau setara 100.406,46 kilometer persegi, Sungai Kapuas menjadi rumah lebih dari 300 jenis ikan air tawar.

Ia menambahkan, ada delapan kabupaten dan kota di Kalbar yakni Kota Pontianak, Kabupaten Pontianak, Kabupaten Landak, Kabupaten Sanggau, Kabupaten Sekadau, Kabupaten Sintang, Kabupaten Melawi, Kabupaten Kapuas Hulu, yang dilewati sungai tersebut.

Selain rumah bagi ikan, Sungai Kapuas juga dimanfaatkan sebagai air baku, baik untuk air minum atau keperluan rumah tangga masyarakat.

"Juga untuk irigasi pertanian dan keperluan industri di wilayah sungai Kapuas, sebagai sarana transportasi dan sebagai salah satu sumber makanan serta pendapatan masyarakat sekitar berupa ikan air tawar, atau memanfaatkan tambak," kata dia.

Namun, lanjut dia, belakangan ini Sungai Kapuas sudah tercemar berat, yang diakibatkan oleh penebangan hutan yang memicu pengikisan tanah permukaan, kekeruhan dan kekotoran serta rusaknya tebing sungai.

Sedangkan untuk pertambangan memicu lumpur, material-material berupa tanah, batu serta pasir. Dari sektor industri, limbah dan debu kayu dari industri sawmill, "moulding", meubel.

"Limbah - limbah cair dari industri perikanan, Air Raksa (Hg), limbah yang dihasilkan dari industri pembuatan Amalgam, pemurnian emas, batu baterei, pembuatan seng, Alumunium (Al), Barium (Ba), limbah yang dihasilkan dari industri pembuatan keramik, Perak (Ag) ikut membuat Kapuas semakin tercemar," kata dia.

Belum lagi limbah dari penggunaan bensin dan pemukiman masyarakat berupa sampah rumah tangga, air cucian dan mandi seperti diterjen, yang dibuang langsung ke sungai.

Ia melanjutkan, pencemaran itu membuat Sungai Kapuas alurnya semakin dangkal karena menumpuknya sampah-sampah yang tidak bisa terurai atau terlarut, bentuk yang semakin melebar akibat abrasi .

Ia menambahkan, Sungai Kapuas juga menjadi tempat berkumpulnya berbagai jenis logam berat seperti Timbal, Kadnium dan merkuri, yang bisa menyebabkan rusaknya ginjal, kehilangan daya ingat, merusak paru-paru dan lainnya.

Hendrikus Adam mengatakan, beberapa cara dapat dilakukan untuk menekan pencemaran di sungai yang luasnya 68,39 persen dari total luas Provinsi Kalbar itu.

Diantaranya, peningkatan pengendalian terhadap eksploitasi serta rehabilitasi hutan dan lahan, konsistensi terhadap tata ruang, meningkatkan kesadaran masyarakat dalam pengelolaan sumber daya air yang lestari.

Selain itu, peningkatan kedisiplinan pemenuhan ketentuan penambangan pasir yang ramah lingkungan, penegakan hukum terhadap penambangan emas tanpa izin, menertibkan pengelolaan daerah sempadan sungai termasuk penertiban bangunan liar.

Kemudian pemberian penghargaan maupun hukuman terhadap lembaga usaha atau pemerintah dalam upaya menjaga mutu air, peningkatan SDM baik internal maupun eksternal, koordinasi seluruh pemangku kepentingan, menyamakan persepsi tentang konservasi sumber daya air, penguatan kelembagaan forum daerah aliran sungai, serta penambahan program muatan lokal tentang lingkungan hidup pada kurikulum sekolah.

Sumber: http://www.kalimantan-news.com/berita.php?idb=5171