Jalan M. Syafe'i Blok P Nomor 30 Pontianak, Kalimantan Barat. Telp. (0561) 731059

Selasa, 20 Juli 2010

Bongkar Mafia Kehutanan Kalbar

Kamis, 22/04/2010/pk/06:01:00

Beberapa kasus perlu dibedah. Banyak kejanggalan atas penanganan perkara para penjahat kehutanan. Konspirasi mafia hukum sangat kentara.

PONTIANAK. Instruksi Presiden SBY yang meminta pengusutan vonis hukuman ringan kepada para pelaku pembalakan hutan mendapat respons Yayasan Titian, LPS-AIR dan Walhi Kalbar. Tiga LSM tersebut menuntut pengungkapan mafia kehutanan di Kalbar.

“Harus ada pengkajian kembali terhadap beberapa kasus kejahatan kehutanan di Kalbar,” tegas Yuyun Kurniawan dari Yayasan Titian dalam jumpa pers di Tapaz Pontianak, Rabu (21/4).

Pada awal April lalu, Presiden SBY menginstruksikan Satuan Tugas (Satgas) Pemberantasan Mafia Hukum untuk mengusut vonis ringan terhadap kasus-kasus kejahatan kehutanan di seluruh Indonesia. Political will pemerintah tersebut, diharapkan menjadi tonggak pengkajian kembali penanganan kasus-kasus kehutanan di Kalbar, karena dari sekian banyak kasus, beberapa di antaranya divonis bebas dan terdapat banyak kejanggalan.

Di antara kasus yang paling fenomenal di Kalbar mengenai kasus pembalakan liar dilakukan Prasetyo Gow alias Asong yang divonis bebas di Pengadilan Tinggi, Ng Tung Peng alias Apeng yang kini masih dalam Daftar Pencarian Orang (DPO), M Sun’an dan Syaiful yang divonis bebas bersyarat, termasuk juga kasus penyimpangan dana Provisi Sumber Daya Hutan/Dana Reboisasi (PSDH/DR).

“Terutama kasus Tian Hartono alias Buntia yang divonis bebas di tingkat kasasi, terjadi banyak kejanggalan yang berujung pada lemahnya vonis pengadilan kasus tersebut,” terang Yuyun.

Hal senada diutarakan Ketua LPS-AIR Kalbar, Deman Huri. Menurutnya, dalam sepuluh tahun terakhir, banyak pelaku-pelaku kejahatan kehutanan yang divonis bebas. “Hal ini mengindikasikan adanya permainan para mafia hukum,” katanya.

Terkait kasus Buntia, berdasarkan hasil investigasi tim gabungan dari Dinas Kehutanan Kalbar yang menjadi dasar tuntutan pihak kepolisian dan kejaksaan, pada hasil Berita Acara Pemerintah (BAP) tertanggal 8 Juli 2005 tergambar pasal-pasal UU 41/1999 tentang Kehutanan, nyata-nyata Buntia melakukan kejahatan kehutanan.

Terdapat beberapa pasal dalam UU 41/1999 tentang Kehutanan yang dilanggar Buntia, di antaranya Pasal 50 ayat (3) e Junto pasal 78 ayat (5) junto pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.

PT Rimba Kapuas Lestari melakukan aktivitas penebangan dalam kawasan Hutan Lindung Lubuk Lintang. Buntia selaku pimpinan perusahaan tersebut mengetahui kalau kawasan tersebut merupakan hutan lindung.

Berdasarkan fakta investigasi Dinas Kehutanan ditemukan adanya jalan angkutan kayu atas nama PT Rimba Kapuas Lestari yang masuk dalam kawasan Hutan Lindung Lubuk Lintang sepanjang 11.337,57 meter, terdiri atas jalan Lintang sepanjang 8.820,38 meter dan jalan cabang sepanjang 2.517,19 meter.

Selain itu, ditemukan adanya 20 jalan sarad, 4 TPN, 4 4 TPK dan areal penebangan kayu pada kawasan Hutan Lindung Lubuk Lintang. Juga ditemukan tunggul/tonggak kayu bekas tebangan pada 6 jalan sarad seluas sekitar 140 hektar dan tunggul sebanyak 1.365 pohon dengan taksasi volume tegakan sekitar 10.500 meter kubik. Buntia juga membawa alat berat didasarkan pada rekomendasi Bupati Sintang Nomor 522/0119.A/Ekbang pada 22 Januari 2003.

Pada kasus persidangan kasus Buntia, terdapat beberapa pihak yang terlibat. Peranan pihak yang terlibat merupakan bagian dari proses penegakan hukum kasus illegal logging.

Mejelis hakim Pengadilan Negeri Pontianak yang menangani kasus Buntia tersebut terdiri atas D Tuwi Togu SH, U Simangunsong SH, Pangeran Napitupulu SH MH. Sementara jaksanya terdiri atas Rido Wangono SH MHum, ST Simaremare SH, Wagio SH dan Ariefsyah SH MH.

Sedangkan advokatnya terdiri atas Hotma PDS SH, Ruhut PSS SH, Jhon Thomson SH, Mari C Bernado SH, Andel SH, Christopher Purba SH, Durapati Sinulingga SH, Andi F Sumangunsong SH dengan Panitera Christian dan M Isya SH.

Putusannya dibacakan U Simangunsong SH, Lidya Sasando P SH MH, Ramses Pasaribu SH MH. Karena Hakim D Tuwo Togu SH dan Pangeran Napitupulu SH dipindahtugaskan dari Pengadilan Negeri Pontianak.

Dengan terdakwa Buntia tersebut, saksi a carge yang dihadirkan terdiri atas 18 orang dan saksi adecharge (saksi yang meringankan) dua orang. Sedangkan saksi ahli terdiri atas lima orang saksi a carge dan tiga orang saksi ahli ade carge.

Saksi yang tidak dihadirkan dalam persidangan tersebut terdiri atas Bujang Achmad, Juli Irawan, Arief Mustafa SHut MSi dan Abdilah Fadil.

Jaksa menyatakan Buntia secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindakan pidana menebang pohon di hutan tanpa izin dari yang berwenang dan memasukkan alat-alat berat ke dalam hutan tanpa izin dari pihak yang berwenang, sebagaimana diatur pasal 50 ayat (3) jo pasal 78 ayat (5) UU 41/1999 Jo pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP. Dan pasal 50 ayat (3) huruf j jo 78 ayat (9) UU 41/1999 jo pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP dalam dakwaan kesatu primair dan kedua.

Dalam tuntutannya, jaksa menyatakan Buntia dipidana penjara 10 tahun dikurangi selama terdakwa ditahan dan menjatuhkan pidana denda Rp 2 miliar. Tetapi vonis PN Pontianak justru tidak sesuai yang diharapkan.

Vonis hakim menyatakan, Buntia tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana seperti yang didakwakan dalam dakwaan kesatu primer, subsider. Buntia pun dinyatakan bebas.

Buntia hanya dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana membawa alat-alat berat yang patut diketahui digunakan untuk mengangkut hasil hutan di dalam kawasan hutan lindung tanpa izin pejabat yang berwenang.

Pidana pun dijatuhkan dengan penjara dua tahun, denda Rp 1 miliar subsider 4 bulan kurungan. Hakim pun menyatakan masa penahanan yang telah dijalankan terdakwa dikurangkan sepuluh dari pidana yang dijatuhkan.

Selanjutnya pada vonis pengadilan tinggi Kalbar, hakim hanya memvonis pidana penjara 1 tahun dan dengan Rp 500 juta. Di Mahkamah Agung (MA) justru Buntia dibebaskan dari segala tuntutan.

Kepala Bidang (Kabid) Perlindungan Hutan Dinas Kehutanan Kalbar, Ir Sunarno menyatakan, dalam kasus Buntia tersebut sangat kental konspirasi. “Indikasi sudah masuk angin,” katanya.

Sunarno yang melakukan pemeriksaan sejak awal terhadap kasus Buntia tersebut ternyata dalam persidangan hanya dijadikan saksi a carge (saksi tambahan) bukan saksi ahli.

Dia menilai kasus tersebut banyak konspirasi, karena terdapat beberapa kejanggalan. “Salah satu contoh, kenapa hanya dinyatakan salah membawa alat berat, memangnya alat berat di hutan lindung itu untuk apa kalau tidak untuk pembalakan,” kata Sunarno

Konspirasi terhadap kasus Buntia tersebut, terang Sunarno, melibatkan oknum-oknum Dinas Kehutanan Provinsi, hal ini dalam bentuk rekayasa Berita Acara Pemeriksaan (BAP). “Bagaimana mungkin kawasan itu dinyatakan tidak jelas, padahal sudah jelas-jelas ditemukan tapal batas yang menyatakan kawasan tersebut masuk hutan lindung,” katanya.

Sunarno juga mengatakan, hakim banyak keberpihakan, karena hanya melihat data lapangan yang direkayasa, sementara fakta dalam pengadilan yang sudah jelas justru diabaikan.

Dia juga mengungkapkan, saksi ahli yang meringankan juga menjadi bagian konspirasi, karena saksi ahli tersebut merupakan konsultan yang pergi ke lapangan tanpa melibatkan pihak Dinas Kehutanan atau lainnya.

Penasehat hukum dalam kasus Buntia juga, kata Sunarno, melakukan kebohongan dengan mengatakan terdakwa sakit dan sedang dirawat, ketika diperiksa di tempat dia dirawat, Buntia tidak ada. “Buntia berstatus tahanan kota, tetapi bisa pulang pergi ke Jakarta,” ungkapnya.

Departemen Kehutanan dalam hal ini dinilai ikut terlibat konspirasi terhadap kasus Buntia. “Bagaimana bisa, surat Dirjen ke Menhut yang bersifat rahasia bisa ditangan tersangka (Buntia, red),” kata Sunarno.

Selain kasus Buntia, Sunarno tahu betul terdapat mafia-mafia hukum di dalamnya. Dia juga mengungkapkan kasus lainnya yang penuh kejanggalan, sehingga pelaku bebas atau mendapat keringanan hukuman.

Di antara kasus yang dimaksud Sunarno tersebut terkait Prasetyo Gow alias Asong di Ketapang. “Dua kapalnya yang memuat kayu tanpa dilengkapi dokumen, lalu dokumennya menyusul dua hari berikutnya,” ungkap Sunarno.

Ternyata, tambah dia, petugas yang membuat dokumen untuk kayu di Kapal milik Asong tersebut tidak melakukan pengukuran, sehingga sempat ditahan di Polda Kalbar.

“Sekitar satu minggu setelah vonis dibacakan (terhadap Asong, red) saya memergoki Jaksa Penuntut Umum, Majelis Hami dan anggota keluarga terdakwa duduk satu meja. Tiba-tiba Asong vonis bebas di pengadilan tinggi, padahal tuntutannya 4 tahun karena kedapatan membawa sekitar 1000 kubik kayu tanpa dilengkapi dokumen,” kata Sunarno.

Selain itu, Sunarno juga mengungkapkan kasus Rudi Pendek di Sintang yang terjadi sekitar 2005. “Rudi Pendek ini divonis bersalah, tetapi kapal dan kayunya diserahkan kembali ke terdakwa, bukan disita, majelis hakimnya menggunakan dasar hukum apa tidak menyita kapal dan kayu tersebut,” tanyanya.

Terdapat beberapa kasus tersebut, Sunarno mendukung sepenuhnya kalau akan dilakukan lagi pengkajian terhadap kasus-kasus kehutanan di Kalbar. “Saya siap membantu, semua file-nya saya punya,” katanya. (dik)

Sumber:
http://www.equator-news.com/index.php?mib=berita.detail&id=17897

Perkebunan Sawit Diharapkan Tidak Tabrak Hutan Lindung

Sabtu, 09/01/2010/pk/22:03

Semitau, Kalbar, (berita2.com) : Ketua Dewan Adat Dayak Kecamatan Semitau, Kabupaten Kapuas Hulu Provinsi Kalimantan Barat, Cyrilius Daison mengharapkan pengembangan perkebunan sawit di daerah tersebut tidak menabrak kawasan hutan lindung.

"Kami berharap pemilik perkebunan konsisten dan tetap komitmen awal tujuan dikembangkannya sawit untuk kesejahteraan masyarakat dan tidak menabrak kawasan hutan lindung, seperti Taman Nasional Danau Sentarum yang termasuk kawasan konservasi dan paru-paru dunia," kata Cyrilius Daison di Semitau, saat berdialog dengan manajemen PT Sinarmas Group, salah satu pemilik perkebunan sawit terbesar di Kabupaten Kapuas Hulu, Sabtu.

Ia mengatakan, selagi pemilik perkebunan tidak melanggar komitmen awal tersebut maka tidak ada salahnya sektor perkebunan itu dikembangkan.

"Kami akan terus memantau perkembangan perluasan sawit di kawasan TNDS. Kalau ditemukan pelanggaran akan kami dialogkan dengan pemilik perusahaan agar tidak menabrak kawasan hutan lindung," katanya.

Bupati Kapuas Hulu, Abang Tambul Husin membantah kalau perluasan perkebunan sawit di kabupaten itu sudah masuk kawasan konservasi.

"Kita jangan alergi sawit dan jangan ikut-ikutan Eropa yang menolak sawit karena ada kepentingan lain," ujarnya.

Ia menjelaskan, luas Kapuas Hulu sekitar 29.850 kilometer persegi, 56,51 persen di antaranya sudah dialokasikan untuk kawasan konservasi.

"Tapi kenapa giliran kami mau mengembangkan perkebunan sawit masih dihalang-halangi oleh dunia luar melalui LSM-nya," kata Tambul.

Tambul Husin menjelaskan, Kapuas Hulu harus memilih mengembangkan sektor perkebunan apa saja setelah sumber daya alam kayunya habis ditebang pada era Orde Baru lalu.

"Hutan lindung yang kami miliki bukan untuk menyengsarakan masyarakat tetapi untuk kesejahteraan," katanya.

Humas PT Sinarmas Group Semitau, Jailani, mengatakan perusahaan itu saat ini sedang mengembangkan perkebunan sawit sejak 2007.

Ia mengatakan, PT Sinarmas Group akan mengembangkan perkebunan sawit di Kabupaten Kapuas Hulu seluas 100 ribu hektare. Dari jumlah itu hingga kini yang sudah tahap pembersihan lahan hingga penanaman sekitar 30 persen.

Sebelumnya, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Kalbar, mengingatkan adanya ancaman perluasan sawit di provinsi itu terhadap pelestarian TNDS sebagai kawasan konservasi, di Kabupaten Kapuas Hulu.

"Saat ini ada 10 perusahaan besar yang sedang mengembangkan perkebunan sawit di sekitar TNDS yang hutannya termasuk paru-paru dunia," kata Direktur WALHI Kalbar, Hendi Chandra.

Kesepuluh perusahaan yang sedang memperluas perkebunan sawit di sekitar TNDS, di antaranya PT. Smart Group seluas 22.010 hektare, Borneo Group 18.990 hektare, PT. Rimba Utara 20.000 hektare, PT. Bumi Tani Jaya 7.340 hektare, dan PT. Kartika Prima Cipta (Sinarmas Group), katanya.

"Kesepuluh perusahaan itu saat ini sedang gencar-gencarnya menebang hutan sekunder dan primer di kawasan TNDS," katanya.

Tindakan itu menurut ia, sangat berbahaya bagi kelangsungan danau itu termasuk mengancam hulu Sungai Kapuas yang merupakan sumber air sebagian besar masyarakat provinsi Kalbar.

TNDS selama ini dikenal sebagai perwakilan ekosistem lahan basah danau, hutan rawa air tawar dan hutan hujan tropik di Kalimantan. Danau musiman yang berada di TNDS terletak pada sebelah cekungan sungai Kapuas, sekitar 700 km dari muara yang menuju laut Cina Selatan.

Merupakan daerah tangkapan air, sebagai pengatur tata air bagi Daerah Aliran Sungai Kapuas. Daerah yang terletak di hilir Sungai Kapuas sangat tergantung pada fluktuasi jumlah air yang tertampung di danau tersebut.

Dari data WWF (World Wide Fund for Nature) Kalbar, TNDS memiliki ratusan jenis fauna, di antaranya mamalia (Mamal) sebanyak 147 jenis, hampir 64 persen mamalia di Kalimantan terdapat di TNDS, sebanyak 31 jenis reptilia (Reptil) salah satunya buaya katak (Crocodylus raninus) yang di asia telah dinyatakan punah sejak 500 tahun lalu,fauna jenis afes (burung) sebanyak 310, serta sebanyak 265 jenis ikan, dengan jumlah jenis ikannya lebih banyak dari semua jenis ikan air tawar di seluruh benua Eropa.

Kabupaten Kapuas Hulu memiliki luas kawasan lindung, taman nasional dan hutan lindung sekitar 1.626.868 hektare atau 54,59 persen, kawasan budidaya hutan sekitar 764.543 hektare atau 25,65 persen dan kawasan budidaya pertanian bukan danau sekitar 588.481 hektare atau 19,75 persen, serta kawasan danau sekitar 17.925 hektare.(*un)

Sumber:
http://www.berita2.com/lingkungan/masalah-lingkungan/3547-perkebunan-sawit-diharapkan-tidak-tabrak-hutan-lindung.html

Menhut Bentuk Tim Usut Alih Fungsi Lahan Hutan di Kalbar

Jum'at, 26/03/2010/pk/16:34 WIB
Besar Kecil Normal

TEMPO Interaktif, Pontianak - Menteri Kehutanan (Menhut) Zulkifli Hasan menegaskan, pihaknya telah membentuk tim terpadu, terdiri Komisi Pemberantasan Korupsi, Kejaksaan Agung, Departemen Kehutanan dan Mabes Polri. Tim ini dibentuk untuk menangani kasus maraknya kawasan hutan yang digunakan secara ilegal untuk lahan perkebunan dan pertambangan.

“Seluruh gubernur di Indonesia, termasuk Gubernur Kaliamantan Barat akan kita minta laporannya tentang data kawasan hutan yang digunakan nonkehutanan. Nanti ada batas waktunya, dan jika tidak membuat laporan akan ada tindakan,” tegas Zulkifli Hasan kepada Tempo usai salat Jumat (26/3) di Masjid Raya Mujahidhin Pontianak, saat kunjungan kerja bersama Wakil Presiden Boediono di Kalbar selama dua hari.

Menurut Zulkifli, siapa pun yang menggunakan kawasan hutan, baik untuk perkebunan maupun pertambangan tanpa ada izin atau koordinasi dengan pusat, dapat dikenakan sanksi pidana dan denda yang berat.

Untuk itu tim terpadu dibentuk. Terdiri dari tim KPK, Kejaksaan Agung, Mabes Polri, dan Dephut. Tim ini nantinya khusus menangani kasus pelanggaran ketentuan Undang-Undang Nomor 41/1999 dengan ancaman pidana 10 tahun penjara dan denda.

“Perusahaannya atau bupati dan siapa pun yang memberikan izin bisa kena. Sudah banyak pejabat dinas dan bupati yang kena sanksi, nanti baru kita kejar pengusaha yang nakal," jelasnya.

Menteri juga mengatakan, ada lebih 1.800 perusahaan beroperasi di seluruh Kalimantan tanpa izin pelepasan kawasan hutan dari pusat. Dengan banyaknya pelanggaran, Direktur Eksekutif Walhi Kalbar, Blaslus Hendi Candra, meminta Menhut segera melaporkan tindakan para Bupati dan para pengusaha yang melanggar ketentuan UU 41/1999 itu ke Komisi Pemberantas Korupsi (KPK).

Hendi menilai, Menhut harus melakukan itu karena banyak terjadi berbagai kasus alih fungsi kawasan secara ilegal dan telah mencapai seluas hampir 2 juta hektare masuk ke kawasan hutan produksi.

Kasus alih fungsi hutan oleh para bupati itu terjadi di seluruh kabupaten di Kalimantan Barat, seperti Kabupaten Kapuas Hulu, Ketapang, Sintang, Melawi, Sekadan, Bengkayang, Sambas, Landak, Kubu Raya, dan Sanggau.

Termasuk ada laporan pembangunan kebun kelapa sawit seluas 6.000 hektare di kawasan hutan produksi PT Sinar Kalbar Raya.

Koordinator Eksekutif WWF Kalbar Herman Yani kepada Tempo menyambut baik respons Menhut yang cepat membentuk tim terpadu untuk menangani kasus alih fungsi kawasan hutan. Selain itu juga kasus jual beli lahan hutan oleh makelar lahan di Kalbar yang melibatkan para pejabat daerah dan para pengusaha ternama.

“Kita berharap Menhut tegas, dan tidak main-main soal ini. Sebab banyak terjadi pelanggaran hukum yang dibiarkan. Hal ini dapat berdampak buruk bagi warga yang taat dengan negara hukum,”kata Yani.

Harry Daya

Sumber:
http://www.tempointeraktif.com/hg/nusa/2010/03/26/brk,20100326-235870,id.html

Pemerintah berdiam menghadapi kejahatan hutan dan iklim, masyarakat bertindak

August/06/2009

Greenpeace, Walhi Kalimantan Barat dan AMAN Kalimantan Barat melakukan aksi di jantung Kalimantan untuk melindungi hutan dan lahan gambut Indonesia dari kerusakan yang dilakukan oleh Sinar Mas, penjahat hutan Indonesia terbesar. Aksi langsung tanpa kekerasan ini dilakukan di kebun kelapa sawit di sekitar Taman Nasional Danau Sentarum.

Pontianak, Indonesia — Greenpeace, Walhi Kalimantan Barat dan AMAN Kalimantan Barat hari ini melakukan aksi di jantung Kalimantan untuk melindungi hutan dan lahan gambut Indonesia dari kerusakan yang dilakukan oleh Sinar Mas, penjahat hutan Indonesia terbesar. Aksi langsung tanpa kekerasan ini dilakukan di kebun kelapa sawit di sekitar Taman Nasional Danau Sentarum, salah satu lahan basah terbesar di dunia dan hulu sungai Kapuas yang merupakan sungai terbesar dan terpanjang di Indonesia.

Sebanyak 10 orang aktivis Greenpeace dan Walhi memasang spanduk raksasa berukuran 30x6 meter di batas hutan yg masih tersisa di dalam wilayah konsesi Sinar Mas. Spanduk tersebut bertuliskan “Sinar Mas forest and climate criminal” atau “Sinar Mas penjahat hutan dan iklim”. Para aktivis kemudian merantai diri mereka ke ekskavator yang sedang beroperasi membuka hutan untuk menghalangi mereka menebangi hutan.

“Kami melakukan aksi hari ini karena pemerintah gagal melakukannya,” kata Bustar Maitar, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Asia Tenggara. “Tiap hari terus menerus hutan dan lahan gambut tak ternilai dihancurkan, dibakar dan ditebangi oleh penjahat hutan seperti Sinar Mas yang mengakibatkan peningkatan eksponensial emisi gas rumah kaca penyebab perubahan iklim. Masyarakat Asia Tenggara adalah yang paling tidak siap dan yang paling rentan terhadap akibat perubahan iklim. Tanpa aksi yang langsung dan dramatis, kita menghadapi masa depan yang tidak menentu dimana cuaca ekstrim, kekeringan dan banjir akan menjadi keseharian.”

Sumber:
http://www.greenpeace.org/seasia/id/news/pemerintah-berdiam-menghadapi

Ekspansi Lahan Sawit Rusak Sistemis Hutan Kalbar

Peringatan Hari Bumi
22/04/2010/pk/18:17 WIB

By. Muhlis Suhaeri / Aangga Haksoro

VHRmedia, Pontianak – Pembukaan lahan perkebunan sawit skala besar di Provinsi Kalimantan Barat menyebabkan kerusakan hutan secara sistemis. Kondisi lingkungan di Kalimantan Barat semakin kritis.

Koordinator aksi dari Walhi Kalimantan Barat, Hendrik Husadam, mengatakan kondisi itu semakin parah dengan terjadinya kriminalisasi terhadap warga yang menolak ekspansi perkebunan sawit. Warga yang menolak lahannya dijadikan kebun sawit dikrimalisasikan dengan alasan menolak pembangunan.

“Situasi pro dan kontra di masyarakat juga sering dimanfaatkan investor untuk memuluskan jalannya,” kata Hendrik Husadam pada unjuk rasa memperingati Hari Bumi di Tugu Digulis, Bundaran Universitas Tanjungpura, Kamis (22/4).

Husadam menyebutkan kasus kriminalisasi warga terjadi di Semunying, Bengkayang, dengan korban Momonus dan Jamaludin. Juga di Silat Hulu, Ketapang, kriminalisasi menimpa Andi dan Japin.

Ekspansi perkebunan sawit juga mulai merambah Taman Nasional Danau Sentarum (TNDS). Perkebunan sawit mengancam kawasan konservasi suaka margasatwa dan sumber air di hulu Sungai Kapuas yang mengaliri sebagian besar Kalimantan Barat. “Pemerintah harus menindak ekspansi pembukaan kawasan hutan di sekitar TNDS,” ujar Husadam.

Menurut Husadam, banjir besar di Kabupaten Kapuas Hulu, Sintang, Melawi, dan Pontianak adalah efek langsung dari penggundulan hutan di hulu Sungai Kapuas. “Pemerintah harus mempertahankan sumber daya alam yang tersisa dari jarahan korporasi.” (E1)

Sumber:
http://www.vhrmedia.com/Ekspansi-Sawit-Rusak-Hutan-Kalbar-Secara-Sistemik--berita3911.html

Catatan koreksi news:
Tertulis nama Hendrik Husadam, harusnya HENDRIKUS ADAM.

Gila, Kerugian Hutan di Kalbar Rp 1,4 Triliun

Senin, 29/03/2010/pk/21:26

PORTALKRIMINAL.COM - PONTIANAK : Permasalahan yang kompleks terhadap kawasan hutan Kalbar tidak saja menjadi perhatian masyarakat serta pemerintah Kalimantan Barat (Kalbar) saja. Perhatian terhadap masa depan hutan Kalbar juga diperhatikan oleh WALHI Belanda.


Kawasan hutan Kalbar dipergunakan oleh sebagian perusahaan untuk membuka lahan perkebunan sawit yang banyak menuai permasalahan terutama bagi masyarakat sekitar. Meskipun industri kelapa sawit diusung oleh pemerintah pusat daerah sebagai alat untuk mengentaskan kemiskinan dan sebuah cara mencapai pembangunan daerah, kenyataannya tingkat kemiskinan di daerah-daerah yang banyak perusahaan sawit masih tinggi.

Hal ini dikatakan oleh Claudia anggota Miliedefensie, Friends of The Earth Netherlands (WALHI Belanda), Claudia Theile kepada sejumlah wartawan di Pontianak.

“Ketapang merupakan kabupaten tertinggi untuk tingkat kemiskinan dengan kerugian 1,4 Trilyun. Dan kabupaten selanjutnya dengan tingkat kerugian tertinggi adalah Sanggau. Untuk itulah kami perduli dengan kawasan hutan Kalbar yang kita tau merupakan paru-paru dunia yang harus kita selamatkan bersama-sama,” ungkap Claudia usai Launching Buku Pengurusan Yang Gagal-Penghindaran Tanggung Jawab di Pontianak, Senin (29/3/2010).

Lanjut Claudia, salah satu upaya WALHI Belanda yang bekerjasama dengan WALHI Kalbar adalah menyadarkan masyarakat yang salama ini selalu diberikan janji –janji manis disaat para perusahaan sawit tersebut ingin membangun perusahaan tersebut didaerah mereka.

“Kelemahan lain adalah selain masyarakat yang mudah terbujuk rayu para perusahaan sawit tersebut adalah lemahnya peraturan yang dikeluarkan sendiri oleh pemerintah pusat dan daerah termasuk ijin membuka lahan sawit,” paparnya.

Ia mengingatkan bahwa saat ini para perusahaan besar yang menanamkan modalnya ke Kalbar melalui sawit hanya dapat menembus pasar Asia saja, sedangkan untuk Negara bagian Eropa sama sekali susah utnuk ditembus. (am)

Sumber:
http://portalkriminal.com/index.php?option=com_content&view=article&id=5562:2126-gila-kerugian-hutan-di-kalbar-rp-14-triliun&catid=38:kriminal-daerah&Itemid=41

Walhi Pesimis Kesepakatan Oslo Berhasil Diterapkan

Laporan Wartawan Tribun Kaltim, Reonaldus
Tribunnews.com - Sabtu, 12 Juni 2010 12:08 WIB

TRIBUNNEWS.COM, SAMARINDA - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) se-Kalimantan pesimis perjanjian antara Pemerintah Indonesia dan Norwegia berjalan dengan baik. Alasannya, keempat pemerintah provinsi di Kalimantan mengusulkan agar mengonvesi hutan untuk kegiatan pertambangan, perkebunan dan Hutan Tanaman Industri (HTI) dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP).

Kalimantan Tengah (Kalteng) mengusulkan 2,9 juta hektare (ha), Kalimantan Timur (Kaltim) 1,3 juta ha, Kalimantan Barat (Kalbar) 1,7 juta ha dan Kalimantan Selatan (Kalsel) 1,4 juta ha.

Perjanjian kedua negara yang menyangkut pengurangan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) dengan melalui skema REDD (Reduction Emission From Degradation and Deforestation) ini akan dimulai pada Januari 2011. Dalam skema itu, pemerintah Indonsia diharapkan tidak mengonversi hutan alam dan gambut untuk pemanfaatan kegiatan kehutanan, pertambangan, perkebunan dan lainnya. Sebagai konsekuensinya, Indonesia akan mendapatkan kompensasi sebesar 1 miliar dolar AS dari Norwegia.

"Kami memberikan apresiasi atas inisiatif untuk menurunkan emisi gas rumah kaca itu. Namun, kami yakin perjanjian ini tidak dapat berjalan baik, mengingat Pemerintah Indonesia tidak memiliki komitmen yang jelas terhadap perbaikan kondisi ekologi terutama di Pulau Kalimantan," tegas Direktur Walhi Kaltim, Isal Wardhana dalam siaran persnya, Sabtu (12/6/2010).

Selain itu, Walhi juga khawatir Gubernur, Walikota dan Bupati yang ada di Kalimantan dan Departemen Kehutanan (Dephut) akan berlomba-lomba mengonversi hutan alam dan gambut sebelum berlakunya perjanjian antara Pemerintah Indonesia dan Norwegia. (*)

Sumber:
http://www.tribunnews.com/2010/06/12/walhi-pesimis-kesepakatan-oslo-berhasil-diterapkan

Penambangan Liar Sebabkan Daerah Aliran Sungai Kalbar Rusak Parah

Jumat, 16/07/2010/pk/16:36 WIB

REPUBLIKA.CO.ID, PONTIANAK--Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Kalimantan Barat menyatakan sekitar 30 persen daerah aliran sungai dalam kondisi rusak berat karena pengaruh penebangan hutan, penambangan emas tanpa izin (PETI), dan perkebunan sawit.

"Tiga daerah aliran sungai (DAS) di Kalbar yakni Kapuas, Pawan Ketapang, dan Sambas dalam kondisi rusak parah," kata Direktur Eksekutif Walhi Kalbar, Hendi Chandra, disela dialog interaktif "Pentingnya Pengelolaan DAS dan Penataan Ruang" di Pontianak, Jumat.

Menurut dia, dari ketiga faktor itu, penambangan emas tanpa izin (PETI) yang paling berpengaruh dalam merusak DAS disusul perkebunan sawit dan penebangan hutan. Ia mencontohkan, di Sungai Landak, Kabupaten Landak, adalah sungai dengan tingkat kerusakan yang paling parah di Kalbar karena PETI.
"Jangankan untuk mandi, cuci dan kakus (MCK), untuk sarana transportasi saja sungai tersebut sudah tidak bisa karena alurnya mendangkal," kata Hendi.

Ia menyesali sungai sebagai urat nadi sebagian besar aktivitas masyarakat di provinsi itu namun tidak mendapat perhatian dari pemerintah sehingga kerusakan DAS dari tahun ke tahun semakin parah.

Ia memperkirakan 90 persen tingkat kerusakan DAS akibat PETI. Namun, lanjut dia, tindakan dan pencegahan masih terkesan lamban oleh aparat hukum dan pemerintah setempat.
"Apakah menunggu sungai kita dangkal sehingga tidak bisa dimanfaatkan lagi serta tidak bisa dijadikan jalur transportasi, baru bertindak," ujarnya.

Data Walhi Kalbar, ada beberapa kawasan DAS di provinsi itu yang berpotensi rusak, seperti Sungai Melawi dan Sungai Sintang, serta anak sungai di Kabupaten Landak, Bengkayang, Sanggau, dan Kubu Raya.

Sementara itu Staf Pengajar Fakultas Teknik Universitas Tanjungpura Pontianak, Mira S Lubis menyatakan, peran sungai cukup penting dan dapat menjadi daya tarik tersendiri untuk menarik minat turis luar berkunjung ke Kalbar. "Apalagi kita punya Sungai Kapuas yang terpanjang di dunia dalam satu pulau," ujarnya.

Ia berharap, pemerintah daerah dan LSM serta masyarakat satu persepsi dalam menjaga hutan lindung yang merupakan sumber air dari sungai.

Selain itu, kuota 30 persen untuk ruang terbuka hijau harus dipenuhi. "Bila perlu melebihi di atas kuota tersebut agar lingkungan dan DAS bisa terjaga hingga anak cucu kita mendatang," kata Mira S Lubis.

Sumber:
http://www.republika.co.id/berita/breaking-news/lingkungan/10/07/16/125102-penambangan-liar-sebabkan-daerah-aliran-sungai-kalbar-rusak-parah

PILIH MAKAN ATAU ENERGI

Minggu, 18/04/2010/pk/19:04:57
Oleh Teguh Imam Wibowo

Formatnews - Tahun 1798, Thomas Malthus (1766 - 1834) mengeluarkan sebuah tesis dengan pokok pikiran bahwa pertumbuhan penduduk bergerak melampaui pertumbuhan persediaan makanan.

Sebuah pemikiran Thomas Malthus yang juga pendeta itu masih relevan lebih dari dua ratus tahun kemudian, yang faktanya saat ini penduduk cenderung bertumbuh secara tak terbatas hingga melampaui batas persediaan makanan.

Belum lagi perubahan iklim, bencana banjir dan kekeringan, tingginya kebutuhan, membuat harga bahan pangan seperti beras, kedelai, gandum, jagung dan tebu, melonjak harganya.

Selain pangan, kebutuhan energi juga terus meningkat seiring pembangunan dan pertambahan jumlah penduduk.

Para ahli dari negara maju seperti Uni Eropa dalam satu dekade terakhir telah mengembangkan energi nabati untuk bahan bakar dan pembangkitan listrik mengingat semakin terbatasnya sumber energi fosil.

Perubahan yang semakin cepat di bidang pangan dan energi dunia membuat Indonesia turut memegang peranan penting dalam keberlangsungan hidup manusia di masa mendatang, mengingat Tanah Air ini memiliki lahan yang luas, subur, terletak di daerah tropis dan kaya sumber alam.

Namun, semua kelebihan itu dapat berubah menjadi sebuah "kutukan" bagi masyarakat Indonesia yang berdampak ke seluruh dunia, bila tidak menggunakannya secara benar.

Jurukampanye Biofuel dan Biomassa Milieudefensie (sebuah lembaga swadaya peduli lingkungan dari Belanda) Claudia Theile di Pontianak, Senin (29/3) menyatakan keprihatinannya bahwa penggunaan bahan makanan sebagai sumber energi nabati berpotensi rawan konflik di masa mendatang, selain terjadi ekspansi besar-besaran yang merambah kawasan hutan.

Karena itu, ia mendesak agar negara-negara anggota Uni Eropa tidak memperluas penggunaan minyak nabati sebagai sumber bahan bakar alternatif yang terbarukan.

"Uni Eropa punya kewajiban mempeloporinya, karena banyak teknologi baru yang tidak menggunakan bahan makanan sebagai sumber energi," kata Claudea Thiele yang melakukan kajian pengaruh permintaan energi nabati terhadap penghancuran hutan untuk areal perkebunan di Kalimantan Barat.

Ia yakin, pemanfaatan sisa-sisa minyak yang sudah digunakan, sinar matahari, udara, air, merupakan alternatif yang lebih memungkinkan.

Sebuah Kegelisahan

Kegelisahan Claude Thiele dan Milieudefensie bukannya tanpa alasan. Ia yang didukung Wahana Lingkunga Hidup (Walhi) Kalbar, mengambil penelitian ekspansi perkebunan kelapa sawit dengan studi kasus Kabupaten Ketapang, sebuah daerah otonomi yang "biasa-biasa saja" bagi Uni Eropa.

"Studi ini menunjukkan kegagalan instansi pemerintah di Indonesia selaku penghasil biomassa terbesar dalam mengontrol industri tersebut," kata Claudia Theile.

Hasil penelitian itu dituangkan dalam buku "Pengurusan yang Gagal - Penghindaran Tanggung Jawab, Kebijakan Bahan Bakar Nabati Eropa dan Perluasan Perkebunan Kelapa Sawit di Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat (Indonesia)".

Pemberian izin perkebunan kelapa sawit oleh Pemerintah Kabupaten Ketapang dalam waktu tiga tahun mencapai 90 buah dengan luas 1,4 juta hektare atau 40 persen dari total luas daratan di kabupaten itu, 31.588 kilometer persegi. Luas yang hampir sama dengan Belgia.

Selain itu, hanya 17 dari 90 perusahaan perkebunan kelapa sawit yang mempunyai persetujuan analisis mengenai dampak lingkungan daerah (amdal).

"Ironisnya, Kabupaten Ketapang tidak mempunyai Komisi amdal," kata Direktur Eksekutif Walhi Kalbar Hendy Chandra.

Mereka juga menemukan sedikitnya 39 perusahaan kelapa sawit yang seluruh atau sebagian lahannya tumpang tindih dengan sekitar 400 ribu hektare kawasan hutan.

"Kalau pungutan dari perusahaan kelapa sawit di Kabupaten Ketapang konsesinya di dalam kawasan hutan, dan proses pelepasannya dilakukan dengan benar, dapat mencapai Rp1,4 triliun," kata Hendy Chandra.

Roundtable for Sustainable Palm Oil (RSPO) merupakan perkumpulan yang anggotanya perusahaan-perusahaan perkebunan kelapa sawit, belum menjadi jawaban terhadap pengelolaan kawasan yang lestari dan berkelanjutan.

"Sejumlah perusahaan perkebunan dan anak perusahaan di Ketapang yang tergabung dalam RSPO seperti Sime Darby, Cargill, SMART, telah memulai kegiatan di lapangan tanpa persetujuan terhadap laporan amdal," kata Hendy Chandra.

Konflik sosial yang muncul dari ekspansi lahan besar-besaran itu di antaranya pengelolaan lahan untuk petani dengan sistem plasma yang tanpa kepastian, penundaan pembayaran tandan buah segar kepada puluhan ribu petani serta penyerobotan lahan.

Hentikan Permintaan

Sesuai hukum ekonomi, ada produsen, ada konsumen. Untuk menghentikan siklus ini, dengan memutus rantai penghubung antara produsen dan konsumen.

Kampanye agar negara-negara di Eropa tidak memperluas penggunaan minyak kelapa sawit gencar dilakukan untuk mencegah dampak negatif perluasan kelapa sawit.

Uni Eropa mengeluarkan kebijakan yang menetapkan kewajiban negara-negara anggota untuk memenuhi konsumsi energi terbarukan di sektor transportasi 10 persen tahun 2020.

Belanda, pada tahun 2030 juga memperkirakan sedikitnya 60 persen dari pasokan energi nabati harus diimpor.

Kebijakan di Eropa itu membuat perusahaan minyak kelapa sawit dan energi sangat berminat untuk melayani pasar baru yang terjamin ini. Kilang-kilang besar sedang dibangun di pelabuhan seperti Singapura dan Rotterdam (Belanda) untuk mengubah minyak nabati menjadi bahan bakar nabati.

Permintaan dan impor minyak kelapa sawit Belanda akan meningkat tinggi ketika kilang-kilang dari perusahaan energi seperti Neste Oil Rotterdam dan Clean Energy Zwijndrecht mulai beroperasi.

Minyak kelapa sawit merupakan salah satu minyak nabati yang paling murah di pasaran. Kelapa sawit akan segera mengganti posisi minyak nabati lainnya dan dialihkan penggunaan dari sebagai bahan pangan dan bahan kimia oleo menjadi produksi bahan bakar nabati.

Minyak kelapa sawit juga semakin banyak digunakan secara langsung untuk produksi bahan bakar nabati.

Sementara, lanjut Claudia Theile, peraturan mengenai energi terbarukan dari Uni Eropa tidak mewajibkan perusahaan bahan bakar nabati untuk menjamin dan menunjukkan legalitas produk impor bahwa telah mematuhi peraturan perundangan yang berlaku.

"Jangan sampai impor sawit berlebihan karena ekspansi lahan sudah terlalu cepat, berlebihan dan di luar kontrol," kata Claudia Theile.

Ia menambahkan, Indonesia menjadi salah satu sasaran perusahaan asing menguasai lahan untuk dijadikan perkebunan karena lebih mudah dan murah prosesnya dibanding Malaysia.

"Sebagian besar pembeli sawit Indonesia, negara-negara di Eropa," kata Hendy Chandra. Dana untuk Sinar Mas Grup membangun perkebunan sawit, salah satunya dari bank asal Jerman.

Jangan Bias

Kekhawatiran adanya ekspansi perkebunan yang tidak sesuai tata ruang diakui Kepala Dinas Perkebunan Kalbar Idwar Hanis.

Ia telah mengingatkan bupati/wali kota untuk memberikan izin perkebunan di ruang yang dibolehkan.

"Kalau sudah diingatkan masih ada bias, yang mengingatkan sudah lepas (kewajiban). Tetapi jadi kewajiban yang melaksanakan, risiko di kabupaten masing-masing," kata Idwar Hanis.

Menurut dia, sesuai otonomi daerah, Dinas Perkebunan Provinsi fungsinya memantau pemanfaatan lahan untuk komoditas yang dibutuhkan.

Ia menambahkan, Provinsi Kalbar dalam rencana kerja di sektor perkebunan menargetkan hingga 2025 untuk kelapa sawit luasnya 1,5 juta hektare.

Ia melanjutkan, kalau lebih dari angka tersebut, Pemprov Kalbar dapat mengingatkan pemberi izin. "Dengan pertimbangan teknis, ekonomi makro dan seterusnya," katanya menegaskan.

Namun, lanjut dia, sangat tergantung bupati/wali kota sebagai institusi yang mempunyai otoritas izin. "Provinsi tidak memberi izin," ucap.

Selain sawit, target Pemprov Kalbar untuk komoditas lain sektor perkebunan, misalnya, karet 1,2 juta hektare.

Ia mengakui, untuk komoditas sawit terjadi "loncatan" yang cukup tinggi. Tahun 2008 tercatat sekitar 480 ribu hektare. Di akhir 2009 sudah menjadi 550 ribu hektare.

Ia menyadari, akan ada konsekuensi terhadap pembukaan lahan di lapangan. Dinas Perkebunan Kalbar akan memberi masukan mengenai hal-hal teknis seperti cara membuka lahan yang baik, konservasi serta lingkungan mikro lainnya.

"Sekarang, kalau izin harus disaring dahulu di tingkat provinsi dan harus mendapat rekomendasi provinsi. Sesuai atau tidak dengan rencana tata ruang wilayah," papar Idwar Hanis.

Rekomendasi kesesuaian rencana makro juga harus melampirkan dokumen pendukung, izin lokasi dan analisa mengenai dampak lingkungan. "Kalau tidak ada, tidak bisa melanjutkan ke izin usaha perkebunan," ujarnya.

Sementara mengenai temuan lembaga swadaya masyarakat bahwa banyak perusahaan perkebunan di Kabupaten Ketapang belum mempunyai Amdal, Idwar Hanis mengemukakan, harus melihat dari sudut pandang berbeda.

"Kalau izin diberikan, dan Amdal belum diproses bukan berarti tidak melakukan Amdal karena butuh proses panjang mendapatkannya," kata Idwar Hanis.

Menurut dia, hal itu untuk menghindari supaya tidak berkembang opini bahwa perusahaan beroperasi tanpa Amdal.

Direktur Eksekutif Walhi Kalbar Hendy Chandra mengatakan, alokasi 1,5 juta hektare untuk perkebunan kelapa sawit terlalu dipaksakan.

Ia menegaskan, Walhi mendorong penerapan aturan yang tepat di sektor perkebunan supaya tidak mengganggu dan merusak kawasan hutan yang sudah ada. "Belum lagi benturan dengan kebutuhan areal untuk tanaman pangan," kata Hendy Chandra.

Ketua Asosiasi Agribisnis Perunggasan Kalbar Sudjono Anggie mengatakan, produksi jagung di berbagai sentra produksi mengalami penurunan tajam akibat maraknya perkebunan sawit di provinsi tersebut.

Ia mencontohkan di Kecamatan Sanggau Ledo, Kabupaten Bengkayang, produksi jagung turun sampai 60 persen. Menurut dia, banyak lahan pertanian jagung yang berubah menjadi perkebunan sawit.

Padahal, lanjut dia, sebelumnya jagung lokal Kalbar hanya bisa memenuhi permintaan peternakan ayam sekira 15 persen dari kebutuhan.

Seperti yang dikhawatirkan Claude Thiele, akan terjadi "rebutan" antara bahan pangan untuk kebutuhan manusia dengan energi. Sementara luas lahan tetap, tidak mungkin bertambah.

Mungkin manusia pada akhirnya akan menghadapi pertanyaan, pilih makan atau energi. *antara*

Sumber:
http://www.formatnews.com/?act=view&newsid=45798&cat=88

Mengenaskan, 30 Persen DAS di Kalbar Rusak

Tribunnews.com - Jumat, 16/07/2010/pk/17:56 WIB
Laporan Wartawan Tribun Pontianak, Ponti Ana Banjaria

TRIBUNNEWS.COM, PONTIANAK - Lebih dari 30 persen daerah aliran sungai (DAS) di Kalbar mengalami kerusakan yang parah. Persentase kerusakan 90 persen, dilihat dari kualitas air yang berwarna kuning kehitaman atau berkarat.

Direktur Eksekutif Walhi Kalbar, Hendi Candra, Jumat (16/7/10),menuturkan, DAS di Kalbar rusak parah akibat penambangan dan pembukaan perkebunan sawit. Satu diantara sungai yang menduduki peringkat tertinggi kerusakannya yakni Sungai di Kabupaten Landak.

"Sungai Landak paling kritis, mencakup sungai besar atau DAS utama maupun sungai kecil atau sub DAS. Jangankan untuk konsumsi, untuk transportasi saja sudah susah karena mengalami pendangkalan," paparnya disela dialog "Pentingnya Pengelolaan DAS dalam Penataan Ruang Provinsi Kalimantan Barat" di Hotel Gajah Mada.

Ironisnya, Kalbar memiliki dan dialiri banyak sungai, sehingga terkenal sebagai daerah seribu sungai.

Sumber:
http://www.tribunnews.com/2010/07/16/mengenaskan...30-persen-das-di-kalbar-rusak

Senin, 12 Juli 2010

Walhi Desak Pemerintah Tata Ulang Areal Perkebunan Kelapa Sawit

 Jumat, 19/03/2010/pk/15:48 WIB

PONTIANAK--MI: Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) mendesak pemerintah menata ulang alokasi lahan untuk areal perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Barat (Kalbar).

Mereka menyinyalir sekitar separuh dari lima juta hektare (ha) lahan yang dialokasikan untuk perkebunan sawit itu berada di kawasan hutan.

"Areal perkebunan kelapa sawit banyak yang tumpang tindih dengan kawasan hutan. Termasuk hutan lindung, taman nasional, dan kawasan konservasi lainnya," kata Direktur Daerah Walhi Kalbar Hendy Chandra di Pontianak, Jumat (19/3).

Ia mengungkapkan, sekitar 1,6 juta dari 2,5 juta hektare (ha) izin alokasi perkebunan kelapa sawit yang tumpang tindih itu sudah beroperasi, sehingga diduga melakukan perambahan. Oleh karena itu, Walhi Kalbar mendesak pemerintah menghentikan aktivitas tersebut dan segera melakukan audit lingkungan.

"Dari hasil audit itu akan ketahuan berapa luas kerusakan dan potensi kerugian negara akibat perambahan tersebut, sehingga mereka (perusahaan) bisa dituntut," ungkapnya.

Hendy mengatakan pembukaan dan perluasan perkebunan kelapa sawit menjadi modus baru dalam praktik perambahan hutan di Kalbar. Praktik itu marak setelah aktivitas pembalakan liar (illegal logging) secara konvensional mulai menurun dalam beberapa tahun terakhir.

"Mereka sebenarnya hanya mengincar kayu karena sebagian izin alokasi perkebunan itu dipegang oleh para makelar lahan," ujarnya.

Data Walhi Kalbar pada 2009 menyinyalir terdapat 340 ribu ha kawasan hutan lindung di provinsi itu telah beralih fungsi menjadi lahan perkebunan kelapa sawit. Luas areal tersebut mencapai 15% dari sekitar 2,3 juta ha luas keseluruhan kawasan hutan lindung di Kalbar.

"Alih fungsi lahan itu kemungkinan besar semakin meluas. Sebab, sekitar 70 persen dari sembilan juta hektare luas kawasan hutan di Kalbar saat ini mengalami kerusakan," kata Hendy. (AR/OL-01)

Sumber:
Penulis : Aris Munandar, Media Indonesia.
http://www.mediaindonesia.com/read/2010/03/03/130367/127/101/Walhi-Desak-Pemerintah-Tata-Ulang-Areal-Perkebunan-Kelapa-Sawit

dimuat juga di: http://saveourborneo.org/index.php?option=com_content&task=view&id=421&Itemid=1

Aksi Lindungi Hutan dan Gambut di sekitar TNDS

Pontianak, Indonesia.

Greenpeace, Walhi Kalimantan Barat dan AMAN Kalimantan Barat hari ini melakukan aksi di jantung Kalimantan untuk melindungi hutan dan lahan gambut Indonesia dari kerusakan yang dilakukan oleh Sinar Mas, penjahat hutan Indonesia terbesar. Aksi langsung tanpa kekerasan ini dilakukan di kebun kelapa sawit di sekitar Taman Nasional Danau Sentarum (TNDS).

Sumber teks dan poto:
http://www.greenpeace.org/seasia/id/photosvideos/photos/kalimantan_aksi2009?mode=send

Walhi Tuding Perampasan Tanah Penyebab Kerusakan Lingkungan

Minggu, 06/06/2010/pk/04:39 WIB | Warta Bumi | Masalah Lingkungan | Dibaca 1641 kali

Pontianak (ANTARA News) - Organisasi Wahana Lingkungan Hidup Kalimantan Barat, menuding perampasan tanah oleh pemilik perusahaan perkebunan berskala besar penyebab kerusakan lingkungan hidup di provinsi ini.

Koordinator Lapangan aksi Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Kalbar, Hendrikus Adam saat melakukan aksi dalam rangkaian memperingati Hari Lingkungan Hidup Sedunia, di Pontianak, Sabtu, mengatakan, perluasan perkebunan sawit di Kalbar oleh perusahaan salah satu penyebab kerusakan lingkungan hidup (LH).

Aksi peduli lingkungan hidup dilakukan sekitar puluhan anggota WALHI Kalbar di Tugu Digulis Universitas Tanjungpura, dengan menggelar teatrikal yang menggambarkan dampak perluasan sawit yang mengancam kelestarian lingkungan hidup.

Dalam aksinya WALHI mendesak pemerintah Kalbar dan pemilik perkebunan sawit untuk menghentikan perampasan tanah rakyat, menghentikan perluasan perkebunan sawit dan penebangan hutan secara liar dan menolak kebijakan yang tidak berpihak kepada rakyat dan lingkungan hidup.

Serta meminta pemilik perusahaan perkebunan untuk menghentikan pemaksaan, penekanan, dan adu domba terhadap petani atau masyarakat adat yang berusaha mempertahankan tanah dan kekayaan alamnya, kata Hendrikus.

Hendrikus mengatakan, Indonesia kini berada dalam kondisi darurat ekologis akibat hutan dan lingkungannya diekploitasi tanpa memperhitungkan dampaknya.

Akibat dari ekploitasi yang berlebihan terhadap hutan dan lingkungan telah berdampak buruk pada kondisi ekologis, sehingga kini tiada hari tanpa bencana.

Seiring perkembangan zaman, hutan, tanah, dan air saat ini menjadi sasaran penguasa untuk diekploitasi habis-habisan tanpa memikirkan generasi mendatang.

"Pemerintah saat ini berlomba-lomba mengeluarkan izin untuk perluasan perkebunan sawit dengan alasan meningkatkan kesejahteraan masyarakat," katanya.

Menurut catatan WALHI Kalbar, dalam kurun 13 tahun terakhir telah terjadi 6.632 bencana terkait ekologi.

Sementara menurut data Sawit Watch hingga 2010 telah terjadi 630 konflik terkait perkebunan sawit, sebanyak 200 konflik perkebunan monokultur terjadi di Kalbar.

Provinsi Kalbar menargetkan perkebunan kelapa sawit mencapai luas 1,5 juta hektare. Saat ini areal yang sudah ditanami masih di kisaran 500 ribu hektare.(A057/R010)

Sumber:
http://www.antaranews.com/berita/1275773968/walhi-tuding-perampasan-tanah-penyebab-kerusakan-lingkungan

Kamis, 01 Juli 2010

1,9 Juta Ha Hutan Dikonversi

Walhi: Usulan Itu Lemah
Selasa, 22/06/2010/pk/04:21 WIB

Pontianak, Kompas - Provinsi Kalimantan Barat mengajukan alih fungsi hutan alam menjadi nonhutan seluas 1,968 juta hektar dalam revisi tata ruang wilayah kehutanan. Sebagian besar usulan alih fungsi itu dilakukan dengan alasan untuk keperluan permukiman.

Direktur Perencanaan Kawasan Hutan Direktorat Planologi Kehutanan Kementerian Kehutanan Basoeki Karia Atmadja mengatakan itu di Pontianak, Senin (21/6), seusai menghadiri rapat koordinasi revisi rencana tata ruang wilayah kehutanan di Kantor Gubernur Kalimantan Barat.

”Usulan itu akan ditindaklanjuti dengan kunjungan ke lapangan, untuk melihat langsung kondisi kawasan hutan yang akan dialihfungsikan,” katanya.

Alih fungsi (konversi) hutan menjadi nonhutan tersebut merupakan bagian dari usulan revisi kawasan kehutanan seluas 3,2 juta hektar di Kalbar. Selain usulan alih fungsi dari kawasan hutan menjadi nonhutan, ada pula usulan dari satu jenis hutan ke jenis hutan yang lain.

Kendati mengajukan usul alih fungsi kawasan hutan, Kalbar juga mengajukan usul alih fungsi area penggunaan lain menjadi kawasan hutan. Luas kawasan yang diusulkan menjadi hutan mencapai 238.000 hektar. ”Usulan itu juga akan kami tindak lanjuti dengan melihat langsung ke lapangan,” ujar Basoeki.

Tim terpadu yang, antara lain, terdiri atas pegawai Kementerian Kehutanan, akademisi, dan pegawai di instansi kehutanan provinsi akan memulai pengecekan lapangan di Kalbar pada Selasa ini. Mereka akan mencocokkan usulan dengan kondisi lapangan kawasan kehutanan. Hasil dari lapangan itu akan menjadi bahan untuk rapat pleno semua anggota tim.

Basoeki menambahkan, revisi rencana tata ruang wilayah kehutanan adalah hal biasa. ”Tata ruang dan wilayah pasti memerlukan revisi dan usulan itu akan menjadi dasar untuk melakukan revisi,” katanya.

Hutan lindung

Terkait hal itu, Bupati Kapuas Hulu Tambul Husin mengatakan, sebagian besar wilayahnya merupakan kawasan lindung sehingga pengembangan kawasan amat terbatas. ”Lima puluh enam persen wilayah Kabupaten Kapuas Hulu adalah kawasan lindung sehingga masyarakat kami selama ini seperti rombongan pencuri karena sedikit-sedikit menabrak kawasan lindung itu. Kalau tidak ada revisi, sulit mengembangkan kawasan kami,” ujarnya.

Selain Kalbar, 24 provinsi lain juga mengajukan revisi rencana tata ruang dan wilayah. ”Sebanyak 10 provinsi sudah selesai diproses, sedangkan 15 provinsi masih dalam proses. Dengan demikian, tinggal delapan provinsi yang belum mengajukan usul revisi rencana tata ruang dan wilayah kehutanan,” ujar Basoeki.

Usulan lemah
Kepala Divisi Riset dan Kampanye Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalimantan Hendrikus Adam menyebutkan, tim terpadu harus jeli dalam mengkaji usulan alih fungsi kawasan hutan menjadi nonhutan.

”Pemerintah sedang berkomitmen untuk menjaga hutan dalam rangka mengurangi emisi karbon. Kalau di lain pihak justru ada usulan untuk mengalihfungsikan hutan menjadi nonhutan, tim terpadu harus sangat hati- hati,” kata Adam.

Di Kalimantan Timur, pemerintah provinsi juga mengajukan hal serupa, yakni mengajukan usulan mengonversi hutan seluas 1,3 juta hektar menjadi nonhutan. Namun, Walhi Kaltim menilai, usulan konversi hutan itu sangat lemah. Sebab, kondisi lahan kritis yang saat ini ada di Kaltim mencapai 6 juta hektar, dengan laju kerusakan mencapai 500.000 hektar per tahun.
”Kami menilai, upaya untuk mengonversi hutan secara besar- besaran ini bukti masih besarnya para kepala di daerah berhasrat merusak lingkungan. Lebih memprihatinkan lagi, belum usulan itu disetujui Menteri Kehutanan, sebagian hutan itu sudah dibuka tanpa izin untuk berbagai kegiatan, seperti perkebunan, jalan, dan tambang,” kata Direktur Eksekutif Walhi Kaltim Isal Wardhana. (AHA/FUL)

Sumber:
http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/06/22/0421294/19.juta.ha.hutan.dikonversi

Stop Ekspansi Perkebunan Sawit

Senin, 10/05/2010/pk/13:34:00
Pontianak Post

SINTANG--Perkebunan kelapa sawit kian menjadi komoditas primadona bagi rezim pemerintahan hari ini, yang kemudian diklaim sebagai upaya untuk memberikan kesejahteraan rakyat. Namun disisi lain, ada dampak ekonomi sosial dan budaya dalam struktur masyarakat yang berdiam disekitar perkebunan.“Selain itu, maraknya ekspansi dari kebijakan pembangunan perkebunan tanaman monokultur skala besar memberikan konsekuensi logis terhadap hutan kawasan kelola masyarakat, khususnya di daerah-daerah yang kemudian terkena imbasnya karena turut dibabat,” kata Hendrikus Adam, Divisi Riset dan Kampanye Eksekutif Daerah Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kalbar saat dihubungi koran ini via hand phone selulernya, Minggu (9/5) kemarin.

Adam, begitu dia disapa mengatakan, untuk di Sintang khususnya di Kecamatan Sepauk adalah satu dari banyak tempat yang menjadi wilayah sasaran pengembangan perkebunan sawit di Kalbar. Dari data yang ada hingga akhir 2009, sudah ada 32 perusahaan perkebunan di Kabupaten Sintang dan tujuh diantaranya berada di wilayah Sepauk. Umumnya mata pencaharian utama masyrakat di daerah Sepauk adalah menyadap karet, ada juga yang berladang dan menambang emas. Hadirnya agenda pemerintah melalui pembukaan hutan dan lahan untuk pengembangan perkebunan kelapa sawit, ‘memaksa’ beberapa diantara warga masyarakat untuk turut serta ambil bagian sebagai pekerja.

“Ironisnya, keterlibatan mereka yang turut ambil bagian hanya pada level biasa. Oleh kondisi mereka seakan dipaksa untuk memilih bekerja ditempat tersebut, karena tidaklah mungkin hanya sebatas menjadi penonton, sementara tanah dan hutan milik mereka telah digarap menjadi ladang sawit,” terangnya.Kehadiran perusahaan, menurut Adam, memang mengundang pro kontra di masyarakat. Namun demikian masuknya invetasi pengembangan perkebunan sawit dibeberapa kawasan masyarakat, umumnya tidaklah sungguh-sungguh bedasarkan kemauan dari masyarakat setempat secara menyeluruh. Prinsip FPIC (free, prior, and informed consent) yakni sebuah pendekatan internasional berbasis hak dasar manusia, di mana masyarakat setempat mestinya dapat menerima informasi utuh yang benar tentang produk pembangunan yang akan dikembangkan, dan di mana subjek pembangunan tersebut dapat mengambil keputusan terhadap pelaksanaan suatu pembangunan secara bebas tanpa paksaan tidak diterapkan.

“Penerimaan investasi pembukaan perkebunan skala besar misalnya, masih banyak lebih bersifat formalitas yang hanya melalui aparatur tertentu, ketimbang memperoleh legitimasi riil dari warga,” jelasnya. Menurut Adam, kebanyakan dari bentuk investasi yang ada, lebih banyak karena jasa oknum aparat tertentu di wilayah perkampungan warga. Sebaliknya, warga cenderung minim memperoleh maupun diberi informasi yang utuh mengenai berbagai sisi dari bentuk investasi yang akan dilakukan. “Dari observasi yang kami lakukan terhadap ekspansi perkebunan kelapa sawit pada beberapa wilayah di Sepauk, memang tidak bisa dipungkiri telah memberikan dampak tersendiri sebagai konsekuensi logis bagi kondisi kehidupan masyarakat, khususnya disekitar kawasan pengembangannya,” tukasnya.

Bagi keberadaan hutan sebagai asset kehidupan warga, lanjut dia, dengan hadirnya perusahaan sawit melalui pembabatan kawasan hutan menjadi ancaman tersendiri. “Kondisi sosial, ekonomi dan budaya masyarakat cenderung mendapat dampak negatif, bahkan ada lahan masyarakat yang tidak diserahkan ternyata juga digusur perusahaan,” bebernya.Hadirnya perkebunan sawit di daerah ini, menurut dia, lebih cenderung mengabaikan kesediaan murni dari masyarakat sebagaimana diamanatkan prinsip FPIC, menjadi pemicu ruang konflik di masyarakat. Bahkan memberikan ekses makin menyempitnya ruang kelola masyarakat serta akibat lainnya. “Banyak fenomena sosial, budaya, adat istiadat dan lingkungan sebagai bagian dari tatanan sistem nilai kemasyarakatan yang kian tersingkir, oleh karena upaya atas nama pembangunan melalui eksploitasi sumber daya alam yang kian menjadi di daerah ini,” cetusnya.

Dia berharap pemerintah Sintang yang sebentar lagi akan memperoleh pemimpin baru bisa hentikan perluasan pembukaan perkebunan sawit baru, juga pertambangan skala besar di Sintang serta maksimalkan potensi perkebunan yang telah ada. Kriminalisasi dan ketidakadilan yang dialami masyarakat adat juga harus diselesaikan, dan pemerintah maupun aparat penegak hukum bisa menindak tegas perusahaan yang nakal dan melakukan pelanggaran atas hak masyarakat regulasi yang berlaku. “Masyrakat juga diharapkan agar cermat melakukan penilaian dan pemilihan pemimpin yang memiliki visi serta komitmen, yang sungguh-sungguh berjuang dan berpihak atas hak-hak masyarakat dan upaya penyelamatan maupun perlindungan lingkungan,” pungkasnya. (mus)

Sumber:
http://www.pontianakpost.com/?mib=berita.detail&id=33894

Perkebunan Kelapa Sawit Ancam Danau Sentarum

KILAS DAERAH
Kamis, 01/04/2010/pk/03:40 WIB
Harian Kompas

Ekspansi perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, sudah sampai tahap mengancam kelangsungan Danau Sentarum. Sejumlah kalangan menyerukan perlunya penghentian perluasan perkebunan kelapa sawit.

Berbagai organisasi lingkungan yang tergabung dalam Wahana Lingkungan Hidup Indonrsia Walhi) Kalimantan Barat menyampaikan hal itu saat dengar pendapat dengan Komisi C DPRD Kalbar, Rabu (31/3). Dewan Daerah Walhi Kalimantan Barat, Sutomo, mengatakan, terdapat sembilan perusahaan yang beroperasi di sekitar Danau Sentarum. (aha)

Sumber:
http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/04/01/03403990/kilas.daerah

539 Desa dan Kampung Berada di Hutan

PERMUKIMAN
Rabu, 24/03/2010/pk/04:05 WIB

Pontianak, Kompas - Sebanyak 539 desa dan kampung berada di kawasan hutan lindung dan hutan produksi Kalimantan Barat. Kondisi ini menimbulkan persoalan pengelolaan hutan karena tumpang tindih dengan keberadaan desa dan kampung.

Kepala Bidang Penatagunaan dan Pemanfaatan Hutan Dinas Kehutanan Kalbar Hiarsolih Buchori, Selasa (23/3) di Pontianak, mengatakan, masalah itu kini dikaji tim terpadu beranggotakan 18 orang dari instansi pusat dan provinsi. Sebanyak 103 desa/ kampung saat ini berada di hutan lindung, 204 di hutan produksi terbatas, 200 di hutan produksi, dan 32 di hutan produksi konversi.

Ia mengatakan, hal itu bisa terjadi sebelum dan sesudah kawasan ditetapkan sebagai hutan. Hutan di Kalbar ditetapkan melalui Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) 1982 dan dikuatkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No 259/2000 tentang penunjukan kawasan hutan dan perairan di Kalbar.

Pada perkembangannya, kawasan hutan di Kalbar seluas 9.178.760 hektar, yang setara dengan 62 persen luas wilayah provinsi itu, mendapat tekanan karena kebutuhan wilayah setelah pemekaran. Pada tahun 2000, hanya terdapat sembilan kabupaten dan kota di Kalbar, tetapi tahun ini 14 kota/kabupaten.

Berkurang 50 persen
Hiarsolih menambahkan, pascapemekaran daerah terdapat usulan untuk mengonversi kawasan hutan menjadi nonhutan sekitar 1,6 juta hektar. ”Usulan konversi itu berasal dari bupati/wali kota,” katanya.

Jika usulan itu diterima, luas hutan Kalbar berkurang menjadi 50 persen dari luas provinsi ini.

Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalbar Hendrikus Adam mengatakan, pemerintah harus jeli mengkaji usulan konversi kawasan hutan.
Masih terkait konversi hutan, Direktur Eksekutif Walhi Kalimantan Selatan Hegar Wahyu Hidayat mengatakan, kondisi hutan di daerahnya sudah hampir habis dikapling-kapling untuk kegiatan pertambangan, perkebunan, dan lain-lain. Hal itu bisa terjadi karena jor-jorannya izin pengaplingan hutan dari pemerintah daerah. (aha/wer)

Sumber : http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/03/24/04054568/539.desa.dan.kampung...berada.di.hutan

Catatan: Di berita ini tertulis Hendrikus Adam sebagai Direktur Eksekutif Walhi Kalbar, seharusnya sebagai Kadiv Riset dan Kampanye.