Sabtu, 20/02/2010//pk/09:46
Borneo Tribune, Pontianak.
By. Hentakun
Aman-Telapak dan Komando Resort Militer (Korem) 121/ABW bak berbalas pantun saja. Yang satu membantah sementara satunya lagi membeberkan bukti.
Aman-Telapak dan Komando Resort Militer (Korem) 121/ABW bak berbalas pantun saja. Yang satu membantah sementara satunya lagi membeberkan bukti.
Perseteruan itu menyusul temuan investigasi Telapak-Aman atas dugaan keterlibatan oknum anggota TNI dari kesatuan 642 Sintang yang mengintimidasi masyarakat Desa Semunying Jaya, Kecamatan Jagoy Babang, Bengkayang.
Ditemui di Kantor Walhi Kalbar, Jumat (19/2), Ketua BPH Aman Kalbar, Sujarni Alloy menanggapi bantahan Kasi Intel Korem, Letkol, (Kav). Agung Alamsyah, yang dilansir Borneo Tribune Jumat (19/2).
Korem membantah tudingan sebagaimana dilaporkan dalam investigasi Aman-Telapak tersebut. Sebab sikap Korem (TNI) jelas tidak pernah mentolerir anggota yang melanggar aturan, karena selama anggota bertugas di lapangan, selalu menekankan baik lisan, maupun dengan surat agar selalu menjaga nama baik TNI, sebagaimana ditegaskan Agung.
Namun menurut Sujarni Alloy, indikasi keterlibatan oknum aparat didasarkan pada kejadian di lapangan, fakta, dimana ada proses pembiaran penebangan kayu secara ilegal yang dilakukan karyawan tebang tebas PT Ledo Lestari. ”PT Ledo Lestari, sejak 2007 ijin sudah habis melalui SK Bupati Bengkayang No. 400/0528/BPN/UI/2009, kenapa dibiarkan terus membabat hutan?” kata Alloy setengah bertanya.
Selain itu, tambah Alloy, perusahaan juga tidak mengantongi ijin pelepasan kawasan (IPK) hutan dari menteri kehutanan.
Kepala Divisi Advokasi Walhi Kalbar, Nikodemus menjelaskan, lokasi yang dibabat perusahaan itu hutan adat dan dijaga masyarakat, kenapa dibiarkan ditebang? Masyarakat saja tidak melakukan penebangan, harusnya aparat juga demikian,” Niko.
Investigasi tandingan
Aman dan Walhi juga menyarankan Korem melakukan investigasi tandingan untuk memastikan ada keterlibatan oknum TNI atau tidak. “Silakan Korem melakukan investigasi tandingan ke lapangan dan melakukan pertemuan dengan masyarakat Semunying Jaya, agar tidak mendapat informasi sepihak, jika dianggap investigasi kami sepihak,” tantang Alloy.
Kata Alloy, karena selama ini masyarakat Semunying Jaya tidak berdaya, karena laporan masyarakat tidak mendapat respon dari pihak manapun, yang sudah dilaporkan pun tidak ada tindak lanjut apalagi aparat.
Dewan Daerah Eksekutif Walhi Kalbar, Bung Tomo menambahkan, militer dalam menyelesaikan masalah untuk tidak bertindakan refresif layaknya orde baru. “Kejadian ini bisa membuktikan mana yang benar-benar nasionalis dan tidak nasionalis. Masyarakat Semunying dengan menjaga hutan itu menunjukan kecintaan mereka terhadap negara ini, sejak konfrontasi (Malaysia) mereka sudah membela tanah air,” kata Bung Tomo.
Dihubungi via telepon, Jamaludin, warga Semunying Jaya membenarkan keterlibatan oknum aparat, yang dibuktikan dengan foto-foto. “Kami punya foto aparat yang yang menghadang masyarakat, nanti saya bawa ke Pontianak,” kata Jamaludin singkat.
Sumber:
http://www.borneotribune.com/headline/sarankan-investigasi-tandingan-aman-walhi-jawab-bantahan-korem.html
Selasa, 26 Oktober 2010
Kamis, 21 Oktober 2010
Walhi Kalimantan Kecam Renstra Nasional REDD
Jumat, 15/10/2010/pk/14:23 WIB
Samarinda (ANTARA News) - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) se- Kalimantan mengecam Rencana Strategi (Renstra) Nasional tentang Reduction Emission from Deforestation and Degradation (REDD), karena dianggap tak berpihak pada rakyat.
"REDD atau Penurunan Emisi dari Deforestrasi dan Degradasi Hutan masih sangat kental dengan nuansa politik dagang karbon hutan, tidak mengutamakan keselamatan ekologi dan hak kelola rakyat," kata Direktur Eksekutif Walhi Kaltim, Isal Wardhana, di Samarinda, Jumat.
Seharusnya, menurut Isal, pemerintah lebih memperhatikan hak kelola rakyat atas berbagai sumber penghidupan warga setempat, namun justru lebih menyerahkan kebijakan politik iklim Indonesia kepada negara-negara maju yang memiliki andil besar terhadap rusaknya ekologi di Kalimantan dan kepulauan Indonesia.
Kalimantan merupakan pulau besar yang strategis untuk dijadikan korban proyek percontohan REDD.
Pemerintahan di pulau kalimantan umumnya masih mengandalkan alih fungsi hutan untuk perluasan industri ekstraktif, seperti perkebunan skala besar, Hak Pengusahaan Hutan (HPH), Hutan Tanaman Industri (HTI) dan pertambangan skala besar.
Hal ini bisa dilihat dari usulan RTRWP Kalimantan, yakni tingkat konversi hutan masih sangat tinggi hingga mencapai 7,3 juta hektare dengan rincian, 2,9 juta hektare di Kalteng, 1,3 juta hektare di Kaltim), 1,7 juta hektare di Kalbar, dan 1,4 juta hektare di Kalsel yang sudah digunakan aktifitas perkebunan, pertambangan dan HTI.
Rekam jejak kerusakan ini berakibat pada semakin banyaknya tunggakan masalah yang terjadi dalam konteks pengelolaan sumber penghidupan rakyat, seperti konflik hak lahan, konflik sosial hingga konflik pengelolaan kawasan kelola rakyat.
Diterapkannya REDD di Kalimantan dan Indonesia pada umumnya akan secara signifikan berdampak pada semakin tingginya konflik pengelolaan kawasan hutan, mengingat kebijakan dan regulasi implementasi REDD di Indonesia tidak berpihak pada masyarakat yang hidup di sekitar dan dalam kawasan hutan.
Negara maju, lanjutnya, harus bertanggung jawab atas hutang ekologi yang kini menjadi tanggung jawab mutlak bagi semua negara termasuk Indonesia. selain itu, negara maju seharusnya memiliki komitmen kuat dalam menurunkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK).
Pasalnya, GRK yang merupakan dari aktivitas industri dan pola hidup yang banyak mengeluarkan energi, menjadi komponen terbesar terjadinya perubahan iklim.
Selama ini negara-negara maju justru menghindari tanggung jawab dan memindahkan persoalan ini ke negara-negara selatan (termasuk Indonesia) yang memiliki hutan. Namun nyatannya masih terdapat persoalan dengan tata kelola kehutanan, persoalan kemiskinan serta sumber daya manusia.
Kompensasi pembiayaan iklim yang diusung sudah pasti merugikan bangsa Indonesia, karena menggunakan mekanisme hutang yang akan membebani anggaran negara.
(ANT/P003)
Sumber:
http://www.antaranews.com/berita/1287127388/walhi-kalimantan-kecam-renstra-nasional-redd
Samarinda (ANTARA News) - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) se- Kalimantan mengecam Rencana Strategi (Renstra) Nasional tentang Reduction Emission from Deforestation and Degradation (REDD), karena dianggap tak berpihak pada rakyat.
"REDD atau Penurunan Emisi dari Deforestrasi dan Degradasi Hutan masih sangat kental dengan nuansa politik dagang karbon hutan, tidak mengutamakan keselamatan ekologi dan hak kelola rakyat," kata Direktur Eksekutif Walhi Kaltim, Isal Wardhana, di Samarinda, Jumat.
Seharusnya, menurut Isal, pemerintah lebih memperhatikan hak kelola rakyat atas berbagai sumber penghidupan warga setempat, namun justru lebih menyerahkan kebijakan politik iklim Indonesia kepada negara-negara maju yang memiliki andil besar terhadap rusaknya ekologi di Kalimantan dan kepulauan Indonesia.
Kalimantan merupakan pulau besar yang strategis untuk dijadikan korban proyek percontohan REDD.
Pemerintahan di pulau kalimantan umumnya masih mengandalkan alih fungsi hutan untuk perluasan industri ekstraktif, seperti perkebunan skala besar, Hak Pengusahaan Hutan (HPH), Hutan Tanaman Industri (HTI) dan pertambangan skala besar.
Hal ini bisa dilihat dari usulan RTRWP Kalimantan, yakni tingkat konversi hutan masih sangat tinggi hingga mencapai 7,3 juta hektare dengan rincian, 2,9 juta hektare di Kalteng, 1,3 juta hektare di Kaltim), 1,7 juta hektare di Kalbar, dan 1,4 juta hektare di Kalsel yang sudah digunakan aktifitas perkebunan, pertambangan dan HTI.
Rekam jejak kerusakan ini berakibat pada semakin banyaknya tunggakan masalah yang terjadi dalam konteks pengelolaan sumber penghidupan rakyat, seperti konflik hak lahan, konflik sosial hingga konflik pengelolaan kawasan kelola rakyat.
Diterapkannya REDD di Kalimantan dan Indonesia pada umumnya akan secara signifikan berdampak pada semakin tingginya konflik pengelolaan kawasan hutan, mengingat kebijakan dan regulasi implementasi REDD di Indonesia tidak berpihak pada masyarakat yang hidup di sekitar dan dalam kawasan hutan.
Negara maju, lanjutnya, harus bertanggung jawab atas hutang ekologi yang kini menjadi tanggung jawab mutlak bagi semua negara termasuk Indonesia. selain itu, negara maju seharusnya memiliki komitmen kuat dalam menurunkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK).
Pasalnya, GRK yang merupakan dari aktivitas industri dan pola hidup yang banyak mengeluarkan energi, menjadi komponen terbesar terjadinya perubahan iklim.
Selama ini negara-negara maju justru menghindari tanggung jawab dan memindahkan persoalan ini ke negara-negara selatan (termasuk Indonesia) yang memiliki hutan. Namun nyatannya masih terdapat persoalan dengan tata kelola kehutanan, persoalan kemiskinan serta sumber daya manusia.
Kompensasi pembiayaan iklim yang diusung sudah pasti merugikan bangsa Indonesia, karena menggunakan mekanisme hutang yang akan membebani anggaran negara.
(ANT/P003)
Sumber:
http://www.antaranews.com/berita/1287127388/walhi-kalimantan-kecam-renstra-nasional-redd
Masyarakat yang Tolak Sawit Dikriminalisasi
Selasa, 12/10/2010/pk/13:36 WIB
Pontianak (ANTARA News) - Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalimantan Barat Hendi Chandra menyatakan ada upaya kriminalisasi oleh pemilik perkebunan sawit di Kabupaten Ketapang terhadap masyarakat yang menolak daerahnya dikembangkan sawit.
"Buktinya dua masyarakat Desa Silat Hulu, Kecamatan Marau, Kabupaten Ketapang yakni Pitalis Andi dan Japin telah tiga kali didakwa jaksa penuntut umum setempat meskipun hakim Pengadilan Negeri Ketapang membatalkan demi hukum untuk tuntutan pertama dan kedua," kata Hendi Chandra di Pontianak, Selasa.
Ia menjelaskan, dibatalkannya dakwaan JPU karena kasus itu telah diselesaikan secara adat antara kedua terdakwa dan PT. Bangun Nusa Mandiri milik anak perusahaan PT. Sinar Mas Group.
"Tetapi kenapa JPU tetap ngotot. Untuk dakwaan ketiga saat ini dalam tahap pemeriksaan saksi dari pihak kejaksaan dan perusahaan," ujarnya.
Walhi Kalbar dalam kasus ini memberikan pendampingan hukum bagi kedua masyarakat tersebut.
"Kami tidak akan melakukan eksepsi atas dakwaan ketiga agar kasusnya cepat diselesaikan," kata Hendi.
Hendi menambahkan, kedua masyarakat itu dijerat UU No. 18 tahun 2004 tentang Perkebunan dengan ancaman kurungan maksimal lima tahun.
"Kami berharap pemilik perkebunan secara profesional dalam melakukan pengembangan perkebunan sawit tidak mengorbankan kepentingan orang banyak dan tidak melakukan kriminalisasi," ujarnya.
Ia mengatakan, kedua warga itu dituduh melakukan tindak kriminal karena telah menyandera dua unit alat berat milik perkebunan itu. Kondisi di lapangan malah pemilik perkebunan itu yang melakukan perusakan terhadap kebun karet yang sah milik masyarakat setempat sehingga memicu perselisihan antara masyarakat dengan pemilik perkebunan.
PT. Bangun Nusa Mandiri anak perusahaan PT. Sinar Mas Group hingga kini baru memiliki izin usaha perkebunan di Kabupaten Ketapang seluas 18 ribu hektare dan belum memiliki Hak Guna Usaha terhadap tanah yang akan digunakan untuk perkebunan sawit tersebut, kata Hendi.
Sawit Watch, mencatat sejak 30 tahun terakhir sudah 1.753 kasus konflik yang terjadi antara pemilik perkebunan dengan masyarakat sekitar perkebunan karena masyarakat merasa haknya sudah terampas.
Dari luas perkebunan sawit se-Indonesia 7,3 juta hektare, sebesar 1,3 juta hektare lahan perkebunan sawit berkonflik.
Produksi CPO (Crude Palm Oil) Kalbar sebesar 800 ribu ton per tahun dengan luas lahan perkebunan yang baru produksi sekitar 200 ribu hektare.
Pemerintah kabupaten/kota di Kalbar telah menerbitkan info lahan seluas 4,6 juta hektare untuk perkebunan sawit. Meski info lahan yang diterbitkan amat luas, namun realisasi penanaman sawit di Kalbar baru sekitar 10 persen atau 400 ribu hektare, dengan jumlah petani sawit sekitar 80 ribu kepala keluarga.
(A057/R007)
Sumber:
http://www.antaranews.com/berita/1286865418/masyarakat-yang-tolak-sawit-dikriminalisasi
Pontianak (ANTARA News) - Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalimantan Barat Hendi Chandra menyatakan ada upaya kriminalisasi oleh pemilik perkebunan sawit di Kabupaten Ketapang terhadap masyarakat yang menolak daerahnya dikembangkan sawit.
"Buktinya dua masyarakat Desa Silat Hulu, Kecamatan Marau, Kabupaten Ketapang yakni Pitalis Andi dan Japin telah tiga kali didakwa jaksa penuntut umum setempat meskipun hakim Pengadilan Negeri Ketapang membatalkan demi hukum untuk tuntutan pertama dan kedua," kata Hendi Chandra di Pontianak, Selasa.
Ia menjelaskan, dibatalkannya dakwaan JPU karena kasus itu telah diselesaikan secara adat antara kedua terdakwa dan PT. Bangun Nusa Mandiri milik anak perusahaan PT. Sinar Mas Group.
"Tetapi kenapa JPU tetap ngotot. Untuk dakwaan ketiga saat ini dalam tahap pemeriksaan saksi dari pihak kejaksaan dan perusahaan," ujarnya.
Walhi Kalbar dalam kasus ini memberikan pendampingan hukum bagi kedua masyarakat tersebut.
"Kami tidak akan melakukan eksepsi atas dakwaan ketiga agar kasusnya cepat diselesaikan," kata Hendi.
Hendi menambahkan, kedua masyarakat itu dijerat UU No. 18 tahun 2004 tentang Perkebunan dengan ancaman kurungan maksimal lima tahun.
"Kami berharap pemilik perkebunan secara profesional dalam melakukan pengembangan perkebunan sawit tidak mengorbankan kepentingan orang banyak dan tidak melakukan kriminalisasi," ujarnya.
Ia mengatakan, kedua warga itu dituduh melakukan tindak kriminal karena telah menyandera dua unit alat berat milik perkebunan itu. Kondisi di lapangan malah pemilik perkebunan itu yang melakukan perusakan terhadap kebun karet yang sah milik masyarakat setempat sehingga memicu perselisihan antara masyarakat dengan pemilik perkebunan.
PT. Bangun Nusa Mandiri anak perusahaan PT. Sinar Mas Group hingga kini baru memiliki izin usaha perkebunan di Kabupaten Ketapang seluas 18 ribu hektare dan belum memiliki Hak Guna Usaha terhadap tanah yang akan digunakan untuk perkebunan sawit tersebut, kata Hendi.
Sawit Watch, mencatat sejak 30 tahun terakhir sudah 1.753 kasus konflik yang terjadi antara pemilik perkebunan dengan masyarakat sekitar perkebunan karena masyarakat merasa haknya sudah terampas.
Dari luas perkebunan sawit se-Indonesia 7,3 juta hektare, sebesar 1,3 juta hektare lahan perkebunan sawit berkonflik.
Produksi CPO (Crude Palm Oil) Kalbar sebesar 800 ribu ton per tahun dengan luas lahan perkebunan yang baru produksi sekitar 200 ribu hektare.
Pemerintah kabupaten/kota di Kalbar telah menerbitkan info lahan seluas 4,6 juta hektare untuk perkebunan sawit. Meski info lahan yang diterbitkan amat luas, namun realisasi penanaman sawit di Kalbar baru sekitar 10 persen atau 400 ribu hektare, dengan jumlah petani sawit sekitar 80 ribu kepala keluarga.
(A057/R007)
Sumber:
http://www.antaranews.com/berita/1286865418/masyarakat-yang-tolak-sawit-dikriminalisasi
Rabu, 06 Oktober 2010
DAS Kalimantan Barat Tercemar Pertambangan dan Sawit
Wednesday, 06/10/2010/pk/12:25
Aceng Mukaram, Kontributor KBR68H Kalimantan Barat
Lebih dari 30 persen Daerah Aliran Sungai (DAS) di Kalimantan Barat mengalami kerusakan yang parah. Air di DAS itu berwarna kuning kehitaman dan berkarat.
Juru Bicara Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalbar, Hendrikus Adam mengatakan, kerusakan ini disebabkan penambangan ilegal, pembukaan perkebunan sawit dan Hutan Tanaman Industri (HTI).
Hendrikus mencontohkan, salah satu DAS yang paling rusak terdapat di Kabupaten Landak. Di kabupaten itu semua sungai utama dan kecil dalam kondisi tercemar. Air sungai, tambahnya, tidak layak dikonsumsi warga. Sungai juga tidak bisa digunakan sebagai sarana transportasi karena mengalami pendangkalan.
Pertambangan emas tanpa ijin makin marak di Kabupaten Landak. Kondisi ini terjadi karena warga setempat terus mendapat pasokan modal dari cukong-cukong luar daerah untuk menambang emas.
Pertambangan ilegal menyebabkan kerusakan lingkungan tak hanya di tempat penambangan, tetapi di sepanjang aliran sungai. Air sungai tak bisa lagi digunakan karena tercemar merkuri. Air menyebabkan gatal-gatal di kulit jika digunakan untuk mandi.
Masyarakat penambang selalu menggunakan kondisi ekonomi sebagai alasan melakukan penambangan. Alasan tersebut pula yang menyebabkan penambang berani melawan penertiban yang dilakukan pemerintah dan polisi.
Kabupaten Landak dalam peta pertambangan nasional seluruhnya masuk ke wilayah pertambangan. Konsekuensinya, di seluruh wilayah Landak bisa diterbitkan ijin wilayah usaha pertambangan.
Jenis mineral yang terkandung di wilayah landak, antara lain, adalah bauksit, emas sekunder, galena, dan batubara.
Sumber:
http://www.greenradio.fm/index.php?option=com_content&view=article&id=4068:das-kalimantan-barat-tercemar-pertambangan-dan-sawit&catid=1:latest-news&Itemid=338
Aceng Mukaram, Kontributor KBR68H Kalimantan Barat
Lebih dari 30 persen Daerah Aliran Sungai (DAS) di Kalimantan Barat mengalami kerusakan yang parah. Air di DAS itu berwarna kuning kehitaman dan berkarat.
Juru Bicara Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalbar, Hendrikus Adam mengatakan, kerusakan ini disebabkan penambangan ilegal, pembukaan perkebunan sawit dan Hutan Tanaman Industri (HTI).
Hendrikus mencontohkan, salah satu DAS yang paling rusak terdapat di Kabupaten Landak. Di kabupaten itu semua sungai utama dan kecil dalam kondisi tercemar. Air sungai, tambahnya, tidak layak dikonsumsi warga. Sungai juga tidak bisa digunakan sebagai sarana transportasi karena mengalami pendangkalan.
Pertambangan emas tanpa ijin makin marak di Kabupaten Landak. Kondisi ini terjadi karena warga setempat terus mendapat pasokan modal dari cukong-cukong luar daerah untuk menambang emas.
Pertambangan ilegal menyebabkan kerusakan lingkungan tak hanya di tempat penambangan, tetapi di sepanjang aliran sungai. Air sungai tak bisa lagi digunakan karena tercemar merkuri. Air menyebabkan gatal-gatal di kulit jika digunakan untuk mandi.
Masyarakat penambang selalu menggunakan kondisi ekonomi sebagai alasan melakukan penambangan. Alasan tersebut pula yang menyebabkan penambang berani melawan penertiban yang dilakukan pemerintah dan polisi.
Kabupaten Landak dalam peta pertambangan nasional seluruhnya masuk ke wilayah pertambangan. Konsekuensinya, di seluruh wilayah Landak bisa diterbitkan ijin wilayah usaha pertambangan.
Jenis mineral yang terkandung di wilayah landak, antara lain, adalah bauksit, emas sekunder, galena, dan batubara.
Sumber:
http://www.greenradio.fm/index.php?option=com_content&view=article&id=4068:das-kalimantan-barat-tercemar-pertambangan-dan-sawit&catid=1:latest-news&Itemid=338
Langganan:
Postingan (Atom)