Jum'at, 06 Mei 2011 , 16:07:00
PONTIANAK - Kepala Dinas Perkebunan Kalimantan Barat Hiarsolih, meminta agar perusahaan-perusahaan perkebunan dapat lebih menggencarkan sosialisasi kepada masyarakat. Hal ini guna mencegah terjadinya konflik sebagaimana yang kerap mencuat ke permukaan. Menurut Hiarsolih, dalam setiap izin usaha perkebunan (IUP) yang diterbitkan oleh bupati, sebetulnya sudah termuat diktum yang mensyaratkan bahwa perusahaan harus memenuhi hak masyarakat dan menyelesaikan persoalan sosial sebelum beroperasi. Persoalan sosial itu misalnya berupa ganti rugi lahan.
Jika ganti rugi lahan belum diselesaikan atau belum disepakati, otomatis perusahaan belum dapat beroperasi di lokasi yang bersangkutan. “Misalnya begini. Kalau dalam suatu IUP, perusahaan dapat izin 10 ribu hektar, tetapi perusahaan hanya bisa menyelesaikan persoalan sosial untuk lahan 3000 hektar, maka perusahaan hanya bisa beroperasi di 3000 hektar itu, bukan 10 ribu,” jelasnya.Karena itu, Hiarsolih menilai istilah penyerobotan atau perampasan tanah petani atau tanah adat oleh perusahaan sawit sebagaimana yang sering digaungkan selama ini adalah kurang tepat. Di sisi lain dia juga menyebutkan, dalam suatu areal perkebunan, seringkali tidak semua warga melakukan penolakan. Ada pula warga yang setuju.
Sebagai antisipasi konflik, dia menyarankan agar perusahaan terus melakukan sosialisasi demi mencapai kesepakatan dengan masyarakat tentang ganti rugi lahan. “Kalau tidak sepakat, tidak bisa jalan,” ujar dia. Pernyataan ini disampaikan
menyusul aspirasi tentang konflik lahan yang disampaikan Aspirasi Front Perjuangan Rakyat (FPR) Kalimantan Barat di Hari Buruh, (2/5) lalu.Dalam salah satu butir aspirasinya, FPR meminta agar perampasan tanah petani dan tanah adat oleh perusahaan sawit dan perusahaan lain dapat dihentikan. Kasus-kasus seperti itu dirasakan sering terjadi. Bahkan, dua hari lalu, kasus serupa juga dilaporkan oleh serombongan warga yang menamakan diri Masyarakat Adat Desa Gurung Sengiang, Kecamatan Serawai, Kabupaten Sintang.
Mereka datang ke Pontianak untuk mengadukan PT Sumber Hasil Prima dan PT Sawit Sumber Andalan yang dinilai secara sepihak telah memasukkan 30 hektar ladang warga dan hutan adat ke dalam rencana proyek sawitnya. Padahal pendirian kebun sawit tersebut telah ditolak oleh sebagian besar masyarakat. Terkait persoalan lahan ini, Ketua Komisi A DPRD Kalbar, Retno Pramudya, meminta agar Dinas Perkebunan Kalbar melakukan evaluasi terhadap izin-izin yang dikeluarkan dan melakukan survei ke lapangan. Hal ini untuk menjamin agar perusahaan menjalankan operasinya sesuai aturan atau tidak merugikan masyarakat.
“Harus dilihat, apakah kewajiban-kewajiban perusahaan sudah dijalankan atau tidak terhadap lahan masyarakat,” katanya. Masyarakat, menurutnya sering mengeluh karena ganti rugi lahan yang dirasakan tidak sesuai. Padahal, masuknya investor perkebunan diharapkan dapat mendongkrak kesejahteraan masyarakat lokal. “Upaya pemerintah menarik investor kita sambut dengan positif. Tetapi, kita harapkan ada antisipasi terhadap perusahaan nakal yang melanggar aturan,” ujarnya. Untuk itu, pengawasan diharapkan dapat dilakukan secara maksimal oleh pemerintah daerah. (rnl
Sumber : http://www.pontianakpost.com/index.php?mib=berita.detail&id=91015
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar