Jika emas ditemukan, nasib pekerja tambang bisa berubah seketika. Setara dengan nyawa yang dipertaruhkan?
Muhlis Suhaeri / Angga Haksoro
31 Mei 2011 - 18:45 WIB
Dini hari, pukul 2 pagi. Ratusan perahu kelotok berjejal melintasi Sungai Enau dan Danau Serantangan di Sagatani. Beberapa perahu saling serempet. Bahkan ada perahu tenggelam karena tabrakan. Tak sampai membuat celaka. Penumpang bisa ditolong.
Ratusan penambang di Sagatani, lari ke Kota Singkawang. Sebagian memilih bertahan di lokasi penambangan. Mereka mendapat informasi dari aparat, siang hari akan ada operasi penertiban penambangan emas tanpa izin di Sagatani.
Mereka tinggal dua malam di rumah kos milik bos penambang di Kota Singkawang. Setelah itu balik lagi ke lokasi penambangan.
Siang hari, aparat keamanan gabungan melakukan razia. Saat aparat datang, penambang sudah kabur ke hutan. Aparat memukul bagian atas mesin dengan martil. Pukulan “pura-pura”. Bukan untuk menghancurkan.
Mesin rusak jika dipukul pada bagian tengah. Mesin tak bakal bisa dipakai lagi. Pukulan pura-pura hanya menghancurkan tutup mesin. Meski begitu, butuh uang Rp 300 ribu untuk mengganti tutup mesin.
Dalam beberapa kasus, operasi hanya menangkap bos tambang di lokasi. Saat bos tambang ditahan, para bos besar akan berkumpul dan menebusnya. Ada kekompakan di antara para bos besar. Berapa pun akan dibayar. Asal bisa bekerja dan beroperasi lagi.
Lingkaran setan dan kongkalikong para bos tambang dengan aparat, merupakan mata rantai yang tak pernah putus.
Humas Polda Kalimantan Barat, AKBP Mukson Munandar membantah jajarannya melindungi aktivitas penambangan liar.
“Pada prinsipnya giat penambangan emas tanpa izin melanggar undang-undang. Sudah sering jajaran Polda Kalbar melakukan penertiban. Kalau ada oknum anggota Polri yang terlibat tolong diinfokan. Kalau terbukti akan ditindak sesuai hukum,” ujar AKBP Mukson.
Parapenambang di Sagatani dan daerah lainnya, juga rentan diserang malaria. Hutan di sekitar lokasi, menjadi tempat ideal berkembangnya jentik nyamuk.
Selain diburu aparat dan penyakit, masalah lainnya adalah kehidupan malam para penambang. Di setiap lokasi penambangan, selalu ada kantin yang menyediakan berbagai makanan dan minuman. Ada bir, minuman keras tradisional, dan arak.
Di Sagatani, setiap kantin ada empat hingga lima perempuan. Mereka melayani dan berbaur dengan pengunjung. Untuk menyemarakkan suasana, tersedia televisi, tape recorder dan speaker besar. Alunan house music menemani pengunjung hingga larut malam.
Listrik menggunakan mesin diesel.
Tidak ada standar harga. Banderol minuman dan makanan bisa beda antara masing-masing bos. Tergantung siapa Anda. Bila Anda seorang bos tambang, secangkir kopi dan sekaleng bir, bisa seharga Rp 100 ribu. Padahal bila yang beli para penambang, paling harganya cuma Rp 30 ribu.
Kantin satu-satunya tempat hiburan bagi para penambang emas. Selain HP yang berisi gambar dan film porno. Ada kebanggaan saat para penambang mendapatkan gambar atau film porno bagus. Mereka saling berbagi dan memperlihatkan koleksi masing-masing.
Bila penambang pulang kampung, biasanya mampir dulu di Singkawang mencari hiburan. Kombinasi tempat karaoke, minuman keras, dan pekerja seks komersial, membuat mereka betah tinggal dua hingga tiga malam di Singkawang.
Adi Sulistyono punya pengalaman tersendiri selama kerja di tambang. Saat kerja di Indotani, Ketapang, dia bergelimang uang. Lokasi penambangan berupa hamparan pasir. Pondoknya diapit kantin. Pokoknya tak bisa tidur awal. Musik berdentum 24 jam. Non stop. Di Sagatani, musik hanya terdengar malam hari.
“Kita betah kerja di sana karena senang,” kata Adi. “Kalau tak senang, tak akan betah.”
Adi berfoya-foya saat dapat uang. Dia punya masalah pribadi. Adi frustasi setelah ayahnya meninggal dan ibunya kawin lagi. “Jadi aku hidup terserah sendiri,” katanya.
Di lokasi pertambangan di Ketapang ada 78 kantin. Setiap kantin dijaga lima hingga enam perempuan pelayan. Rata-rata berumur 17 sampai 18 tahun. Ada yang masih SMP.
Parapelayan kantin dapat uang dari selisih harga menjual minuman. Misalnya, bir dari pemilik kantin dihargai Rp 10 ribu, oleh pelayan dijual ke tamu seharga Rp 15 ribu. Ada selisih Rp 5 ribu.
Namun, dia harus menemani tamu agar minum terus. Semakin banyak minuman dijual, semakin banyak uang didapat. Adi pernah menghabiskan dua krat bir. Satu krat berisi 12 botol.
“Bila minum habis Rp 500 ribu, sudah ada cewek menunggu,” kata Adi.
Adaruang lesehan dengan dinding kayu berukuran empat kali enam meter. Ruangan itu digunakan untuk bercinta. Tak takut penyakit? “Kan pakai pengaman, Bang,” kata Adi sembari tersenyum. Ada kondom tersedia.
Adi mengatakan, tak semua teman seperti itu. Kalau pekerja tambang sudah punya dua atau tiga anak, biasanya tak bandel. Ada kebutuhan yang harus ditanggung.
Setelah kerja tujuh tahun, Adi pulang ke rumah tak bawa apa pun. Dia pulang hanya membawa bungkusan tas berisi baju dan celana!
Danau Serantangan dan Ancaman Merkuri
“Kita berharap dari pemerintah, membuat aturan bagi pertambangan rakyat,” kata Iwan Suaidi.
Iwan salah satu bos penambang di Sagatani. Menurut dia, pemerintah kurang membuka pekerjaan. Sehingga warga bekerja menjadi penambang emas. Selain itu, pemerintah tak pernah memberikan sosialisasi dampak tambang yang merusak lingkungan.
Iwan berharap, Pemerintah Kota Singkawang membangun sistem tambang rakyat. Hal itu memberikan pemasukan bagi daerah. Yang penting harus ada koordinator. Setiap bulan ditentukan berapa iuran atau pajak yang dikenakan terhadap pengusaha tambang. Sehingga para penambang bisa kerja tenang dan tidak diganggu.
“Kalau pun lokasi itu ditutup, saya akan cari lokasi lain,” kata Iwan.
Menanggapi pernyataan para penambang emas, Dwi Saputra, Kepala Dinas Bina Marga, Sumber Daya Air, dan Energi Sumber Daya Mineral Kota Singkawang mengatakan, pemerintah tidak mengeluarkan izin pertambangan kecuali untuk tambang galian C: pasir, batu, dan lainnya.
Emas termasuk klasifikasi bahan tambang galian A. Ada keputusan menteri mengenai Izin Usaha Pertambangan (IUB). Menteri yang mengeluarkan peraturan dan izin tambang galian A. Mendapat izin galian A tidak mudah. Banyak syarat harus terpenuhi. Misalnya bekas areal tambang harus direklamasi ulang. Kalau Wilayah Penambangan Rakyat (WRP), yang mengeluarkan izin kepala daerah. Luasnya maksimal 25 hektare.
Ada beberapa perusahaan mengajukan izin, tapi tidak diberikan. Alasannya, berdasarkan tata ruang, Singkawang tidak mengakomodir tambang. Wilayah Singkawang sempit. Hanya 50,4 kilometer persegi. Perusahaan tambang butuh lahan ribuan hektare. Selain itu kegiatan tambang juga merusak lingkungan.
Menurut Dwi Saputra, berdasarkan aturan tata ruang Pemkot Singkawang, para penambang emas di Sagatani menyandang status penambang liar. “Sampai kapan pun mereka akan disebut illegal mining,” kata Saputra.
Dari sisi kelestarian lingkungan, apa yang dilakukan para penambang emas di Sagatani, berbahaya bagi lingkungan. Apalagi, lokasi tambang dekat Danau Serantangan.
Danau Serantangan merupakan tiga danau yang akhirnya menyatu karena proses alam. Luas danau sekitar 185 hektare. Masyarakat menyebutnya Danau Kaca Mata, karena bentuk danau seperti kaca mata. Danau Serantangan sumber air baku, sumber perikanan, dan pariwisata.
Di samping Danau Serantangan ada Sungai Enau yang menjadi pusat kegiatan penambangan emas. Pernah ada normalisasi Sungai Enau dan pembuatan tanggul. Normalisasi bertujuan memperlancar aliran air dari hulu sungai. Pembuatan tanggul untuk menahan banjir dan masuknya air dari Sungai Enau ke Danau Serantangan. Dana pembangunan dari Pemerintah Provinsi Kalbar.
Karena keterbatasan dana, antara tahun 2000-2009 tidak pernah ada normalisasi dan rehabilitasi Sungai Enau. Bahkan tanggul penahan banjir bocor di tiga titik. Dua titik karena faktor alam. Tanggul berada di tikungan sungai. Sedimentasi membuat tanggul semakin rendah dan ada kebocoran. Kebocoran lainnya karena sungai digunakan sebagai jalur transportasi penambang emas.
Parapenambang sering dirazia. Dalam setiap operasi selalu dapat barang bukti. Tapi orangnya tak ada. “Berarti razianya bocor. Barang bukti dibakar. Mereka selalu kembali,” kata Saputra.
Menurut Saputra, yang paling penting Pemkot Singkawang mengamankan Danau Serantangan agar tidak tercemar. Caranya dengan penyuluhan. Melibatkan semua elemen. Seperti polisi, tentara, Satpol PP, pejabat kecamatan, kelurahan, dan lainnya.
Profesi dasar para penambang adalah pekerja perkebunan dan pertanian. Tapi karena hasil emas lebih besar, mereka meninggalkan kebun dan lahan pertanian. Padahal, menambang hanya pekerjaan sesaat yang efek buruknya akan dirasakan sampai ke anak cucu.
“Mereka ambil enaknya saja. Tidak sadar, efek yang ditimbulkan dari illegal mining,” kata Saputra.
Mengubah prilaku tak semudah membalikkan telapak tangan. Menurut Saputra, penambangan emas tanpa izin dapat ditutup jika pemodal diberantas. “Pada prinsipnya, kita bahu membahu. Jangan sampai penambangan emas tanpa izin berkembang terus,” kata Saputra.
Banyak lokasi bekas penambangan emas di Singkawang yang ditinggalkan penambang, kondisinya memprihatinkan. Banyak kubangan dan tanah lapang berupa pasir. Tak ada tanaman sanggup tumbuh.
Hendrikus Adam, Kepala Divisi Kampanye Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kalimantan Barat mengatakan, di Sagatani dan sekitarnya, Danau Serantangan mestinya dapat menjadi objek wisata. Dengan adanya penambangan emas, kondisi Danau Serantangan kini terancam. Juga lingkungan dan kehidupan warganya.
Sekitar tahun 2008, Adam melihat tiang dan gardu listrik berdiri megah di Sagatani. Namun listrik hingga kini belum menerangi pemukiman warga.
”Kondisi itu begitu miris,” kata Adam.
Berdasarkan data penelitian terakhir di kantor Badan Lingkungan Hidup Kota Singkawang pada 2009, kondisi air di Danau Serantangan mengandung air raksa (merkuri) sekitar 0,020 Ppb. Untuk kadar baku air minum, maksimalnya 1 Ppb. Tapi untuk membuktikan apakah masyarakat sudah terpapar merkuri, harus dilakukan analisa di lapangan.
Kandungan merkuri harus dibuktikan secara ilmiah, tidak hanya dari air. Tapi juga biota dan masyarakat yang berada di sekitar Danau Serantangan. “Sejauh ini belum ada penelitian ke sana,” kata seorang staf BLH Kota Singkawang.
Tasman, Ketua Komisi C DPRD Kota Singkawang mengatakan, jika penambangan dihentikan harus ada solusinya. “Jangan selesaikan satu masalah, tapi timbulkan masalah baru,” kata Tasman. Komisi C DPRD Kota Singkawang mengurusi bidang pembangunan.
Menghentikan penambangan akan menyebabkan ribuan orang menganggur. Tapi kalau dibiarkan, lingkungan akan hancur. “Kita harus menangani secara bijak. Tapi jangan korbankan ekositem,” kata Tasman.
Belum adanya prosedur dan mekanisme penambangan emas membuat berbagai institusi atau pribadi mendapatkan keuntungan dari kegiatan ini. Aparat memanfaatkan hal itu untuk mencari uang. “Dana itu larinya ke mana? Tidak jelas,” ujar Tasman. (*)
Foto: VHRmedia/Muhlis Suhaeri
Sumber: http://www.vhrmedia.com/2010/detail.php?.e=2811
Jumat, 03 Juni 2011
Rabu, 01 Juni 2011
Bumi Khatulistiwa Nangis Sambut SBY
Citizen Reporter
SBY Kunjungi Pontianak
Senin, 30 Mei 2011 20:45 WIB
Oleh : Hendrikus Adam
Walhi Kalimantan Barat
Kehadiran Presiden SBY bersama rombongan Senin 30 Mei 2011 disambut meriah oleh pemerintah daerah.
Hal ini ditandai dengan begitu maraknya pemasangan sejumlah material berupa baliho, spanduk dan sejenisnya berisi ucapan selamat datang diberbagai penjuru khususnya di sepanjang jalan Ahmad Yani.
Hal lain yang menandai fenomena ini adalah ketatnya penjagaan yang dilakukan oleh aparat bersenjata lengkap di setiap sudut kota sekitar pelaksanaan kegiatan.
Fenomena yang “mencolok” ini seringkali disuguhkan oleh setiap pemerintah di daerah manakala ada kunjungan pejabat negara.
Harus diakui seringkali penyambutan yang dilakukan terkadang “berlebihan” dan terkesan “dipaksakan”, padahal untuk efisiensi tidak selalu harus demikian.
Apa hubungannya kedatangan Presiden beserta Rombongan dan para Gubernur se-Indonesia di Pontianak? Apakah hanya sekedar menghadiri Hari Puncak Gotong Rotong Masyarakat dan Hari Gerak PKK semata, sebagaimana yang diberitakan?
Tanpa bermaksud mempersalahkan ritual penyambutan Presiden, tentunya menjadi harapan masyarakat banyak bahwa kehadiran SBY beserta rombongan tidak hanya sekedar menghadiri dua kegiatan di atas.
Masih begitu banyak persoalan masyarakat Kalimantan Barat yang perlu mendapat sentuhan dari pemerintah pusat.
Salah satu dari persoalan tersebut adalah besarnya potensi konflik sosial terkait pengelolaan sumber daya alam (SDA) yang kemudian berimbas pada perampasan hak warga atas ruang kelolanya dan degradasi lingkungan.
Dengan demikian, hal ini butuh kepastian dan sikap jelas perlindungan pemerintah kepada hak-hak warganya atas kondisi lingkungan yang baik dan sehat sebagai bagian dari HAM.
Perampasan ruang kelola masyarakat melalui kebijakan perkebunan sawit skala besar yang saat ini menjadi kebijakan primadona pemerintah telah melahirkan sejumlah konsekuensi logis berupa terabaikannya hak-hak masyarakat untuk dapat melakukan akses maupun kontrol terhadap SDA secara maksimal.
Dalam banyak kasus di Kalimantan Barat, selain fenomena degradasi kondisi lingkungan, konflik sosial yang berujung pada kriminalisasi masyarakat seringkali terjadi.
Fenomena ini merubakan bagian dari catatan penting dari persoalan yang hadir dalam masyarakat yang kemudian berimbas pada berbagai aspek kehidupan masyarakat.
Fenomena banjir, hilangnya sumber air bersih, perambahan ruang kelola dan pertanian warga, perampasan tanah warga, penghilangan fungsi hutan melalui kebijakan pembukaan hutan skala besar, konflik dan kriminalisasi warga, adalah sejumlah persoalan yang mengemuka dan terus berlangsung saat ini di Kalimantan Barat seiring dengan kebijakan pemerintah yang cenderung tunduk pada pemodal.
Atas nama kepentingan rakyat, hak warga atas tanah maupun ruang kelolanya pun dikorbankan.
Singkat kata, pemerintah selama ini cenderung memaksakan kehendak atas ruang investasi perkebunan skala besar yang diberikan kepada pemodal tanpa memeprhatikan aspek sosial dan lingkungan berkelanjutan secara serius.
Kebijakan pembukaan perkebunan skala besar (Sawit) di Kalimantan Barat hingga saat ini miasalnya, melalui izin yang dikeluarkan telah mencapai hampir empat juta hektar. Melebihi quota yang dialokasikan (1,5 juta Ha).
Fenomena inkonsistensi luasan peruntukan di sektor perkebunan sawit ini juga tidak terlepas dari bergulirnya otonomi daerah selama ini yang memberikan kewenangan lebih kepada pemerintah di daerah untuk memberikan legalitas.
Apalagi bila tidak disertai kontrol serius pihak legislative didaerah dan perwakilan pemerintah pusat di Kalimantan Barat.
Disamping memunculkan potensi persoalan tumpang tindih perizinan, juga membuka kran potensi korupsi dalam sektor pengelolaan SDA oleh pemerintah.
Besarnya potensi konflik SDA dan penyalaghunaan kewenangan yang dapat berujung pada korupsi di sektor pengelolaan SDA tersebut, maka peran Negara melalui pemerintah pusat menjadi harapan.
Disamping persoalan pengelolaan SDA di sektor pengembangan perkebunan sawit skala besar, upaya untuk mendongkrak sumber energi dari nuklir melalui rencana kebijakan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) saat ini juga sedang giat-giatnya di promosikan oleh Pemerintah Indonesia.
Atas rencana ini para promotor PLTN telah menetapkan sejumlah tempat untuk dikembangkan sebagai tapak PLTN di Indonesia.
Semenanjung Muria, selanjutnya Bangka Belitung menjadi target utama selama ini untuk dijadikan lokasi pembangunan PLTN di Indonesia sekalipun masih belum bisa di realisasikan karena sikap keras warga yang menolak dan bahkan hingga memfatwa haram rencana PLTN.
Penolakan yang keras dari berbagai elemen masyarakat dengan basis argumentasi yang kuat ini menjadi pertimbangan bagi pemerintah Indonesia, sehingga dengan demikian berbagai tempat lainnya sangat mungkin dijadikan lokasi target pembangunan PLTN berikutnya.
Provinsi Kalimantan Barat khususnya dan pulau Kalimantan umumnya, adalah bagian dari wilayah target pengembangan energi berbahaya tersebut (PLTN).
Alas pikir pengembangan PLTN tersebut karena diindikasikan sebagai kawasan yang aman dari potensi bencana alam dan memiliki bahan mentah (Uranium).
Sejauh ini pemerintah daerah Kalimantan Barat membuka diri dengan wacana pengembangan PLTN, namun disayangkan sikap ”wellcome” pemerintah daerah selama ini hanya sepihak.
Terlebih sejauh ini juga, belum ada penjelasan resmi pemerintah daerah Kalbar berkenaan dengan wacana pembangunan PLTN di daerah ini. Padahal sikap transparan sebagai wujud dari tata pemerintahan yang baik mestinya menjadi semangat bagi pemerintah daerah dalam menggalakkan kebijakan pembangunan bila memang sungguh diarahkan untuk kepentingan publik.
Sikap ”tertutup” ini harusnya tidak perlu terjadi bila pemerintah memiliki niat baik untuk memberikan yang terbaik bagi warganya.
Bagaimanapun kebijakan pengembangan PLTN di Indonesia umumnya dan di Kalimantan Barat khususnya bukan sebuah prioritas, bukan pilihan bijak. Bukan juga sebuah jawaban atas fenomena krisis energi (listrik) yang seringkali dijadikan sebagai alasan klasik.
Karena pada kenyataannya, maish terlalu banyak potensi energi terbarukan lainnya (panas bumi, air, angin, surya) yang sangat mungkin dikembangkan namun belum ada upaya maksimal yang serius dilakukan.
Berkaca dari berbagai bencana nuklir (PLTN) diberbagai belahan dunia yang mampu memberikan dampak negatif yang luar biasa terhadap kehidupan, maka menjadi penting dan mendesak bagi pemerintah untuk melakukan evaluasi dan memikirkan langkah bijak yang tidak memiliki resiko besar.
Tidak ada jaminan bahwa pengembangan PLTN akan berjalan mulus dan bebas dari bencana, sekalipun berada di daerah yang diidentifikasi sebagai kawasan yang aman dari bencana alam.
Kecelakaan fatal karena berbagai faktor (lalai, kecelakaan, kesengajaan) sangat mungkin terjadi, sehingga pilihan pengembangan PLTN merupakan bagian dari kebijakan yang terlalu di paksakan dan beresiko besar.
Berkaca dari uraian diatas, maka hadirnya kepala negara beserta rombongan di Pontianak tidak akan memberi manfaat besar bila hanya sekedar menghadiri kedua acara seremonial tersebut diatas semata.
Kehadiran Presiden SBY bersama rombongan diharapkan dapat mengakomodir berbagai persoalan yang dihadapi warga Kalimantan Barat. Kebijakan pengembangan perkebunan kelapa sawit skala besar di dan rencana pembangunan PLTN disamping berbagai persoalan sosial lain, kiranya penting mendapat perhatian serius pemerintah.
Kebijakan pembukaan perkebunan sawit skala besar terlalu banyak memberikan dampak destruktif bagi warga Kalimantan Barat khususnya karena dengan sendirinya menghilangkan hak kelola dan menjadikan warga bukan sebagai tuan, melainkan buruh.
Disamping itu dengan demikian akses warga untuk menghasilkan sumber pangan juga akhirnya terbatas, karena sebagian besar ruang kelola diserahkan secara sepihak kepada pemodal melalui kepala daerah.
Persoalan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) juga menjadi fenomena yang tidak terpisahkan dari kebijakan yang cenderung eksploitatif dan ”tunduk” pada pemodal ini.
Demikian juga halnya rencana kebijakan pembangunan PLTN oleh pemerintah yang terlalu berbahaya bagi keselamatan hidup dan kehidupan. Bencana Chernobyl tahun 1986 di Ukraina dan bencana meledaknya PLTN Fukushima Daichii di Jepang
Tahun 2011 hendaknya dapat menjadi catatan penting pemerintah atas rencana pembangunan PLTN. Terlebih untuk saat ini pemeirntah Jepang dan sejumlah negara maju telah memikirkan untuk menghentikan pengembangan PLTN di negara mereka.
Sementara pemerintah Indonesia yang masih memiliki banyak keterbatasan terkesan ’ngotot’ dan memaksakan diri uttuk terus maju dengan rencana pengembangan PLTN.
Dengan demikian, hadirnya Presiden SBY bersama rombongan bagi warga Kalbar tentunya diharapkan dapat menjadi angin sejuk terutama bagaimana kemudian dapat memberikan perhatian serius atas berbagai persoalan sosial dan persoalan lingkungan.
Presiden SBY beserta rombongan diharapkan dapat melakukan intervensi terhadap kebijakan pengembangan perkebunan sawit skala besar dan rencana pembangunan PLTN di Indonesia.
Kepala negara beserta segenap lini pemeritahan hingga ke daerah diharapkan tidak gampang tunduk pada pemodal.
Hentikan berbagai potensi konflik SDA di Kalimantan Barat dengan melakukan evaluasi serius atas kebijakan perkebunan sawit dan hentikan kebijakan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN).
Editor : Marlen Sitinjak
Sumber : Tribun Pontianak
http://pontianak.tribunnews.com/2011/05/30/alam-khatulistiwa-nangis-sambut-sby
SBY Kunjungi Pontianak
Senin, 30 Mei 2011 20:45 WIB
Oleh : Hendrikus Adam
Walhi Kalimantan Barat
Kehadiran Presiden SBY bersama rombongan Senin 30 Mei 2011 disambut meriah oleh pemerintah daerah.
Hal ini ditandai dengan begitu maraknya pemasangan sejumlah material berupa baliho, spanduk dan sejenisnya berisi ucapan selamat datang diberbagai penjuru khususnya di sepanjang jalan Ahmad Yani.
Hal lain yang menandai fenomena ini adalah ketatnya penjagaan yang dilakukan oleh aparat bersenjata lengkap di setiap sudut kota sekitar pelaksanaan kegiatan.
Fenomena yang “mencolok” ini seringkali disuguhkan oleh setiap pemerintah di daerah manakala ada kunjungan pejabat negara.
Harus diakui seringkali penyambutan yang dilakukan terkadang “berlebihan” dan terkesan “dipaksakan”, padahal untuk efisiensi tidak selalu harus demikian.
Apa hubungannya kedatangan Presiden beserta Rombongan dan para Gubernur se-Indonesia di Pontianak? Apakah hanya sekedar menghadiri Hari Puncak Gotong Rotong Masyarakat dan Hari Gerak PKK semata, sebagaimana yang diberitakan?
Tanpa bermaksud mempersalahkan ritual penyambutan Presiden, tentunya menjadi harapan masyarakat banyak bahwa kehadiran SBY beserta rombongan tidak hanya sekedar menghadiri dua kegiatan di atas.
Masih begitu banyak persoalan masyarakat Kalimantan Barat yang perlu mendapat sentuhan dari pemerintah pusat.
Salah satu dari persoalan tersebut adalah besarnya potensi konflik sosial terkait pengelolaan sumber daya alam (SDA) yang kemudian berimbas pada perampasan hak warga atas ruang kelolanya dan degradasi lingkungan.
Dengan demikian, hal ini butuh kepastian dan sikap jelas perlindungan pemerintah kepada hak-hak warganya atas kondisi lingkungan yang baik dan sehat sebagai bagian dari HAM.
Perampasan ruang kelola masyarakat melalui kebijakan perkebunan sawit skala besar yang saat ini menjadi kebijakan primadona pemerintah telah melahirkan sejumlah konsekuensi logis berupa terabaikannya hak-hak masyarakat untuk dapat melakukan akses maupun kontrol terhadap SDA secara maksimal.
Dalam banyak kasus di Kalimantan Barat, selain fenomena degradasi kondisi lingkungan, konflik sosial yang berujung pada kriminalisasi masyarakat seringkali terjadi.
Fenomena ini merubakan bagian dari catatan penting dari persoalan yang hadir dalam masyarakat yang kemudian berimbas pada berbagai aspek kehidupan masyarakat.
Fenomena banjir, hilangnya sumber air bersih, perambahan ruang kelola dan pertanian warga, perampasan tanah warga, penghilangan fungsi hutan melalui kebijakan pembukaan hutan skala besar, konflik dan kriminalisasi warga, adalah sejumlah persoalan yang mengemuka dan terus berlangsung saat ini di Kalimantan Barat seiring dengan kebijakan pemerintah yang cenderung tunduk pada pemodal.
Atas nama kepentingan rakyat, hak warga atas tanah maupun ruang kelolanya pun dikorbankan.
Singkat kata, pemerintah selama ini cenderung memaksakan kehendak atas ruang investasi perkebunan skala besar yang diberikan kepada pemodal tanpa memeprhatikan aspek sosial dan lingkungan berkelanjutan secara serius.
Kebijakan pembukaan perkebunan skala besar (Sawit) di Kalimantan Barat hingga saat ini miasalnya, melalui izin yang dikeluarkan telah mencapai hampir empat juta hektar. Melebihi quota yang dialokasikan (1,5 juta Ha).
Fenomena inkonsistensi luasan peruntukan di sektor perkebunan sawit ini juga tidak terlepas dari bergulirnya otonomi daerah selama ini yang memberikan kewenangan lebih kepada pemerintah di daerah untuk memberikan legalitas.
Apalagi bila tidak disertai kontrol serius pihak legislative didaerah dan perwakilan pemerintah pusat di Kalimantan Barat.
Disamping memunculkan potensi persoalan tumpang tindih perizinan, juga membuka kran potensi korupsi dalam sektor pengelolaan SDA oleh pemerintah.
Besarnya potensi konflik SDA dan penyalaghunaan kewenangan yang dapat berujung pada korupsi di sektor pengelolaan SDA tersebut, maka peran Negara melalui pemerintah pusat menjadi harapan.
Disamping persoalan pengelolaan SDA di sektor pengembangan perkebunan sawit skala besar, upaya untuk mendongkrak sumber energi dari nuklir melalui rencana kebijakan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) saat ini juga sedang giat-giatnya di promosikan oleh Pemerintah Indonesia.
Atas rencana ini para promotor PLTN telah menetapkan sejumlah tempat untuk dikembangkan sebagai tapak PLTN di Indonesia.
Semenanjung Muria, selanjutnya Bangka Belitung menjadi target utama selama ini untuk dijadikan lokasi pembangunan PLTN di Indonesia sekalipun masih belum bisa di realisasikan karena sikap keras warga yang menolak dan bahkan hingga memfatwa haram rencana PLTN.
Penolakan yang keras dari berbagai elemen masyarakat dengan basis argumentasi yang kuat ini menjadi pertimbangan bagi pemerintah Indonesia, sehingga dengan demikian berbagai tempat lainnya sangat mungkin dijadikan lokasi target pembangunan PLTN berikutnya.
Provinsi Kalimantan Barat khususnya dan pulau Kalimantan umumnya, adalah bagian dari wilayah target pengembangan energi berbahaya tersebut (PLTN).
Alas pikir pengembangan PLTN tersebut karena diindikasikan sebagai kawasan yang aman dari potensi bencana alam dan memiliki bahan mentah (Uranium).
Sejauh ini pemerintah daerah Kalimantan Barat membuka diri dengan wacana pengembangan PLTN, namun disayangkan sikap ”wellcome” pemerintah daerah selama ini hanya sepihak.
Terlebih sejauh ini juga, belum ada penjelasan resmi pemerintah daerah Kalbar berkenaan dengan wacana pembangunan PLTN di daerah ini. Padahal sikap transparan sebagai wujud dari tata pemerintahan yang baik mestinya menjadi semangat bagi pemerintah daerah dalam menggalakkan kebijakan pembangunan bila memang sungguh diarahkan untuk kepentingan publik.
Sikap ”tertutup” ini harusnya tidak perlu terjadi bila pemerintah memiliki niat baik untuk memberikan yang terbaik bagi warganya.
Bagaimanapun kebijakan pengembangan PLTN di Indonesia umumnya dan di Kalimantan Barat khususnya bukan sebuah prioritas, bukan pilihan bijak. Bukan juga sebuah jawaban atas fenomena krisis energi (listrik) yang seringkali dijadikan sebagai alasan klasik.
Karena pada kenyataannya, maish terlalu banyak potensi energi terbarukan lainnya (panas bumi, air, angin, surya) yang sangat mungkin dikembangkan namun belum ada upaya maksimal yang serius dilakukan.
Berkaca dari berbagai bencana nuklir (PLTN) diberbagai belahan dunia yang mampu memberikan dampak negatif yang luar biasa terhadap kehidupan, maka menjadi penting dan mendesak bagi pemerintah untuk melakukan evaluasi dan memikirkan langkah bijak yang tidak memiliki resiko besar.
Tidak ada jaminan bahwa pengembangan PLTN akan berjalan mulus dan bebas dari bencana, sekalipun berada di daerah yang diidentifikasi sebagai kawasan yang aman dari bencana alam.
Kecelakaan fatal karena berbagai faktor (lalai, kecelakaan, kesengajaan) sangat mungkin terjadi, sehingga pilihan pengembangan PLTN merupakan bagian dari kebijakan yang terlalu di paksakan dan beresiko besar.
Berkaca dari uraian diatas, maka hadirnya kepala negara beserta rombongan di Pontianak tidak akan memberi manfaat besar bila hanya sekedar menghadiri kedua acara seremonial tersebut diatas semata.
Kehadiran Presiden SBY bersama rombongan diharapkan dapat mengakomodir berbagai persoalan yang dihadapi warga Kalimantan Barat. Kebijakan pengembangan perkebunan kelapa sawit skala besar di dan rencana pembangunan PLTN disamping berbagai persoalan sosial lain, kiranya penting mendapat perhatian serius pemerintah.
Kebijakan pembukaan perkebunan sawit skala besar terlalu banyak memberikan dampak destruktif bagi warga Kalimantan Barat khususnya karena dengan sendirinya menghilangkan hak kelola dan menjadikan warga bukan sebagai tuan, melainkan buruh.
Disamping itu dengan demikian akses warga untuk menghasilkan sumber pangan juga akhirnya terbatas, karena sebagian besar ruang kelola diserahkan secara sepihak kepada pemodal melalui kepala daerah.
Persoalan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) juga menjadi fenomena yang tidak terpisahkan dari kebijakan yang cenderung eksploitatif dan ”tunduk” pada pemodal ini.
Demikian juga halnya rencana kebijakan pembangunan PLTN oleh pemerintah yang terlalu berbahaya bagi keselamatan hidup dan kehidupan. Bencana Chernobyl tahun 1986 di Ukraina dan bencana meledaknya PLTN Fukushima Daichii di Jepang
Tahun 2011 hendaknya dapat menjadi catatan penting pemerintah atas rencana pembangunan PLTN. Terlebih untuk saat ini pemeirntah Jepang dan sejumlah negara maju telah memikirkan untuk menghentikan pengembangan PLTN di negara mereka.
Sementara pemerintah Indonesia yang masih memiliki banyak keterbatasan terkesan ’ngotot’ dan memaksakan diri uttuk terus maju dengan rencana pengembangan PLTN.
Dengan demikian, hadirnya Presiden SBY bersama rombongan bagi warga Kalbar tentunya diharapkan dapat menjadi angin sejuk terutama bagaimana kemudian dapat memberikan perhatian serius atas berbagai persoalan sosial dan persoalan lingkungan.
Presiden SBY beserta rombongan diharapkan dapat melakukan intervensi terhadap kebijakan pengembangan perkebunan sawit skala besar dan rencana pembangunan PLTN di Indonesia.
Kepala negara beserta segenap lini pemeritahan hingga ke daerah diharapkan tidak gampang tunduk pada pemodal.
Hentikan berbagai potensi konflik SDA di Kalimantan Barat dengan melakukan evaluasi serius atas kebijakan perkebunan sawit dan hentikan kebijakan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN).
Editor : Marlen Sitinjak
Sumber : Tribun Pontianak
http://pontianak.tribunnews.com/2011/05/30/alam-khatulistiwa-nangis-sambut-sby
Selasa, 31 Mei 2011
Kuasa Juragan Tambang
Tambang Emas Singkawang (3)
Migrasi kuli penambang emas sangat dinamis. Bos tambang menentukan dimana mata pipa dipancang.
Muhlis Suhaeri / Angga Haksoro
27 Mei 2011 - 15:11 WIB
Surga tambang emas. Tak terjamah.
Hampir tak ada wilayah di Kalimantan Barat yang bebas dari penambangan emas. Mulai ujung perbatasan bagian barat hingga timur. Termasuk wilayah-wilayah pedalaman. Puluhan sungai besar jadi pusat aktivitas penambangan emas tanpa izin. Migrasi para penambang emas sangat dinamis.
Penambang emas di Sagatani, Singkawang, 80 persen dari Sintang. Mereka datang secara rombongan. “Biasanya dicari yang mau kerja dan tahan lama. Kerja ini berat. Jangan sampai 2-3 hari minta pulang,” kata Anton. Pekerja yang dicari biasanya yang lincah dan rajin.
Anton bos pekerja tambang emas di Sagatani. Lelaki 30 tahun ini punya dua set mesin dan sepuluh anak buah.
Cara mencari penambang, melalui koordinator atau kepala rombongan. Penambang yang sudah pernah kerja disuruh pulang, untuk mencari pekerja baru. Mereka sendiri yang tahu, dan bisa cocok dengan siapa. Kepala rombongan biasanya mencari pekerja.
“Kalau pekerja tidak bagus, kita tinggal menegur kepala rombongan,” ujar Anton.
Kepala rombongan tak harus memiliki pengalaman kerja lama. Meski baru bekerja, kalau sudah lihai dan mampu memimpin pekerja di lapangan, bisa jadi kepala rombongan.
Ketika cari pekerja, bos biasanya menangggung biaya transportasi calon pekerja. Berapa pun biayanya akan ditanggung. Termasuk uang pinjaman Rp 1 juta sampai Rp 2 juta untuk anak dan istri calon pekerja.
Biaya transportasi Rp 500 ribu. Ongkos Singkawang-Sintang sekitar Rp 150 ribu. Dari Sintang ke kampung masing-masing, kadang membutuhkan waktu satu hingga dua hari.
Kerjanya dengan sistem kontrak. Kalau bisa bertahan kerja lebih dari satu bulan, ongkos pulang kampung ditanggung bos. Bila tak sampai sebulan, pekerja tanggung sendiri ongkosnya.
Cara pengupahan buruh dompeng dilakukan dengan sistem bagi hasil. Namun tak ada perjanjian tertulis. Pekerja bisa pindah kapan saja ke bos lain. Begitu juga kalau bos tambang bangkrut, pekerja otomatis berhenti.
Struktur kerja di pertambangan emas tanpa izin memiliki beberapa tingkatan. Pertama, penambang atau pekerja di lokasi. Kedua, bos para penambang. Bos penambang juga bertindak sebagai pengumpul emas dari para pendulang liar.
Ketiga, bos besar atau juragan emas yang membeli emas dari para bos tambang. Keempat, bos cetak atau yang menerima emas dari bos besar dan mencetaknya menjadi emas batangan.
Penambangan emas memiliki jaringan tersendiri. Saling terkait dan sukar diputus. Seperti pembalakan liar. Terorganisir. Kalaupun ada razia, paling hanya pekerja rendahan yang ditangkap. Para bos tambang, seringkali tak terjamah.
”Karena biasanya selalu ada oknum dari pihak terkait yang turut terlibat,” kata Hendrikus Adam, Kepala Divisi Riset dan Kampanye Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalimantan Barat.
Tak heran bila setiap ada razia, lokasi tambang selalu sepi. Informasi bocor duluan. Mereka yang jadi bos tambang biasanya orang bermodal. Membuka tambang emas butuh biaya besar. Bos tambang juga punya hubungan baik dengan aparat, orang di pemerintahan, politikus, serta para tokoh masyarakat lokal yang disegani.
”Tak tanggung, para bos tambang biasanya menyediakan jatah khusus atau upeti untuk aparat tersebut,” ujar Adam.
Menurut dia, momentum pemilihan kepala daerah dari tingkatan desa hingga kabupaten, biasanya terkait tambang emas ilegal. Ada hubungan timbal balik antara mereka.
”Para bos tambang berharap usahanya aman dan dilindungi. Sementara figur yang mencalonkan diri dalam sebuah suksesi berharap dapat dukungan agar bisa dipilih dan menang,” kata Adam.
Janji politik mampu membius warga. Hubungan antara para elit dengan para penambangan liar sangat kompleks. Ibarat benang kusut yang sukar diurai.
Hal itu bisa dilihat dari pola distribusi merkuri di Kalimantan Barat yang sulit dideteksi. Padahal semestinya gampang saja. Banyaknya operasi penertiban yang gagal, juga jadi indikasi adanya pihak lain di balik kegiatan ini.
Menurut Adam, kegiatan penambangan emas ilegal biasanya terkait dengan ”orang-orang penting” di sekitar wilayah tambang. Mereka memiliki andil besar memberikan izin tambang.
Umumnya juga melibatkan para bos dan pekerja dari luar daerah, sebagai pemilik mesin dan penggarap. Sementara warga setempat kebanyakan jadi penonton. Kalau pun ada, hanya sedikit yang terlibat. Warga setempat biasanya lebih banyak melakukan aktivitas keseharian seperti menoreh karet, berladang, atau mencari hasil hutan.
Adam memberikan beberapa contoh. Di Nguap, Kabupaten Landak, praktik penambangan emas ada di sepanjang tepian Sungai Belantian yang bermuara di Sungai Landak. Belasan tahun warga terpaksa menggunakan air sungai yang keruh dan pekat untuk mandi, cuci, dan kakus. Aparat desa punya andil besar atas hal itu. Para penambang di Nguap sebagian besar dari Sekadau.
Di Kabupaten Mandor pun demikian. Aktivitas penambangan emas ilegal tak terkendali. Lubang penggalian bahkan menjorok hingga ke pinggir kompleks pemakaman bersejarah, Makam Juang Mandor.
”Para pelaku tak terjamah. Kalaupun pelaku tertangkap tangan, biasanya berakhir damai.”
Di beberapa kawasan daerah aliran sungai Kalimantan Barat, aktivitas penambangan berperan merusak lingkungan dan mencemari air. Padahal sungai, bagian tak terpisahkan dari kehidupan warga.
”Ini tidak lepas dari andil pemerintah dan aparat terkait, yang terkesan selalu kompromi dan terlibat kongkalikong,” kata Adam.
Pemerintah ikut memperparah kondisi dengan membuka lebar peluang usaha tambang emas. Berdasarkan data Dinas Pertambangan dan Energi (Distamben) Kalbar, hingga tahun 2009 pemerintah telah memberikan izin pertambangan lebih dari dua juta hektare. Jumlah itu diluar penambangan liar.
Warga sekitar lokasi tambang paling sedikit mendapatkan keuntungan. Yang meraup rupiah paling banyak, pemodal dan “orang-orang penting” tersebut. Hanya segelintir pekerja yang berasal dari daerah tambang.
”Ini butuh penanganan serius dan menyeluruh,” kata Adam.
Migrasi para penambang emas tak lepas dari eratnya hubungan para bos tambang. Mereka biasanya duduk satu meja di rumah bos besar. Para bos tambang saling tukar informasi, daerah mana yang sedang ditemukan banyak emas. Dari informasi tersebut, mereka akan mengarahkan tujuan penambangan emas.
Begitu pun para pekerja emas. Saat dapat informasi dari rekannya, mereka segera menuju lokasi tersebut. “Biasanya kalau ada kabar di daerah itu banyak hasilkan emas, kami akan ke sana,” kata Snegar, penambang emas berusia 17 tahun. Sejak lulus SMP, dia sudah kerja di tambang emas.
Snegar dari Kabupaten Sintang. Jarak Sintang ke Singkawang sehari semalam naik bus. Untuk ongkos dan makan di jalan, butuh uang sekitar Rp 500 ribu.
Begitu juga Fransiskus Nanang Saputra. Tempat tinggalnya tak kalah jauh. Dia dari Serawai, Sintang. Dari Singkawang butuh waktu naik bus sehari dua malam. Ditambanh naik speed boat. Ongkosnya Rp 400 ribu. Sekali jalan, paling sedikit bawa uang Rp 1 juta.
Mereka pulang sebulan atau dua bulan sekali. Atau, tergantung hasil perolehan emas.
Migrasi para penambang tak lepas dari hasil yang menjanjikan. Namun, uang kadang menguap begitu saja. Seperti kisah Adi Sulistyono.
Adi baru kerja 10 hari di Sagatani. Hasilnya belum terlihat. Sebelumnya, dia kerja tambang emas di Indotani, Sandai, Kabupaten Ketapang. Tujuh tahun dia bertahan. Kerja itu dilakoni setelah Adi tak lulus SMA di Pontianak.
Jalan menuju lokasi pertambangan sulit sekali. Jalan ambles sampai 1,5 meter. Banyak truk terguling melewati jalan tersebut. Dari Ketapang naik ojek sekitar 12 jam. Ongkosnya Rp 250 ribu.
Ada ribuan penambang di Indotani. Sekitar 500-an set mesin beroperasi di daerah tersebut. Satu set mesin dipegang 12 pekerja. Para penambang memiliki tukang masak di setiap kamp. Pekerja tak sempat lagi memasak.
Untuk minum, para bos tambang biasanya pesan air galon. Terkadang mereka pakai air hujan yang ditampung dalam drum. Setelah itu dimasak. Makan tiga kali sehari. Kadang ada lauk, kadang tidak. Energinya dari mana? “Ya, tak ada energinya,” kata Adi.
Jika beruntung, pekerja dapat makan nasi berkawan telur atau ikan gaben, sejenis tongkol.
Jam kerja di penambangan tak tentu. Kadang mulai kerja pukul 10 atau 11. Kerja selesai pukul 5 atau 6 sore. Setelah itu, cuci baju, membersihkan badan, dan mendulang emas. Selepas itu, emas dibakar diatas piring yang dibungkus kertas rokok. Emas dicor agar padat.
Setiap pekerja di Indotani bisa dapat emas 100 gram seminggu. Satu gram emas dihargai Rp 470 ribu. Kadar emasnya tinggi.
Kalau pakai sistem bagi hasil 50:50 dengan bos tambang, pekerja bayar makan sendiri. Mereka utang dulu ke bos tambang. Dengan sistem itu, pekerja bebas pilih makanan. Tinggal pesan ke bos. Semua yang dibutuhkan pasti ada. Setelah 15 hari kerja, hasilnya dihitung. Hasil itu dikurangi biaya makan.
“Kalau perbandingan 70:30, susah karena semua kebutuhan ditanggung bos,” kata Adi. Pekerja tidak bisa pesan sesuatu sesuai yang diinginkan.
Kerja di Indotani lebih berat. Emas diangkat dengan cara melubangi rawa. Lubang ditembak dengan air penyemprot. Setelah itu, air disedot. Air di permukaan harus kering. Kadang harus membongkar batu cadas. Bila tidak hati-hati, badan bisa remuk terhimpit batu.
Hasil menambang emas di Ketapang, jarang meleset. Tiap bayaran, rata-rata dapat Rp 3 juta. Jumlah itu sudah bersih, setelah dipotong utang uang makan pada bos.
Di Indotani, pekerja juga bisa utang makan atau rokok ke kantin. Setelah 10 hari ambil rokok, minum es, atau utang apa pun, orang kantin akan percaya. Di Sagatani, orang belum percaya.
Kegiatan penambangan di Sagatani mengundang pedagang keliling. Hambali misalnya. Pria 54 tahun asal Brebes, Jawa Tengah ini, biasa membawa makanan keliling lokasi penambangan. Sudah setahun dia berjualan keliling penambangan emas di Sagatani.
Hambali jualan empat hari sekali. Dagangannya mulai dari jagung hingga berbagai obat-obatan. Seperti obat encok, asam urat, obat kuat, dan lainnya. Jagung dibawa dari kebun di Pasiran, Singkawang. Dalam satu keranjang biasanya ada 50 tongkol jagung.
Dia berjalan seharian mengelilingi lokasi penambangan. Sore hari, balik ke rumahnya di Pasiran, Singkawang.
Sebagian besar penambang emas di Sagatani rata-rata pernah bekerja di lima hingga tujuh lokasi penambangan. Mengapa para penambang mau meninggalkan rumah, dan bekerja di lokasi yang demikian jauh?
“Kerja emas menjamin hidup,” kata Dedi Hermanto dari Sungai Ulak, Kecamatan Kapuas Kanan Hulu, Sintang.
Dedi kerja tambang emas setelah lulus SMP. Dia termasuk yang berhasil. Dedi sudah punya rumah besar di kampungnya. Anaknya umur lima tahun. Sekarang istrinya sedang hamil delapan bulan.
Sebanyak 70 persen hasil tambang untuk bos. Hasil 30 persen untuk para pekerja. Sepuluh persen untuk koordinator pekerja, diambil dari jatah bos tambang. Tugas koordinator cukup berat. Dia harus bisa mengkoordinasikan semua pekerja. Bila tidak kompak, berpengaruh pada hasil.
Gaji dihitung seminggu sekali. “Rata-rata dapat Rp 1 juta seminggu,” kata Dedi.
Di Sagatani ada sekitar 500 bos tambang. Bos tambang menyediakan berbagai keperluan pekerja. Mulai dari makan tiga kali sehari. Rokok dua bungkus sehari. Bahan bakar mesin diesel, dan lainnya. Bos menanggung semua kebutuhan pekerja. Kesehatan pekerja dijamin. Kalau pekerja sakit, bos tambang bertanggung jawab. Bahkan ada uang pati, bila ada pekerja yang meninggal karena kecelakaan.
Dedi sudah lima bulan bekerja di Sagatani. Awalnya Dedi kerja di Sagatani dengan bos dari Sintang. Bos berhenti karena tak ada hasil. Dedi pindah bos.
Bulan puasa makin banyak orang kerja emas, karena mengejar uang untuk Idul Fitri. “Kerja emas enak tak enak tergantung hasil.”
Dedi juga pernah kerja di penambangan emas di Balai Karangan, Sanggau, tahun 1986. Sistem kerjanya harian, dibayar Rp 8 ribu dan diberi satu karung pasir mengandung emas.
Emas didulang sendiri. Satu karung dapat sekitar 15 gram. Emas kemudian dijual ke penampung. Satu gram emas dibayar Rp 50 ribu sampai Rp 60 ribu. Sekarang harga emas di tingkat pengumpul Rp 325 ribu per gram. Ada kenaikan harga, sesuai kenaikan harga emas dunia. Sebelumnya cuma Rp 300 ribu.
Dedi juga pernah kerja di tambang emas Nanga Kayan, Kabupaten Melawi. Menurutnya, kalau masih bujangan, biasanya uang akan habis begitu saja. Di lokasi penambangan emas ada kantin. Yang menyediakan berbagai macam kebutuhan para penambang. Mulai rokok, makan, minuman keras. Bahkan ada karaoke dan meja biliar.
“Uang habis untuk happy-happy. Ya, abang tahu sendirilah….” Kata Dedi dengan santai. (bersambung)
Foto: VHRmedia/Muhlis Suhaeri
Sumber: http://www.vhrmedia.com/2010/detail.php?.e=2765
Migrasi kuli penambang emas sangat dinamis. Bos tambang menentukan dimana mata pipa dipancang.
Muhlis Suhaeri / Angga Haksoro
27 Mei 2011 - 15:11 WIB
Surga tambang emas. Tak terjamah.
Hampir tak ada wilayah di Kalimantan Barat yang bebas dari penambangan emas. Mulai ujung perbatasan bagian barat hingga timur. Termasuk wilayah-wilayah pedalaman. Puluhan sungai besar jadi pusat aktivitas penambangan emas tanpa izin. Migrasi para penambang emas sangat dinamis.
Penambang emas di Sagatani, Singkawang, 80 persen dari Sintang. Mereka datang secara rombongan. “Biasanya dicari yang mau kerja dan tahan lama. Kerja ini berat. Jangan sampai 2-3 hari minta pulang,” kata Anton. Pekerja yang dicari biasanya yang lincah dan rajin.
Anton bos pekerja tambang emas di Sagatani. Lelaki 30 tahun ini punya dua set mesin dan sepuluh anak buah.
Cara mencari penambang, melalui koordinator atau kepala rombongan. Penambang yang sudah pernah kerja disuruh pulang, untuk mencari pekerja baru. Mereka sendiri yang tahu, dan bisa cocok dengan siapa. Kepala rombongan biasanya mencari pekerja.
“Kalau pekerja tidak bagus, kita tinggal menegur kepala rombongan,” ujar Anton.
Kepala rombongan tak harus memiliki pengalaman kerja lama. Meski baru bekerja, kalau sudah lihai dan mampu memimpin pekerja di lapangan, bisa jadi kepala rombongan.
Ketika cari pekerja, bos biasanya menangggung biaya transportasi calon pekerja. Berapa pun biayanya akan ditanggung. Termasuk uang pinjaman Rp 1 juta sampai Rp 2 juta untuk anak dan istri calon pekerja.
Biaya transportasi Rp 500 ribu. Ongkos Singkawang-Sintang sekitar Rp 150 ribu. Dari Sintang ke kampung masing-masing, kadang membutuhkan waktu satu hingga dua hari.
Kerjanya dengan sistem kontrak. Kalau bisa bertahan kerja lebih dari satu bulan, ongkos pulang kampung ditanggung bos. Bila tak sampai sebulan, pekerja tanggung sendiri ongkosnya.
Cara pengupahan buruh dompeng dilakukan dengan sistem bagi hasil. Namun tak ada perjanjian tertulis. Pekerja bisa pindah kapan saja ke bos lain. Begitu juga kalau bos tambang bangkrut, pekerja otomatis berhenti.
Struktur kerja di pertambangan emas tanpa izin memiliki beberapa tingkatan. Pertama, penambang atau pekerja di lokasi. Kedua, bos para penambang. Bos penambang juga bertindak sebagai pengumpul emas dari para pendulang liar.
Ketiga, bos besar atau juragan emas yang membeli emas dari para bos tambang. Keempat, bos cetak atau yang menerima emas dari bos besar dan mencetaknya menjadi emas batangan.
Penambangan emas memiliki jaringan tersendiri. Saling terkait dan sukar diputus. Seperti pembalakan liar. Terorganisir. Kalaupun ada razia, paling hanya pekerja rendahan yang ditangkap. Para bos tambang, seringkali tak terjamah.
”Karena biasanya selalu ada oknum dari pihak terkait yang turut terlibat,” kata Hendrikus Adam, Kepala Divisi Riset dan Kampanye Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalimantan Barat.
Tak heran bila setiap ada razia, lokasi tambang selalu sepi. Informasi bocor duluan. Mereka yang jadi bos tambang biasanya orang bermodal. Membuka tambang emas butuh biaya besar. Bos tambang juga punya hubungan baik dengan aparat, orang di pemerintahan, politikus, serta para tokoh masyarakat lokal yang disegani.
”Tak tanggung, para bos tambang biasanya menyediakan jatah khusus atau upeti untuk aparat tersebut,” ujar Adam.
Menurut dia, momentum pemilihan kepala daerah dari tingkatan desa hingga kabupaten, biasanya terkait tambang emas ilegal. Ada hubungan timbal balik antara mereka.
”Para bos tambang berharap usahanya aman dan dilindungi. Sementara figur yang mencalonkan diri dalam sebuah suksesi berharap dapat dukungan agar bisa dipilih dan menang,” kata Adam.
Janji politik mampu membius warga. Hubungan antara para elit dengan para penambangan liar sangat kompleks. Ibarat benang kusut yang sukar diurai.
Hal itu bisa dilihat dari pola distribusi merkuri di Kalimantan Barat yang sulit dideteksi. Padahal semestinya gampang saja. Banyaknya operasi penertiban yang gagal, juga jadi indikasi adanya pihak lain di balik kegiatan ini.
Menurut Adam, kegiatan penambangan emas ilegal biasanya terkait dengan ”orang-orang penting” di sekitar wilayah tambang. Mereka memiliki andil besar memberikan izin tambang.
Umumnya juga melibatkan para bos dan pekerja dari luar daerah, sebagai pemilik mesin dan penggarap. Sementara warga setempat kebanyakan jadi penonton. Kalau pun ada, hanya sedikit yang terlibat. Warga setempat biasanya lebih banyak melakukan aktivitas keseharian seperti menoreh karet, berladang, atau mencari hasil hutan.
Adam memberikan beberapa contoh. Di Nguap, Kabupaten Landak, praktik penambangan emas ada di sepanjang tepian Sungai Belantian yang bermuara di Sungai Landak. Belasan tahun warga terpaksa menggunakan air sungai yang keruh dan pekat untuk mandi, cuci, dan kakus. Aparat desa punya andil besar atas hal itu. Para penambang di Nguap sebagian besar dari Sekadau.
Di Kabupaten Mandor pun demikian. Aktivitas penambangan emas ilegal tak terkendali. Lubang penggalian bahkan menjorok hingga ke pinggir kompleks pemakaman bersejarah, Makam Juang Mandor.
”Para pelaku tak terjamah. Kalaupun pelaku tertangkap tangan, biasanya berakhir damai.”
Di beberapa kawasan daerah aliran sungai Kalimantan Barat, aktivitas penambangan berperan merusak lingkungan dan mencemari air. Padahal sungai, bagian tak terpisahkan dari kehidupan warga.
”Ini tidak lepas dari andil pemerintah dan aparat terkait, yang terkesan selalu kompromi dan terlibat kongkalikong,” kata Adam.
Pemerintah ikut memperparah kondisi dengan membuka lebar peluang usaha tambang emas. Berdasarkan data Dinas Pertambangan dan Energi (Distamben) Kalbar, hingga tahun 2009 pemerintah telah memberikan izin pertambangan lebih dari dua juta hektare. Jumlah itu diluar penambangan liar.
Warga sekitar lokasi tambang paling sedikit mendapatkan keuntungan. Yang meraup rupiah paling banyak, pemodal dan “orang-orang penting” tersebut. Hanya segelintir pekerja yang berasal dari daerah tambang.
”Ini butuh penanganan serius dan menyeluruh,” kata Adam.
Migrasi para penambang emas tak lepas dari eratnya hubungan para bos tambang. Mereka biasanya duduk satu meja di rumah bos besar. Para bos tambang saling tukar informasi, daerah mana yang sedang ditemukan banyak emas. Dari informasi tersebut, mereka akan mengarahkan tujuan penambangan emas.
Begitu pun para pekerja emas. Saat dapat informasi dari rekannya, mereka segera menuju lokasi tersebut. “Biasanya kalau ada kabar di daerah itu banyak hasilkan emas, kami akan ke sana,” kata Snegar, penambang emas berusia 17 tahun. Sejak lulus SMP, dia sudah kerja di tambang emas.
Snegar dari Kabupaten Sintang. Jarak Sintang ke Singkawang sehari semalam naik bus. Untuk ongkos dan makan di jalan, butuh uang sekitar Rp 500 ribu.
Begitu juga Fransiskus Nanang Saputra. Tempat tinggalnya tak kalah jauh. Dia dari Serawai, Sintang. Dari Singkawang butuh waktu naik bus sehari dua malam. Ditambanh naik speed boat. Ongkosnya Rp 400 ribu. Sekali jalan, paling sedikit bawa uang Rp 1 juta.
Mereka pulang sebulan atau dua bulan sekali. Atau, tergantung hasil perolehan emas.
Migrasi para penambang tak lepas dari hasil yang menjanjikan. Namun, uang kadang menguap begitu saja. Seperti kisah Adi Sulistyono.
Adi baru kerja 10 hari di Sagatani. Hasilnya belum terlihat. Sebelumnya, dia kerja tambang emas di Indotani, Sandai, Kabupaten Ketapang. Tujuh tahun dia bertahan. Kerja itu dilakoni setelah Adi tak lulus SMA di Pontianak.
Jalan menuju lokasi pertambangan sulit sekali. Jalan ambles sampai 1,5 meter. Banyak truk terguling melewati jalan tersebut. Dari Ketapang naik ojek sekitar 12 jam. Ongkosnya Rp 250 ribu.
Ada ribuan penambang di Indotani. Sekitar 500-an set mesin beroperasi di daerah tersebut. Satu set mesin dipegang 12 pekerja. Para penambang memiliki tukang masak di setiap kamp. Pekerja tak sempat lagi memasak.
Untuk minum, para bos tambang biasanya pesan air galon. Terkadang mereka pakai air hujan yang ditampung dalam drum. Setelah itu dimasak. Makan tiga kali sehari. Kadang ada lauk, kadang tidak. Energinya dari mana? “Ya, tak ada energinya,” kata Adi.
Jika beruntung, pekerja dapat makan nasi berkawan telur atau ikan gaben, sejenis tongkol.
Jam kerja di penambangan tak tentu. Kadang mulai kerja pukul 10 atau 11. Kerja selesai pukul 5 atau 6 sore. Setelah itu, cuci baju, membersihkan badan, dan mendulang emas. Selepas itu, emas dibakar diatas piring yang dibungkus kertas rokok. Emas dicor agar padat.
Setiap pekerja di Indotani bisa dapat emas 100 gram seminggu. Satu gram emas dihargai Rp 470 ribu. Kadar emasnya tinggi.
Kalau pakai sistem bagi hasil 50:50 dengan bos tambang, pekerja bayar makan sendiri. Mereka utang dulu ke bos tambang. Dengan sistem itu, pekerja bebas pilih makanan. Tinggal pesan ke bos. Semua yang dibutuhkan pasti ada. Setelah 15 hari kerja, hasilnya dihitung. Hasil itu dikurangi biaya makan.
“Kalau perbandingan 70:30, susah karena semua kebutuhan ditanggung bos,” kata Adi. Pekerja tidak bisa pesan sesuatu sesuai yang diinginkan.
Kerja di Indotani lebih berat. Emas diangkat dengan cara melubangi rawa. Lubang ditembak dengan air penyemprot. Setelah itu, air disedot. Air di permukaan harus kering. Kadang harus membongkar batu cadas. Bila tidak hati-hati, badan bisa remuk terhimpit batu.
Hasil menambang emas di Ketapang, jarang meleset. Tiap bayaran, rata-rata dapat Rp 3 juta. Jumlah itu sudah bersih, setelah dipotong utang uang makan pada bos.
Di Indotani, pekerja juga bisa utang makan atau rokok ke kantin. Setelah 10 hari ambil rokok, minum es, atau utang apa pun, orang kantin akan percaya. Di Sagatani, orang belum percaya.
Kegiatan penambangan di Sagatani mengundang pedagang keliling. Hambali misalnya. Pria 54 tahun asal Brebes, Jawa Tengah ini, biasa membawa makanan keliling lokasi penambangan. Sudah setahun dia berjualan keliling penambangan emas di Sagatani.
Hambali jualan empat hari sekali. Dagangannya mulai dari jagung hingga berbagai obat-obatan. Seperti obat encok, asam urat, obat kuat, dan lainnya. Jagung dibawa dari kebun di Pasiran, Singkawang. Dalam satu keranjang biasanya ada 50 tongkol jagung.
Dia berjalan seharian mengelilingi lokasi penambangan. Sore hari, balik ke rumahnya di Pasiran, Singkawang.
Sebagian besar penambang emas di Sagatani rata-rata pernah bekerja di lima hingga tujuh lokasi penambangan. Mengapa para penambang mau meninggalkan rumah, dan bekerja di lokasi yang demikian jauh?
“Kerja emas menjamin hidup,” kata Dedi Hermanto dari Sungai Ulak, Kecamatan Kapuas Kanan Hulu, Sintang.
Dedi kerja tambang emas setelah lulus SMP. Dia termasuk yang berhasil. Dedi sudah punya rumah besar di kampungnya. Anaknya umur lima tahun. Sekarang istrinya sedang hamil delapan bulan.
Sebanyak 70 persen hasil tambang untuk bos. Hasil 30 persen untuk para pekerja. Sepuluh persen untuk koordinator pekerja, diambil dari jatah bos tambang. Tugas koordinator cukup berat. Dia harus bisa mengkoordinasikan semua pekerja. Bila tidak kompak, berpengaruh pada hasil.
Gaji dihitung seminggu sekali. “Rata-rata dapat Rp 1 juta seminggu,” kata Dedi.
Di Sagatani ada sekitar 500 bos tambang. Bos tambang menyediakan berbagai keperluan pekerja. Mulai dari makan tiga kali sehari. Rokok dua bungkus sehari. Bahan bakar mesin diesel, dan lainnya. Bos menanggung semua kebutuhan pekerja. Kesehatan pekerja dijamin. Kalau pekerja sakit, bos tambang bertanggung jawab. Bahkan ada uang pati, bila ada pekerja yang meninggal karena kecelakaan.
Dedi sudah lima bulan bekerja di Sagatani. Awalnya Dedi kerja di Sagatani dengan bos dari Sintang. Bos berhenti karena tak ada hasil. Dedi pindah bos.
Bulan puasa makin banyak orang kerja emas, karena mengejar uang untuk Idul Fitri. “Kerja emas enak tak enak tergantung hasil.”
Dedi juga pernah kerja di penambangan emas di Balai Karangan, Sanggau, tahun 1986. Sistem kerjanya harian, dibayar Rp 8 ribu dan diberi satu karung pasir mengandung emas.
Emas didulang sendiri. Satu karung dapat sekitar 15 gram. Emas kemudian dijual ke penampung. Satu gram emas dibayar Rp 50 ribu sampai Rp 60 ribu. Sekarang harga emas di tingkat pengumpul Rp 325 ribu per gram. Ada kenaikan harga, sesuai kenaikan harga emas dunia. Sebelumnya cuma Rp 300 ribu.
Dedi juga pernah kerja di tambang emas Nanga Kayan, Kabupaten Melawi. Menurutnya, kalau masih bujangan, biasanya uang akan habis begitu saja. Di lokasi penambangan emas ada kantin. Yang menyediakan berbagai macam kebutuhan para penambang. Mulai rokok, makan, minuman keras. Bahkan ada karaoke dan meja biliar.
“Uang habis untuk happy-happy. Ya, abang tahu sendirilah….” Kata Dedi dengan santai. (bersambung)
Foto: VHRmedia/Muhlis Suhaeri
Sumber: http://www.vhrmedia.com/2010/detail.php?.e=2765
Walhi calls on president to evaluate oil palm plantation development
Mon, May 30 2011 17:36 | 195 Views
Pontianak, West Kalimantan (ANTARA News) - The West Kalimantan chapter of the Indonesian Forum for the Environment (WALHI) has called on President Susilo Bambang Yudhoyono to evaluate the massive way in which oil palm plantations were being opened in the country and to abandon plans to build a nuclear power plant.
"We hope the government will not force its will in developing oil palm plantations and planning to build a nuclear power plant without paying attention to their social and environmental aspects," said Hendrikus Adam, chairman of the West Kalimantan chapter of WAHLI`s Research and Campaign Division.
West Kalimantan reportedly has around four million hectares of oil palm plantations, exceeding the quota of 1.5 million hectares.
The massive development of oil palm cultivation in West Kalimantan could cause conflicts between indigenous people as owners of traditional land and plantation developers.
"We and the people need certainty and a clear stance of the government in protecting the people`s right to enjoy good and healthy environmental conditions," he said.
According to the local WALHI`s data, there have been 6,632 ecology-related disasters. Data from Oil Palm Watch shows there have been 630 conflicts regarding oil palm plantations and 200 monoculture plantation conflicts up to 2010.
From 1980s to 2009, a total of 229 companies have received licenses to open 3.57 million hectares of oil palm plantations, but only 318,560 hectares have been developed, according to data from the Dayakology Institute and Oil Palm Watch collected from six districts in West Kalimantan Province.
President Susilo Bambang Yudhoyono is scheduled to visit Pontianak on May 30 and 31, 2011.
(Uu.F001/HAJM)
sumber: http://www.antaranews.com/en/news/1306751780/walhi-calls-on-president-to-evaluate-oil-palm-plantation-development
Pontianak, West Kalimantan (ANTARA News) - The West Kalimantan chapter of the Indonesian Forum for the Environment (WALHI) has called on President Susilo Bambang Yudhoyono to evaluate the massive way in which oil palm plantations were being opened in the country and to abandon plans to build a nuclear power plant.
"We hope the government will not force its will in developing oil palm plantations and planning to build a nuclear power plant without paying attention to their social and environmental aspects," said Hendrikus Adam, chairman of the West Kalimantan chapter of WAHLI`s Research and Campaign Division.
West Kalimantan reportedly has around four million hectares of oil palm plantations, exceeding the quota of 1.5 million hectares.
The massive development of oil palm cultivation in West Kalimantan could cause conflicts between indigenous people as owners of traditional land and plantation developers.
"We and the people need certainty and a clear stance of the government in protecting the people`s right to enjoy good and healthy environmental conditions," he said.
According to the local WALHI`s data, there have been 6,632 ecology-related disasters. Data from Oil Palm Watch shows there have been 630 conflicts regarding oil palm plantations and 200 monoculture plantation conflicts up to 2010.
From 1980s to 2009, a total of 229 companies have received licenses to open 3.57 million hectares of oil palm plantations, but only 318,560 hectares have been developed, according to data from the Dayakology Institute and Oil Palm Watch collected from six districts in West Kalimantan Province.
President Susilo Bambang Yudhoyono is scheduled to visit Pontianak on May 30 and 31, 2011.
(Uu.F001/HAJM)
sumber: http://www.antaranews.com/en/news/1306751780/walhi-calls-on-president-to-evaluate-oil-palm-plantation-development
Seruan Walhi Kepada Presiden
PONTIANAK, Kalbarinfo - Kehadiran Presiden SBY bersama rombongan hari ini (30 Mei 2011) disambut meriah oleh pemerintah daerah. Hal ini ditandai dengan begitu maraknya pemasangan sejumlah material berupa baliho, spanduk dan sejenisnya berisi ucapan selamat datang diberbagai penjuru khususnya di sepanjang jalan Ahmad Yani. Hal lain yang menandai fenomena ini adalah ketatnya penjagaan yang dilakukan oleh aparat bersenjata lengkap di setiap sudut kota sekitar pelaksanaan kegiatan.
Fenomena yang “mencolok” ini seringkali disuguhkan oleh setiap pemerintah di daerah manakala ada kunjungan pejabat negara. Harus diakui seringkali penyambutan yang dilakukan terkadang “berlebihan” dan terkesan “dipaksakan”, padahal untuk efisiensi tidak selalu harus demikian. Apa hubungannya kedatangan Presiden beserta Rombongan dan para Gubernur se-Indonesia di Pontianak? Apakah hanya sekedar menghadiri Hari Puncak Gotong Rotong Masyarakat dan Hari Gerak PKK semata, sebagaimana yang diberitakan? , ungkap aktivis Walhi Kalbar, Hendrikus Adam melalui pesan elektronik kepada Kalbarinfo, kemarin.
Ia mengatakan tentunya menjadi harapan masyarakat banyak bahwa kehadiran SBY beserta rombongan tidak hanya sekedar menghadiri kedua kegiatan diatas. Masih begitu banyak persoalan masyarakat Kalimantan Barat yang perlu mendapat sentuhan dari pemerintah pusat. Salah satu dari persoalan tersebut adalah besarnya potensi konflik sosial terkait pengelolaan sumber daya alam (SDA) yang kemudian berimbas pada perampasan hak warga atas ruang kelolanya dan degradasi lingkungan. Dengan demikian, hal ini butuh kepastian dan sikap jelas perlindungan pemerintah kepada hak-hak warganya atas kondisi lingkungan yang baik dan sehat sebagai bagian dari HAM.
Perampasan ruang kelola masyarakat melalui kebijakan perkebunan sawit skala besar yang saat ini menjadi kebijakan primadona pemerintah telah melahirkan sejumlah konsekuensi logis berupa terabaikannya hak-hak masyarakat untuk dapat melakukan akses maupun kontrol terhadap SDA secara maksimal. “Dalam banyak kasus di Kalimantan Barat, selain fenomena degradasi kondisi lingkungan, konflik sosial yang berujung pada kriminalisasi masyarakat seringkali terjadi. Fenomena ini merubakan bagian dari catatan penting dari persoalan yang hadir dalam masyarakat yang kemudian berimbas pada berbagai aspek kehidupan masyarakat. Fenomena banjir, hilangnya sumber air bersih, perambahan ruang kelola dan pertanian warga, perampasan tanah warga, penghilangan fungsi hutan melalui kebijakan pembukaan hutan skala besar, konflik dan kriminalisasi warga, adalah sejumlah persoalan yang mengemuka dan terus berlangsung saat ini di Kalimantan Barat seiring dengan kebijakan pemerintah yang cenderung tunduk pada pemodal”, ucapnya.
Atas nama kepentingan rakyat, dikatakan Hendrikus Adam hak warga atas tanah maupun ruang kelolanya pun dikorbankan. “Pemerintah selama ini cenderung memaksakan kehendak atas ruang investasi perkebunan skala besar yang diberikan kepada pemodal tanpa memeprhatikan aspek sosial dan lingkungan berkelanjutan secara serius”, terangnya.
Kebijakan pembukaan perkebunan skala besar (Sawit) di Kalimantan Barat hingga saat ini miasalnya, melalui izin yang dikeluarkan telah mencapai hampir empat juta hektar. Melebihi quota yang dialokasikan (1,5 juta Ha). Fenomena inkonsistensi luasan peruntukan di sektor perkebunan sawit ini juga tidak terlepas dari bergulirnya otonomi daerah selama ini yang memberikan kewenangan lebih kepada pemerintah di daerah untuk memberikan legalitas. Apalagi bila tidak disertai kontrol serius pihak legislative didaerah dan perwakilan pemerintah pusat di Kalimantan Barat. Disamping memunculkan potensi persoalan tumpang tindih perizinan, juga membuka kran potensi korupsi dalam sektor pengelolaan SDA oleh pemerintah. Besarnya potensi konflik SDA dan penyalaghunaan kewenangan yang dapat berujung pada korupsi di sektor pengelolaan SDA tersebut, maka peran Negara melalui pemerintah pusat menjadi harapan.
Disamping persoalan pengelolaan SDA di sektor pengembangan perkebunan sawit skala besar, upaya untuk mendongkrak sumber energi dari nuklir melalui rencana kebijakan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) saat ini juga sedang giat-giatnya di promosikan oleh Pemerintah Indonesia. Atas rencana ini para promotor PLTN telah menetapkan sejumlah tempat untuk dikembangkan sebagai tapak PLTN di Indonesia. Semenanjung Muria, selanjutnya Bangka Belitung menjadi target utama selama ini untuk dijadikan lokasi pembangunan PLTN di Indonesia sekalipun masih belum bisa di realisasikan karena sikap keras warga yang menolak dan bahkan hingga memfatwa haram rencana PLTN. Penolakan yang keras dari berbagai elemen masyarakat dengan basis argumentasi yang kuat ini menjadi pertimbangan bagi pemerintah Indonesia, sehingga dengan demikian berbagai tempat lainnya sangat mungkin dijadikan lokasi target pembangunan PLTN berikutnya.
Provinsi Kalimantan Barat khususnya dan pulau Kalimantan umumnya, adalah bagian dari wilayah target pengembangan energi berbahaya tersebut (PLTN). Alas pikir pengembangan PLTN tersebut karena diindikasikan sebagai kawasan yang aman dari potensi bencana alam dan memiliki bahan mentah (Uranium). Sejauh ini pemerintah daerah Kalimantan Barat membuka diri dengan wacana pengembangan PLTN, namun disayangkan sikap ”wellcome” pemerintah daerah selama ini hanya sepihak. Terlebih sejauh ini juga, belum ada penjelasan resmi pemerintah daerah Kalbar berkenaan dengan wacana pembangunan PLTN di daerah ini. Padahal sikap transparan sebagai wujud dari tata pemerintahan yang baik mestinya menjadi semangat bagi pemerintah daerah dalam menggalakkan kebijakan pembangunan bila memang sungguh diarahkan untuk kepentingan publik. Sikap ”tertutup” ini harusnya tidak perlu terjadi bila pemerintah memiliki niat baik untuk memberikan yang terbaik bagi warganya.
Bagaimanapun kebijakan pengembangan PLTN di Indonesia umumnya dan di Kalimantan Barat khususnya bukan sebuah prioritas, bukan pilihan bijak. Bukan juga sebuah jawaban atas fenomena krisis energi (listrik) yang seringkali dijadikan sebagai alasan klasik. Karena pada kenyataannya, maish terlalu banyak potensi energi terbarukan lainnya (panas bumi, air, angin, surya) yang sangat mungkin dikembangkan namun belum ada upaya maksimal yang serius dilakukan. Berkaca dari berbagai bencana nuklir (PLTN) diberbagai belahan dunia yang mampu memberikan dampak negatif yang luar biasa terhadap kehidupan, maka menjadi penting dan mendesak bagi pemerintah untuk melakukan evaluasi dan memikirkan langkah bijak yang tidak memiliki resiko besar. Tidak ada jaminan bahwa pengembangan PLTN akan berjalan mulus dan bebas dari bencana, sekalipun berada di daerah yang diidentifikasi sebagai kawasan yang aman dari bencana alam. Kecelakaan fatal karena berbagai faktor (lalai, kecelakaan, kesengajaan) sangat mungkin terjadi, sehingga pilihan pengembangan PLTN merupakan bagian dari kebijakan yang terlalu di paksakan dan beresiko besar.
Hadirnya kepala negara beserta rombongan di Pontianak tidak akan memberi manfaat besar bila hanya sekedar menghadiri kedua acara seremonial tersebut diatas semata. Kehadiran Presiden SBY bersama rombongan diharapkan dapat mengakomodir berbagai persoalan yang dihadapi warga Kalimantan Barat. Kebijakan pengembangan perkebunan kelapa sawit skala besar di dan rencana pembangunan PLTN disamping berbagai persoalan sosial lain, kiranya penting mendapat perhatian serius pemerintah.
Kebijakan pembukaan perkebunan sawit skala besar terlalu banyak memberikan dampak destruktif bagi warga Kalimantan Barat khususnya karena dengan sendirinya menghilangkan hak kelola dan menjadikan warga bukan sebagai tuan, melainkan buruh. Disamping itu dengan demikian akses warga untuk menghasilkan sumber pangan juga akhirnya terbatas, karena sebagian besar ruang kelola diserahkan secara sepihak kepada pemodal melalui kepala daerah. Persoalan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) juga menjadi fenomena yang tidak terpisahkan dari kebijakan yang cenderung eksploitatif dan ”tunduk” pada pemodal ini. Demikian juga halnya rencana kebijakan pembangunan PLTN oleh pemerintah yang terlalu berbahaya bagi keselamatan hidup dan kehidupan. Bencana Chernobyl tahun 1986 di Ukraina dan bencana meledaknya PLTN Fukushima Daichii di Jepang 2011 hendaknya dapat menjadi catatan penting pemerintah atas rencana pembangunan PLTN. Terlebih untuk saat ini pemeirntah Jepang dan sejumlah negara maju telah memikirkan untuk menghentikan pengembangan PLTN di negara mereka. Sementara pemerintah Indonesia yang masih memiliki banyak keterbatasan terkesan ’ngotot’ dan memaksakan diri uttuk terus maju dengan rencana pengembangan PLTN.
Dengan demikian, hadirnya Presiden SBY bersama rombongan bagi warga Kalbar tentunya diharapkan dapat menjadi angin sejuk terutama bagaimana kemudian dapat memberikan perhatian serius atas berbagai persoalan sosial dan persoalan lingkungan. Presiden SBY beserta rombongan diharapkan dapat melakukan intervensi terhadap kebijakan pengembangan perkebunan sawit skala besar dan rencana pembangunan PLTN di Indonesia. Kepala negara beserta segenap lini pemeritahan hingga ke daerah diharapkan tidak gampang tunduk pada pemodal. Hentikan berbagai potensi konflik SDA di Kalimantan Barat dengan melakukan evaluasi serius atas kebijakan perkebunan sawit dan hentikan kebijakan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN). (riz/ctr)
Sumber : http://www.kalbarinfo.com/news/seruan-walhi-kepada-prsiden.html
Fenomena yang “mencolok” ini seringkali disuguhkan oleh setiap pemerintah di daerah manakala ada kunjungan pejabat negara. Harus diakui seringkali penyambutan yang dilakukan terkadang “berlebihan” dan terkesan “dipaksakan”, padahal untuk efisiensi tidak selalu harus demikian. Apa hubungannya kedatangan Presiden beserta Rombongan dan para Gubernur se-Indonesia di Pontianak? Apakah hanya sekedar menghadiri Hari Puncak Gotong Rotong Masyarakat dan Hari Gerak PKK semata, sebagaimana yang diberitakan? , ungkap aktivis Walhi Kalbar, Hendrikus Adam melalui pesan elektronik kepada Kalbarinfo, kemarin.
Ia mengatakan tentunya menjadi harapan masyarakat banyak bahwa kehadiran SBY beserta rombongan tidak hanya sekedar menghadiri kedua kegiatan diatas. Masih begitu banyak persoalan masyarakat Kalimantan Barat yang perlu mendapat sentuhan dari pemerintah pusat. Salah satu dari persoalan tersebut adalah besarnya potensi konflik sosial terkait pengelolaan sumber daya alam (SDA) yang kemudian berimbas pada perampasan hak warga atas ruang kelolanya dan degradasi lingkungan. Dengan demikian, hal ini butuh kepastian dan sikap jelas perlindungan pemerintah kepada hak-hak warganya atas kondisi lingkungan yang baik dan sehat sebagai bagian dari HAM.
Perampasan ruang kelola masyarakat melalui kebijakan perkebunan sawit skala besar yang saat ini menjadi kebijakan primadona pemerintah telah melahirkan sejumlah konsekuensi logis berupa terabaikannya hak-hak masyarakat untuk dapat melakukan akses maupun kontrol terhadap SDA secara maksimal. “Dalam banyak kasus di Kalimantan Barat, selain fenomena degradasi kondisi lingkungan, konflik sosial yang berujung pada kriminalisasi masyarakat seringkali terjadi. Fenomena ini merubakan bagian dari catatan penting dari persoalan yang hadir dalam masyarakat yang kemudian berimbas pada berbagai aspek kehidupan masyarakat. Fenomena banjir, hilangnya sumber air bersih, perambahan ruang kelola dan pertanian warga, perampasan tanah warga, penghilangan fungsi hutan melalui kebijakan pembukaan hutan skala besar, konflik dan kriminalisasi warga, adalah sejumlah persoalan yang mengemuka dan terus berlangsung saat ini di Kalimantan Barat seiring dengan kebijakan pemerintah yang cenderung tunduk pada pemodal”, ucapnya.
Atas nama kepentingan rakyat, dikatakan Hendrikus Adam hak warga atas tanah maupun ruang kelolanya pun dikorbankan. “Pemerintah selama ini cenderung memaksakan kehendak atas ruang investasi perkebunan skala besar yang diberikan kepada pemodal tanpa memeprhatikan aspek sosial dan lingkungan berkelanjutan secara serius”, terangnya.
Kebijakan pembukaan perkebunan skala besar (Sawit) di Kalimantan Barat hingga saat ini miasalnya, melalui izin yang dikeluarkan telah mencapai hampir empat juta hektar. Melebihi quota yang dialokasikan (1,5 juta Ha). Fenomena inkonsistensi luasan peruntukan di sektor perkebunan sawit ini juga tidak terlepas dari bergulirnya otonomi daerah selama ini yang memberikan kewenangan lebih kepada pemerintah di daerah untuk memberikan legalitas. Apalagi bila tidak disertai kontrol serius pihak legislative didaerah dan perwakilan pemerintah pusat di Kalimantan Barat. Disamping memunculkan potensi persoalan tumpang tindih perizinan, juga membuka kran potensi korupsi dalam sektor pengelolaan SDA oleh pemerintah. Besarnya potensi konflik SDA dan penyalaghunaan kewenangan yang dapat berujung pada korupsi di sektor pengelolaan SDA tersebut, maka peran Negara melalui pemerintah pusat menjadi harapan.
Disamping persoalan pengelolaan SDA di sektor pengembangan perkebunan sawit skala besar, upaya untuk mendongkrak sumber energi dari nuklir melalui rencana kebijakan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) saat ini juga sedang giat-giatnya di promosikan oleh Pemerintah Indonesia. Atas rencana ini para promotor PLTN telah menetapkan sejumlah tempat untuk dikembangkan sebagai tapak PLTN di Indonesia. Semenanjung Muria, selanjutnya Bangka Belitung menjadi target utama selama ini untuk dijadikan lokasi pembangunan PLTN di Indonesia sekalipun masih belum bisa di realisasikan karena sikap keras warga yang menolak dan bahkan hingga memfatwa haram rencana PLTN. Penolakan yang keras dari berbagai elemen masyarakat dengan basis argumentasi yang kuat ini menjadi pertimbangan bagi pemerintah Indonesia, sehingga dengan demikian berbagai tempat lainnya sangat mungkin dijadikan lokasi target pembangunan PLTN berikutnya.
Provinsi Kalimantan Barat khususnya dan pulau Kalimantan umumnya, adalah bagian dari wilayah target pengembangan energi berbahaya tersebut (PLTN). Alas pikir pengembangan PLTN tersebut karena diindikasikan sebagai kawasan yang aman dari potensi bencana alam dan memiliki bahan mentah (Uranium). Sejauh ini pemerintah daerah Kalimantan Barat membuka diri dengan wacana pengembangan PLTN, namun disayangkan sikap ”wellcome” pemerintah daerah selama ini hanya sepihak. Terlebih sejauh ini juga, belum ada penjelasan resmi pemerintah daerah Kalbar berkenaan dengan wacana pembangunan PLTN di daerah ini. Padahal sikap transparan sebagai wujud dari tata pemerintahan yang baik mestinya menjadi semangat bagi pemerintah daerah dalam menggalakkan kebijakan pembangunan bila memang sungguh diarahkan untuk kepentingan publik. Sikap ”tertutup” ini harusnya tidak perlu terjadi bila pemerintah memiliki niat baik untuk memberikan yang terbaik bagi warganya.
Bagaimanapun kebijakan pengembangan PLTN di Indonesia umumnya dan di Kalimantan Barat khususnya bukan sebuah prioritas, bukan pilihan bijak. Bukan juga sebuah jawaban atas fenomena krisis energi (listrik) yang seringkali dijadikan sebagai alasan klasik. Karena pada kenyataannya, maish terlalu banyak potensi energi terbarukan lainnya (panas bumi, air, angin, surya) yang sangat mungkin dikembangkan namun belum ada upaya maksimal yang serius dilakukan. Berkaca dari berbagai bencana nuklir (PLTN) diberbagai belahan dunia yang mampu memberikan dampak negatif yang luar biasa terhadap kehidupan, maka menjadi penting dan mendesak bagi pemerintah untuk melakukan evaluasi dan memikirkan langkah bijak yang tidak memiliki resiko besar. Tidak ada jaminan bahwa pengembangan PLTN akan berjalan mulus dan bebas dari bencana, sekalipun berada di daerah yang diidentifikasi sebagai kawasan yang aman dari bencana alam. Kecelakaan fatal karena berbagai faktor (lalai, kecelakaan, kesengajaan) sangat mungkin terjadi, sehingga pilihan pengembangan PLTN merupakan bagian dari kebijakan yang terlalu di paksakan dan beresiko besar.
Hadirnya kepala negara beserta rombongan di Pontianak tidak akan memberi manfaat besar bila hanya sekedar menghadiri kedua acara seremonial tersebut diatas semata. Kehadiran Presiden SBY bersama rombongan diharapkan dapat mengakomodir berbagai persoalan yang dihadapi warga Kalimantan Barat. Kebijakan pengembangan perkebunan kelapa sawit skala besar di dan rencana pembangunan PLTN disamping berbagai persoalan sosial lain, kiranya penting mendapat perhatian serius pemerintah.
Kebijakan pembukaan perkebunan sawit skala besar terlalu banyak memberikan dampak destruktif bagi warga Kalimantan Barat khususnya karena dengan sendirinya menghilangkan hak kelola dan menjadikan warga bukan sebagai tuan, melainkan buruh. Disamping itu dengan demikian akses warga untuk menghasilkan sumber pangan juga akhirnya terbatas, karena sebagian besar ruang kelola diserahkan secara sepihak kepada pemodal melalui kepala daerah. Persoalan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) juga menjadi fenomena yang tidak terpisahkan dari kebijakan yang cenderung eksploitatif dan ”tunduk” pada pemodal ini. Demikian juga halnya rencana kebijakan pembangunan PLTN oleh pemerintah yang terlalu berbahaya bagi keselamatan hidup dan kehidupan. Bencana Chernobyl tahun 1986 di Ukraina dan bencana meledaknya PLTN Fukushima Daichii di Jepang 2011 hendaknya dapat menjadi catatan penting pemerintah atas rencana pembangunan PLTN. Terlebih untuk saat ini pemeirntah Jepang dan sejumlah negara maju telah memikirkan untuk menghentikan pengembangan PLTN di negara mereka. Sementara pemerintah Indonesia yang masih memiliki banyak keterbatasan terkesan ’ngotot’ dan memaksakan diri uttuk terus maju dengan rencana pengembangan PLTN.
Dengan demikian, hadirnya Presiden SBY bersama rombongan bagi warga Kalbar tentunya diharapkan dapat menjadi angin sejuk terutama bagaimana kemudian dapat memberikan perhatian serius atas berbagai persoalan sosial dan persoalan lingkungan. Presiden SBY beserta rombongan diharapkan dapat melakukan intervensi terhadap kebijakan pengembangan perkebunan sawit skala besar dan rencana pembangunan PLTN di Indonesia. Kepala negara beserta segenap lini pemeritahan hingga ke daerah diharapkan tidak gampang tunduk pada pemodal. Hentikan berbagai potensi konflik SDA di Kalimantan Barat dengan melakukan evaluasi serius atas kebijakan perkebunan sawit dan hentikan kebijakan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN). (riz/ctr)
Sumber : http://www.kalbarinfo.com/news/seruan-walhi-kepada-prsiden.html
SBY Urged to Evaluate Oil Palm Plantation Development
Senin, 30 Mei 2011 | 14:49 WIB
PONTIANAK, KOMPAS.com - The West Kalimantan chapter of the Indonesian Forum for the Environment (WALHI) has called on President Susilo Bambang Yudhoyono to evaluate the massive way in which oil palm plantations were being opened in the country and to abandon plans to build a nuclear power plant.
"We hope the government will not force its will in developing oil palm plantations and planning to build a nuclear power plant without paying attention to their social and environmental aspects," said Hendrikus Adam, chairman of the West Kalimantan chapter of WAHLI’s Research and Campaign Division.
West Kalimantan reportedly has around four million hectares of oil palm plantations, exceeding the quota of 1.5 million hectares. The massive development of oil palm cultivation in West Kalimantan could cause conflicts between indigenous people as owners of traditional land and plantation developers.
"We and the people need certainty and a clear stance of the government in protecting the people’s right to enjoy good and healthy environmental conditions," he said.
According to the local WALHI’s data, there have been 6,632 ecology-related disasters. Data from Oil Palm Watch shows there have been 630 conflicts regarding oil palm plantations and 200 monoculture plantation conflicts up to 2010.
From 1980s to 2009, a total of 229 companies have received licenses to open 3.57 million hectares of oil palm plantations, but only 318,560 hectares have been developed, according to data from the Dayakology Institute and Oil Palm Watch collected from six districts in West Kalimantan Province. President Susilo Bambang Yudhoyono is scheduled to visit Pontianak on May 30 and 31, 2011.
Sumber: http://english.kompas.com/read/2011/05/30/14495568/SBY.Urged.to.Evaluate.Oil.Palm.Plantation.Development.
PONTIANAK, KOMPAS.com - The West Kalimantan chapter of the Indonesian Forum for the Environment (WALHI) has called on President Susilo Bambang Yudhoyono to evaluate the massive way in which oil palm plantations were being opened in the country and to abandon plans to build a nuclear power plant.
"We hope the government will not force its will in developing oil palm plantations and planning to build a nuclear power plant without paying attention to their social and environmental aspects," said Hendrikus Adam, chairman of the West Kalimantan chapter of WAHLI’s Research and Campaign Division.
West Kalimantan reportedly has around four million hectares of oil palm plantations, exceeding the quota of 1.5 million hectares. The massive development of oil palm cultivation in West Kalimantan could cause conflicts between indigenous people as owners of traditional land and plantation developers.
"We and the people need certainty and a clear stance of the government in protecting the people’s right to enjoy good and healthy environmental conditions," he said.
According to the local WALHI’s data, there have been 6,632 ecology-related disasters. Data from Oil Palm Watch shows there have been 630 conflicts regarding oil palm plantations and 200 monoculture plantation conflicts up to 2010.
From 1980s to 2009, a total of 229 companies have received licenses to open 3.57 million hectares of oil palm plantations, but only 318,560 hectares have been developed, according to data from the Dayakology Institute and Oil Palm Watch collected from six districts in West Kalimantan Province. President Susilo Bambang Yudhoyono is scheduled to visit Pontianak on May 30 and 31, 2011.
Sumber: http://english.kompas.com/read/2011/05/30/14495568/SBY.Urged.to.Evaluate.Oil.Palm.Plantation.Development.
Walhi Harapkan Presiden Evaluasi Pengembangan Sawit
Senin, 30 Mei 2011 12:39 WIB | 757 Views
Pontianak (ANTARA News) - Wahana lingkungan Hidup Indonesia Kalimantan Barat berharap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk mengevaluasi pengembangan perkebunan sawit dalam skala besar dan menghentikan agenda pembangunan PLTN.
"Kami berharap pemerintah tidak memaksakan kehendaknya dalam mengembangkan perkebunan sawit dan PLTN tanpa memperhatikan aspek sosial dan lingkungan," kata Kepala Devisi Riset dan Kampanye WALHI Kalbar Hendrikus Adam di Pontianak, Senin.
Ia mencontohkan, saat ini kepala daerah di Kalbar berebut melepaskan lahannya untuk pengembangan sawit, malah luasnya sudah mencapai sekitar empat juta hektare atau melebihi dari kuota sebesar 1,5 juta hektare.
Akibatnya sangat berpotensi menimbulkan konflik antara pengusaha dan masyarakat sebagai pemilik tanah adat yang kondisi tanahnya terancam diambil oleh pihak pengemban perkebunan.
"Kami dan masyarakat membutuhkan kepastian dan sikap jelas atas perlindungan dari pemerintah terhadap warganya atas kondisi lingkungan yang baik dan sehat sebagai bagian dari Hak Asasi Manusia," katanya.
Menurut catatan WALHI Kalbar, dalam kurun 13 tahun terakhir telah terjadi 6.632 bencana terkait ekologi, data Sawit Watch hingga 2010 telah terjadi 630 konflik terkait perkebunan sawit, sebanyak 200 konflik perkebunan monokultur terjadi di Kalbar.
Sementara menurut data dari Institut Dayakologi dan Sawit Watch di enam kabupaten di Kalbar, perluasan perkebunan sawit sejak tahun 1980-an hingga 2009 sudah 229 perusahaan yang mengantongi izin perluasan sawit dengan luas 3,57 juta hektare, namun baru terealisasi sekitar 318.560 ribu hektare.
Sementara itu, Kepala Devisi Riset dan Kampanye WALHI Kalbar menyatakan, terkait rencana pengembangan PLTN di Kalbar sebaiknya disosialisasikan dahulu apakah masyarakat menerimanya atau menolak.
"Keputusan akan mengembangkan PLTN di Indonesia dan Kalbar belum prioritas dan bukan pilihan bijak untuk mengatasi krisis energi karena masih banyak potensi energi terbarukan, seperti panas bumi, air, angin dan surya," katanya.
Hingga saat ini belum ada jaminan dari pengembangan PLTN karena risikonya cukup besar akibat kelalaian, kecelakaan dan kesengajaan sehingga keputusan itu terlalu dipaksakan dan beresiko besar, kata Hendrikus.
Menurut WALHI Kalbar, kehadiran Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan rombongan dalam rangkaian kegiatan kunjungan memperingati Bulan Bhakti Gotong Royong Masyarakat VIII dan Hari Kesatuan Gerak PKK ke-39 di Pontianak, 30 - 31 Mei diharapkan tidak hanya seremonial semata.
Kehadiran Presiden SBY bersama rombongan diharapkan dapat mengakomodir berbagai persoalan yang dihadapi masyarakat Kalbar, seperti memberikan perhatian khusus terhadap kebijakan pengembangan perkebunan kelapa sawit rencana pembangunan PLTN.
(A057/S026)
Sumber : http://www.antaranews.com/berita/260837/walhi-harapkan-presiden-evaluasi-pengembangan-sawit
Pontianak (ANTARA News) - Wahana lingkungan Hidup Indonesia Kalimantan Barat berharap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk mengevaluasi pengembangan perkebunan sawit dalam skala besar dan menghentikan agenda pembangunan PLTN.
"Kami berharap pemerintah tidak memaksakan kehendaknya dalam mengembangkan perkebunan sawit dan PLTN tanpa memperhatikan aspek sosial dan lingkungan," kata Kepala Devisi Riset dan Kampanye WALHI Kalbar Hendrikus Adam di Pontianak, Senin.
Ia mencontohkan, saat ini kepala daerah di Kalbar berebut melepaskan lahannya untuk pengembangan sawit, malah luasnya sudah mencapai sekitar empat juta hektare atau melebihi dari kuota sebesar 1,5 juta hektare.
Akibatnya sangat berpotensi menimbulkan konflik antara pengusaha dan masyarakat sebagai pemilik tanah adat yang kondisi tanahnya terancam diambil oleh pihak pengemban perkebunan.
"Kami dan masyarakat membutuhkan kepastian dan sikap jelas atas perlindungan dari pemerintah terhadap warganya atas kondisi lingkungan yang baik dan sehat sebagai bagian dari Hak Asasi Manusia," katanya.
Menurut catatan WALHI Kalbar, dalam kurun 13 tahun terakhir telah terjadi 6.632 bencana terkait ekologi, data Sawit Watch hingga 2010 telah terjadi 630 konflik terkait perkebunan sawit, sebanyak 200 konflik perkebunan monokultur terjadi di Kalbar.
Sementara menurut data dari Institut Dayakologi dan Sawit Watch di enam kabupaten di Kalbar, perluasan perkebunan sawit sejak tahun 1980-an hingga 2009 sudah 229 perusahaan yang mengantongi izin perluasan sawit dengan luas 3,57 juta hektare, namun baru terealisasi sekitar 318.560 ribu hektare.
Sementara itu, Kepala Devisi Riset dan Kampanye WALHI Kalbar menyatakan, terkait rencana pengembangan PLTN di Kalbar sebaiknya disosialisasikan dahulu apakah masyarakat menerimanya atau menolak.
"Keputusan akan mengembangkan PLTN di Indonesia dan Kalbar belum prioritas dan bukan pilihan bijak untuk mengatasi krisis energi karena masih banyak potensi energi terbarukan, seperti panas bumi, air, angin dan surya," katanya.
Hingga saat ini belum ada jaminan dari pengembangan PLTN karena risikonya cukup besar akibat kelalaian, kecelakaan dan kesengajaan sehingga keputusan itu terlalu dipaksakan dan beresiko besar, kata Hendrikus.
Menurut WALHI Kalbar, kehadiran Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan rombongan dalam rangkaian kegiatan kunjungan memperingati Bulan Bhakti Gotong Royong Masyarakat VIII dan Hari Kesatuan Gerak PKK ke-39 di Pontianak, 30 - 31 Mei diharapkan tidak hanya seremonial semata.
Kehadiran Presiden SBY bersama rombongan diharapkan dapat mengakomodir berbagai persoalan yang dihadapi masyarakat Kalbar, seperti memberikan perhatian khusus terhadap kebijakan pengembangan perkebunan kelapa sawit rencana pembangunan PLTN.
(A057/S026)
Sumber : http://www.antaranews.com/berita/260837/walhi-harapkan-presiden-evaluasi-pengembangan-sawit
Langganan:
Postingan (Atom)