Jika emas ditemukan, nasib pekerja tambang bisa berubah seketika. Setara dengan nyawa yang dipertaruhkan?
Muhlis Suhaeri / Angga Haksoro
31 Mei 2011 - 18:45 WIB
Dini hari, pukul 2 pagi. Ratusan perahu kelotok berjejal melintasi Sungai Enau dan Danau Serantangan di Sagatani. Beberapa perahu saling serempet. Bahkan ada perahu tenggelam karena tabrakan. Tak sampai membuat celaka. Penumpang bisa ditolong.
Ratusan penambang di Sagatani, lari ke Kota Singkawang. Sebagian memilih bertahan di lokasi penambangan. Mereka mendapat informasi dari aparat, siang hari akan ada operasi penertiban penambangan emas tanpa izin di Sagatani.
Mereka tinggal dua malam di rumah kos milik bos penambang di Kota Singkawang. Setelah itu balik lagi ke lokasi penambangan.
Siang hari, aparat keamanan gabungan melakukan razia. Saat aparat datang, penambang sudah kabur ke hutan. Aparat memukul bagian atas mesin dengan martil. Pukulan “pura-pura”. Bukan untuk menghancurkan.
Mesin rusak jika dipukul pada bagian tengah. Mesin tak bakal bisa dipakai lagi. Pukulan pura-pura hanya menghancurkan tutup mesin. Meski begitu, butuh uang Rp 300 ribu untuk mengganti tutup mesin.
Dalam beberapa kasus, operasi hanya menangkap bos tambang di lokasi. Saat bos tambang ditahan, para bos besar akan berkumpul dan menebusnya. Ada kekompakan di antara para bos besar. Berapa pun akan dibayar. Asal bisa bekerja dan beroperasi lagi.
Lingkaran setan dan kongkalikong para bos tambang dengan aparat, merupakan mata rantai yang tak pernah putus.
Humas Polda Kalimantan Barat, AKBP Mukson Munandar membantah jajarannya melindungi aktivitas penambangan liar.
“Pada prinsipnya giat penambangan emas tanpa izin melanggar undang-undang. Sudah sering jajaran Polda Kalbar melakukan penertiban. Kalau ada oknum anggota Polri yang terlibat tolong diinfokan. Kalau terbukti akan ditindak sesuai hukum,” ujar AKBP Mukson.
Parapenambang di Sagatani dan daerah lainnya, juga rentan diserang malaria. Hutan di sekitar lokasi, menjadi tempat ideal berkembangnya jentik nyamuk.
Selain diburu aparat dan penyakit, masalah lainnya adalah kehidupan malam para penambang. Di setiap lokasi penambangan, selalu ada kantin yang menyediakan berbagai makanan dan minuman. Ada bir, minuman keras tradisional, dan arak.
Di Sagatani, setiap kantin ada empat hingga lima perempuan. Mereka melayani dan berbaur dengan pengunjung. Untuk menyemarakkan suasana, tersedia televisi, tape recorder dan speaker besar. Alunan house music menemani pengunjung hingga larut malam.
Listrik menggunakan mesin diesel.
Tidak ada standar harga. Banderol minuman dan makanan bisa beda antara masing-masing bos. Tergantung siapa Anda. Bila Anda seorang bos tambang, secangkir kopi dan sekaleng bir, bisa seharga Rp 100 ribu. Padahal bila yang beli para penambang, paling harganya cuma Rp 30 ribu.
Kantin satu-satunya tempat hiburan bagi para penambang emas. Selain HP yang berisi gambar dan film porno. Ada kebanggaan saat para penambang mendapatkan gambar atau film porno bagus. Mereka saling berbagi dan memperlihatkan koleksi masing-masing.
Bila penambang pulang kampung, biasanya mampir dulu di Singkawang mencari hiburan. Kombinasi tempat karaoke, minuman keras, dan pekerja seks komersial, membuat mereka betah tinggal dua hingga tiga malam di Singkawang.
Adi Sulistyono punya pengalaman tersendiri selama kerja di tambang. Saat kerja di Indotani, Ketapang, dia bergelimang uang. Lokasi penambangan berupa hamparan pasir. Pondoknya diapit kantin. Pokoknya tak bisa tidur awal. Musik berdentum 24 jam. Non stop. Di Sagatani, musik hanya terdengar malam hari.
“Kita betah kerja di sana karena senang,” kata Adi. “Kalau tak senang, tak akan betah.”
Adi berfoya-foya saat dapat uang. Dia punya masalah pribadi. Adi frustasi setelah ayahnya meninggal dan ibunya kawin lagi. “Jadi aku hidup terserah sendiri,” katanya.
Di lokasi pertambangan di Ketapang ada 78 kantin. Setiap kantin dijaga lima hingga enam perempuan pelayan. Rata-rata berumur 17 sampai 18 tahun. Ada yang masih SMP.
Parapelayan kantin dapat uang dari selisih harga menjual minuman. Misalnya, bir dari pemilik kantin dihargai Rp 10 ribu, oleh pelayan dijual ke tamu seharga Rp 15 ribu. Ada selisih Rp 5 ribu.
Namun, dia harus menemani tamu agar minum terus. Semakin banyak minuman dijual, semakin banyak uang didapat. Adi pernah menghabiskan dua krat bir. Satu krat berisi 12 botol.
“Bila minum habis Rp 500 ribu, sudah ada cewek menunggu,” kata Adi.
Adaruang lesehan dengan dinding kayu berukuran empat kali enam meter. Ruangan itu digunakan untuk bercinta. Tak takut penyakit? “Kan pakai pengaman, Bang,” kata Adi sembari tersenyum. Ada kondom tersedia.
Adi mengatakan, tak semua teman seperti itu. Kalau pekerja tambang sudah punya dua atau tiga anak, biasanya tak bandel. Ada kebutuhan yang harus ditanggung.
Setelah kerja tujuh tahun, Adi pulang ke rumah tak bawa apa pun. Dia pulang hanya membawa bungkusan tas berisi baju dan celana!
Danau Serantangan dan Ancaman Merkuri
“Kita berharap dari pemerintah, membuat aturan bagi pertambangan rakyat,” kata Iwan Suaidi.
Iwan salah satu bos penambang di Sagatani. Menurut dia, pemerintah kurang membuka pekerjaan. Sehingga warga bekerja menjadi penambang emas. Selain itu, pemerintah tak pernah memberikan sosialisasi dampak tambang yang merusak lingkungan.
Iwan berharap, Pemerintah Kota Singkawang membangun sistem tambang rakyat. Hal itu memberikan pemasukan bagi daerah. Yang penting harus ada koordinator. Setiap bulan ditentukan berapa iuran atau pajak yang dikenakan terhadap pengusaha tambang. Sehingga para penambang bisa kerja tenang dan tidak diganggu.
“Kalau pun lokasi itu ditutup, saya akan cari lokasi lain,” kata Iwan.
Menanggapi pernyataan para penambang emas, Dwi Saputra, Kepala Dinas Bina Marga, Sumber Daya Air, dan Energi Sumber Daya Mineral Kota Singkawang mengatakan, pemerintah tidak mengeluarkan izin pertambangan kecuali untuk tambang galian C: pasir, batu, dan lainnya.
Emas termasuk klasifikasi bahan tambang galian A. Ada keputusan menteri mengenai Izin Usaha Pertambangan (IUB). Menteri yang mengeluarkan peraturan dan izin tambang galian A. Mendapat izin galian A tidak mudah. Banyak syarat harus terpenuhi. Misalnya bekas areal tambang harus direklamasi ulang. Kalau Wilayah Penambangan Rakyat (WRP), yang mengeluarkan izin kepala daerah. Luasnya maksimal 25 hektare.
Ada beberapa perusahaan mengajukan izin, tapi tidak diberikan. Alasannya, berdasarkan tata ruang, Singkawang tidak mengakomodir tambang. Wilayah Singkawang sempit. Hanya 50,4 kilometer persegi. Perusahaan tambang butuh lahan ribuan hektare. Selain itu kegiatan tambang juga merusak lingkungan.
Menurut Dwi Saputra, berdasarkan aturan tata ruang Pemkot Singkawang, para penambang emas di Sagatani menyandang status penambang liar. “Sampai kapan pun mereka akan disebut illegal mining,” kata Saputra.
Dari sisi kelestarian lingkungan, apa yang dilakukan para penambang emas di Sagatani, berbahaya bagi lingkungan. Apalagi, lokasi tambang dekat Danau Serantangan.
Danau Serantangan merupakan tiga danau yang akhirnya menyatu karena proses alam. Luas danau sekitar 185 hektare. Masyarakat menyebutnya Danau Kaca Mata, karena bentuk danau seperti kaca mata. Danau Serantangan sumber air baku, sumber perikanan, dan pariwisata.
Di samping Danau Serantangan ada Sungai Enau yang menjadi pusat kegiatan penambangan emas. Pernah ada normalisasi Sungai Enau dan pembuatan tanggul. Normalisasi bertujuan memperlancar aliran air dari hulu sungai. Pembuatan tanggul untuk menahan banjir dan masuknya air dari Sungai Enau ke Danau Serantangan. Dana pembangunan dari Pemerintah Provinsi Kalbar.
Karena keterbatasan dana, antara tahun 2000-2009 tidak pernah ada normalisasi dan rehabilitasi Sungai Enau. Bahkan tanggul penahan banjir bocor di tiga titik. Dua titik karena faktor alam. Tanggul berada di tikungan sungai. Sedimentasi membuat tanggul semakin rendah dan ada kebocoran. Kebocoran lainnya karena sungai digunakan sebagai jalur transportasi penambang emas.
Parapenambang sering dirazia. Dalam setiap operasi selalu dapat barang bukti. Tapi orangnya tak ada. “Berarti razianya bocor. Barang bukti dibakar. Mereka selalu kembali,” kata Saputra.
Menurut Saputra, yang paling penting Pemkot Singkawang mengamankan Danau Serantangan agar tidak tercemar. Caranya dengan penyuluhan. Melibatkan semua elemen. Seperti polisi, tentara, Satpol PP, pejabat kecamatan, kelurahan, dan lainnya.
Profesi dasar para penambang adalah pekerja perkebunan dan pertanian. Tapi karena hasil emas lebih besar, mereka meninggalkan kebun dan lahan pertanian. Padahal, menambang hanya pekerjaan sesaat yang efek buruknya akan dirasakan sampai ke anak cucu.
“Mereka ambil enaknya saja. Tidak sadar, efek yang ditimbulkan dari illegal mining,” kata Saputra.
Mengubah prilaku tak semudah membalikkan telapak tangan. Menurut Saputra, penambangan emas tanpa izin dapat ditutup jika pemodal diberantas. “Pada prinsipnya, kita bahu membahu. Jangan sampai penambangan emas tanpa izin berkembang terus,” kata Saputra.
Banyak lokasi bekas penambangan emas di Singkawang yang ditinggalkan penambang, kondisinya memprihatinkan. Banyak kubangan dan tanah lapang berupa pasir. Tak ada tanaman sanggup tumbuh.
Hendrikus Adam, Kepala Divisi Kampanye Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kalimantan Barat mengatakan, di Sagatani dan sekitarnya, Danau Serantangan mestinya dapat menjadi objek wisata. Dengan adanya penambangan emas, kondisi Danau Serantangan kini terancam. Juga lingkungan dan kehidupan warganya.
Sekitar tahun 2008, Adam melihat tiang dan gardu listrik berdiri megah di Sagatani. Namun listrik hingga kini belum menerangi pemukiman warga.
”Kondisi itu begitu miris,” kata Adam.
Berdasarkan data penelitian terakhir di kantor Badan Lingkungan Hidup Kota Singkawang pada 2009, kondisi air di Danau Serantangan mengandung air raksa (merkuri) sekitar 0,020 Ppb. Untuk kadar baku air minum, maksimalnya 1 Ppb. Tapi untuk membuktikan apakah masyarakat sudah terpapar merkuri, harus dilakukan analisa di lapangan.
Kandungan merkuri harus dibuktikan secara ilmiah, tidak hanya dari air. Tapi juga biota dan masyarakat yang berada di sekitar Danau Serantangan. “Sejauh ini belum ada penelitian ke sana,” kata seorang staf BLH Kota Singkawang.
Tasman, Ketua Komisi C DPRD Kota Singkawang mengatakan, jika penambangan dihentikan harus ada solusinya. “Jangan selesaikan satu masalah, tapi timbulkan masalah baru,” kata Tasman. Komisi C DPRD Kota Singkawang mengurusi bidang pembangunan.
Menghentikan penambangan akan menyebabkan ribuan orang menganggur. Tapi kalau dibiarkan, lingkungan akan hancur. “Kita harus menangani secara bijak. Tapi jangan korbankan ekositem,” kata Tasman.
Belum adanya prosedur dan mekanisme penambangan emas membuat berbagai institusi atau pribadi mendapatkan keuntungan dari kegiatan ini. Aparat memanfaatkan hal itu untuk mencari uang. “Dana itu larinya ke mana? Tidak jelas,” ujar Tasman. (*)
Foto: VHRmedia/Muhlis Suhaeri
Sumber: http://www.vhrmedia.com/2010/detail.php?.e=2811
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar