Tambang Emas Singkawang (3)
Migrasi kuli penambang emas sangat dinamis. Bos tambang menentukan dimana mata pipa dipancang.
Muhlis Suhaeri / Angga Haksoro
27 Mei 2011 - 15:11 WIB
Surga tambang emas. Tak terjamah.
Hampir tak ada wilayah di Kalimantan Barat yang bebas dari penambangan emas. Mulai ujung perbatasan bagian barat hingga timur. Termasuk wilayah-wilayah pedalaman. Puluhan sungai besar jadi pusat aktivitas penambangan emas tanpa izin. Migrasi para penambang emas sangat dinamis.
Penambang emas di Sagatani, Singkawang, 80 persen dari Sintang. Mereka datang secara rombongan. “Biasanya dicari yang mau kerja dan tahan lama. Kerja ini berat. Jangan sampai 2-3 hari minta pulang,” kata Anton. Pekerja yang dicari biasanya yang lincah dan rajin.
Anton bos pekerja tambang emas di Sagatani. Lelaki 30 tahun ini punya dua set mesin dan sepuluh anak buah.
Cara mencari penambang, melalui koordinator atau kepala rombongan. Penambang yang sudah pernah kerja disuruh pulang, untuk mencari pekerja baru. Mereka sendiri yang tahu, dan bisa cocok dengan siapa. Kepala rombongan biasanya mencari pekerja.
“Kalau pekerja tidak bagus, kita tinggal menegur kepala rombongan,” ujar Anton.
Kepala rombongan tak harus memiliki pengalaman kerja lama. Meski baru bekerja, kalau sudah lihai dan mampu memimpin pekerja di lapangan, bisa jadi kepala rombongan.
Ketika cari pekerja, bos biasanya menangggung biaya transportasi calon pekerja. Berapa pun biayanya akan ditanggung. Termasuk uang pinjaman Rp 1 juta sampai Rp 2 juta untuk anak dan istri calon pekerja.
Biaya transportasi Rp 500 ribu. Ongkos Singkawang-Sintang sekitar Rp 150 ribu. Dari Sintang ke kampung masing-masing, kadang membutuhkan waktu satu hingga dua hari.
Kerjanya dengan sistem kontrak. Kalau bisa bertahan kerja lebih dari satu bulan, ongkos pulang kampung ditanggung bos. Bila tak sampai sebulan, pekerja tanggung sendiri ongkosnya.
Cara pengupahan buruh dompeng dilakukan dengan sistem bagi hasil. Namun tak ada perjanjian tertulis. Pekerja bisa pindah kapan saja ke bos lain. Begitu juga kalau bos tambang bangkrut, pekerja otomatis berhenti.
Struktur kerja di pertambangan emas tanpa izin memiliki beberapa tingkatan. Pertama, penambang atau pekerja di lokasi. Kedua, bos para penambang. Bos penambang juga bertindak sebagai pengumpul emas dari para pendulang liar.
Ketiga, bos besar atau juragan emas yang membeli emas dari para bos tambang. Keempat, bos cetak atau yang menerima emas dari bos besar dan mencetaknya menjadi emas batangan.
Penambangan emas memiliki jaringan tersendiri. Saling terkait dan sukar diputus. Seperti pembalakan liar. Terorganisir. Kalaupun ada razia, paling hanya pekerja rendahan yang ditangkap. Para bos tambang, seringkali tak terjamah.
”Karena biasanya selalu ada oknum dari pihak terkait yang turut terlibat,” kata Hendrikus Adam, Kepala Divisi Riset dan Kampanye Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalimantan Barat.
Tak heran bila setiap ada razia, lokasi tambang selalu sepi. Informasi bocor duluan. Mereka yang jadi bos tambang biasanya orang bermodal. Membuka tambang emas butuh biaya besar. Bos tambang juga punya hubungan baik dengan aparat, orang di pemerintahan, politikus, serta para tokoh masyarakat lokal yang disegani.
”Tak tanggung, para bos tambang biasanya menyediakan jatah khusus atau upeti untuk aparat tersebut,” ujar Adam.
Menurut dia, momentum pemilihan kepala daerah dari tingkatan desa hingga kabupaten, biasanya terkait tambang emas ilegal. Ada hubungan timbal balik antara mereka.
”Para bos tambang berharap usahanya aman dan dilindungi. Sementara figur yang mencalonkan diri dalam sebuah suksesi berharap dapat dukungan agar bisa dipilih dan menang,” kata Adam.
Janji politik mampu membius warga. Hubungan antara para elit dengan para penambangan liar sangat kompleks. Ibarat benang kusut yang sukar diurai.
Hal itu bisa dilihat dari pola distribusi merkuri di Kalimantan Barat yang sulit dideteksi. Padahal semestinya gampang saja. Banyaknya operasi penertiban yang gagal, juga jadi indikasi adanya pihak lain di balik kegiatan ini.
Menurut Adam, kegiatan penambangan emas ilegal biasanya terkait dengan ”orang-orang penting” di sekitar wilayah tambang. Mereka memiliki andil besar memberikan izin tambang.
Umumnya juga melibatkan para bos dan pekerja dari luar daerah, sebagai pemilik mesin dan penggarap. Sementara warga setempat kebanyakan jadi penonton. Kalau pun ada, hanya sedikit yang terlibat. Warga setempat biasanya lebih banyak melakukan aktivitas keseharian seperti menoreh karet, berladang, atau mencari hasil hutan.
Adam memberikan beberapa contoh. Di Nguap, Kabupaten Landak, praktik penambangan emas ada di sepanjang tepian Sungai Belantian yang bermuara di Sungai Landak. Belasan tahun warga terpaksa menggunakan air sungai yang keruh dan pekat untuk mandi, cuci, dan kakus. Aparat desa punya andil besar atas hal itu. Para penambang di Nguap sebagian besar dari Sekadau.
Di Kabupaten Mandor pun demikian. Aktivitas penambangan emas ilegal tak terkendali. Lubang penggalian bahkan menjorok hingga ke pinggir kompleks pemakaman bersejarah, Makam Juang Mandor.
”Para pelaku tak terjamah. Kalaupun pelaku tertangkap tangan, biasanya berakhir damai.”
Di beberapa kawasan daerah aliran sungai Kalimantan Barat, aktivitas penambangan berperan merusak lingkungan dan mencemari air. Padahal sungai, bagian tak terpisahkan dari kehidupan warga.
”Ini tidak lepas dari andil pemerintah dan aparat terkait, yang terkesan selalu kompromi dan terlibat kongkalikong,” kata Adam.
Pemerintah ikut memperparah kondisi dengan membuka lebar peluang usaha tambang emas. Berdasarkan data Dinas Pertambangan dan Energi (Distamben) Kalbar, hingga tahun 2009 pemerintah telah memberikan izin pertambangan lebih dari dua juta hektare. Jumlah itu diluar penambangan liar.
Warga sekitar lokasi tambang paling sedikit mendapatkan keuntungan. Yang meraup rupiah paling banyak, pemodal dan “orang-orang penting” tersebut. Hanya segelintir pekerja yang berasal dari daerah tambang.
”Ini butuh penanganan serius dan menyeluruh,” kata Adam.
Migrasi para penambang emas tak lepas dari eratnya hubungan para bos tambang. Mereka biasanya duduk satu meja di rumah bos besar. Para bos tambang saling tukar informasi, daerah mana yang sedang ditemukan banyak emas. Dari informasi tersebut, mereka akan mengarahkan tujuan penambangan emas.
Begitu pun para pekerja emas. Saat dapat informasi dari rekannya, mereka segera menuju lokasi tersebut. “Biasanya kalau ada kabar di daerah itu banyak hasilkan emas, kami akan ke sana,” kata Snegar, penambang emas berusia 17 tahun. Sejak lulus SMP, dia sudah kerja di tambang emas.
Snegar dari Kabupaten Sintang. Jarak Sintang ke Singkawang sehari semalam naik bus. Untuk ongkos dan makan di jalan, butuh uang sekitar Rp 500 ribu.
Begitu juga Fransiskus Nanang Saputra. Tempat tinggalnya tak kalah jauh. Dia dari Serawai, Sintang. Dari Singkawang butuh waktu naik bus sehari dua malam. Ditambanh naik speed boat. Ongkosnya Rp 400 ribu. Sekali jalan, paling sedikit bawa uang Rp 1 juta.
Mereka pulang sebulan atau dua bulan sekali. Atau, tergantung hasil perolehan emas.
Migrasi para penambang tak lepas dari hasil yang menjanjikan. Namun, uang kadang menguap begitu saja. Seperti kisah Adi Sulistyono.
Adi baru kerja 10 hari di Sagatani. Hasilnya belum terlihat. Sebelumnya, dia kerja tambang emas di Indotani, Sandai, Kabupaten Ketapang. Tujuh tahun dia bertahan. Kerja itu dilakoni setelah Adi tak lulus SMA di Pontianak.
Jalan menuju lokasi pertambangan sulit sekali. Jalan ambles sampai 1,5 meter. Banyak truk terguling melewati jalan tersebut. Dari Ketapang naik ojek sekitar 12 jam. Ongkosnya Rp 250 ribu.
Ada ribuan penambang di Indotani. Sekitar 500-an set mesin beroperasi di daerah tersebut. Satu set mesin dipegang 12 pekerja. Para penambang memiliki tukang masak di setiap kamp. Pekerja tak sempat lagi memasak.
Untuk minum, para bos tambang biasanya pesan air galon. Terkadang mereka pakai air hujan yang ditampung dalam drum. Setelah itu dimasak. Makan tiga kali sehari. Kadang ada lauk, kadang tidak. Energinya dari mana? “Ya, tak ada energinya,” kata Adi.
Jika beruntung, pekerja dapat makan nasi berkawan telur atau ikan gaben, sejenis tongkol.
Jam kerja di penambangan tak tentu. Kadang mulai kerja pukul 10 atau 11. Kerja selesai pukul 5 atau 6 sore. Setelah itu, cuci baju, membersihkan badan, dan mendulang emas. Selepas itu, emas dibakar diatas piring yang dibungkus kertas rokok. Emas dicor agar padat.
Setiap pekerja di Indotani bisa dapat emas 100 gram seminggu. Satu gram emas dihargai Rp 470 ribu. Kadar emasnya tinggi.
Kalau pakai sistem bagi hasil 50:50 dengan bos tambang, pekerja bayar makan sendiri. Mereka utang dulu ke bos tambang. Dengan sistem itu, pekerja bebas pilih makanan. Tinggal pesan ke bos. Semua yang dibutuhkan pasti ada. Setelah 15 hari kerja, hasilnya dihitung. Hasil itu dikurangi biaya makan.
“Kalau perbandingan 70:30, susah karena semua kebutuhan ditanggung bos,” kata Adi. Pekerja tidak bisa pesan sesuatu sesuai yang diinginkan.
Kerja di Indotani lebih berat. Emas diangkat dengan cara melubangi rawa. Lubang ditembak dengan air penyemprot. Setelah itu, air disedot. Air di permukaan harus kering. Kadang harus membongkar batu cadas. Bila tidak hati-hati, badan bisa remuk terhimpit batu.
Hasil menambang emas di Ketapang, jarang meleset. Tiap bayaran, rata-rata dapat Rp 3 juta. Jumlah itu sudah bersih, setelah dipotong utang uang makan pada bos.
Di Indotani, pekerja juga bisa utang makan atau rokok ke kantin. Setelah 10 hari ambil rokok, minum es, atau utang apa pun, orang kantin akan percaya. Di Sagatani, orang belum percaya.
Kegiatan penambangan di Sagatani mengundang pedagang keliling. Hambali misalnya. Pria 54 tahun asal Brebes, Jawa Tengah ini, biasa membawa makanan keliling lokasi penambangan. Sudah setahun dia berjualan keliling penambangan emas di Sagatani.
Hambali jualan empat hari sekali. Dagangannya mulai dari jagung hingga berbagai obat-obatan. Seperti obat encok, asam urat, obat kuat, dan lainnya. Jagung dibawa dari kebun di Pasiran, Singkawang. Dalam satu keranjang biasanya ada 50 tongkol jagung.
Dia berjalan seharian mengelilingi lokasi penambangan. Sore hari, balik ke rumahnya di Pasiran, Singkawang.
Sebagian besar penambang emas di Sagatani rata-rata pernah bekerja di lima hingga tujuh lokasi penambangan. Mengapa para penambang mau meninggalkan rumah, dan bekerja di lokasi yang demikian jauh?
“Kerja emas menjamin hidup,” kata Dedi Hermanto dari Sungai Ulak, Kecamatan Kapuas Kanan Hulu, Sintang.
Dedi kerja tambang emas setelah lulus SMP. Dia termasuk yang berhasil. Dedi sudah punya rumah besar di kampungnya. Anaknya umur lima tahun. Sekarang istrinya sedang hamil delapan bulan.
Sebanyak 70 persen hasil tambang untuk bos. Hasil 30 persen untuk para pekerja. Sepuluh persen untuk koordinator pekerja, diambil dari jatah bos tambang. Tugas koordinator cukup berat. Dia harus bisa mengkoordinasikan semua pekerja. Bila tidak kompak, berpengaruh pada hasil.
Gaji dihitung seminggu sekali. “Rata-rata dapat Rp 1 juta seminggu,” kata Dedi.
Di Sagatani ada sekitar 500 bos tambang. Bos tambang menyediakan berbagai keperluan pekerja. Mulai dari makan tiga kali sehari. Rokok dua bungkus sehari. Bahan bakar mesin diesel, dan lainnya. Bos menanggung semua kebutuhan pekerja. Kesehatan pekerja dijamin. Kalau pekerja sakit, bos tambang bertanggung jawab. Bahkan ada uang pati, bila ada pekerja yang meninggal karena kecelakaan.
Dedi sudah lima bulan bekerja di Sagatani. Awalnya Dedi kerja di Sagatani dengan bos dari Sintang. Bos berhenti karena tak ada hasil. Dedi pindah bos.
Bulan puasa makin banyak orang kerja emas, karena mengejar uang untuk Idul Fitri. “Kerja emas enak tak enak tergantung hasil.”
Dedi juga pernah kerja di penambangan emas di Balai Karangan, Sanggau, tahun 1986. Sistem kerjanya harian, dibayar Rp 8 ribu dan diberi satu karung pasir mengandung emas.
Emas didulang sendiri. Satu karung dapat sekitar 15 gram. Emas kemudian dijual ke penampung. Satu gram emas dibayar Rp 50 ribu sampai Rp 60 ribu. Sekarang harga emas di tingkat pengumpul Rp 325 ribu per gram. Ada kenaikan harga, sesuai kenaikan harga emas dunia. Sebelumnya cuma Rp 300 ribu.
Dedi juga pernah kerja di tambang emas Nanga Kayan, Kabupaten Melawi. Menurutnya, kalau masih bujangan, biasanya uang akan habis begitu saja. Di lokasi penambangan emas ada kantin. Yang menyediakan berbagai macam kebutuhan para penambang. Mulai rokok, makan, minuman keras. Bahkan ada karaoke dan meja biliar.
“Uang habis untuk happy-happy. Ya, abang tahu sendirilah….” Kata Dedi dengan santai. (bersambung)
Foto: VHRmedia/Muhlis Suhaeri
Sumber: http://www.vhrmedia.com/2010/detail.php?.e=2765
Selasa, 31 Mei 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar