Sabtu, 18/09/2010/pk/08:08:00
Ashri Isnaini, POntianak Post.
PONTIANAK - Kadiv Riset dan Kampanye Walhi Kalbar, Hendrikus Adam mengatakan hingga saat ini berbagai kasus kriminalisasi masyarakat masih sering terjadi di daerah, seperti di Semunying Jaya, terdapat dua orang warga (Momonus dan jamaludin) dipenjara karena berjuang mempertahankan haknya atas tanah dan sumber daya alamnya yang digusur tanpa permisi oleh sebuah perusahaan sawit setempat.
Selain itu kata dia juga terjadi penahanan tiga warga Keluap Pelaik di Kabupaten Melawi juga dengan persoalan yang tidak jauh berbeda dan di ketapang juga terjadi penahanan dua masyarakat adat (Andi dan Japin) yang berjuang mempertahankan tanahnya atas konsesi sebuah perusahaan sawit. “Kejadian ini menunjukkan hingga sekarang keberadaan masyarakat adat masih sangat rentan terhadap kriminalisasi yang dilakukan oleh aparat penegak hokum, terlebih lagi apa yang terjadi dan dialami masyarakat adapt seringkali tidak memenuhi rasa keadilan bagi warga,”paparnya.
Untuk mendapat legalitas dari pemerintah daerah dalam menjalankan usahanya membuka kawasan hutan untuk perkebunan sawit tambahnya, seringkali pihak perusahaan menggunakan jargon untuk mensejahtrakan raakyat. Selain itu, kata Adam, sapaan akrabnya, warga selama ini juga seringkali diberikan informasi yang tidak utuh tentang investasi yang akan dibangun disuatu daerah.
“Sedikit ada empat mitos yang seringkali digunakan pihak perusahaan tersebut untuk mengiming-imingi warga agar sebuah investasi besar bisa diterima oleh masyarakat setempat, walaupun dalam kenyataannya di lapangan lebih banyak masuk karena “dipaksakan”,”ujarnya.
Adapun empat hal yang dijanjikan pihak investor tersebut kata dia, yakni mengenai akan membuka lapangan pekerjaan, membuka daerah terisolir, meningkatkan PAD, dan menjanjikan kesejahtraan bagi rakyat. Keempat dalih pembangunan investasi ini menurutnya seringkali membuat warga terbuai, sehingga alat produksi penting yang dimiliki seperti tanah akhirnya harus berpindah kepemilikan kepada pihak lain.
Kata Adam, keempat hal ini sesungguhnya juga tidak begitu mendasar bila di telaah lebih kritis, Karena pada kenyataannya sesungguhnya, warga di daerah pedalaman sana tidak pernah merasa kekurangan pekerjaan. “Mereka telah terbiasa dengan melakukan kegiatan menorah karet dan melakukan kegiatan pertanian lainnya untuk mempertahankan hidup.
Sebaliknya, justru pihak perusahaanlah yang membutuhkan tenaga kerja, karena bila tanpa tenaga kerja maka sebuah usaha tidak akan berjalan. Demikian halnya soal membuka daerah terisolir, ini juga terlalu mengada-ada. Yang namanya memberikan akses kebutuhan dasar bagi rakyat seperti sarana pendidikan, kesehatan dan juga infrastruktur seperti jalan adalah kewajiban negara untuk memenuhinya,”katanya.
Fenomena ini menurutnya seakan-akan menunjukkan ada sistem barter bila membuka daerah terisolir harus dengan membangun perkebunan. Jadi seharusnya ujar Adam, tidak ada sistem barter. Menurutnya rakyat di daerah memang membutuhkan perbaikan jalan, silakan dibangun.
Namun tidak harus ditukar dengan membabat sumber kehidupan warga dengan perkebunan yang sudah pasti akan membawa sejumlah konsekuensi yang buruk atas keberadaan hutan, tanah dan air yang selama ini diakses oleh warga. “Sama halnya dalih untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Faktanya saat ini PAD dari sektor perkebunan sawit nihil.
Malah hanya oknum-oknum tertentu yang diuntungkan, sementara rakyat akhirnya tetap kehilangan tanah dan bahkan tidak lagi menjadi tuan atas apa yang dulunya dimiliki,”tandasnya.(ash)
Sumber:
http://www.pontianakpost.com/index.php?mib=berita.detail&id=38905
Sabtu, 25 September 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar