Jalan M. Syafe'i Blok P Nomor 30 Pontianak, Kalimantan Barat. Telp. (0561) 731059

Selasa, 31 Agustus 2010

Hutan Adat Dayak Dibabat

Rabu, 17/02/2010/pk/03:43 WIB

Pontianak, Kompas - Sedikitnya 1.420 hektar hutan adat Dayak Iban atau Ibanik di Desa Semunying Jaya, Kecamatan Jagoi Babang, Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat, dibabat untuk lahan perkebunan kelapa sawit. Kayu tebangan itu kemudian diselundupkan ke Malaysia.

Demikian pernyataan bersama Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Kalimantan Barat Sujarni Alloy; juru kampanye hutan Perkumpulan Telapak, Muhammad Yayat Afianto; dan Ketua Badan Perwakilan Desa Semunying Jaya Jamaludin dalam konferensi pers di Pontianak, Kalbar, Selasa (16/2).

”Tindakan perusahaan perkebunan itu seolah-olah kebal hukum mengingat bupati setempat tidak mengeluarkan izin lokasi perkebunan sawit di hutan tersebut. Perusahaan itu juga belum mengantongi izin pemanfaatan kayu (IPK) dinas kehutanan, tetapi sampai sekarang aktivitas mereka tetap berlangsung,” ujar Yayat.

Jamaludin menambahkan, pembabatan hutan adat Dayak Iban itu sudah berlangsung sejak tahun 2005. ”Sejak hutan adat dibabat, masyarakat adat makin kesulitan memenuhi kebutuhan hidup karena hasil hutan yang biasanya bisa dimanfaatkan tak ada lagi,” katanya.

Masyarakat adat Dayak Iban dulu menggantungkan hidup dari hasil hutan, seperti rotan, damar, kulit kayu pudo, dan tanaman-tanaman untuk obat tradisional. Setelah hutan habis, masyarakat yang tidak terbiasa dengan pertanian budidaya menjadi amat kesulitan.

Alloy mengatakan, kayu-kayu hasil tebangan dari hutan adat Dayak Iban itu diangkut ke Malaysia melalui jalan setapak yang biasanya digunakan untuk mengangkut keperluan logistik masyarakat. ”Konflik dengan masyarakat adat Dayak Ibanik terus terjadi. Masyarakat adat hanya ingin menuntut hak mereka yang dirampas,” kata Alloy.

Tumpang tindih
Hasil pemantauan kalangan aktivis lingkungan pada lembaga Save Our Borneo (SOB), pembabatan hutan untuk perkebunan sawit di Kalimantan Tengah juga parah, seperti perampokan kekayaan alam secara sistematis dan terorganisasi.

Faktanya, kata Direktur Eksekutif SOB Nordin di Palangkaraya, pembabatan hutan di Kecamatan Kapuas Tengah, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah, yang berlangsung sejak tahun 2008 luasnya sudah 10.000 hektar.

Ironisnya, lanjut Nordin, kawasan hutan yang dibuka untuk perkebunan kelapa sawit oleh tiga perusahaan tumpang tindih dengan kawasan eks hutan milik dua perusahaan pemegang izin hak pengusahaan hutan. Selain itu, pembukaan perkebunan

juga ada yang berlangsung di wilayah tanah dan kebun warga, seperti di Jangkang dan Balai Banjang.

”Ketiga perusahaan itu berani beroperasi karena memiliki izin lokasi dari bupati setempat. Tetapi, dalam pembabatan hutan itu diduga tidak punya izin pelepasan hutan dari Menteri Kehutanan sebab ketiga perusahaan tersebut belum memiliki IPK,” ujar Nordin.

Kayu-kayu yang dibabat dari hutan adat Dayak tersebut, kata Nordin, ada yang ditanam dalam tanah, dibakar, dibuang, ditumpuk, atau dipakai untuk perumahan, jembatan, dan keperluan lainnya oleh tiap-tiap perusahaan tersebut. ”Apabila dihitung potensi kayu yang hilang dengan luas konsesi tiap perusahaan perkebunan 20.000 hektar, negara mengalami kerugian Rp 141,5 miliar per perusahaan,” katanya.

Menurut Nordin, pihaknya bersama dengan sejumlah lembaga aktivis lingkungan dan antikorupsi akan melaporkan kejahatan kehutanan ini kepada Komisi Pemberantasan Korupsi. ”Aparat instansi terkait tidak peduli lagi mau menegakkan hukum dan menyelamatkan hutan,” katanya. (AHA/FUL)

Sumber:
http://cetak.kompas.com/read/2010/02/17/03430475/hutan.adat.dayak.dibabat

Perbatasan RI-Malaysia di Kalimantan Masih Aman

Senin, 30/08/2010/pk/ 05:56 WIB

Metrotvnews.com, Pontianak: Situasi keamanan di perbatasan Indonesia-Malaysia di Kalimantan Barat (Kalbar) sejauh ini msih kondusif. Hubungan kedua negara yang memanas akhir-akhir ini tidak mempengaruhi aktivitas warga di perbatasan.

"Situasi politik yang memanas saat ini tidak berpengaruh terhadap kehidupan warga. Semuanya masih aman dan terkendali," kata Sekretaris Desa Semunying Jaya, Abulipah, Kalbar, Ahad (29/8).

Desa Semunying Jaya berada di Kecamatan Jagoi Babang, Kabupaten Bengkayang. Desa ini termasuk salah satu desa di Kabar yang berbatasan langsung dengan wilayah Serawak, Malaysia.

Kawasan perbatasan kedua negara di desa ini relatif terbuka karena hutan yang ada sudah banyak berubah menjadi hamparan perkebunan kelapa sawit. Kondisi itu dikhawatirkan oleh warga setempat jika sewaktu-waktu terjadi konflik terbuka antara Indonesia-Malaysia.

"Hutan yang seharusnya bisa berfungsi menangkal atau setidaknya menghambat gerakan pasukan musuh ke wilayah kita, sudah banyak yang gundul karena aktivitas land clearing,"ungkap Abulipah.

Kekhawatiran warga cukup beralasan mengingat kondisi infrastruktur di wilayah Malaysia jauh lebih memadai, sehingga memungkinkan negara jiran itu memobilisasi pasukan dengan cepat. Sedangkan, kondisi wilayah di perbatasan Indonesia sangat terisolasi dan tertinggal.(MI/RIZ)

Sumber:
http://www.metrotvnews.com/index.php/metromain/newscat/polkam/2010/08/30/27520/Perbatasan-RI-Malaysia-di-Kalimantan-Masih-Aman

Warga Semunying Jaya Tetap Tolak Sawit

Minggu, 29/08/2010/pk/20:00

Pontianak, Indowarta

Warga Desa Semunying Jaya Kabupaten Bengkayang kembali menegaskan penolakan mereka terhadap perusahaan perkebunan sawit. Mereka menganggap sawit tidak sesuai dengan budaya kehidupan mereka yang turun temurun lebih familiar dengan karet. Dan kehadiran perkebunan sawit ini telah membabat 14.000 hektar hutan dan tanaman karet masyarakat Semunying Jaya, termasuk di dalamnya 1.420 hektar hutan adat.

Penegasan ini disampaikan oleh Kepala Desa Semunying Jaya Momonus, Ketua BPD Desa Semunying Jaya Nuh Rusmanto, Sekretaris Desa Semunying Jaya Abulipah dan Wakil Ketua BPD Desa Semunying Jaya Jamaludin, dalam sebuah pers release di Pontianak, Minggu (29/8), setelah adanya tayangan di salah satu stasiun TV swasta yang menggambarkan bahwa Desa Semunying Jaya telah sejahtera berkat masuknya perkebunan sawit.

Momonus mengatakan pihaknya sangat menyayangkan suguhan informasi dalam tayangan tersebut. ”Tayangan ini berpotensi menimbulkan konflik baru, karena telah menutupi realitas kondisi sosial masyarakat Desa Semunying Jaya yang sesungguhnya. Seolah-olah kami menerima program sawit itu. Padahal kenyataannya justru kami sudah seringkali menolak masuknya perkebunan sawit ke wilayah kami,” paparnya dihadapan sejumlah awak media.

”Sebagai Kades saya tahu situasi maupun kondisi masyarakat kami disana. Apa yang disebutkan telah sejahtera, itu tidak benar. Kenyataannya saat ini sekitar 99% masyarakat Desa Semunying Jaya masih miskin. Semenjak masuknya PT Ledo Lestari, banyak kasus belum tuntas hingga hari ini. Bahkan kami juga tidak pernah mengadakan ritual adat yang merestui pembukaan hutan untuk areal perkebunan PT Ledo Lestari,” urainya kembali. Sejatinya, para aparat desa Semunying Jaya ini juga meminta agar ada klarifikasi atas tayangan yang dianggap tidak menggambarkan realita sesungguhnya tersebut.

Menurutnya, warga Semunying Jaya tidak ada yang bekerja di perusahaan sawit, rata-rata bekerja sebagai petani, peladang, berburu di hutan, nelayan dan beberapa ada yang menjadi guru. Penghasilan rata-rata Rp 300.000 – Rp 400.000/bulan. ”Dari hasil menoreh karet, rata-rata kami bisa menghasilkan 5 kg/hari dengan harga jual Rp 13.000/kg,” katanya.

Sementara itu, aktivis Uplink Kalbar Tomo mengatakan yang perlu diperangi bukan hanya PT Ledo Lestari, karena itu hanya merupakan anak perusahaan yang berinduk pada PT Duta Palma Group. “Di Bengkayang saja ada 6 anak perusahaan Duta Palma, dan hampir semua anak perusahaan Duta Palma bermasalah. Ambil saja contoh permasalahan karyawan yang keseluruhan adalah buruh lepas harian atau outsourcing yang sewaktu-waktu bisa dipecat tanpa ada pesangon,” ungkapnya.

Ia menambahkan, terkait masalah perijinan, PT Ledo Lestari sendiri belum memiliki hak guna usaha (HGU) atas lahan, namun mereka sudah melakukan penebangan hutan (land clearing). “Jadi jelas-jelas PT Ledo Lestari telah melakukan illegal Logging. Kita bisa hitung berapa kerugian negara atas kayu-kayu yang ditebang tersebut. Belum lagi pembukaan lahan yang menggunakan sistem pembakaran yang menimbulkan asap,” tutur pria berperawakan gempal ini.

Sementara itu Jamaludin menyayangkan kepemimpinan Bupati Bengkayang periode 2005-2010 yang gagal membuat Perda tentang perlindungan hutan adat. Ia mengatakan sudah seringkali melawan dan mengkritisi terkait masalah ini, bahkan sampai bupati turun belum juga mampu membuat Perda tentang Hutan Adat.

”Mustahil seorang bupati tidak mengetahui permasalahan kasus PT Ledo Lestari ini. Hal ini hanya membuat dugaan masyarakat semakin kuat, bahwa beliau mempunyai saham diperusahaan tersebut,” ujarnya.

Sedangkan DPRD Kabupaten Bengkayang, menurut Abulipa, belum ada tanggapan sama sekali msekipun sudah diberikan tembusan kasus ini. ”Dalam penyelesaian secara formal maupun rapat-rapat membahas masalah ini, Pemkab Bengkayang tidak pernah mengundang dan melibatkan DPRD Bengkayang,” sesalnya. Abulipah juga menyayangkan belum adanya kejelasan atas kasus ini, meskipun sudah beberapa kali diadukan ke Polres Bengkayang. (fai)

Sumber:
http://www.indowarta.com/index.php?option=com_content&view=article&id=9769:warga-semunying-jaya-tetap-tolak-sawit&catid=137:kalimantan-barat&Itemid=364

Walhi Segera Luncurkan Karikatur Sawit

PONTIANAK, TRIBUN - Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kalbar, berencana menerbitkan publikasi berisi kritik sosial terkait industri perkebunan kelapa sawit.

Direktur Walhi Kalbar, Blasius H Candra, Senin (30/8/10), mengatakan, publikasi tersebut hendak menyampaikan pesan-pesan sosial, terkait bahaya kelapa sawit yang mengancam lingkungan hidup, maupun keberlangsungan masyarakat di seputar areal konsesi.

"Kami ingin menyampaikan pesan-pesan sosial, yang mudah ditangkap warga. Kali ini modelnya kombinasi karikaturan dengan penjelasan sederhana," ujar Blasius.

Walhi Kalbar cukup banyak mendampingi kelompok masyarakat, yang merasa tergusur akibat perkembangan industri sawit skala besar. Tak hanya mata pencaharian yang hilang, lahan adat pun kerap dicaplok diam-diam oleh pengusaha.

Sumber:
http://www.tribunpontianak.co.id/read/artikel/15898/walhi-segera-luncurkan-karikatur-sawit

Warga Perbatasan RI-Malaysia Khawatirkan Kondisi Keamanan

Senin, 30/08/2010/pk/11:42 WIB
Penulis : Aris Munandar

BENGKAYANG--MI: Situasi keamanan di perbatasan Indonesia-Malaysia di Kalimantan Barat (Kalbar) kondusif. Namun warga mengkawatirkan kemungkinan sewaktu-waktu terjadi konflik terbuka antara Indonesia-Malaysia.

"Situasi politik yang memanas saat ini tidak berpengaruh terhadap kehidupan warga. Semuanya masih aman dan terkendali," kata Sekretaris Desa Semunying Jaya Abulipah, Minggu (29/8). Ia mengatakan itu terkait kondisi hubungan antarkedua negara yang memanas akhir-akhir ini.

Desa Semunying Jaya berada di Kecamatan Jagoi Babang, Kabupaten Bengkayang. Desa itu termasuk salah satu desa di Kalbar yang berbatasan langsung dengan wilayah Serawak, Malaysia.

Kawasan perbatasan kedua negara di desa ini relatif terbuka karena hutan yang ada sudah banyak berubah menjadi hamparan perkebunan kelapa sawit. Kondisi ini inilah justru yang dikhawatirkan oleh warga setempat jika sewaktu-waktu terjadi konflik terbuka antara Indonesia-Malaysia.

"Hutan yang seharusnya bisa berfungsi menangkal atau setidaknya menghambat gerakan pasukan musuh ke wilayah kita, sudah banyak yang gundul karena aktivitas land clearing, katanya.

Kekhawatiran warga beralasan mengingat kondisi infrastruktur di wilayah Malaysia jauh lebih memadai, sehingga memungkinkan negeri jiran itu memobilisasi pasukan mereka dengan cepat. Sedangkan, kondisi wilayah di perbatasan Indonesia sangat terisolasi dan tertinggal.

"Konsep pertahanan kita selama ini adalah bergerilya sehingga keberadaan kawasan hutan sangat strategis. Selain bisa menjadi benteng pertahanan, hutan juga menjadi sumber logistik bagi pasukan," jelas Abulipah.

Warga Desa Semunjing Jaya memiliki pengalaman dalam berkonflik dengan Malaysia saat peristiwa konfrontasi pada 1963. Banyak warga desa ketika itu dikerahkan untuk membantu TNI dalam menghadapi tentara Malaysia. (AR/OL-01)

Sumber:
http://www.mediaindonesia.com/read/2010/08/30/165528/127/101/Warga-Perbatasan-RI-Malaysia-Khawatirkan-Kondisi-Keamanan

360 M3 Kayu per Bulan Diselundupkan ke Malaysia

Pontianak/28/08/2010

AKTIVITAS pembalakan liar (illegal logging) di perbatasan Indonesia-Malaysia di Kalimantan Barat masih berlangsung."Sejak ada gebrakan (operasi) penertiban dari polisi, illegal logging di wilayah kami memang sempat terhenti. Namun, kini muncul lagi meskipun dilakukan secara sembunyi-sembunyi," kata Momunus, Kepala Desa Semunying Jaya, Kecamatan Jagoi Babang, Kabupaten Bengkayang, kepada Media Indonesia, kemarin.

Sebagian besar kayu itu diselundupkan ke Serawak, Malaysia, dengan menggunakan truk melalui sejumlah jalan yang menghubungkan wilayah Semunying Jaya dengan tiga kampung di Serawak. Kayu-kayu itu kemudian ditampung sebuah perusahaan pengolahan kayu di Distrik Sematan, Serawak.Menurut Momonus, terdapat tujuh akses jalan yang kerap digunakan sebagai jalur penyelundupan kayu di Semunying. Salah satu akses tersebut berupa jalan semipermanen berlapis batu yang berada disebuah lokasi perkebunan kelapa sawit. "Jalan itu cukup lebar, kira-kira ada 6 meter karena bisa dilalui dua truk yang berpapasan," ungkapnya.

Pembalakan liar dan penyelundupan kayu ini diduga melibatkan para pemodal dari Malaysia. Mereka membeli kayu-kayu dari para penebang dengan kisaran harga RM300 hingga RM800 atau sekitar Rp864 ribu hingga Rp2,3 juta per tan. Satu tan setara dengan 1,5 m3. "Ada tiga cukong kayu dari Malaysia yang terlibat, yakni Mr Wong, Mr Akun, dan Mr Ayun. Namun, cukong terbesar adalah Mr Wong karena mempekerjakan banyak karyawan," kata Wakil Kenia Badan Perwakilan Desa (BPD) Semunying Jaya Jamaludin.

Hasil investigasi Lembaga Pengkajian dan Studi Arus Informasi Regional (LPS-AIR) Pontianak menyebutkan penyelundupan kayu di wilayah perbatasan dengan Malaysia di Bengkayang biasanya beroperasi pada malam hingga subuh hari. Ini dilakukan agar aktivitas itu tidak terlalu mencolok dan menghindari pemantauan petugas.Hasil investigasi yang dipublikasikan pada Februari lalu itu memperkirakan sedikitnya 360 m3 kayu setiap bulan diselundupkan ke Malaysia melalui jalur perbatasan di Jagoi Babang."Truk pengangkut ini harus melewati setidaknya enam pos penjagaan. Oleh karena itu, tidak menutup kemungkinan ada oknum aparat yang terlibat dalam memuluskan aksi ini," ungkap Direktur LPS-AIR Deman Huri.Kapolres Bengkayang AKB Mosyan Ntmitch menyatakan pembalakan liar dan penyelundupan kayu di kawasan perbatasan di Bengkayang telah menurun drastis sejak dua tahun terakhir. (AR/N-1)

Sumber:

Sabtu, 28 Agustus 2010

Pembalakan Hutan di Perbatasan RI Malaysia Terus Berlangsung

Jumat, 27/08/2010/pk/13:45 WIB

Penulis; Aris Munandar

PONTIANAK--MI: Aktivitas pembalakan liar (illegal logging) di perbatasan Indonesia-Malaysia di Kalimantan Barat hingga saat ini masih terus berlangsung. Pelaku memanfaatkan kelegahan petugas dalam menjalankan aksi mereka.

"Sejak ada gebrakan (operasi) penertiban dari polisi, illegal logging di wilayah kami memang sempat terhenti. Namun, kini mucul lagi meskipun dilakukan secara sembunyi-sembunyi," kata Kepala Desa Semunying Jaya, Kecamatan Jagoi Babang, Kabupaten Bengkayang Momunus kepada Media Indonesia, Jumat (27/8).

Sebagian besar kayu hasil pembalakan liar itu diselundupkan ke Serawak, Malaysia dengan menggunakan truk melalui sejumlah jalan yang menghubungkan wilayah Semunying Jaya dengan tiga kampung di Serawak. Kayu-kayu itu kemudian ditampung oleh sebuah perusahaan pengolahan kayu di Distrik Sematan, Serawak.

Menurut Momonus terdapat tujuh akses jalan yang kerap digunakan sebagai jalur penyelundupan kayu di Semunying. Salah satu akses tersebut berupa jalan semipermanen berlapis batu yang berada di sebuah lokasi perkebunan kelapa sawit. "Jalan itu cukup lebar, kira-kira ada enam meter karena bisa dilalui dua truk yang berpapasan," ungkapnya.

Pembalakan liar dan penyelundupan kayu ini diduga melibatkan para pemodal dari Malaysia. Mereka membeli kayu-kayu dari para penebang dengan kisaran harga RM300 hingga RM800 atau sekitar Rp864 ribu hingga Rp2,3 juta per tan. Satu tan setara dengan 1,5 M3.

"Ada tiga cukong kayu dari Malaysia yang terlibat, yakni Mr Wong, Mr Akun dan Mr Ayun. Namun, cukong terbesar adalah Mr Wong karena memperkerjakan banyak karyawan," kata Wakil Ketua Badan Perwakilan Desa (BPD) Semunying Jaya Jamaludin. (AR/OL-8)

Sumber:
http://www.mediaindonesia.com/read/2010/08/27/165024/127/101/Pembalakan-Hutan-di-Perbatasan-RI-Malaysia-Terus-Berlangsung

Pembalakan Hutan di Perbatasan RI-Malaysia Terus Berlangsung

Polkam / Jumat, 27 Agustus 2010 14:09 WIB

Metrotvnews.com, Pontianak: Aktivitas pembalakan liar (illegal logging) di perbatasan Indonesia-Malaysia di Kalimantan Barat hingga saat ini masih terus berlangsung. Pelaku memanfaatkan kelegahan petugas dalam menjalankan aksi mereka.

Sejak ada gebrakan (operasi) penertiban dari polisi, illegal logging di wilayah kami memang sempat terhenti. Namun, kini mucul lagi meskipun dilakukan secara sembunyi-sembunyi, kata Kepala Desa Semunying Jaya, Kecamatan Jagoi Babang, Kabupaten Bengkayang Momunus kepada Media Indonesia, Jumat (27/8).

Sebagian besar kayu hasil pembalakan liar itu diselundupkan ke Serawak, Malaysia dengan menggunakan truk melalui sejumlah jalan yang menghubungkan wilayah Semunying Jaya dengan tiga kampung di Serawak. Kayu-kayu itu kemudian ditampung oleh sebuah perusahaan pengolahan kayu di Distrik Sematan, Serawak.

Menurut Momonus terdapat tujuh akses jalan yang kerap digunakan sebagai jalur penyelundupan kayu di Semunying. Salah satu akses tersebut berupa jalan semipermanen berlapis batu yang berada di sebuah lokasi perkebunan kelapa sawit. Jalan itu cukup lebar, kira-kira ada enam meter karena bisa dilalui dua truk yang berpapasan, ungkapnya.

Pembalakan liar dan penyelundupan kayu ini diduga melibatkan para pemodal dari Malaysia. Mereka membeli kayu-kayu dari para penebang dengan kisaran harga RM300 hingga RM800 atau sekitar Rp864 ribu hingga Rp2,3 juta per tan. Satu tan setara dengan 1,5 M3.

Ada tiga cukong kayu dari Malaysia yang terlibat, yakni Mr Wong, Mr Akun dan Mr Ayun. Namun, cukong terbesar adalah Mr Wong karena memperkerjakan banyak karyawan,รข€ kata Wakil Ketua Badan Perwakilan Desa (BPD) Semunying Jaya Jamaludin. (MI/ICH)

Sumber:
http://www.metrotvnews.com/index.php/metromain/news/2010/08/27/27309/Pembalakan-Hutan-di-Perbatasan-RI-Malaysia-Terus-Berlangsung-

Kamis, 26 Agustus 2010

PT. MKS Cemari Sungai Noyan, Warga Resah Hadirnya Aparat!!!

Pembangunan investasi perkebunan monokultur dengan dalih untuk memberikan kesejahteraan namun berbuah “petaka” karena justeru merugikan bagi rakyat seperti konflik penyerobotan lahan maupun tanah warga dan pencemaran sumber air adalah fenomena yang tidak asing di republik ini. Warga Desa Noyan dan sekitarnya di Kabupaten Sanggau adalah suatu komunitas masyarakat Dayak Bisonu’-Bemate’ yang juga bagian dari anak negeri, namun harus menelan pil pahit sebagai akibat dari pembukaan investasi yang hanya menguntungkan pihak tertentu semata.

Desa Noyan sendiri terdiri dari tiga dusun yakni; Dusun Noyan yang meliputi Kampung Kojup dan Plaman Noyan, Entubu dan Krosik. Sumber pencaharian warga Noyan pada umumnya sebagai peladang, petani karet, pedagang, dan ada juga yang bekerja di perkebunan sawit.

Berbagai persoalan di Desa Noyan terkait dengan keberadaan perkebunan sawit di daerah tersebut tidak dapat terhindari. Salah satu perusahaan perkebunan Sawit yang ada di daerah ini adalah PT. Mitra Karya Sentosa (MKS) anak perusahaan Surya Dumai Gropus. Berdasarkan hasil penelusuran lapangan dan laporan warga setempat, sejumlah fakta lapangan sebagai akibat dari pembukaan kawasan hutan untuk perkebunan sawit di daerah tersebut bahwa diantaranya; 1) Air Sungai Noyan sejak tahun 2009 mulai keruh dan bahkan kini rawan banjir karena kawasan hutan sebagai penyangga sudah dibabat, 2) tanah warga di serobot tanpa pemisi yang pada akhirnya hanya dihargai seadanya. Bahkan masih ada tanah warga yang diserobot namun belum di GRTT (Ganti Rugi Tanam Tumbuh), 3) telah terjadi tumpang tindih lahan perkebunan, 4) terjadi gejolak dan kerawanan sosial di tingkatan masyarakat dan bahkan konflik antar keluarga, 5) masyarakat resah dengan kehadiran aparat keamanan (brimob) yang menjadi alat perusahaan untuk mengamankan proses penggarapan dan pembebasan lahan.

Dalam prakteknya, pihak perusahaan malah menggunakan masyarakat lokal yang pro perkebunan untuk mendukung pembebasan lahan masyarakat.

Berbagai persoalan di Desa Noyan terkait dengan keberadaan perkebunan sawit di daerah tersebut tidak dapat terhindari. Salah satu perusahaan perkebunan Sawit yang ada di daerah ini adalah PT. Mitra Karya Sentosa (MKS). Berdasarkan hasil FGD bersama warga, sejumlah fakta yang didapati sebagai akibat dari pembukaan kawasan hutan untuk perkebunan sawit di daerah tersebut bahwa; 1) Air Sungai Noyan sejak tahun 2009 mulai keruh dan rawan banjir karena kawasan hutan sebagai penyangga sudah dibabat, 2) tanah warga di gusur tanpa pemisi dan pada akhir nya di hargai seadanya (bahkan ada yang belum di GRTT), 3) telah terjadi tumpang tindih lahan perkebunan, 4) terjadi gejolak dan kerawanan sosial di tingkatan masyarakat dan bahkan permusuhan antar keluarga, 5) masyarakat resah dengan kehadiran aparat keamanan (brimob) yang menjadi alat perusahaan untuk mengamankan proses penggarapan dan pembebasan lahan, 6) pihak perusahaan menggunakan masyarakat lokal yang pro perkebunan untuk mendukung pembebasan lahan masyarakat.

Dibalik berbagai persoalan tersebut, masyarakat di Desa Noyan masih berada dalam posisi yang lemah. Mereka disatu sisi tidak pernah mendapatkan informasi yang utuh mengenai sejumlah dampak investasi di daerahnya. Bahkan masyarakat setempat tidak mengetahui banyak soal keberadaan PT. MKS yang beroperasi di daerah mereka. Mereka juga tidak berdaya disaat perusahaan menggusur tanah mereka tanpa permisi.

Kondisi kebun juga tampak kurang terawat, dan hal demikian di akui warga. Disamping itu, masyarakat setempat merasa tidak pernah dilibatkan atas hadirnya perusahaan ini. Tidak melibatkan semua unsur. Berdasarkan informasi dilapangan bahwa izin PT. MKS dan PT. Bumi Tata Lestari (BTL) di Sei Daun tumpang tindih. Masyarakat juga menilai bahwa hadirnya PT. MKS tidak memberi kontribusi bagi masyarakat setempat. Yang ada justeru merugikan. Hutan masyarakat dibabat dan tanah di serobot tanpa permisi.

Disamping PT. MKS yang baru hadir di daerah Noyan dan sekitarnyasekitar tahun 2008/2009, juga terdapat PT. Global yang masuk sejak tahun 2005, PT. SISU (Sepanjang Inti Surya Utama) masuk tahun 2006/2007, PT. Semai Lestari (SL) dan PT. Bumi Tata Lestari (BTL) di tahun 2009. Persoalan tumpang tindih pengelolaan kawasan semakin di perparah dengan upaya eksplorasi yang dilakukan PT. Kendawangan Putra Abadi (sebuah perusahaan pertambangan) yang akan menggunakan areal kawasan PT. Mitra Karya Sentosa (MKS) sebagai kawasan konsesi.

Pemerintah daerah dan semua pihak terkait yang berniat baik dan memiliki tanggungjawab hendaknya memperhatikan persoalan yang dihadapi warga Noyan. Tercemarnya Sungai Noyan dan Sungai di Dusun Mayan mengancam kehidupan warga atas akses sumber air bersih bagi warga. Aparat kepolisian (brimob) yang hadir untuk perusahaan telah meresahkan warga. Pihak keamanan dan pihak terkait lainnya, khususnya Kapolda Kalimantan Barat hendaknya menarik aparat yang dianggap telah meresahkan dan membuat warga merasa trauma.


Disampaikan oleh Hendrikus Adam, Kadiv Riset dan Kampanye Walhi Kalimantan Barat.

Kamis, 19 Agustus 2010

Pengembangan Sawit di Kabupaten Bengkayang Ilegal

Era Baru News Sabtu, 24/04/2010

Pontianak - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Kalimantan Barat, menuding pengembangan perkebunan sawit PT Ledo Lestari di Desa Semunying Jaya, Kecamatan Jagoi, Babang Kabupaten Bengkayang ilegal.

Kepala Devisi Riset Kampanye WALHI Kalbar Hendrik Husadam dalam keterangan persnya di Pontianak, Sabtu (24/4), mengatakan pengembangan sawit oleh perusahaan itu ilegal karena izinnya telah berakhir tahun 2007, tapi hingga kini mereka masih terus melakukan pembabatan hutan adat milik masyarakat setempat.

PT Ledo Lestasri hanya memiliki izin pengembangan sawit sekitar 20 ribu hektare, kini perusahaan itu telah membabat hutan seluas 100 ribu hektare. Akibatnya hutan adat milik masyarakat setempat seluas 2.380 hektare menjadi rusak dan tersisa sekitar 930 hektare.

"Kuat dugaan selain mengembangkan sawit secara ilegal, perusahaan itu juga melakukan aktivitas pembalakan hutan secara liar. Hasil pembalakan itu dijual ke Malaysia yang jaraknya tidak terlalu jauh," katanya.

Hingga kini PT Ledo Lestari anak perusahaan PT Duta Palma Nusantara Group masih gencar melakukan pembabatan hutan. Pihak perusahaan tidak segan-segan melakukan intimidasi menggunakan kekuatan aparat penegak hukum kepada masyarakat setempat apabila menolak.

Kepala Desa Semunying Jaya Momonus mengatakan, akibat intimidasi dari pihak perusahaan, sekitar 93 kepala keluarga atau 385 jiwa, hidupnya menjadi tidak tentram.

"Hutan adat kami yang selama ini tempat menggantungkan hidup telah habis dibabat. Bahkan lahan perumahan kami juga terancam digusur," ujarnya.

Ia meminta, Pemerintah Kabupaten Bengkayang untuk menindak tegas pemilik perkebunan yang telah merampas dan merusak hutan adat milik masyarakat Desa Semunying Jaya.

"Kami yang dulunya hidup tentram dan damai, kini hidup dalam tekanan seperti masa penjajahan Belanda dan Jepang," ujarnya.

Hal senada juga diakui oleh salah seorang warga Desa Semunying Jaya, Jamaludin (50). Ia mengatakan, siapapun masyarakat yang melakukan perlawanan terhadap masuknya PT Ledo Lestari untuk pengembangan sawit selalu mendapat ancaman.

"Bahkan saya dan Kepala Desa Semunying Jaya, Momonus pernah ditahan selama sembilan hari di sel tahanan Kepolisian Resort Bengkayang dan mendapat tahanan kota selama 20 hari," katanya.

Pada dasarnya pihaknya tidak menentang perluasan sawit di desa itu. "Tapi perluasan perkebunan sawit juga memperhatikan kaedah atau norma masyarakat setempat dengan tidak merusak hutan adat dan makam leluhur kami," ujarnya.

Hasil investigasi Lembaga Pengkajian dan Studi Arus Informasi Regional (LPS-AIR) Kalbar selama lima hari di tahun Desember 2009 dan awal tahun 2010 di Kabupaten Ketapang dan Bengkayang masih menemukan maraknya aktivitas pembalakan liar.

Direktur LPS-AIR Deman Huri menyatakan, pihaknya menurunkan lima orang anggotanya untuk melakukan investigasi di Desa Sahan Kecamatan Seluas dan Desa Semunying Jaya Kecamatan Jagoi Babang Kabupaten Bengkayang dan masih menemukan maraknya aktivitas pembalakan liar.

"Hasil investigasi tim kami di lapangan, pembalakan mulai marak tahun 1977 lalu hingga kini, tapi jumlah kayunya telah menurun drastis karena penebangan kayu tanpa dibarengi menanam kembali. Modusnya yaitu para cukong mendanai masyarakat sekitar agar menebang kayu kemudian dijual ke cukong tersebut," kata Deman Huri.

Ia mengatakan, di Desa Sahan pihaknya juga menemukan PT Pencetus Sawit Andalan yang beralasan membuka hutan untuk menanam sawit di wilayah hutan adat desa itu. Padahal motif pembukaan lahan itu sebenarnya untuk mengambil kayu-kayu yang masih produktif.

Sementara di Desa Semunying Jaya Kecamatan Jagoi Babang juga terjadi aktivitas IL di hutan adat desa itu seluas 2.380 hektare yang kini tinggal 930 hektare akibat IL.

"Hasil aktivitas pembalakan oleh PT Yamaker dijual ke Malaysia karena jaraknya hanya satu sampai dua jam perjalanann," katanya.

Sebelumnya, Kepala Kepolisian Daerah (Polda) Kalimantan Barat, Brigadir Jenderal Pol Erwin TPL Tobing mengakui masih ada praktek pembalakan liar di Kabupaten Ketapang dan Bengkayang provinsi itu.

"Pembalakan hutan secara besar-besaran seperti beberapa tahun lalu sudah tiada ada lagi. Tapi untuk penebangan hutan skala kecil dan `kucing-kucingan dengan kepolisian masih ada," katanya.

Erwin menjelaskan, cukup sulit memberantas praktek itu selain karena luasnya wilayah yang harus diawasi, juga karena kurangnya personel Polda Kalbar. "Tapi yang penting praktek pembalakan secara besar-besaran sudah bisa ditekan dan secara bertahap pengawasan kami mengarah kepada praktek yang kecil," ujarnya.

Ia mengatakan, sulitnya menekan praktek pembalakan itu karena sebagian besar masyarakat masih menggantungkan hidupnya dari hasil kayu. Selain itu bahan baku kayu untuk pembangunan di Kalbar masih menjadi pilihan utama dibanding dari besi dan semen.(ant/yan)

Sumber:
http://erabaru.net/nasional/50-jakarta/12936-pengembangan-sawit-di-kabupaten-bengkayang-ilegal

Sabtu, 14 Agustus 2010

30 Persen DAS di Kalbar Rusak

TRIBUNPONTIANAK/ALI
Ilustrasi

PONTIANAK, TRIBUN - Lebih dari 30 persen daerah aliran sungai (DAS) di Kalbar mengalami kerusakan yang parah. Persentase kerusakan 90 persen, dilihat dari kualitas air yang berwarna kuning kehitaman atau berkarat.

Direktur Eksekutif Walhi Kalbar, Hendi Candra, Jumat (16/7/10), menuturkan, DAS di Kalbar rusak parah akibat penambangan dan pembukaan perkebunan sawit. Satu diantara sungai yang menduduki peringkat tertinggi kerusakannya yakni Sungai di Kabupaten Landak.

"Sungai Landak paling kritis, mencakup sungai besar atau DAS utama maupun sungai kecil atau sub DAS. Jangankan untuk konsumsi, untuk transportasi saja sudah susah karena mengalami pendangkalan,," paparnya disela dialog "Pentingnya Pengelolaan DAS dalam Penataan Ruang Provinsi Kalimantan Barat" di Hotel Gajah Mada.

Ironisnya, Kalbar memiliki dan dialiri banyak sungai, sehingga terkenal sebagai daerah seribu sungai.

Editor: End | Laporan: Pab

Sumber:
http://www.tribunpontianak.co.id/read/artikel/14127

Transparansi Kepala Daerah Kelola Hutan

LINDUNGI HUTAN - (Ada Poto) Aktivis Greenpeace, Walhi dan AMAN Kalbar melakukan aksi damai di kebun sawit kawasan Taman Nasional Danau Sentarum untuk melindungi hutan dan lahan gambut dari kerusakan episode 2009 lalu.
TELAH 68 hari Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan melayangkan surat "khusus" kepada para gubernur. Sepanjang waktu itu surat belum terbalas.


Surat Menhut Nomor S95/Menhut-IV/2010 tertanggal 25 Februari 2010, berisi permintaan kepada gubernur untuk menginventarisasi pelanggaran kawasan hutan, baik akibat perkebunan maupun pertambangan.

Menhut juga minta gubernur melaporkan tindakan yang diambil dua bulan setelah menerima surat. Laporan wajib ditembuskan ke Kementerian Lingkungan Hidup, Polri, Kejaksaan Agung, dan Komisi Pemberantasan Mafia Hutan yang masuk tim gabungan penegakan hukum kehutanan.

Namun, hingga Senin (3/5), belum satu pun gubernur membalas. Ada apa dengan gubernur negeri ini? Semoga hanya masalah administratif, bukan terkait mata rantai mafia hutan.

Tak lama lagi, tim gabungan penegakan hukum kehutanan turun lapangan untuk menghimpun bukti pelanggaran kawasan hutan. Jika ada kepala daerah membangkang pelaporan pelanggaran hukum kehutanan, dijadikan "temuan" tim.

Sikap lamban gubernur menjadi "aneh," di tengah gencarnya kampanye pemberantasan mafia hukum, khususnya di bidang kehutanan. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bahkan telah mengobarkan perang terhadap 9 mafia yang disebut big fish.

Anomali komunikasi pejabat daerah-pusat ini, patut didalami manakala mengristal kelambanan sikap sama di tingkat pejabat bupati. Khususnya, dalam membantu rakyat memperoleh izin hak pengelolaan hutan tanaman rakyat (HTR)

HTR merupakan program andalan Kemenhut yang melibatkan masyarakat untuk menanami hutan dengan tanaman bernilai ekonomi. Targetnya, seluas 2,5 juta hektare sampai 2014. Kemenhut mencadangkan 480 ribu hektare dari target 500 ribu hektare kawasan hutan produksi untuk program HTR tahun ini.

Sayang, hingga kini bupati baru menerbitkan izin 60 ribu hektare. Akselerasi penerbitan izin pengelolaan HTR oleh masyarakat, kelompok tani atau koperasi ini, diplot di Sumatera, Sulawesi, Kalimantan dan Papua.

Menghadapi "stagnasi" sikap kepala daerah ini, Menhut minta bantuan Mendagri Gamawan Fauzi agar menginstruksikan bupati secepatnya memproses izin pengelolaan HTR. Ada apa, dan mengapa bupati dan gubernur bersikap "lamban"?
Hutan Kalbar Kritis
Pertanyaan besar yang wajib diungkap ke publik. Komisi IV DPR yang membidangi pertanian, perkebunan, perikanan, kelautan, kehutanan, dan pangan, patut menggunakan fungsi pengawasannya.

Mendata sahih sekaligus menyelamatkan hutan saat ini, adalah keniscayaan. Wajib diingat, negeri kita yang menempati urutan kelima dari 10 negara berhutan luas di dunia, masuk ranking dua laju kerusakan hutan tertinggi di muka bumi.

Laju kerusakan hutan Indonesia mencapai 1,87 juta hektare selama 2000-2005. Kerusakan ini tak hanya mengancam harta hutan yang bisa dimanfaatkan untuk peningkatan kesejahteraan rakyat, tetapi sekaligus mengancam masa depan dan kesinambungan hidup anak cucu kita.

Kerusakan hutan senantiasa berdampak buruk terhadap ekosistem semesta alam. Perubahan iklim dan pemanasan global, adalah akibat sekaligus ancaman kehidupan manusia di dunia saat ini.

Fenomena ini juga melanda hutan Bumi Khatulistiwa. Dari 9,176 juta hektare lahan hutan Kalbar, sekitar 2,1 juta hektare kritis. Laju kerusakan hutan Kalbar mencapai 165 ribu hektare per tahun, atau 23 kali luas lapangan sepakbola per jam.

Masihkah kita bangga menebangi hutan sekehendak hati? Masihkah kita bangga menerbitkan izin perkebunan sawit tanpa mengindahkan keseimbangan alam? Masihkah kita tutup mata tak menegakkan hukum atas illegal logging, illegal mining?

Jika ya jawabannya, cepat atau lambat kita akan menjadi Gayus kesekian. Penyesalan selalu datang belakangan. Hentikan menimbun harta haram yang mengancam kehidupan masa mendatang.

Seharusnya kita bisa memetik hikmah dugaan keterlibatan pejabat publik, termasuk dua pejabat tinggi Mabes Polri dalam mafia kehutanan. Satgas Pemberantasan Mafia Hukum sedang menindaklanjuti kasus ini yang diduga merugikan negara Rp 2,8 triliun.

Menyembunyikan uang haram di era kini, sulit dilakukan. Jika kita tidak takut Tuhan, petugas Pusat Pelaporan dan Analis Transaksi Keuangan mudah melacak. Haruskah kita menghabiskan masa tua di bui?

Tidakkah kita malu mendapat gelar koruptor? Atau ikhlaskah jika harkat dan martabat sebagai pejabat amanah hancur? Mari, selamatkan dan manfaatkan hutan sesuai kaidah alam.

sumber: tribun pontianak edisi cetak
editor: alb

Sumber:
http://www.tribunpontianak.co.id/read/artikel/9409

Teatrikal Walhi Kalbar Peringati Hari Bumi

Kamis, 22/04/2010/pk/13:13 WIB

PONTIANA, TRIBUN - Memperingati Hari Bumi pada 22 April ini, pegiat Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kalimantan Barat menggelar aksi teaterikal di Bundaran Digulis Universitas Tanjungpura (Untan), Kamis (22/4).
Walau hanya diperankan sekitar tujuh orang, aksi teaterikal tersebut sangat menarik penonton. Mereka menggambarkan bencana banjir, longsor, kekeringan, badai akibat kerusakan lingkungan. Ada yang berperan sebagai investor, warga, petugas dan lainnya.
Aksi teaterikal menggambarkan ajakan Walhi untuk menghentikan perluasan pembukaan lahan kebun sawit dan penghentian illegal logging serta land cleaning. Aksi teaterikal berlangsung sekitar pukul 11.00 hingga saat ini. (*)

Laporan: Iin Sholihin
Editor: nip
Dapatkan artikel ini di URL:
http://www.tribunpontianak.co.id/read/artikel/8527

Sumber:
http://www.tribunpontianak.co.id/printnews/artikel/8527

Selasa, 10 Agustus 2010

Ketika Warga Seruat Mengadu ke Walhi Kalbar

Selasa, 10/08/2010/pk/11:06:00
Kami Tak Mampu Lawan Kekuatan Pemilik Modal

By. Sutami, Pontianak

Tanah adalah kekayaan. Anugerah sekaligus pintu petaka. Pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit skala besar mulai berdampak pada masyarakat. Ancaman banjir hingga menjadi bangsa yang pekerja. Orang-orang kecil itu sudah tak sanggup melawan kekuatan pemilik modal.

LANCAR bicaranya. Bersemangat mengutarakan persoalan yang dihadapi. Daerahnya pernah dihantam banjir. Menjadi pengalaman pahit yang sungguh terasa. Sebuah kejadian yang sebelumnya tidak pernah terjadi. Ungkapan Jasni, warga Desa Seruat, Kabupaten Kubu Raya, secara spontan menggambarkan dampak paling nyata dari pembukaan sporadis lahan perkebunan sawit. Duduk berderet dan saling berhadapan menjadi pertemuan serius di sekretariat Wahana Lingkungan Indonesia Kalimantan Barat, Senin (9/8) di Pontinanak. Dipojok kanan Jasni duduk sambil bercerita. Menguraikan keadaan yang masyarakat setempat rasakan.

Dia menuturkan tentang Desa Seruat. Mulai mata pencaharian hingga keadaan terkini. Sama dengan daerah lain di Kubu Raya. Untuk mata pencaharian masyarakatnya mengandalkan pertanian. Hal tersebut menjadi permasalahan. Dia menguraikan, masalah pertanian terkait dengan lahan. Tetapi, sekarang masalah tanah yang sedang diratapi, yakni perluasan areal perkebunan yang tak mampu dilawan. Karena aktivitas perusahaan memiliki kekuatan legal secara formal melalui aturan yang dibuat pemerintah. Jasni bercerita, masyarakat diminta menjual lahan yang berstatus tanah negara. “Ketika masyarakat ingin mempertahankan justru malah perusahaan melaporkan ke pihak berwajib,” katanya.

Keadaan membingungkan menyelimuti warga. Mereka seakan kehilangan tempat menumpahkan penderitaan. “Mendatangi DPRD Kubu Raya sudah kami lakukan. Menemui bupati juga sudah. Tapi hasilnya belum kunjung tiba,” ujar Jasni. Hal ditakuti Jasni adalah tentang masa depan generasi Seruat. Ia tak menginginkan keturunananya menjadi kuli akibat lahan peninggalan nenek moyang secara perlahan habis dikuasai pemodal. Sehingga tidak lagi menyisakan tempat untuk bercocok tanam atau merasakan sedikit rasa kemerdekaan. Panjang lebar Jasni mengungkapkan permasalah di Desa Seruat II. Saat datang ke Walhi Kalbar, Jasni ditemani Sutia. Keduanya membuka tabir menyangkut peliknya masalah lahan. Yang sekilas tidak terlalu menjadi masalah yang menyilaukan. Tetapi di balik kerindangan dan kemegahan batang-batang sawit menyimpan misteri.

Sutia bercerita, perusahaan yang membuka lahan di desanya, memang pernah bersosialisasi. Namun kesepakatan tidak mencapai titik temu. Direktur Eksekutif Walhi Kalbar Hendi Chandra mengatakan, kawasan hutan Kubu Raya merupakan penyangga daerah aliran sungai Kapuas. Bila dibiarkan akan memberikan dampak menonjol terhadap masalah lingkungan. Tomo dari Gemawan menegaskan keterlibatan pemerintah dalam pemberian izin pembukaan lahan turut menyuburkan kerusakan hutan. Masyarakat yang paling rentan merasakan dampak. Selain kerusakan lingkungan, berhadapan dengan perusahaan juga kriminalisasi aparat penegak hukum juga bakal menghantui akibat berseberangan dengan keinginan pemilik modal. (*)

Sumber:
http://www.pontianakpost.com/index.php?mib=berita.detail&id=37284

Sabtu, 07 Agustus 2010

Walhi says land grabs degrading environment

The Jakarta Post, Jakarta
Monday/06/07/2010/pk/9:54 AM

JAKARTA: The Indonesian Environmental Forum (Walhi) alleges that land grabs by large-scale plantation companies are leading to rapid environmental degradation in West Kalimantan.

Local Walhi activist Hendrikus Adam said plantation companies that are expanding production opening new estates are damaging the most land.

Hendrikus made the statement while addressing a demonstration held in observance of the World Environment Day at Tanjungpura University in Pontianak on Saturday.

Activists at the demonstration demanded that the government stop illegal logging, land clearing and seizure of local community’s property.

Hendrikus said powerful plantation companies often intimidated locals who resist seizure of their land.

“Ironically, local governments are very generous when issuing new permits for plantation companies to open estates in West Kalaimantan,” he said as quoted by Antara.

Walhi’s statistics show 6,632 disasters from ecological degradation over the past 13 years.

Sawit Watch, a non-governmental organization that monitors oil palm plantations, has recorded 630 land-ownership conflicts between locals and companies so far this year. — JP

Sumber:
http://www.thejakartapost.com/news/2010/06/07/walhi-says-land-grabs-degrading-environment.html
lihat juga:
http://webcache.googleusercontent.com/search?q=cache:w9Y4m3amHigJ:gccs.cos.gmu.edu/aggregator/categories/5%3Fpage%3D12+Hendrikus+Adam+Walhi+Kalbar&cd=37&hl=en&ct=clnk&client=firefox-a

Perubahan Iklim Menjadi Isu Utama Masyarakat

Jumat, 06/08/2010
Ditulis oleh Hentakun

“Media lokal melihat bahwa perubahan iklim dan REDD bukan isu utama yang harus diinformasikan,” ujar Kepala Lembaga Pengkajian dan Studi Arus Informasi Regional (LPS-AIR) Deman Huri Gustira dalam diskusi dan peluncuran buku, Mewartakan Perubahan Iklim dan REDD di kafe D’Tapaz, Pontianak, Kamis (5/8).

Diskusi tersebut dihadiri jurnalis se-Kalbar, Bonn University Jerman dan penggiat lingkungan seperti Walhi, DED, PRCF, Sakawana dan Badan Lingkungan Hidup Provinsi Kalbar.

Kurangnya pemberitaan tersebut menurut Deman lantaran masih lemahnya jurnalis lokal dalam memahami permasalahan perubahan iklim dan REDD dan politik media serta kepentingan pasar, jurnalis dan pemilik media belum melihat bahwa perubahan iklim dan REDD adalah isu yang hangat dan laku di pasaran.

Hendrikus Adam dari Walhi Kalbar mengatakan, dampak dari perubahan iklim memang tidak bisa dihindari. Karena itu memang pasti terjadi, namun bagimana kita bisa mengurangi hal itu, harus ada cara-cara khusus, bagaimana menekan laju perubahan iklim. Disatu sisi kebijakan untuk pembukaan hutan secara untuk sawit masih terus terjadi. Kebijakan yang ada masih berbalik dengan keadaanya yang ada. Bukan malah mengurangi perubahan iklim namun malah semakin kompleks.

Dedy dari PRCF, mengatakan terkait dengan perubahan iklim, sudah merancang membentuk komunitas tentang perubahan iklim. Tentu saja yang terkait langsung ialah petani serta hasil panen yang mereka peroleh. Berikan penyuluhan tentang perubahan iklim, siapa yang bisa mereka hubungi, yang pasti bagaimana mereka bisa le;uar dengan hal itu.

Pemerintah harus aktif dan menentukan aspek yang ada. Yang hangat ialah baru di internasional, jadi belum dipasarkan, terkait dengan pemerintah daerha harus menyiapkan agar. Jangan sampai itu tidak direspon dari pemerintah daerah. Jangan sampai mereka tidak ikut dengan dewan iklim nasional yang sudah merancang itu. NGO bisa berkerjasama dengan pemerintah daerah, rencana jangka panjang untuk mendukung dan terjun ke lapangan ke level daerah yang bisa terjun langsung ke daerah yang terkena langsung perubahan iklim.

Sumber:
http://borneotribune.com/nasional/perubahan-iklim-menjadi-isu-utama-masyarakat.html