Sabtu, 18/09/2010/pk/08:08:00
Ashri Isnaini, POntianak Post.
PONTIANAK - Kadiv Riset dan Kampanye Walhi Kalbar, Hendrikus Adam mengatakan hingga saat ini berbagai kasus kriminalisasi masyarakat masih sering terjadi di daerah, seperti di Semunying Jaya, terdapat dua orang warga (Momonus dan jamaludin) dipenjara karena berjuang mempertahankan haknya atas tanah dan sumber daya alamnya yang digusur tanpa permisi oleh sebuah perusahaan sawit setempat.
Selain itu kata dia juga terjadi penahanan tiga warga Keluap Pelaik di Kabupaten Melawi juga dengan persoalan yang tidak jauh berbeda dan di ketapang juga terjadi penahanan dua masyarakat adat (Andi dan Japin) yang berjuang mempertahankan tanahnya atas konsesi sebuah perusahaan sawit. “Kejadian ini menunjukkan hingga sekarang keberadaan masyarakat adat masih sangat rentan terhadap kriminalisasi yang dilakukan oleh aparat penegak hokum, terlebih lagi apa yang terjadi dan dialami masyarakat adapt seringkali tidak memenuhi rasa keadilan bagi warga,”paparnya.
Untuk mendapat legalitas dari pemerintah daerah dalam menjalankan usahanya membuka kawasan hutan untuk perkebunan sawit tambahnya, seringkali pihak perusahaan menggunakan jargon untuk mensejahtrakan raakyat. Selain itu, kata Adam, sapaan akrabnya, warga selama ini juga seringkali diberikan informasi yang tidak utuh tentang investasi yang akan dibangun disuatu daerah.
“Sedikit ada empat mitos yang seringkali digunakan pihak perusahaan tersebut untuk mengiming-imingi warga agar sebuah investasi besar bisa diterima oleh masyarakat setempat, walaupun dalam kenyataannya di lapangan lebih banyak masuk karena “dipaksakan”,”ujarnya.
Adapun empat hal yang dijanjikan pihak investor tersebut kata dia, yakni mengenai akan membuka lapangan pekerjaan, membuka daerah terisolir, meningkatkan PAD, dan menjanjikan kesejahtraan bagi rakyat. Keempat dalih pembangunan investasi ini menurutnya seringkali membuat warga terbuai, sehingga alat produksi penting yang dimiliki seperti tanah akhirnya harus berpindah kepemilikan kepada pihak lain.
Kata Adam, keempat hal ini sesungguhnya juga tidak begitu mendasar bila di telaah lebih kritis, Karena pada kenyataannya sesungguhnya, warga di daerah pedalaman sana tidak pernah merasa kekurangan pekerjaan. “Mereka telah terbiasa dengan melakukan kegiatan menorah karet dan melakukan kegiatan pertanian lainnya untuk mempertahankan hidup.
Sebaliknya, justru pihak perusahaanlah yang membutuhkan tenaga kerja, karena bila tanpa tenaga kerja maka sebuah usaha tidak akan berjalan. Demikian halnya soal membuka daerah terisolir, ini juga terlalu mengada-ada. Yang namanya memberikan akses kebutuhan dasar bagi rakyat seperti sarana pendidikan, kesehatan dan juga infrastruktur seperti jalan adalah kewajiban negara untuk memenuhinya,”katanya.
Fenomena ini menurutnya seakan-akan menunjukkan ada sistem barter bila membuka daerah terisolir harus dengan membangun perkebunan. Jadi seharusnya ujar Adam, tidak ada sistem barter. Menurutnya rakyat di daerah memang membutuhkan perbaikan jalan, silakan dibangun.
Namun tidak harus ditukar dengan membabat sumber kehidupan warga dengan perkebunan yang sudah pasti akan membawa sejumlah konsekuensi yang buruk atas keberadaan hutan, tanah dan air yang selama ini diakses oleh warga. “Sama halnya dalih untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Faktanya saat ini PAD dari sektor perkebunan sawit nihil.
Malah hanya oknum-oknum tertentu yang diuntungkan, sementara rakyat akhirnya tetap kehilangan tanah dan bahkan tidak lagi menjadi tuan atas apa yang dulunya dimiliki,”tandasnya.(ash)
Sumber:
http://www.pontianakpost.com/index.php?mib=berita.detail&id=38905
Sabtu, 25 September 2010
Sabtu, 18 September 2010
Jangan Paksakan Rakyat Menyerahkan Alat Produksinya!
Jum'at, 17/09/2010/pk/09:03:00 wiba
Pontianak Post, Wartawan; Heri Mustari.
Sintang - Berbagai kasus kriminalisasi masyarakat seringkali terjadi disejumlah daerah terkait persoalan investasi sehingga persoalan yanmg muncul itu haruslah menjadi bahan evaluasi pemerintah dalam mengelola investasi di daerahnya masing-masing. Kadiv Riset dan Kampanye Walhi Kalbar, Hendrikus Adam mencontohkan kasus di Semunying Jaya Kabupaten Bengkayang. Sejak beberapa tahun silam dua orang warga dipenjara karena berjuang mempertahankan hak mereka atas tanah dan sumber daya alamnya yang digusur tanpa permisi oleh perusahaan sawit PT Ledo Lestari.“Selanjutnya juga terjadi penahanan tiga warga Pelaik Keruap Kecamatan Menukung Kabupaten Melawi atas persoalan yang tidak jauih berbeda, begitu juga yang terjadi di Ketapang,” jelasnya.
Contoh itu kata dia adalah deretan persoalan yang penting menjadi catatan bersama betapa keberadaan masyarakat adat masih sangat rentan terhadap kriminalisasi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. “Terlebih upaya yang terjadi dan dialami masyarakat adat seringkali tidak memenuhi rasa keadilan bagi warga,” ungkapnya ketika berada di Sintang baru-baru ini.Menurutnya, pihak perusahaan yang mendapat legalitas dari pemerintah daerah dalam melakukan usahanya membuka kasawan hutan untuk perkebunan sawit seringkali menggunakan jargon untuk mensejahterakan rakyat. “Warga selama ini juga seringkali diberikan informasi yang tidak utuh tentang sebuah investasi yang akan dibangun dalam suatu daerah,” jelasnya.
Ia mengatakan sedikitnya ada empat mitos yang seringkali dilakukan untuk mengiming-imingi warga agar sebuah investasi besar bisa diterima oleh masyarakat walaupun dalam kenyataannya dilapangan lebih banyak masuk karena ‘dipaksakan’.Keempat hal tersebut adalah membuka lapangan pekerjaan, membuka daerah terisolir, meningkatkan PAD dan menjanjikan kesejahteraan bagi rakyat. “Keempat dalih pembangunan investasi ini seringkali membuat warga terbuai, sehingga alat produksi penting yang dimiliki seperti tanah akhirnya harus berpindah kepemilikan kepada pihak lain,” ungkapnya.Keempat hal ini sesungguhnya juga tidak begitu mendasar bila ditelaah lebih kritis karena menurutnya pada kenyataannya sesungguhnya, warga di daerah pedalaman tidak pernah merasa kekurangan pekerjaan. “Mereka telah terbiasa dengan melakukan kegiatan menoreh karet dan melakukan kegiatan pertanian lainnya untuk mempertahankan hidup,” imbuhnya.
Sebaliknya kata dia justru sesungguhnya pihak perusahaanlah yang membutuhkan tenaga kerja, karena bila tanpa tenaga kerja maka sebuah usaha tidak akan berjalan. Demikian halnya soal membuka daerah terisolir. “Dalih ini juga terlalu mengada-ada karena yang namanya memberikan akses kebutuhan dasar bagi rakyat seperti sarana pendidikan, kesehatan dan juga infrastruktur seperti jalan adalah kewajiban negara untuk memenuhinya,” kata dia.Ia mengatakan seakan-akan ada sistem barter bila membuka daerah terisolir harus dengan membangun perkebunan. “Jadi seharusnya tidak ada sistem barter,” jelasnya.Rakyat di daerah kata dia memang membutuhkan perbaikan jalan, silahkan dibangun oleh pemerintah. “Namun tidak harus ditukar dengan membabat sumber kehidupan warga dengan perkebunan yang sudah pasti akan membawa sejumlah konsekuensi yang buruk atas keberadaan hutan, tanah dan air yang selama ini diakses oleh warga,” ucapnya.
Demikian juga dengan dalih untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah. Faktanya kata dia saat ini PAD dari sektor perkebunan sawit nihil. “Malah hanya oknum-oknum tertentu yang diuntungkan, sementara rakyat akhirnya tetap kehilangan tanah dan bahkan tidak lagi menjadi tuan atas apa yang dulunya dimiliki,” ungkapnya.
Mengenai dalih kesejahteraan ia menegaskan siapa yang berani menjamin, bila perkebunan masuk dalam suatu wilayah maka warga setempat akan sejahtera?. “Jadi terkesan hanya omong kosong saja,” ucapnya.Menurutnya, kasus yang menimpa dua orang ibu rumah tangga di kampung Sanjan Emberas di Kabupaten Sanggau beberapa waktu lalu yang dikriminalisasi adalah sebuah realita dimana keterbatasan akses terhadap tanah karena telah dikuasai oleh perusahaan. “Hanya karena mengambil ‘sisa’ brondolan sawit yang tidak lagi terpakai, sampai-sampai pihak managemen perusahaan perkebunan sawit memprosesnya hingga ke jalur hukum positif,” paparnya.
Pada hal kata dia seharusnya masalah itu bisa diselesaikan melalui pendekatan kekeluargaan. “Kondisi ini mengambarkan betapa keberadaan masyarakat adat yang awalnya sebagai pemilik wilayah kelola justru seringkali harus menelan pil pahit,” ujarnya. Pendekatan keamanan dengan menempuh jalur hukum negara (positif) melalui perlindungan sejumlah oknum ‘aparat’ menurut Adam seringkali menjadi bagian dari cara yang seringkali ditempuh bagi investor guna melindungi usahanya. Ia mencontohkan di kampung Sejirak, Kecamatan Ketungau Hilir Kabupaten Sintang beberapa waktu lalu, kriminalisasi dialami oleh sebanyak 15 orang warga (dua diantaranya dibebaskan) yang membuka lahan untuk perladangan diatas tanah yang secara defakto dimiliki mereka. “Selama 15 hari mereka harus mendekam dalam jeruji besi beberapa waktu lalu dan baru ditangguhkan penahanannya sehari sebelum pelantikan Bupati Sintang bahkan kini mereka masih tetap harus melapor sekali dalam setiap Minggu dengan biaya yang tentu saja tidak sedikit dikeluarkan karena harus menempuh berjam-jam perjalanan lamanya dari kampung menuju Kantor Polres di ibukota Kabupaten,” kata dia.
Bila memang harus melapor, menurutnya sedianya pihak terkait dapat lebih bijak memberikan keringanan masa wajib lapor sekali dalam sebulan misalnya. “Atau bahkan bila perlu dihentikan proses hukum ini,” ujarnya.Pihak pelapor juga kata dia hendaknya tidak memaksakan kehendak tanpa melakukan koreksi atas kinerja manajemen yang dilakukan selama ini. Latar belakang yang menjadikan warga melakukan tindakan ‘nekad’ tersebut harusnya dilihat secara jernih dan hendaknya menjadi dasar dari proses penyelesaian persoalan yang terjadi. “Keterbatasan lahan pertanian untuk bercocok tanam, sikap tertutup pihak perusahaan, kinerja perusahaan yang justeru dirasakan warga tidak memberikan kontribusi dan ketidakkonsistenan terhadap kesepakatan bersama adalah sejumlah realitas yang mesti menjadi catatan krusial dan harus tetap dilihat untuk diselesaikan meskipun proses hukum suatu ketika akhirnya terhenti,” terangnya.
Pihak eksekutif juga menurutnya harus sigap menyikapi persoalan betapa perihnya kondisi yang dialami warga Sejirak yang dilaporkan oleh pihak PT Finnantara Intiga. “Persoalan yang menimpa warga Sejirak di Kecamatan Ketungau Hilir ini kiranya dapat menggugah semua pihak untuk dapat melakukan refleksi dan kajian yang utuh atas keberadaan masyarakat adat yang begitu rentan terhadap perlakuan yang jauh dari rasa keadilan, disaat hutan-tanah-air yang dimiliki telah dominan dikuasai oleh para spekulan/investor,” ucapnya.Ia mengatakan harus diakui bahwa kriminalisasi adalah buah dari kebijakan pembangunan ketika alat produksi rakyat yaitu hutan, tanah dan air dikuasai para spekulan yang mendapat legalitas dari penguasa. “Kriminalisasi terhadap masyarakat adat yang terjadi selama ini adalah simbol bahwa keberpihakan negara terhadap rakyatnya masih jauh dari harapan,” ujarnya.Negara melalui pemerintah menurutnya sudah selayaknya memberikan ruang bagi rakyat untuk melakukan pengelolaan terhadap alat produksinya. “Jangan paksakan mereka dengan gaya pembangunan yang justru mengancam keberadaan ekologi dan kondisi ekonomi, sosial dan budaya masyarakat,” pungkasnya. (mus)
Sumber:
http://www.pontianakpost.com/index.php?mib=berita.detail&id=38875
Pontianak Post, Wartawan; Heri Mustari.
Sintang - Berbagai kasus kriminalisasi masyarakat seringkali terjadi disejumlah daerah terkait persoalan investasi sehingga persoalan yanmg muncul itu haruslah menjadi bahan evaluasi pemerintah dalam mengelola investasi di daerahnya masing-masing. Kadiv Riset dan Kampanye Walhi Kalbar, Hendrikus Adam mencontohkan kasus di Semunying Jaya Kabupaten Bengkayang. Sejak beberapa tahun silam dua orang warga dipenjara karena berjuang mempertahankan hak mereka atas tanah dan sumber daya alamnya yang digusur tanpa permisi oleh perusahaan sawit PT Ledo Lestari.“Selanjutnya juga terjadi penahanan tiga warga Pelaik Keruap Kecamatan Menukung Kabupaten Melawi atas persoalan yang tidak jauih berbeda, begitu juga yang terjadi di Ketapang,” jelasnya.
Contoh itu kata dia adalah deretan persoalan yang penting menjadi catatan bersama betapa keberadaan masyarakat adat masih sangat rentan terhadap kriminalisasi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. “Terlebih upaya yang terjadi dan dialami masyarakat adat seringkali tidak memenuhi rasa keadilan bagi warga,” ungkapnya ketika berada di Sintang baru-baru ini.Menurutnya, pihak perusahaan yang mendapat legalitas dari pemerintah daerah dalam melakukan usahanya membuka kasawan hutan untuk perkebunan sawit seringkali menggunakan jargon untuk mensejahterakan rakyat. “Warga selama ini juga seringkali diberikan informasi yang tidak utuh tentang sebuah investasi yang akan dibangun dalam suatu daerah,” jelasnya.
Ia mengatakan sedikitnya ada empat mitos yang seringkali dilakukan untuk mengiming-imingi warga agar sebuah investasi besar bisa diterima oleh masyarakat walaupun dalam kenyataannya dilapangan lebih banyak masuk karena ‘dipaksakan’.Keempat hal tersebut adalah membuka lapangan pekerjaan, membuka daerah terisolir, meningkatkan PAD dan menjanjikan kesejahteraan bagi rakyat. “Keempat dalih pembangunan investasi ini seringkali membuat warga terbuai, sehingga alat produksi penting yang dimiliki seperti tanah akhirnya harus berpindah kepemilikan kepada pihak lain,” ungkapnya.Keempat hal ini sesungguhnya juga tidak begitu mendasar bila ditelaah lebih kritis karena menurutnya pada kenyataannya sesungguhnya, warga di daerah pedalaman tidak pernah merasa kekurangan pekerjaan. “Mereka telah terbiasa dengan melakukan kegiatan menoreh karet dan melakukan kegiatan pertanian lainnya untuk mempertahankan hidup,” imbuhnya.
Sebaliknya kata dia justru sesungguhnya pihak perusahaanlah yang membutuhkan tenaga kerja, karena bila tanpa tenaga kerja maka sebuah usaha tidak akan berjalan. Demikian halnya soal membuka daerah terisolir. “Dalih ini juga terlalu mengada-ada karena yang namanya memberikan akses kebutuhan dasar bagi rakyat seperti sarana pendidikan, kesehatan dan juga infrastruktur seperti jalan adalah kewajiban negara untuk memenuhinya,” kata dia.Ia mengatakan seakan-akan ada sistem barter bila membuka daerah terisolir harus dengan membangun perkebunan. “Jadi seharusnya tidak ada sistem barter,” jelasnya.Rakyat di daerah kata dia memang membutuhkan perbaikan jalan, silahkan dibangun oleh pemerintah. “Namun tidak harus ditukar dengan membabat sumber kehidupan warga dengan perkebunan yang sudah pasti akan membawa sejumlah konsekuensi yang buruk atas keberadaan hutan, tanah dan air yang selama ini diakses oleh warga,” ucapnya.
Demikian juga dengan dalih untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah. Faktanya kata dia saat ini PAD dari sektor perkebunan sawit nihil. “Malah hanya oknum-oknum tertentu yang diuntungkan, sementara rakyat akhirnya tetap kehilangan tanah dan bahkan tidak lagi menjadi tuan atas apa yang dulunya dimiliki,” ungkapnya.
Mengenai dalih kesejahteraan ia menegaskan siapa yang berani menjamin, bila perkebunan masuk dalam suatu wilayah maka warga setempat akan sejahtera?. “Jadi terkesan hanya omong kosong saja,” ucapnya.Menurutnya, kasus yang menimpa dua orang ibu rumah tangga di kampung Sanjan Emberas di Kabupaten Sanggau beberapa waktu lalu yang dikriminalisasi adalah sebuah realita dimana keterbatasan akses terhadap tanah karena telah dikuasai oleh perusahaan. “Hanya karena mengambil ‘sisa’ brondolan sawit yang tidak lagi terpakai, sampai-sampai pihak managemen perusahaan perkebunan sawit memprosesnya hingga ke jalur hukum positif,” paparnya.
Pada hal kata dia seharusnya masalah itu bisa diselesaikan melalui pendekatan kekeluargaan. “Kondisi ini mengambarkan betapa keberadaan masyarakat adat yang awalnya sebagai pemilik wilayah kelola justru seringkali harus menelan pil pahit,” ujarnya. Pendekatan keamanan dengan menempuh jalur hukum negara (positif) melalui perlindungan sejumlah oknum ‘aparat’ menurut Adam seringkali menjadi bagian dari cara yang seringkali ditempuh bagi investor guna melindungi usahanya. Ia mencontohkan di kampung Sejirak, Kecamatan Ketungau Hilir Kabupaten Sintang beberapa waktu lalu, kriminalisasi dialami oleh sebanyak 15 orang warga (dua diantaranya dibebaskan) yang membuka lahan untuk perladangan diatas tanah yang secara defakto dimiliki mereka. “Selama 15 hari mereka harus mendekam dalam jeruji besi beberapa waktu lalu dan baru ditangguhkan penahanannya sehari sebelum pelantikan Bupati Sintang bahkan kini mereka masih tetap harus melapor sekali dalam setiap Minggu dengan biaya yang tentu saja tidak sedikit dikeluarkan karena harus menempuh berjam-jam perjalanan lamanya dari kampung menuju Kantor Polres di ibukota Kabupaten,” kata dia.
Bila memang harus melapor, menurutnya sedianya pihak terkait dapat lebih bijak memberikan keringanan masa wajib lapor sekali dalam sebulan misalnya. “Atau bahkan bila perlu dihentikan proses hukum ini,” ujarnya.Pihak pelapor juga kata dia hendaknya tidak memaksakan kehendak tanpa melakukan koreksi atas kinerja manajemen yang dilakukan selama ini. Latar belakang yang menjadikan warga melakukan tindakan ‘nekad’ tersebut harusnya dilihat secara jernih dan hendaknya menjadi dasar dari proses penyelesaian persoalan yang terjadi. “Keterbatasan lahan pertanian untuk bercocok tanam, sikap tertutup pihak perusahaan, kinerja perusahaan yang justeru dirasakan warga tidak memberikan kontribusi dan ketidakkonsistenan terhadap kesepakatan bersama adalah sejumlah realitas yang mesti menjadi catatan krusial dan harus tetap dilihat untuk diselesaikan meskipun proses hukum suatu ketika akhirnya terhenti,” terangnya.
Pihak eksekutif juga menurutnya harus sigap menyikapi persoalan betapa perihnya kondisi yang dialami warga Sejirak yang dilaporkan oleh pihak PT Finnantara Intiga. “Persoalan yang menimpa warga Sejirak di Kecamatan Ketungau Hilir ini kiranya dapat menggugah semua pihak untuk dapat melakukan refleksi dan kajian yang utuh atas keberadaan masyarakat adat yang begitu rentan terhadap perlakuan yang jauh dari rasa keadilan, disaat hutan-tanah-air yang dimiliki telah dominan dikuasai oleh para spekulan/investor,” ucapnya.Ia mengatakan harus diakui bahwa kriminalisasi adalah buah dari kebijakan pembangunan ketika alat produksi rakyat yaitu hutan, tanah dan air dikuasai para spekulan yang mendapat legalitas dari penguasa. “Kriminalisasi terhadap masyarakat adat yang terjadi selama ini adalah simbol bahwa keberpihakan negara terhadap rakyatnya masih jauh dari harapan,” ujarnya.Negara melalui pemerintah menurutnya sudah selayaknya memberikan ruang bagi rakyat untuk melakukan pengelolaan terhadap alat produksinya. “Jangan paksakan mereka dengan gaya pembangunan yang justru mengancam keberadaan ekologi dan kondisi ekonomi, sosial dan budaya masyarakat,” pungkasnya. (mus)
Sumber:
http://www.pontianakpost.com/index.php?mib=berita.detail&id=38875
Sabtu, 11 September 2010
WALHI: Stop Perluasan Kebun Sawit Di Kalbar
Rabu, 11 Maret 2009
(Berita Daerah - Kalimantan) - Deputi Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Kalimantan Barat, Hendi Chandra, mengatakan pihaknya tetap mengkampanyekan "Stop Perluasan Perkebunan Sawit" di provinsi tersebut.
"Karena perluasan perkebunan sawit hanya akan merugikan masyarakat luas serta tidak sedikit izin perluasan lahan perkebunan sawit di Kalbar menjadi kedok melegalkan penebangan hutan secara liar," kata Hendi Chandra, di Pontianak, Selasa.
Ia mengatakan, ketika izin perluasan lahan perkebunan sawit keluar, pemilik perkebunan dengan leluasanya melakukan pembersihan lahan, menebang pohon yang masih produktif untuk dijual ke negara tetangga, seperti Sarawak (Malaysia Timur).
Hendi menambahkan, dampak dari perluasan perkebunan sawit di Kalbar saat ini sudah dirasakan. Di antaranya bencana banjir yang hampir terjadi di seluruh kabupaten/kota yang sebelumnya hanya terjadi di beberapa kawasan rendah saja.
Data dari Sawit Watch, sejak 30 tahun terakhir sudah tercatat 1.753 kasus konflik yang terjadi antara pemilik perkebunan dengan masyarakat sekitar perkebunan karena masyarakat merasa haknya sudah terampas.
Dari luas perkebunan sawit seindonesia seluas 7,3 juta hektare, sebesar 1,3 juta hektare lahan perkebunan sawit berkonflik.
"Melihat itu, berarti perluasan sawit dengan tujuan mensejahterakan masyarakat belum sepenuhnya benar," katanya.
Saat ini produksi Crude Palm Oil Kalbar sebesar 800 ribu ton pertahun dengan luas lahan perkebunan yang baru produksi sekitar 200 ribu hektare.
Hingga akhir 2007, pemerintah kabupaten/kota di Kalbar telah menerbitkan info lahan seluas 4,6 juta hektare untuk perkebunan sawit. Meski info lahan yang diterbitkan amat luas, namun realisasi penanaman sawit di Kalbar baru sekitar 10 persen atau 400 ribu hektare, dengan jumlah petani sawit sekitar 80 ribu kepala keluarga.
Sebelumnya, Gubernur Kalbar, Cornelis, mengakui akan menghadiri persidangan di Jenewa, 17 Maret, terkait perluasan perkebunan sawit di provinsi tersebut.
(fb/FB/ant)
Sumber:
http://www.beritadaerah.com/news.php?pg=berita_kalimantan&id=8254&sub=column&page=77
(Berita Daerah - Kalimantan) - Deputi Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Kalimantan Barat, Hendi Chandra, mengatakan pihaknya tetap mengkampanyekan "Stop Perluasan Perkebunan Sawit" di provinsi tersebut.
"Karena perluasan perkebunan sawit hanya akan merugikan masyarakat luas serta tidak sedikit izin perluasan lahan perkebunan sawit di Kalbar menjadi kedok melegalkan penebangan hutan secara liar," kata Hendi Chandra, di Pontianak, Selasa.
Ia mengatakan, ketika izin perluasan lahan perkebunan sawit keluar, pemilik perkebunan dengan leluasanya melakukan pembersihan lahan, menebang pohon yang masih produktif untuk dijual ke negara tetangga, seperti Sarawak (Malaysia Timur).
Hendi menambahkan, dampak dari perluasan perkebunan sawit di Kalbar saat ini sudah dirasakan. Di antaranya bencana banjir yang hampir terjadi di seluruh kabupaten/kota yang sebelumnya hanya terjadi di beberapa kawasan rendah saja.
Data dari Sawit Watch, sejak 30 tahun terakhir sudah tercatat 1.753 kasus konflik yang terjadi antara pemilik perkebunan dengan masyarakat sekitar perkebunan karena masyarakat merasa haknya sudah terampas.
Dari luas perkebunan sawit seindonesia seluas 7,3 juta hektare, sebesar 1,3 juta hektare lahan perkebunan sawit berkonflik.
"Melihat itu, berarti perluasan sawit dengan tujuan mensejahterakan masyarakat belum sepenuhnya benar," katanya.
Saat ini produksi Crude Palm Oil Kalbar sebesar 800 ribu ton pertahun dengan luas lahan perkebunan yang baru produksi sekitar 200 ribu hektare.
Hingga akhir 2007, pemerintah kabupaten/kota di Kalbar telah menerbitkan info lahan seluas 4,6 juta hektare untuk perkebunan sawit. Meski info lahan yang diterbitkan amat luas, namun realisasi penanaman sawit di Kalbar baru sekitar 10 persen atau 400 ribu hektare, dengan jumlah petani sawit sekitar 80 ribu kepala keluarga.
Sebelumnya, Gubernur Kalbar, Cornelis, mengakui akan menghadiri persidangan di Jenewa, 17 Maret, terkait perluasan perkebunan sawit di provinsi tersebut.
(fb/FB/ant)
Sumber:
http://www.beritadaerah.com/news.php?pg=berita_kalimantan&id=8254&sub=column&page=77
Walhi: Perjanjian pengurangan emisi gas tak jalan
Senin, 14/06/2010/pk/13:12:46 WIB
Oleh: Sonny Majid
JAKARTA (Bisnis.com): Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) se-Kalimantan memberikan apresiasi terhadap inisiatif perjanjian Indonesia-Norwegia tentang Kerjasama Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca dari Deforestrasi dan Degradasi Hutan.
Namun mereka mengkhawatirkan perjanjian tersebut tidak akan berjalan baik, mengingat Pemerintah Indonesia tidak memiliki komitmen yang jelas terhadap perbaikan kondisi ekologi, khususnya di Pulau Kalimantan.
Ari Rio Rompas, Eksekutif Daerah Walhi Kalimantan Tengah menuturkan, bahwa moratorium konversi hutan alam dan gambut yang menjadi ikon dalam perjanjian tersebut disayangkan. Pasalnya hanya berdasarkan orientasi proyek, bukan atas semangat menyelamatkan dan mengatasi kondisi krisis ekologi genting dan melindungi sumber-sumber penghidupan masyarakat di Kalimantan. “Konsepsi moratorium yang digunakan masih teramat dangkal,” paparnya, hari ini.
Dia menambahkan skema REDD plus, menisbihkan kepentingan masyarakat sekitar dan di dalam hutan untuk mengakses sumber-sumber kehutanan, ternyata hanya menguntungkan sektor swasta, serta makelar karbon yang menjual hutan di Kalimantan.
Eksekutif Daerah Walhi Kalimantan Barat Blasius Hendy menambahkan perjanjian tersebut juga terindikasi berdampak terhadap berlomba-lombanya seluruh kepala daerah di provinsi se-Kalimantan dan Kementerian Kehutanan untuk mengkonversi hutan alam dan gambut. Hal ini mengingat perjanjian itu sudah berlaku dari 2011 sampai 2013. “Artinya ada jeda sekitar enam bulan untuk melakukan konversi hutan alam dan gambut untuk perizinan eksploitas sumber daya alam,” ujarnya.
Menurut data yang dibeberkan Walhi se-Kalimantan, perkembangan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) Kalimantan dalam proses tim terpadu (timdu), masih bisa direkayasa. Alasannya, semua usulan RTRWP di Kalimantan masih mengandalkan konversi hutan alam untuk perizinan perkebunan, pertambangan, dan hutan tanaman industri (HTI).
Pengusulan konversi hutan menjadi non hutan di Kalimantan Tengah diperkirakan mencapai 2,9 juta ha, Kalimantan Timur 1,3 juta ha, 1,7 ha di Kalimantan Barat, dan 1,4 juta ha di Kalimantan Selatan, dan sudah digunakan aktivitas perkebunan, pertambangan, dan HTI.
“Rekam jejak ini semakin membuktikan bahwa semakin masifnya kawasan di hutan alam Kalimantan,” tuturnya. “Sementara masih banyak persoalan lain dalam konteks pengelolaan sumber daya alam sebagai penghidupan masyarakat. Seperti konflik lahan dan sosial.”
Perjanjian antara Pemerintah Indonesia dengan Norwegia soal moratorium tadi, dijelaskan Ekesekutif Daerah Walhi Kalimantan Timur Isal Wardhana, pemerintah Norwegia akan memberikan insentif fund yang menurutnya berpotensi untuk dikorupsi. Insentif fund tersebut nilainya mencapai US$1 miliar.
Skema REDD yang dilakukan di Kalimantan, tak bisa lepas dari program Global Forest Alliance (GFA) dimana penekanannya pada pendanaan iklim. “Penanaman hutan kembali dengan sistem pembayaran atas jasa lingkungan, berbasis pasar hanya akan menguntungkan makelar dan penadah karbon yang menjual hutan tropis Kalimantan,” kata Isal. (mrp)
Sumber:
http://gresnews.com/ch/TopStories/cl/REDD/id/1222754/Walhi+Perjanjian+pengurangan+emisi+gas+tak+jalan
Oleh: Sonny Majid
JAKARTA (Bisnis.com): Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) se-Kalimantan memberikan apresiasi terhadap inisiatif perjanjian Indonesia-Norwegia tentang Kerjasama Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca dari Deforestrasi dan Degradasi Hutan.
Namun mereka mengkhawatirkan perjanjian tersebut tidak akan berjalan baik, mengingat Pemerintah Indonesia tidak memiliki komitmen yang jelas terhadap perbaikan kondisi ekologi, khususnya di Pulau Kalimantan.
Ari Rio Rompas, Eksekutif Daerah Walhi Kalimantan Tengah menuturkan, bahwa moratorium konversi hutan alam dan gambut yang menjadi ikon dalam perjanjian tersebut disayangkan. Pasalnya hanya berdasarkan orientasi proyek, bukan atas semangat menyelamatkan dan mengatasi kondisi krisis ekologi genting dan melindungi sumber-sumber penghidupan masyarakat di Kalimantan. “Konsepsi moratorium yang digunakan masih teramat dangkal,” paparnya, hari ini.
Dia menambahkan skema REDD plus, menisbihkan kepentingan masyarakat sekitar dan di dalam hutan untuk mengakses sumber-sumber kehutanan, ternyata hanya menguntungkan sektor swasta, serta makelar karbon yang menjual hutan di Kalimantan.
Eksekutif Daerah Walhi Kalimantan Barat Blasius Hendy menambahkan perjanjian tersebut juga terindikasi berdampak terhadap berlomba-lombanya seluruh kepala daerah di provinsi se-Kalimantan dan Kementerian Kehutanan untuk mengkonversi hutan alam dan gambut. Hal ini mengingat perjanjian itu sudah berlaku dari 2011 sampai 2013. “Artinya ada jeda sekitar enam bulan untuk melakukan konversi hutan alam dan gambut untuk perizinan eksploitas sumber daya alam,” ujarnya.
Menurut data yang dibeberkan Walhi se-Kalimantan, perkembangan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) Kalimantan dalam proses tim terpadu (timdu), masih bisa direkayasa. Alasannya, semua usulan RTRWP di Kalimantan masih mengandalkan konversi hutan alam untuk perizinan perkebunan, pertambangan, dan hutan tanaman industri (HTI).
Pengusulan konversi hutan menjadi non hutan di Kalimantan Tengah diperkirakan mencapai 2,9 juta ha, Kalimantan Timur 1,3 juta ha, 1,7 ha di Kalimantan Barat, dan 1,4 juta ha di Kalimantan Selatan, dan sudah digunakan aktivitas perkebunan, pertambangan, dan HTI.
“Rekam jejak ini semakin membuktikan bahwa semakin masifnya kawasan di hutan alam Kalimantan,” tuturnya. “Sementara masih banyak persoalan lain dalam konteks pengelolaan sumber daya alam sebagai penghidupan masyarakat. Seperti konflik lahan dan sosial.”
Perjanjian antara Pemerintah Indonesia dengan Norwegia soal moratorium tadi, dijelaskan Ekesekutif Daerah Walhi Kalimantan Timur Isal Wardhana, pemerintah Norwegia akan memberikan insentif fund yang menurutnya berpotensi untuk dikorupsi. Insentif fund tersebut nilainya mencapai US$1 miliar.
Skema REDD yang dilakukan di Kalimantan, tak bisa lepas dari program Global Forest Alliance (GFA) dimana penekanannya pada pendanaan iklim. “Penanaman hutan kembali dengan sistem pembayaran atas jasa lingkungan, berbasis pasar hanya akan menguntungkan makelar dan penadah karbon yang menjual hutan tropis Kalimantan,” kata Isal. (mrp)
Sumber:
http://gresnews.com/ch/TopStories/cl/REDD/id/1222754/Walhi+Perjanjian+pengurangan+emisi+gas+tak+jalan
Langganan:
Postingan (Atom)