Jalan M. Syafe'i Blok P Nomor 30 Pontianak, Kalimantan Barat. Telp. (0561) 731059

Selasa, 31 Mei 2011

Kuasa Juragan Tambang

Tambang Emas Singkawang (3)
Migrasi kuli penambang emas sangat dinamis. Bos tambang menentukan dimana mata pipa dipancang.

Muhlis Suhaeri / Angga Haksoro
27 Mei 2011 - 15:11 WIB

Surga tambang emas. Tak terjamah.

Hampir tak ada wilayah di Kalimantan Barat yang bebas dari penambangan emas. Mulai ujung perbatasan bagian barat hingga timur. Termasuk wilayah-wilayah pedalaman. Puluhan sungai besar jadi pusat aktivitas penambangan emas tanpa izin. Migrasi para penambang emas sangat dinamis.

Penambang emas di Sagatani, Singkawang, 80 persen dari Sintang. Mereka datang secara rombongan. “Biasanya dicari yang mau kerja dan tahan lama. Kerja ini berat. Jangan sampai 2-3 hari minta pulang,” kata Anton. Pekerja yang dicari biasanya yang lincah dan rajin.

Anton bos pekerja tambang emas di Sagatani. Lelaki 30 tahun ini punya dua set mesin dan sepuluh anak buah.

Cara mencari penambang, melalui koordinator atau kepala rombongan. Penambang yang sudah pernah kerja disuruh pulang, untuk mencari pekerja baru. Mereka sendiri yang tahu, dan bisa cocok dengan siapa. Kepala rombongan biasanya mencari pekerja.

“Kalau pekerja tidak bagus, kita tinggal menegur kepala rombongan,” ujar Anton.

Kepala rombongan tak harus memiliki pengalaman kerja lama. Meski baru bekerja, kalau sudah lihai dan mampu memimpin pekerja di lapangan, bisa jadi kepala rombongan.

Ketika cari pekerja, bos biasanya menangggung biaya transportasi calon pekerja. Berapa pun biayanya akan ditanggung. Termasuk uang pinjaman Rp 1 juta sampai Rp 2 juta untuk anak dan istri calon pekerja.

Biaya transportasi Rp 500 ribu. Ongkos Singkawang-Sintang sekitar Rp 150 ribu. Dari Sintang ke kampung masing-masing, kadang membutuhkan waktu satu hingga dua hari.

Kerjanya dengan sistem kontrak. Kalau bisa bertahan kerja lebih dari satu bulan, ongkos pulang kampung ditanggung bos. Bila tak sampai sebulan, pekerja tanggung sendiri ongkosnya.

Cara pengupahan buruh dompeng dilakukan dengan sistem bagi hasil. Namun tak ada perjanjian tertulis. Pekerja bisa pindah kapan saja ke bos lain. Begitu juga kalau bos tambang bangkrut, pekerja otomatis berhenti.

Struktur kerja di pertambangan emas tanpa izin memiliki beberapa tingkatan. Pertama, penambang atau pekerja di lokasi. Kedua, bos para penambang. Bos penambang juga bertindak sebagai pengumpul emas dari para pendulang liar.

Ketiga, bos besar atau juragan emas yang membeli emas dari para bos tambang. Keempat, bos cetak atau yang menerima emas dari bos besar dan mencetaknya menjadi emas batangan.

Penambangan emas memiliki jaringan tersendiri. Saling terkait dan sukar diputus. Seperti pembalakan liar. Terorganisir. Kalaupun ada razia, paling hanya pekerja rendahan yang ditangkap. Para bos tambang, seringkali tak terjamah.

”Karena biasanya selalu ada oknum dari pihak terkait yang turut terlibat,” kata Hendrikus Adam, Kepala Divisi Riset dan Kampanye Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalimantan Barat.

Tak heran bila setiap ada razia, lokasi tambang selalu sepi. Informasi bocor duluan. Mereka yang jadi bos tambang biasanya orang bermodal. Membuka tambang emas butuh biaya besar. Bos tambang juga punya hubungan baik dengan aparat, orang di pemerintahan, politikus, serta para tokoh masyarakat lokal yang disegani.

”Tak tanggung, para bos tambang biasanya menyediakan jatah khusus atau upeti untuk aparat tersebut,” ujar Adam.

Menurut dia, momentum pemilihan kepala daerah dari tingkatan desa hingga kabupaten, biasanya terkait tambang emas ilegal. Ada hubungan timbal balik antara mereka.

”Para bos tambang berharap usahanya aman dan dilindungi. Sementara figur yang mencalonkan diri dalam sebuah suksesi berharap dapat dukungan agar bisa dipilih dan menang,” kata Adam.

Janji politik mampu membius warga. Hubungan antara para elit dengan para penambangan liar sangat kompleks. Ibarat benang kusut yang sukar diurai.

Hal itu bisa dilihat dari pola distribusi merkuri di Kalimantan Barat yang sulit dideteksi. Padahal semestinya gampang saja. Banyaknya operasi penertiban yang gagal, juga jadi indikasi adanya pihak lain di balik kegiatan ini.

Menurut Adam, kegiatan penambangan emas ilegal biasanya terkait dengan ”orang-orang penting” di sekitar wilayah tambang. Mereka memiliki andil besar memberikan izin tambang.

Umumnya juga melibatkan para bos dan pekerja dari luar daerah, sebagai pemilik mesin dan penggarap. Sementara warga setempat kebanyakan jadi penonton. Kalau pun ada, hanya sedikit yang terlibat. Warga setempat biasanya lebih banyak melakukan aktivitas keseharian seperti menoreh karet, berladang, atau mencari hasil hutan.

Adam memberikan beberapa contoh. Di Nguap, Kabupaten Landak, praktik penambangan emas ada di sepanjang tepian Sungai Belantian yang bermuara di Sungai Landak. Belasan tahun warga terpaksa menggunakan air sungai yang keruh dan pekat untuk mandi, cuci, dan kakus. Aparat desa punya andil besar atas hal itu. Para penambang di Nguap sebagian besar dari Sekadau.

Di Kabupaten Mandor pun demikian. Aktivitas penambangan emas ilegal tak terkendali. Lubang penggalian bahkan menjorok hingga ke pinggir kompleks pemakaman bersejarah, Makam Juang Mandor.

”Para pelaku tak terjamah. Kalaupun pelaku tertangkap tangan, biasanya berakhir damai.”

Di beberapa kawasan daerah aliran sungai Kalimantan Barat, aktivitas penambangan berperan merusak lingkungan dan mencemari air. Padahal sungai, bagian tak terpisahkan dari kehidupan warga.

”Ini tidak lepas dari andil pemerintah dan aparat terkait, yang terkesan selalu kompromi dan terlibat kongkalikong,” kata Adam.

Pemerintah ikut memperparah kondisi dengan membuka lebar peluang usaha tambang emas. Berdasarkan data Dinas Pertambangan dan Energi (Distamben) Kalbar, hingga tahun 2009 pemerintah telah memberikan izin pertambangan lebih dari dua juta hektare. Jumlah itu diluar penambangan liar.

Warga sekitar lokasi tambang paling sedikit mendapatkan keuntungan. Yang meraup rupiah paling banyak, pemodal dan “orang-orang penting” tersebut. Hanya segelintir pekerja yang berasal dari daerah tambang.

”Ini butuh penanganan serius dan menyeluruh,” kata Adam.

Migrasi para penambang emas tak lepas dari eratnya hubungan para bos tambang. Mereka biasanya duduk satu meja di rumah bos besar. Para bos tambang saling tukar informasi, daerah mana yang sedang ditemukan banyak emas. Dari informasi tersebut, mereka akan mengarahkan tujuan penambangan emas.

Begitu pun para pekerja emas. Saat dapat informasi dari rekannya, mereka segera menuju lokasi tersebut. “Biasanya kalau ada kabar di daerah itu banyak hasilkan emas, kami akan ke sana,” kata Snegar, penambang emas berusia 17 tahun. Sejak lulus SMP, dia sudah kerja di tambang emas.

Snegar dari Kabupaten Sintang. Jarak Sintang ke Singkawang sehari semalam naik bus. Untuk ongkos dan makan di jalan, butuh uang sekitar Rp 500 ribu.

Begitu juga Fransiskus Nanang Saputra. Tempat tinggalnya tak kalah jauh. Dia dari Serawai, Sintang. Dari Singkawang butuh waktu naik bus sehari dua malam. Ditambanh naik speed boat. Ongkosnya Rp 400 ribu. Sekali jalan, paling sedikit bawa uang Rp 1 juta.

Mereka pulang sebulan atau dua bulan sekali. Atau, tergantung hasil perolehan emas.

Migrasi para penambang tak lepas dari hasil yang menjanjikan. Namun, uang kadang menguap begitu saja. Seperti kisah Adi Sulistyono.

Adi baru kerja 10 hari di Sagatani. Hasilnya belum terlihat. Sebelumnya, dia kerja tambang emas di Indotani, Sandai, Kabupaten Ketapang. Tujuh tahun dia bertahan. Kerja itu dilakoni setelah Adi tak lulus SMA di Pontianak.

Jalan menuju lokasi pertambangan sulit sekali. Jalan ambles sampai 1,5 meter. Banyak truk terguling melewati jalan tersebut. Dari Ketapang naik ojek sekitar 12 jam. Ongkosnya Rp 250 ribu.

Ada ribuan penambang di Indotani. Sekitar 500-an set mesin beroperasi di daerah tersebut. Satu set mesin dipegang 12 pekerja. Para penambang memiliki tukang masak di setiap kamp. Pekerja tak sempat lagi memasak.

Untuk minum, para bos tambang biasanya pesan air galon. Terkadang mereka pakai air hujan yang ditampung dalam drum. Setelah itu dimasak. Makan tiga kali sehari. Kadang ada lauk, kadang tidak. Energinya dari mana? “Ya, tak ada energinya,” kata Adi.

Jika beruntung, pekerja dapat makan nasi berkawan telur atau ikan gaben, sejenis tongkol.

Jam kerja di penambangan tak tentu. Kadang mulai kerja pukul 10 atau 11. Kerja selesai pukul 5 atau 6 sore. Setelah itu, cuci baju, membersihkan badan, dan mendulang emas. Selepas itu, emas dibakar diatas piring yang dibungkus kertas rokok. Emas dicor agar padat.

Setiap pekerja di Indotani bisa dapat emas 100 gram seminggu. Satu gram emas dihargai Rp 470 ribu. Kadar emasnya tinggi.

Kalau pakai sistem bagi hasil 50:50 dengan bos tambang, pekerja bayar makan sendiri. Mereka utang dulu ke bos tambang. Dengan sistem itu, pekerja bebas pilih makanan. Tinggal pesan ke bos. Semua yang dibutuhkan pasti ada. Setelah 15 hari kerja, hasilnya dihitung. Hasil itu dikurangi biaya makan.

“Kalau perbandingan 70:30, susah karena semua kebutuhan ditanggung bos,” kata Adi. Pekerja tidak bisa pesan sesuatu sesuai yang diinginkan.

Kerja di Indotani lebih berat. Emas diangkat dengan cara melubangi rawa. Lubang ditembak dengan air penyemprot. Setelah itu, air disedot. Air di permukaan harus kering. Kadang harus membongkar batu cadas. Bila tidak hati-hati, badan bisa remuk terhimpit batu.

Hasil menambang emas di Ketapang, jarang meleset. Tiap bayaran, rata-rata dapat Rp 3 juta. Jumlah itu sudah bersih, setelah dipotong utang uang makan pada bos.

Di Indotani, pekerja juga bisa utang makan atau rokok ke kantin. Setelah 10 hari ambil rokok, minum es, atau utang apa pun, orang kantin akan percaya. Di Sagatani, orang belum percaya.

Kegiatan penambangan di Sagatani mengundang pedagang keliling. Hambali misalnya. Pria 54 tahun asal Brebes, Jawa Tengah ini, biasa membawa makanan keliling lokasi penambangan. Sudah setahun dia berjualan keliling penambangan emas di Sagatani.

Hambali jualan empat hari sekali. Dagangannya mulai dari jagung hingga berbagai obat-obatan. Seperti obat encok, asam urat, obat kuat, dan lainnya. Jagung dibawa dari kebun di Pasiran, Singkawang. Dalam satu keranjang biasanya ada 50 tongkol jagung.

Dia berjalan seharian mengelilingi lokasi penambangan. Sore hari, balik ke rumahnya di Pasiran, Singkawang.

Sebagian besar penambang emas di Sagatani rata-rata pernah bekerja di lima hingga tujuh lokasi penambangan. Mengapa para penambang mau meninggalkan rumah, dan bekerja di lokasi yang demikian jauh?

“Kerja emas menjamin hidup,” kata Dedi Hermanto dari Sungai Ulak, Kecamatan Kapuas Kanan Hulu, Sintang.

Dedi kerja tambang emas setelah lulus SMP. Dia termasuk yang berhasil. Dedi sudah punya rumah besar di kampungnya. Anaknya umur lima tahun. Sekarang istrinya sedang hamil delapan bulan.

Sebanyak 70 persen hasil tambang untuk bos. Hasil 30 persen untuk para pekerja. Sepuluh persen untuk koordinator pekerja, diambil dari jatah bos tambang. Tugas koordinator cukup berat. Dia harus bisa mengkoordinasikan semua pekerja. Bila tidak kompak, berpengaruh pada hasil.

Gaji dihitung seminggu sekali. “Rata-rata dapat Rp 1 juta seminggu,” kata Dedi.

Di Sagatani ada sekitar 500 bos tambang. Bos tambang menyediakan berbagai keperluan pekerja. Mulai dari makan tiga kali sehari. Rokok dua bungkus sehari. Bahan bakar mesin diesel, dan lainnya. Bos menanggung semua kebutuhan pekerja. Kesehatan pekerja dijamin. Kalau pekerja sakit, bos tambang bertanggung jawab. Bahkan ada uang pati, bila ada pekerja yang meninggal karena kecelakaan.

Dedi sudah lima bulan bekerja di Sagatani. Awalnya Dedi kerja di Sagatani dengan bos dari Sintang. Bos berhenti karena tak ada hasil. Dedi pindah bos.

Bulan puasa makin banyak orang kerja emas, karena mengejar uang untuk Idul Fitri. “Kerja emas enak tak enak tergantung hasil.”

Dedi juga pernah kerja di penambangan emas di Balai Karangan, Sanggau, tahun 1986. Sistem kerjanya harian, dibayar Rp 8 ribu dan diberi satu karung pasir mengandung emas.

Emas didulang sendiri. Satu karung dapat sekitar 15 gram. Emas kemudian dijual ke penampung. Satu gram emas dibayar Rp 50 ribu sampai Rp 60 ribu. Sekarang harga emas di tingkat pengumpul Rp 325 ribu per gram. Ada kenaikan harga, sesuai kenaikan harga emas dunia. Sebelumnya cuma Rp 300 ribu.

Dedi juga pernah kerja di tambang emas Nanga Kayan, Kabupaten Melawi. Menurutnya, kalau masih bujangan, biasanya uang akan habis begitu saja. Di lokasi penambangan emas ada kantin. Yang menyediakan berbagai macam kebutuhan para penambang. Mulai rokok, makan, minuman keras. Bahkan ada karaoke dan meja biliar.

“Uang habis untuk happy-happy. Ya, abang tahu sendirilah….” Kata Dedi dengan santai. (bersambung)

Foto: VHRmedia/Muhlis Suhaeri
Sumber: http://www.vhrmedia.com/2010/detail.php?.e=2765

Walhi calls on president to evaluate oil palm plantation development

Mon, May 30 2011 17:36 | 195 Views

Pontianak, West Kalimantan (ANTARA News) - The West Kalimantan chapter of the Indonesian Forum for the Environment (WALHI) has called on President Susilo Bambang Yudhoyono to evaluate the massive way in which oil palm plantations were being opened in the country and to abandon plans to build a nuclear power plant.

"We hope the government will not force its will in developing oil palm plantations and planning to build a nuclear power plant without paying attention to their social and environmental aspects," said Hendrikus Adam, chairman of the West Kalimantan chapter of WAHLI`s Research and Campaign Division.

West Kalimantan reportedly has around four million hectares of oil palm plantations, exceeding the quota of 1.5 million hectares.

The massive development of oil palm cultivation in West Kalimantan could cause conflicts between indigenous people as owners of traditional land and plantation developers.

"We and the people need certainty and a clear stance of the government in protecting the people`s right to enjoy good and healthy environmental conditions," he said.

According to the local WALHI`s data, there have been 6,632 ecology-related disasters. Data from Oil Palm Watch shows there have been 630 conflicts regarding oil palm plantations and 200 monoculture plantation conflicts up to 2010.

From 1980s to 2009, a total of 229 companies have received licenses to open 3.57 million hectares of oil palm plantations, but only 318,560 hectares have been developed, according to data from the Dayakology Institute and Oil Palm Watch collected from six districts in West Kalimantan Province.

President Susilo Bambang Yudhoyono is scheduled to visit Pontianak on May 30 and 31, 2011.
(Uu.F001/HAJM)

sumber: http://www.antaranews.com/en/news/1306751780/walhi-calls-on-president-to-evaluate-oil-palm-plantation-development

Seruan Walhi Kepada Presiden

PONTIANAK, Kalbarinfo - Kehadiran Presiden SBY bersama rombongan hari ini (30 Mei 2011) disambut meriah oleh pemerintah daerah. Hal ini ditandai dengan begitu maraknya pemasangan sejumlah material berupa baliho, spanduk dan sejenisnya berisi ucapan selamat datang diberbagai penjuru khususnya di sepanjang jalan Ahmad Yani. Hal lain yang menandai fenomena ini adalah ketatnya penjagaan yang dilakukan oleh aparat bersenjata lengkap di setiap sudut kota sekitar pelaksanaan kegiatan.
Fenomena yang “mencolok” ini seringkali disuguhkan oleh setiap pemerintah di daerah manakala ada kunjungan pejabat negara. Harus diakui seringkali penyambutan yang dilakukan terkadang “berlebihan” dan terkesan “dipaksakan”, padahal untuk efisiensi tidak selalu harus demikian. Apa hubungannya kedatangan Presiden beserta Rombongan dan para Gubernur se-Indonesia di Pontianak? Apakah hanya sekedar menghadiri Hari Puncak Gotong Rotong Masyarakat dan Hari Gerak PKK semata, sebagaimana yang diberitakan? , ungkap aktivis Walhi Kalbar, Hendrikus Adam melalui pesan elektronik kepada Kalbarinfo, kemarin.

Ia mengatakan tentunya menjadi harapan masyarakat banyak bahwa kehadiran SBY beserta rombongan tidak hanya sekedar menghadiri kedua kegiatan diatas. Masih begitu banyak persoalan masyarakat Kalimantan Barat yang perlu mendapat sentuhan dari pemerintah pusat. Salah satu dari persoalan tersebut adalah besarnya potensi konflik sosial terkait pengelolaan sumber daya alam (SDA) yang kemudian berimbas pada perampasan hak warga atas ruang kelolanya dan degradasi lingkungan. Dengan demikian, hal ini butuh kepastian dan sikap jelas perlindungan pemerintah kepada hak-hak warganya atas kondisi lingkungan yang baik dan sehat sebagai bagian dari HAM.

Perampasan ruang kelola masyarakat melalui kebijakan perkebunan sawit skala besar yang saat ini menjadi kebijakan primadona pemerintah telah melahirkan sejumlah konsekuensi logis berupa terabaikannya hak-hak masyarakat untuk dapat melakukan akses maupun kontrol terhadap SDA secara maksimal. “Dalam banyak kasus di Kalimantan Barat, selain fenomena degradasi kondisi lingkungan, konflik sosial yang berujung pada kriminalisasi masyarakat seringkali terjadi. Fenomena ini merubakan bagian dari catatan penting dari persoalan yang hadir dalam masyarakat yang kemudian berimbas pada berbagai aspek kehidupan masyarakat. Fenomena banjir, hilangnya sumber air bersih, perambahan ruang kelola dan pertanian warga, perampasan tanah warga, penghilangan fungsi hutan melalui kebijakan pembukaan hutan skala besar, konflik dan kriminalisasi warga, adalah sejumlah persoalan yang mengemuka dan terus berlangsung saat ini di Kalimantan Barat seiring dengan kebijakan pemerintah yang cenderung tunduk pada pemodal”, ucapnya.

Atas nama kepentingan rakyat, dikatakan Hendrikus Adam hak warga atas tanah maupun ruang kelolanya pun dikorbankan. “Pemerintah selama ini cenderung memaksakan kehendak atas ruang investasi perkebunan skala besar yang diberikan kepada pemodal tanpa memeprhatikan aspek sosial dan lingkungan berkelanjutan secara serius”, terangnya.

Kebijakan pembukaan perkebunan skala besar (Sawit) di Kalimantan Barat hingga saat ini miasalnya, melalui izin yang dikeluarkan telah mencapai hampir empat juta hektar. Melebihi quota yang dialokasikan (1,5 juta Ha). Fenomena inkonsistensi luasan peruntukan di sektor perkebunan sawit ini juga tidak terlepas dari bergulirnya otonomi daerah selama ini yang memberikan kewenangan lebih kepada pemerintah di daerah untuk memberikan legalitas. Apalagi bila tidak disertai kontrol serius pihak legislative didaerah dan perwakilan pemerintah pusat di Kalimantan Barat. Disamping memunculkan potensi persoalan tumpang tindih perizinan, juga membuka kran potensi korupsi dalam sektor pengelolaan SDA oleh pemerintah. Besarnya potensi konflik SDA dan penyalaghunaan kewenangan yang dapat berujung pada korupsi di sektor pengelolaan SDA tersebut, maka peran Negara melalui pemerintah pusat menjadi harapan.

Disamping persoalan pengelolaan SDA di sektor pengembangan perkebunan sawit skala besar, upaya untuk mendongkrak sumber energi dari nuklir melalui rencana kebijakan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) saat ini juga sedang giat-giatnya di promosikan oleh Pemerintah Indonesia. Atas rencana ini para promotor PLTN telah menetapkan sejumlah tempat untuk dikembangkan sebagai tapak PLTN di Indonesia. Semenanjung Muria, selanjutnya Bangka Belitung menjadi target utama selama ini untuk dijadikan lokasi pembangunan PLTN di Indonesia sekalipun masih belum bisa di realisasikan karena sikap keras warga yang menolak dan bahkan hingga memfatwa haram rencana PLTN. Penolakan yang keras dari berbagai elemen masyarakat dengan basis argumentasi yang kuat ini menjadi pertimbangan bagi pemerintah Indonesia, sehingga dengan demikian berbagai tempat lainnya sangat mungkin dijadikan lokasi target pembangunan PLTN berikutnya.

Provinsi Kalimantan Barat khususnya dan pulau Kalimantan umumnya, adalah bagian dari wilayah target pengembangan energi berbahaya tersebut (PLTN). Alas pikir pengembangan PLTN tersebut karena diindikasikan sebagai kawasan yang aman dari potensi bencana alam dan memiliki bahan mentah (Uranium). Sejauh ini pemerintah daerah Kalimantan Barat membuka diri dengan wacana pengembangan PLTN, namun disayangkan sikap ”wellcome” pemerintah daerah selama ini hanya sepihak. Terlebih sejauh ini juga, belum ada penjelasan resmi pemerintah daerah Kalbar berkenaan dengan wacana pembangunan PLTN di daerah ini. Padahal sikap transparan sebagai wujud dari tata pemerintahan yang baik mestinya menjadi semangat bagi pemerintah daerah dalam menggalakkan kebijakan pembangunan bila memang sungguh diarahkan untuk kepentingan publik. Sikap ”tertutup” ini harusnya tidak perlu terjadi bila pemerintah memiliki niat baik untuk memberikan yang terbaik bagi warganya.

Bagaimanapun kebijakan pengembangan PLTN di Indonesia umumnya dan di Kalimantan Barat khususnya bukan sebuah prioritas, bukan pilihan bijak. Bukan juga sebuah jawaban atas fenomena krisis energi (listrik) yang seringkali dijadikan sebagai alasan klasik. Karena pada kenyataannya, maish terlalu banyak potensi energi terbarukan lainnya (panas bumi, air, angin, surya) yang sangat mungkin dikembangkan namun belum ada upaya maksimal yang serius dilakukan. Berkaca dari berbagai bencana nuklir (PLTN) diberbagai belahan dunia yang mampu memberikan dampak negatif yang luar biasa terhadap kehidupan, maka menjadi penting dan mendesak bagi pemerintah untuk melakukan evaluasi dan memikirkan langkah bijak yang tidak memiliki resiko besar. Tidak ada jaminan bahwa pengembangan PLTN akan berjalan mulus dan bebas dari bencana, sekalipun berada di daerah yang diidentifikasi sebagai kawasan yang aman dari bencana alam. Kecelakaan fatal karena berbagai faktor (lalai, kecelakaan, kesengajaan) sangat mungkin terjadi, sehingga pilihan pengembangan PLTN merupakan bagian dari kebijakan yang terlalu di paksakan dan beresiko besar.

Hadirnya kepala negara beserta rombongan di Pontianak tidak akan memberi manfaat besar bila hanya sekedar menghadiri kedua acara seremonial tersebut diatas semata. Kehadiran Presiden SBY bersama rombongan diharapkan dapat mengakomodir berbagai persoalan yang dihadapi warga Kalimantan Barat. Kebijakan pengembangan perkebunan kelapa sawit skala besar di dan rencana pembangunan PLTN disamping berbagai persoalan sosial lain, kiranya penting mendapat perhatian serius pemerintah.

Kebijakan pembukaan perkebunan sawit skala besar terlalu banyak memberikan dampak destruktif bagi warga Kalimantan Barat khususnya karena dengan sendirinya menghilangkan hak kelola dan menjadikan warga bukan sebagai tuan, melainkan buruh. Disamping itu dengan demikian akses warga untuk menghasilkan sumber pangan juga akhirnya terbatas, karena sebagian besar ruang kelola diserahkan secara sepihak kepada pemodal melalui kepala daerah. Persoalan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) juga menjadi fenomena yang tidak terpisahkan dari kebijakan yang cenderung eksploitatif dan ”tunduk” pada pemodal ini. Demikian juga halnya rencana kebijakan pembangunan PLTN oleh pemerintah yang terlalu berbahaya bagi keselamatan hidup dan kehidupan. Bencana Chernobyl tahun 1986 di Ukraina dan bencana meledaknya PLTN Fukushima Daichii di Jepang 2011 hendaknya dapat menjadi catatan penting pemerintah atas rencana pembangunan PLTN. Terlebih untuk saat ini pemeirntah Jepang dan sejumlah negara maju telah memikirkan untuk menghentikan pengembangan PLTN di negara mereka. Sementara pemerintah Indonesia yang masih memiliki banyak keterbatasan terkesan ’ngotot’ dan memaksakan diri uttuk terus maju dengan rencana pengembangan PLTN.

Dengan demikian, hadirnya Presiden SBY bersama rombongan bagi warga Kalbar tentunya diharapkan dapat menjadi angin sejuk terutama bagaimana kemudian dapat memberikan perhatian serius atas berbagai persoalan sosial dan persoalan lingkungan. Presiden SBY beserta rombongan diharapkan dapat melakukan intervensi terhadap kebijakan pengembangan perkebunan sawit skala besar dan rencana pembangunan PLTN di Indonesia. Kepala negara beserta segenap lini pemeritahan hingga ke daerah diharapkan tidak gampang tunduk pada pemodal. Hentikan berbagai potensi konflik SDA di Kalimantan Barat dengan melakukan evaluasi serius atas kebijakan perkebunan sawit dan hentikan kebijakan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN). (riz/ctr)

Sumber : http://www.kalbarinfo.com/news/seruan-walhi-kepada-prsiden.html

SBY Urged to Evaluate Oil Palm Plantation Development

Senin, 30 Mei 2011 | 14:49 WIB

PONTIANAK, KOMPAS.com - The West Kalimantan chapter of the Indonesian Forum for the Environment (WALHI) has called on President Susilo Bambang Yudhoyono to evaluate the massive way in which oil palm plantations were being opened in the country and to abandon plans to build a nuclear power plant.

"We hope the government will not force its will in developing oil palm plantations and planning to build a nuclear power plant without paying attention to their social and environmental aspects," said Hendrikus Adam, chairman of the West Kalimantan chapter of WAHLI’s Research and Campaign Division.

West Kalimantan reportedly has around four million hectares of oil palm plantations, exceeding the quota of 1.5 million hectares. The massive development of oil palm cultivation in West Kalimantan could cause conflicts between indigenous people as owners of traditional land and plantation developers.

"We and the people need certainty and a clear stance of the government in protecting the people’s right to enjoy good and healthy environmental conditions," he said.

According to the local WALHI’s data, there have been 6,632 ecology-related disasters. Data from Oil Palm Watch shows there have been 630 conflicts regarding oil palm plantations and 200 monoculture plantation conflicts up to 2010.

From 1980s to 2009, a total of 229 companies have received licenses to open 3.57 million hectares of oil palm plantations, but only 318,560 hectares have been developed, according to data from the Dayakology Institute and Oil Palm Watch collected from six districts in West Kalimantan Province. President Susilo Bambang Yudhoyono is scheduled to visit Pontianak on May 30 and 31, 2011.

Sumber: http://english.kompas.com/read/2011/05/30/14495568/SBY.Urged.to.Evaluate.Oil.Palm.Plantation.Development.

Walhi Harapkan Presiden Evaluasi Pengembangan Sawit

Senin, 30 Mei 2011 12:39 WIB | 757 Views

Pontianak (ANTARA News) - Wahana lingkungan Hidup Indonesia Kalimantan Barat berharap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk mengevaluasi pengembangan perkebunan sawit dalam skala besar dan menghentikan agenda pembangunan PLTN.

"Kami berharap pemerintah tidak memaksakan kehendaknya dalam mengembangkan perkebunan sawit dan PLTN tanpa memperhatikan aspek sosial dan lingkungan," kata Kepala Devisi Riset dan Kampanye WALHI Kalbar Hendrikus Adam di Pontianak, Senin.

Ia mencontohkan, saat ini kepala daerah di Kalbar berebut melepaskan lahannya untuk pengembangan sawit, malah luasnya sudah mencapai sekitar empat juta hektare atau melebihi dari kuota sebesar 1,5 juta hektare.

Akibatnya sangat berpotensi menimbulkan konflik antara pengusaha dan masyarakat sebagai pemilik tanah adat yang kondisi tanahnya terancam diambil oleh pihak pengemban perkebunan.

"Kami dan masyarakat membutuhkan kepastian dan sikap jelas atas perlindungan dari pemerintah terhadap warganya atas kondisi lingkungan yang baik dan sehat sebagai bagian dari Hak Asasi Manusia," katanya.

Menurut catatan WALHI Kalbar, dalam kurun 13 tahun terakhir telah terjadi 6.632 bencana terkait ekologi, data Sawit Watch hingga 2010 telah terjadi 630 konflik terkait perkebunan sawit, sebanyak 200 konflik perkebunan monokultur terjadi di Kalbar.

Sementara menurut data dari Institut Dayakologi dan Sawit Watch di enam kabupaten di Kalbar, perluasan perkebunan sawit sejak tahun 1980-an hingga 2009 sudah 229 perusahaan yang mengantongi izin perluasan sawit dengan luas 3,57 juta hektare, namun baru terealisasi sekitar 318.560 ribu hektare.

Sementara itu, Kepala Devisi Riset dan Kampanye WALHI Kalbar menyatakan, terkait rencana pengembangan PLTN di Kalbar sebaiknya disosialisasikan dahulu apakah masyarakat menerimanya atau menolak.

"Keputusan akan mengembangkan PLTN di Indonesia dan Kalbar belum prioritas dan bukan pilihan bijak untuk mengatasi krisis energi karena masih banyak potensi energi terbarukan, seperti panas bumi, air, angin dan surya," katanya.

Hingga saat ini belum ada jaminan dari pengembangan PLTN karena risikonya cukup besar akibat kelalaian, kecelakaan dan kesengajaan sehingga keputusan itu terlalu dipaksakan dan beresiko besar, kata Hendrikus.

Menurut WALHI Kalbar, kehadiran Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan rombongan dalam rangkaian kegiatan kunjungan memperingati Bulan Bhakti Gotong Royong Masyarakat VIII dan Hari Kesatuan Gerak PKK ke-39 di Pontianak, 30 - 31 Mei diharapkan tidak hanya seremonial semata.

Kehadiran Presiden SBY bersama rombongan diharapkan dapat mengakomodir berbagai persoalan yang dihadapi masyarakat Kalbar, seperti memberikan perhatian khusus terhadap kebijakan pengembangan perkebunan kelapa sawit rencana pembangunan PLTN.

(A057/S026)

Sumber : http://www.antaranews.com/berita/260837/walhi-harapkan-presiden-evaluasi-pengembangan-sawit

Warga Serawai Tolak Ekspansi Kebun Sawit

Kamis, 05 Mei 2011 , 10:04:00
Diduga Serobot Tanah Adat

PONTIANAK - Ekspansi besar-besaran perkebunan kelapa sawit lagi-lagi menuai kontroversi. Kemarin rombongan yang menamakan diri Masyarakat Adat Desa Gurung Sengiang, Kecamatan Serawai, Kabupaten Sintang datang ke Pontianak untuk mengadukan kejadian yang mereka alami ke lembaga-lembaga terkait. Ceritanya, dua perkebunan skala besar secara sepihak telah memasukan 30 hektar ladang warga dan hutan adat ke dalam rencana proyek sawitnya.Padahal pendirian kebun sawit tersebut telah ditolak oleh sebagian besar masyarakat. “Kami tidak mau menyerahkan wilayah adat kepada pihak perusahaan sawit atau perusahaan lainnya. Kalau kami serahkan, itu sama artinya membuat keturunan kami untuk menjadi kuli,” ujar anggota rombongan, Antonius Maca.

Bagi masyarakat setempat, hutan dan ladang adalah pusat aktifitas ekonomi dan sumber air bersih. “Tujuan kami mempertahankan tanah, air, dan hutan adalah kekayaan leluhur. Kalau perkebunan sawit dipaksakan, berarti mereka mau membunuh masyarakat kami. Biarlah tanah kami dikelola sesuai kemampuan. Ini merupakan nafas masyarakat adat,” sambung Marsianus Tono, ketua Adat Gurung Seriang.Rombongan juga mengecam segelintir pejabat dan perangkat desa yang ikut terlibat dalam proyek tersebut. Sebagai informasi, Desa Gurung Seriang terbagi lagi menjadi empat dusun, yaitu Nanga Mentibar, Melaku Kanan, Sungai Gurung, dan Laman Gunung. Di internal warga sendiri terjadi perpecahan soal perkebunan sawit ini. Namun, penuturan rombongan menyebut 80 persen warga menolak pendirian perkebunan sawit.

Kepala Desa Gurung Sengiang Yohanes Niko termasuk yang mendukung masuknya perkebunan sawit itu. Sementara dari empat kepala dusun, hanya satu yang pro-kebun sawit yaitu Apin, Kepala Dusun Mentibar. Namun sang kepala desa memecat orang-orang yang tidak sepaham dengannya, seperti Kepala Dusun Sungai Garung, L Edar dan anggota BPD, M Ujek. Namun warga mengecam pemecatan tersebut, dan hingga kini keduanya masih menjabat.Penilaian rombongan cukup sarkastis tentang orang-orang yang merelakan tanahnya untuk perusahaan sawit. “Hanya orang pemalas dan tidak mau berladang yang seperti itu. Mereka tidak mau susah-susah bekerja tapi malah menjual tanah nenek moyangnya. Padahal di situ ada sejarah adat, kuburan, dan tanah keramat. Mereka juga tidak tahu sedang ditipu perusahaan,” sebut L Edar, kepala Dusun Sungai Garung.

Penawaran yang diajukan oleh pihak perusahaan menurut rombongan jelas tidak adil. Rasionya adalah delapan berbanding dua. “Delapan untuk perusahaan, untuk warga hanya dua saja. Itupun masih diberikan sistem kredit. Setiap bulan harus membayar uang ke perusahaan,” sebut Kepala Dusun Melaku Kanan, F Asam.Rombongan mengaku hanya menjalankan amanat masyarakatnya. Mereka juga sudah melayangkan surat ke Bupati Sintang, meski belum ada jawaban. “Kami tidak ada tujuan apa-apa, hanya mau menyelamatkan tanah adat kami saja. Kalau ada yang mau jual tanahnya, itu silakan. Tapi jangan paksa orang yang tidak mau menjual. Kami masih memikirkan kehidupan anak cucu,” ungkap Marsianus Tono.Kemarin rombongan menggelar konferensi pers di markas Lembaga Bela Banua Talino, Jalan Budi Utomo, Siantan. Hadir pula sejumlah LSM macam Wahana Lingkungan Hidup, Pemberdayaan Pengelolaan Sumber Daya Alam Kerakyatan. Setelah itu rombongan mengadukan nasib mereka ke Komnas HAM Provinsi Kalbar. (ars)

Sumber: http://www.pontianakpost.com/index.php?mib=komentar&id=90837

Konflik Sawit, Perusahaan Diminta Gencar Sosialisasi

Jum'at, 06 Mei 2011 , 16:07:00

PONTIANAK - Kepala Dinas Perkebunan Kalimantan Barat Hiarsolih, meminta agar perusahaan-perusahaan perkebunan dapat lebih menggencarkan sosialisasi kepada masyarakat. Hal ini guna mencegah terjadinya konflik sebagaimana yang kerap mencuat ke permukaan. Menurut Hiarsolih, dalam setiap izin usaha perkebunan (IUP) yang diterbitkan oleh bupati, sebetulnya sudah termuat diktum yang mensyaratkan bahwa perusahaan harus memenuhi hak masyarakat dan menyelesaikan persoalan sosial sebelum beroperasi. Persoalan sosial itu misalnya berupa ganti rugi lahan.

Jika ganti rugi lahan belum diselesaikan atau belum disepakati, otomatis perusahaan belum dapat beroperasi di lokasi yang bersangkutan. “Misalnya begini. Kalau dalam suatu IUP, perusahaan dapat izin 10 ribu hektar, tetapi perusahaan hanya bisa menyelesaikan persoalan sosial untuk lahan 3000 hektar, maka perusahaan hanya bisa beroperasi di 3000 hektar itu, bukan 10 ribu,” jelasnya.Karena itu, Hiarsolih menilai istilah penyerobotan atau perampasan tanah petani atau tanah adat oleh perusahaan sawit sebagaimana yang sering digaungkan selama ini adalah kurang tepat. Di sisi lain dia juga menyebutkan, dalam suatu areal perkebunan, seringkali tidak semua warga melakukan penolakan. Ada pula warga yang setuju.

Sebagai antisipasi konflik, dia menyarankan agar perusahaan terus melakukan sosialisasi demi mencapai kesepakatan dengan masyarakat tentang ganti rugi lahan. “Kalau tidak sepakat, tidak bisa jalan,” ujar dia. Pernyataan ini disampaikan
menyusul aspirasi tentang konflik lahan yang disampaikan Aspirasi Front Perjuangan Rakyat (FPR) Kalimantan Barat di Hari Buruh, (2/5) lalu.Dalam salah satu butir aspirasinya, FPR meminta agar perampasan tanah petani dan tanah adat oleh perusahaan sawit dan perusahaan lain dapat dihentikan. Kasus-kasus seperti itu dirasakan sering terjadi. Bahkan, dua hari lalu, kasus serupa juga dilaporkan oleh serombongan warga yang menamakan diri Masyarakat Adat Desa Gurung Sengiang, Kecamatan Serawai, Kabupaten Sintang.

Mereka datang ke Pontianak untuk mengadukan PT Sumber Hasil Prima dan PT Sawit Sumber Andalan yang dinilai secara sepihak telah memasukkan 30 hektar ladang warga dan hutan adat ke dalam rencana proyek sawitnya. Padahal pendirian kebun sawit tersebut telah ditolak oleh sebagian besar masyarakat. Terkait persoalan lahan ini, Ketua Komisi A DPRD Kalbar, Retno Pramudya, meminta agar Dinas Perkebunan Kalbar melakukan evaluasi terhadap izin-izin yang dikeluarkan dan melakukan survei ke lapangan. Hal ini untuk menjamin agar perusahaan menjalankan operasinya sesuai aturan atau tidak merugikan masyarakat.

“Harus dilihat, apakah kewajiban-kewajiban perusahaan sudah dijalankan atau tidak terhadap lahan masyarakat,” katanya. Masyarakat, menurutnya sering mengeluh karena ganti rugi lahan yang dirasakan tidak sesuai. Padahal, masuknya investor perkebunan diharapkan dapat mendongkrak kesejahteraan masyarakat lokal. “Upaya pemerintah menarik investor kita sambut dengan positif. Tetapi, kita harapkan ada antisipasi terhadap perusahaan nakal yang melanggar aturan,” ujarnya. Untuk itu, pengawasan diharapkan dapat dilakukan secara maksimal oleh pemerintah daerah. (rnl

Sumber : http://www.pontianakpost.com/index.php?mib=berita.detail&id=91015

Tolak Perkebunan Sawit Perangkat Desa Dipecat

12.30 WIB Sintang, Kalimantan Barat
Kamis, 05 Mei 2011 00:00 WIB

MI/Aris M

DUA perangkat Desa Gurung Sengiang, Kecamatan Serawai, Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat, dipecat akibat menolak pembangunan perkebunan kelapa sawit. Mereka adalah Sekretaris Badan Perwakilan Desa Gurung Sengiang M Ujek dan Kepala Dusun Sungaigarung L Edar.

"Saya dianggap menentang program pembangunan dari pemerintah," kata L Edar.
Kemarin, Edar dan Ujek mendatangi kantor Lembaga Bela Banua Talino di Pontianak untuk meminta pembelaan hukum. Keduanya dipecat Kepala Desa Gurung Sengiang Yohanes Niko.

Ujek mengungkapkan pemecatan mengakibatkan aktivitas pemerintahan di desa lumpuh dan menimbulkan konflik di masyarakat. Pasalnya, tindakan kepala desa itu menyalahi prosedur dan tanpa melalui persetujuan warga.

"Kami sudah mengadukan masalah ini ke kecamatan. Menurut camat, kepala desa tidak berwenang memecat anggota BPD dan kepala dusun," ungkap Ujek.

Pemecatan terjadi setelah dua perusahaan berencana membangun perkebunan kelapa sawit di tanah ulayat. Edar, Ujek, perangkat adat, dan sebagian besar warga menolak rencana itu. Perkebunan juga akan membabat 500 hektare lahan milik 20 keluarga.(AR/N-2)

sumber: http://www.mediaindonesia.com/read/2011/05/05/223535/76/20/Tolak-Perkebunan-Sawit-Perangkat-Desa-Dipecat

Masyarakat Tolak PT SHP dan PT SSA

Kamis, 5 Mei 2011

Pontianak – Mayoritas masyarakat adat Desa Gurung Sengiang di Kecamatan Serawai, Kabupaten Sintang menolak perkebunan sawit di daerah mereka.

PT Sumber Hasil Prima (SHP) dan PT Sawit Sumber Andalan (SSA) berencana menanam perkebunan sawit skala besar di desa seluas 11 hektare itu. Sampai kapan pun masyarakat berjanji dan bertekad tetap menolak sawit, meski nyawa menjadi taruhan.

Penolakan sudah berlangsung sejak tahun 2007. Lahan, hutan, dan air, menurut Ketua Adat Desa Gurung Sengiang, M Tono merupakan harta berharga yang kelak diwariskan kepada generasi penerus. Selama ini, masyarakat cenderung berkebun karet sebagai mata pencarian. “Sawit masuk sama saja membunuh warga,” kata dia ditemui di kantor Lembaga Bela Banua Talino (LBBT) bersama dengan lima rekannya, Rabu (3/5) siang.

Dua perusahaan sawit tersebut, kata Sekretaris Badan Permusyawaratan Daerah (BPD), Martinus Ujek, pada tahap survei. Sebagian besar daerah yang disurvei untuk menjadi kebun sawit adalah lahan karet masyarakat. Surat penolakan yang dikirimkan kepada Bupati Sintang, Kapolres Sintang, dan berbagai pihak lainnya, tak kunjung dibalas. “Hari ini (Rabu) kami akan ke Komnas HAM Perwakilan Pontianak,” paparnya.

LBBT, PPSDAK, dan Walhi Kalbar turut memfasilitasi dan mengadvokasi perjuangan tersebut. Perjuangan masyarakat diakui Martino dari unsur pemuda, banyak mendapat tantangan serta ancaman. Konflik di tengah masyarakat diwujudkan dengan pemecatan kepala dusun oleh kepala desa. Bahkan beberapa masyarakat telah mendapat surat pemanggilan dari kepolisian setempat.

Desa Gurung Sengiang terdiri dari Dusun Nanga Mentibar, Dusun Melaku Kanan dan Dusun Sungai Garung, dihuni 30 kepala keluarga. Perkebunan sawit sudah mulai merambah Kecamatan Serawai meski sudah berkali-kali mengalami penolakan dari warga setempat. (man)

sumber: http://www.equator-news.com/patroli/masyarakat-tolak-pt-shp-dan-pt-ssa

Selasa, 24 Mei 2011

Walhi Tolak Pembangunan PLTN di Kalbar

Selasa, 24 Mei 2011 , 10:04:00

PONTIANAK - Wacana pengembangan sumber energi melalui Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir yang digulirkan pemerintah ditolak oleh Wahana Lingkungan Hidup. “Terlepas bahwa energi listrik memang sangat dibutuhkan, namun demikian PLTN bukanlah solusi terbaik. Masih banyak sumber energi terbarukan lainnya yang dapat dimaksimalkan dan jauh lebih aman seperti sumber energi panas bumi, angin, air, maupun sumber energi surya. Sebaliknya, energi nuklir justeru lebih kotor dan berbahaya. Telah banyak peristiwa mengerikan yang berakibat fatal bagi hidup dan kehidupan,” ujar aktivis Walhi Kalbar, Hendrikus Adam.

Ia lalu memaparkan contoh-contoh kerusakan yang disebabkan oleh radiasi nuklir. Di Mayak, Rusia misalnya, pada 29 September 1957, 272 ribu orang terkena radiasi tingkat tinggi. Kejadian lain yang dicontohkannya adalah di Seversk, Siberia pada 6 April 1993, Meledaknya PLTN di Semipalatinsk, tahun 1949 hingga 1962. “Musibah fatal energi nuklir fenomenal akhir-akhir ini terjadi pada 11 Maret 2011 di Fukushima Daiici, Jepang yang menyebabkan kerugian puluhan ribu nyawa dan material lainnya yang tak terhingga. Sebuah tragedi memiriskan. Ini peringatan penting atas rencana pengembangan energi nuklir di Kalimantan Barat.,” kata Hendrikus.

Hendrikus menilai Kalimantan Barat belum siap menggunakan energi berbahan uranium ini. Ia membandingkannya dengan Jepang sebagai negara pelopor tekonologi. “Disaat begitu banyak pihak yang memuji teknologi maju dan canggih dengan memiliki standar keselamatan, kedisiplinan serta kesiap-siagaan bencana, Jepang faktanya tidak berdaya. Bahkan di Jepang sedikitnya telah terjadi kebocoran nuklir antara 1997-2007 sebanyak delapan kali” jelas orang yang berposisi sebagai Kepala Divisi Riset dan Kampanye Walhi Kalbar ini.

Reaktor nuklir dipaparkannya, merupakan sumber tenaga listrik yang kotor dan berbahaya, dan akan selalu berpotensi menimbulkan dampak fatal jika terjadi kebocoran. “Berkaca dari potensi dampak mudarat dari energi nuklir tersebut, demi kepentingan kemanusiaan dan lingkungan berkelanjutan yang baik dan sehat sebagai bagian dari hak asasi manusia kami berharap agar pemeirntah Indonesia dan khususnya Kalimantan Barat tidak memberikan ruang dibangunnya PLTN di daerah ini. PLTN bukan pilihan,” tegasnya.

Sumber: http://www.pontianakpost.com/index.php?mib=berita.detail&id=92124

Sabtu, 14 Mei 2011

Walhi Minta Tertibkan Izin Sawit

Sintang

SINTANG, TRIBUN - Kadiv Riset dan Kampanye Walhi Kalbar Hendrikus Adam mengatakan, permasalahan sengketa antara masyarakat dan perusahaan perkebunan bukan hanya kali ini saja terjadi. Di sejumlah daerah di Kalbar juga mengalami nasib serupa.

"Untuk itu saya mengharapkan pemerintah bisa melakukan upaya progres
evaluasi terhadap perizinan perkebunan kelapa sawit yang ada di Kalbar dan
khususnya di Sintang," kata adam kepada Tribun Pontianak, Selasa (10/5).

Selain banyak memicu perselisihan antara perusahaan dan warga acapkali
perusahaan perkebunan juga berdampak pada pegerusakan lingkungan. Untuk itu
pemerintah juga sudah sepantasnya melakukan audit lingkungan yang terindikasi
tidak sesuai dengan perizinan yang telah dikeluarkan oleh pemerintah. *

Reporter: Ali | Editor: Kim

Sumber: http://pontianak.tribunnews.com/read/artikel/21954/walhi-minta-tertibkan-izin-sawit

Jumat, 06 Mei 2011

Tolak Kebun Sawit, Perangkat Desa Dipecat

Kalimantan
Penulis : Aris Munandar
Rabu, 04 Mei 2011 16:27 WIB

PONTIANAK--MICOM: Dua perangkat Desa Gurung Sengiang, Kecamatan Serawai, Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat, dipecat akibat menolak pembangunan perkebunan kelapa sawit.

"Saya dianggap menentang program pembangunan dari pemerintah," kata Kepala Dusun Sungaigarung L Edar, saat konferensi pers di Kantor Lembaga Bela Banua Talino (LBBT), di Pontianak, Rabu (4/5).

Edar dipecat kepala desa setempat, Yohanes Niko, yang mendukung pembangunan perkebunan kelapa sawit di wilayah mereka. Pemecatan secara sepihak dengan alasan serupa juga dilakukan terhadap Sekretaris Badan Perwakilan Desa (BPD) Gurung Sengiang M Ujek.

Ujek mengungkapkan pemecatan tersebut mengakibatkan aktivitas pemerintahan di desa mereka lumpuh dan menimbulkan konflik di masyarakat. Pasalnya, tindakan kepala desa itu menyalahi prosedur dan tanpa melalui persetujuan warga.

"Kami sudah mengadukan masalah ini ke kecamatan. Menurut camat, kepala desa tidak berwenang memecat anggota BPD dan kepala dusun," ungkap Ujek.

Sengketa antarperangkat desa ini merupakan buntut dari konflik rencana pembangunan perkebunan kelapa sawit oleh PT SSA dan PT SHP. Ujek dan Edar beserta perangkat adat dan didukung sebagian besar warga menolak rencana tersebut.

Penolakan itu antara lain dilakukan warga melalui pernyataan tertulis dan disertai pembubuhan cap jempol. Warga keberatan jika tanah ulayat yang selama ini ditanami dan dicadangkan untuk lahan karet itu dijadikan hamparan perkebunan kelapa sawit.

"da sekitar 500 hektare (ha) lahan milik 20 keluarga yang terkena rencana pembebasan, dan itu semuanya masih berkonflik," jelas Ujek.

Warga mengultimatum pihak perusahaan agar segera menghentikan ekspansi perkebunan kelapa sawit tersebut. Sebab, aktivitas itu dikhawatirkan memicu konflik sosial yang lebih luas. "Jika tidak, jangan salahkan kami bila masyarakat melakukan tindakan yang merugikan perusahaan," tegas Ketua Adat Dayak Desa Gurung Sengiang. (AR/OL-11)

Sumber : http://www.mediaindonesia.com/read/2011/05/04/223336/127/101/Tolak-Kebun-Sawit-Perangkat-Desa-Dipecat

Warga Desa Gurung Sengiang Tolak Perusahaan Sawit

Kamis, 05 Mei 2011 14:04 irwansyah
Pontianak, Indowarta

Demi menjaga kelestarian hutan dan tanah adat, masyarakat adat dari Dusun Nanga Mentibar, Dusun Melaku Kanan dan Dusun Sungai Garung di Desa Gurung Sengiang Kecamatan Serawai Kabupaten Sintang Provinsi Kalimantan Barat, menolak masuknya perusahaan sawit.

Penegasan tersebut disampaikan perwakilan mereka saat menggelar konferensi pers di kantor Lambaga Bela Banua Talino (LBBT) di Pontianak, Rabu (4/5). Kepala Adat Dusun Nanga Mentibar Antonius Maca mengatakan bahwa sebagian besar masyarakatnya menolak masuknya perusahaan apapun yang bersifat mengeksploitasi hutan dan tanah adat.

“PT SHP kami minta untuk segera menghentikan aktivitasnya, jika tidak maka jangan salahkan kalau suatu hari masyarakat melakukan tindakan terhadap perusahaan,” ancamnya.

Lanjutnya, kami tidak ingin menyerahkan wilayah adat yang ada kepada pihak perusahaan apapun bentuknya. ”Bila kami menyerahkan lahan untuk perkebunan sawit atau perusahaan yang lain, sama artinya kami mewariskan keturunan untuk jadi kuli. Yang jelas, tanah adat kami tidak untuk sawit,” ujarnya bersemangat.

Menurutnya, perusahaan tersebut sering mengatakan, apabila ada yang menolak silahkan tunjukkan kalau berani. “Pernyataan tersebut dapat memicu konflik dalam masyarakat, karena ada masyarakat yang pro masuknya sawit dan ada yang kontra dan ini jelas perusahaan telah memprovokasi,” tegasnya.

Menimpali rekannya, Sekretaris BPD Nanga Mentibar Martinus Ujek menyampaikan kronologis masuknya PT SHP dan PT SSA ke wilayah mereka. Dikatakannya, bahwa sejak tahun 2007 sudah ada perusahaan yang melakukan survey namun sebagian besar masyarakat menolak kehadiran kedua perusahaan perkebunan sawit tersebut.

“Tahun 2009 ada isu bahwa perusahaan akan masuk lagi ke Desa Gurung Sengiang, namun kembali ditolak oleh masyarakat,” tuturnya.

Ujek mengatakan, setelah sekian lama, pada 18 Februari 2011, secara sepihak Kepala Desa Gurung Sengiang Yohanes Niko membentuk satuan pelaksana (Satlak) sawit yang terdiri dari 18 orang.

”Mendengar pembentukan Satlak, masyarakat menolak dengan melakukan cap jempol. Dari sekitar 164 KK per Dusun, 80 persen diantaranya menolak masuknya perusahaan sawit,” papar Ujek.

Dari tanggal 24 sampai 29 Maret 2011, lanjut Ujek, tim melakukan kegiatan survey di wilayah Sungai Sare, Unsok Sungai Sare dan Sungai Rampo Mahebo. ”Totalnya sudah sekitar 500 hektar lahan milik 20 KK yang tanahnya diukur oleh tim survey,” lanjut Ujek.

Diceritakan juga, akibat penolakan yang dilakukan, dirinya menerima resiko diberhentikan dari jabatan Sekretaris BPD. “Karena kami menolak masuknya perusahaan sawit, kami dituduh tidak mengikuti program pemerintah. Oleh karenanya, Kepala Desa Gurung Sengiang Yohanes Niko memberhentikan saya dari jabatan Sekretaris BPD Nanga Mentibar dan Laurentius Edar diberhentikan dari jabatan Kepala Dusun Nanga Mentibar,” ulasnya.

Namun, dikatakan lagi, pemberhentian itu tidak disetujui oleh masyarakat. “Mereka mengadukannya ke Camat Serawai Octavianus Harsumpeda, S Sos, Msi yang justru mengatakan bahwa pemberhentian itu bukan wewenang kepala desa,” urainya.

Menurut Ujek, jika sawit tetap masuk juga, maka itu sama saja membunuh kami, karena mata pencaharian masyarakat ada di hutan. ”Tanaman obat-obatan dan sayur-sayuran juga bisa hilang dengan masuknya sawit,” ujarnya.

Selain kedua tokoh tersebut, tokoh masyarakat adat lainnya adalah Pengurus Adat Desa Gurung Sengiang Marsianus Tono, Kepala Dusun Melaku Kanan Florensius Asam, dan Kepala Desa Nanga Mentibar L. Edar. Usai kegiatan di Kantor LBBT, tim masyarakat adat didampingi oleh LBBT, Walhi kalbar dan Pemberdayaan Pengelolaan Sumber Daya Alam Kerakyatan (PPSDAK), mendatangi Komnas HAM Kalbar untuk mengadukan dan meminta bantuan hukum atas permasalahan tersebut. (Fai)

Sumber: http://www.indowarta.com/index.php?option=com_content&view=article&id=12397:warga-desa-gurung-sengiang-tolak-perusahaan-sawit&catid=137:kalimantan-barat&Itemid=376

Warga Serawai Tolak Ekspansi Kebun Sawit

Kamis, 05 Mei 2011 , 10:04:00
Diduga Serobot Tanah Adat

PONTIANAK - Ekspansi besar-besaran perkebunan kelapa sawit lagi-lagi menuai kontroversi. Kemarin rombongan yang menamakan diri Masyarakat Adat Desa Gurung Sengiang, Kecamatan Serawai, Kabupaten Sintang datang ke Pontianak untuk mengadukan kejadian yang mereka alami ke lembaga-lembaga terkait. Ceritanya, dua perkebunan skala besar secara sepihak telah memasukan 30 hektar ladang warga dan hutan adat ke dalam rencana proyek sawitnya.Padahal pendirian kebun sawit tersebut telah ditolak oleh sebagian besar masyarakat. “Kami tidak mau menyerahkan wilayah adat kepada pihak perusahaan sawit atau perusahaan lainnya. Kalau kami serahkan, itu sama artinya membuat keturunan kami untuk menjadi kuli,” ujar anggota rombongan, Antonius Maca.

Bagi masyarakat setempat, hutan dan ladang adalah pusat aktifitas ekonomi dan sumber air bersih. “Tujuan kami mempertahankan tanah, air, dan hutan adalah kekayaan leluhur. Kalau perkebunan sawit dipaksakan, berarti mereka mau membunuh masyarakat kami. Biarlah tanah kami dikelola sesuai kemampuan. Ini merupakan nafas masyarakat adat,” sambung Marsianus Tono, ketua Adat Gurung Seriang.Rombongan juga mengecam segelintir pejabat dan perangkat desa yang ikut terlibat dalam proyek tersebut. Sebagai informasi, Desa Gurung Seriang terbagi lagi menjadi empat dusun, yaitu Nanga Mentibar, Melaku Kanan, Sungai Gurung, dan Laman Gunung. Di internal warga sendiri terjadi perpecahan soal perkebunan sawit ini. Namun, penuturan rombongan menyebut 80 persen warga menolak pendirian perkebunan sawit.

Kepala Desa Gurung Sengiang Yohanes Niko termasuk yang mendukung masuknya perkebunan sawit itu. Sementara dari empat kepala dusun, hanya satu yang pro-kebun sawit yaitu Apin, Kepala Dusun Mentibar. Namun sang kepala desa memecat orang-orang yang tidak sepaham dengannya, seperti Kepala Dusun Sungai Garung, L Edar dan anggota BPD, M Ujek. Namun warga mengecam pemecatan tersebut, dan hingga kini keduanya masih menjabat.Penilaian rombongan cukup sarkastis tentang orang-orang yang merelakan tanahnya untuk perusahaan sawit. “Hanya orang pemalas dan tidak mau berladang yang seperti itu. Mereka tidak mau susah-susah bekerja tapi malah menjual tanah nenek moyangnya. Padahal di situ ada sejarah adat, kuburan, dan tanah keramat. Mereka juga tidak tahu sedang ditipu perusahaan,” sebut L Edar, kepala Dusun Sungai Garung.

Penawaran yang diajukan oleh pihak perusahaan menurut rombongan jelas tidak adil. Rasionya adalah delapan berbanding dua. “Delapan untuk perusahaan, untuk warga hanya dua saja. Itupun masih diberikan sistem kredit. Setiap bulan harus membayar uang ke perusahaan,” sebut Kepala Dusun Melaku Kanan, F Asam.Rombongan mengaku hanya menjalankan amanat masyarakatnya. Mereka juga sudah melayangkan surat ke Bupati Sintang, meski belum ada jawaban. “Kami tidak ada tujuan apa-apa, hanya mau menyelamatkan tanah adat kami saja. Kalau ada yang mau jual tanahnya, itu silakan.
Tapi jangan paksa orang yang tidak mau menjual. Kami masih memikirkan kehidupan anak cucu,” ungkap Marsianus Tono.Kemarin rombongan menggelar konferensi pers di markas Lembaga Bela Banua Talino, Jalan Budi Utomo, Siantan. Hadir pula sejumlah LSM macam Wahana Lingkungan Hidup, Pemberdayaan Pengelolaan Sumber Daya Alam Kerakyatan. Setelah itu rombongan mengadukan nasib mereka ke Komnas HAM Provinsi Kalbar. (ars)

Sumber: http://www.pontianakpost.com/index.php?mib=berita.detail&id=90837