Jum'at, 17/09/2010/pk/09:03:00 wiba
Pontianak Post, Wartawan; Heri Mustari.
Sintang - Berbagai kasus kriminalisasi masyarakat seringkali terjadi disejumlah daerah terkait persoalan investasi sehingga persoalan yanmg muncul itu haruslah menjadi bahan evaluasi pemerintah dalam mengelola investasi di daerahnya masing-masing. Kadiv Riset dan Kampanye Walhi Kalbar, Hendrikus Adam mencontohkan kasus di Semunying Jaya Kabupaten Bengkayang. Sejak beberapa tahun silam dua orang warga dipenjara karena berjuang mempertahankan hak mereka atas tanah dan sumber daya alamnya yang digusur tanpa permisi oleh perusahaan sawit PT Ledo Lestari.“Selanjutnya juga terjadi penahanan tiga warga Pelaik Keruap Kecamatan Menukung Kabupaten Melawi atas persoalan yang tidak jauih berbeda, begitu juga yang terjadi di Ketapang,” jelasnya.
Contoh itu kata dia adalah deretan persoalan yang penting menjadi catatan bersama betapa keberadaan masyarakat adat masih sangat rentan terhadap kriminalisasi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. “Terlebih upaya yang terjadi dan dialami masyarakat adat seringkali tidak memenuhi rasa keadilan bagi warga,” ungkapnya ketika berada di Sintang baru-baru ini.Menurutnya, pihak perusahaan yang mendapat legalitas dari pemerintah daerah dalam melakukan usahanya membuka kasawan hutan untuk perkebunan sawit seringkali menggunakan jargon untuk mensejahterakan rakyat. “Warga selama ini juga seringkali diberikan informasi yang tidak utuh tentang sebuah investasi yang akan dibangun dalam suatu daerah,” jelasnya.
Ia mengatakan sedikitnya ada empat mitos yang seringkali dilakukan untuk mengiming-imingi warga agar sebuah investasi besar bisa diterima oleh masyarakat walaupun dalam kenyataannya dilapangan lebih banyak masuk karena ‘dipaksakan’.Keempat hal tersebut adalah membuka lapangan pekerjaan, membuka daerah terisolir, meningkatkan PAD dan menjanjikan kesejahteraan bagi rakyat. “Keempat dalih pembangunan investasi ini seringkali membuat warga terbuai, sehingga alat produksi penting yang dimiliki seperti tanah akhirnya harus berpindah kepemilikan kepada pihak lain,” ungkapnya.Keempat hal ini sesungguhnya juga tidak begitu mendasar bila ditelaah lebih kritis karena menurutnya pada kenyataannya sesungguhnya, warga di daerah pedalaman tidak pernah merasa kekurangan pekerjaan. “Mereka telah terbiasa dengan melakukan kegiatan menoreh karet dan melakukan kegiatan pertanian lainnya untuk mempertahankan hidup,” imbuhnya.
Sebaliknya kata dia justru sesungguhnya pihak perusahaanlah yang membutuhkan tenaga kerja, karena bila tanpa tenaga kerja maka sebuah usaha tidak akan berjalan. Demikian halnya soal membuka daerah terisolir. “Dalih ini juga terlalu mengada-ada karena yang namanya memberikan akses kebutuhan dasar bagi rakyat seperti sarana pendidikan, kesehatan dan juga infrastruktur seperti jalan adalah kewajiban negara untuk memenuhinya,” kata dia.Ia mengatakan seakan-akan ada sistem barter bila membuka daerah terisolir harus dengan membangun perkebunan. “Jadi seharusnya tidak ada sistem barter,” jelasnya.Rakyat di daerah kata dia memang membutuhkan perbaikan jalan, silahkan dibangun oleh pemerintah. “Namun tidak harus ditukar dengan membabat sumber kehidupan warga dengan perkebunan yang sudah pasti akan membawa sejumlah konsekuensi yang buruk atas keberadaan hutan, tanah dan air yang selama ini diakses oleh warga,” ucapnya.
Demikian juga dengan dalih untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah. Faktanya kata dia saat ini PAD dari sektor perkebunan sawit nihil. “Malah hanya oknum-oknum tertentu yang diuntungkan, sementara rakyat akhirnya tetap kehilangan tanah dan bahkan tidak lagi menjadi tuan atas apa yang dulunya dimiliki,” ungkapnya.
Mengenai dalih kesejahteraan ia menegaskan siapa yang berani menjamin, bila perkebunan masuk dalam suatu wilayah maka warga setempat akan sejahtera?. “Jadi terkesan hanya omong kosong saja,” ucapnya.Menurutnya, kasus yang menimpa dua orang ibu rumah tangga di kampung Sanjan Emberas di Kabupaten Sanggau beberapa waktu lalu yang dikriminalisasi adalah sebuah realita dimana keterbatasan akses terhadap tanah karena telah dikuasai oleh perusahaan. “Hanya karena mengambil ‘sisa’ brondolan sawit yang tidak lagi terpakai, sampai-sampai pihak managemen perusahaan perkebunan sawit memprosesnya hingga ke jalur hukum positif,” paparnya.
Pada hal kata dia seharusnya masalah itu bisa diselesaikan melalui pendekatan kekeluargaan. “Kondisi ini mengambarkan betapa keberadaan masyarakat adat yang awalnya sebagai pemilik wilayah kelola justru seringkali harus menelan pil pahit,” ujarnya. Pendekatan keamanan dengan menempuh jalur hukum negara (positif) melalui perlindungan sejumlah oknum ‘aparat’ menurut Adam seringkali menjadi bagian dari cara yang seringkali ditempuh bagi investor guna melindungi usahanya. Ia mencontohkan di kampung Sejirak, Kecamatan Ketungau Hilir Kabupaten Sintang beberapa waktu lalu, kriminalisasi dialami oleh sebanyak 15 orang warga (dua diantaranya dibebaskan) yang membuka lahan untuk perladangan diatas tanah yang secara defakto dimiliki mereka. “Selama 15 hari mereka harus mendekam dalam jeruji besi beberapa waktu lalu dan baru ditangguhkan penahanannya sehari sebelum pelantikan Bupati Sintang bahkan kini mereka masih tetap harus melapor sekali dalam setiap Minggu dengan biaya yang tentu saja tidak sedikit dikeluarkan karena harus menempuh berjam-jam perjalanan lamanya dari kampung menuju Kantor Polres di ibukota Kabupaten,” kata dia.
Bila memang harus melapor, menurutnya sedianya pihak terkait dapat lebih bijak memberikan keringanan masa wajib lapor sekali dalam sebulan misalnya. “Atau bahkan bila perlu dihentikan proses hukum ini,” ujarnya.Pihak pelapor juga kata dia hendaknya tidak memaksakan kehendak tanpa melakukan koreksi atas kinerja manajemen yang dilakukan selama ini. Latar belakang yang menjadikan warga melakukan tindakan ‘nekad’ tersebut harusnya dilihat secara jernih dan hendaknya menjadi dasar dari proses penyelesaian persoalan yang terjadi. “Keterbatasan lahan pertanian untuk bercocok tanam, sikap tertutup pihak perusahaan, kinerja perusahaan yang justeru dirasakan warga tidak memberikan kontribusi dan ketidakkonsistenan terhadap kesepakatan bersama adalah sejumlah realitas yang mesti menjadi catatan krusial dan harus tetap dilihat untuk diselesaikan meskipun proses hukum suatu ketika akhirnya terhenti,” terangnya.
Pihak eksekutif juga menurutnya harus sigap menyikapi persoalan betapa perihnya kondisi yang dialami warga Sejirak yang dilaporkan oleh pihak PT Finnantara Intiga. “Persoalan yang menimpa warga Sejirak di Kecamatan Ketungau Hilir ini kiranya dapat menggugah semua pihak untuk dapat melakukan refleksi dan kajian yang utuh atas keberadaan masyarakat adat yang begitu rentan terhadap perlakuan yang jauh dari rasa keadilan, disaat hutan-tanah-air yang dimiliki telah dominan dikuasai oleh para spekulan/investor,” ucapnya.Ia mengatakan harus diakui bahwa kriminalisasi adalah buah dari kebijakan pembangunan ketika alat produksi rakyat yaitu hutan, tanah dan air dikuasai para spekulan yang mendapat legalitas dari penguasa. “Kriminalisasi terhadap masyarakat adat yang terjadi selama ini adalah simbol bahwa keberpihakan negara terhadap rakyatnya masih jauh dari harapan,” ujarnya.Negara melalui pemerintah menurutnya sudah selayaknya memberikan ruang bagi rakyat untuk melakukan pengelolaan terhadap alat produksinya. “Jangan paksakan mereka dengan gaya pembangunan yang justru mengancam keberadaan ekologi dan kondisi ekonomi, sosial dan budaya masyarakat,” pungkasnya. (mus)
Sumber:
http://www.pontianakpost.com/index.php?mib=berita.detail&id=38875
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar