Senin, 10/05/2010/pk/13:34:00
Pontianak Post
SINTANG--Perkebunan kelapa sawit kian menjadi komoditas primadona bagi rezim pemerintahan hari ini, yang kemudian diklaim sebagai upaya untuk memberikan kesejahteraan rakyat. Namun disisi lain, ada dampak ekonomi sosial dan budaya dalam struktur masyarakat yang berdiam disekitar perkebunan.“Selain itu, maraknya ekspansi dari kebijakan pembangunan perkebunan tanaman monokultur skala besar memberikan konsekuensi logis terhadap hutan kawasan kelola masyarakat, khususnya di daerah-daerah yang kemudian terkena imbasnya karena turut dibabat,” kata Hendrikus Adam, Divisi Riset dan Kampanye Eksekutif Daerah Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kalbar saat dihubungi koran ini via hand phone selulernya, Minggu (9/5) kemarin.
Adam, begitu dia disapa mengatakan, untuk di Sintang khususnya di Kecamatan Sepauk adalah satu dari banyak tempat yang menjadi wilayah sasaran pengembangan perkebunan sawit di Kalbar. Dari data yang ada hingga akhir 2009, sudah ada 32 perusahaan perkebunan di Kabupaten Sintang dan tujuh diantaranya berada di wilayah Sepauk. Umumnya mata pencaharian utama masyrakat di daerah Sepauk adalah menyadap karet, ada juga yang berladang dan menambang emas. Hadirnya agenda pemerintah melalui pembukaan hutan dan lahan untuk pengembangan perkebunan kelapa sawit, ‘memaksa’ beberapa diantara warga masyarakat untuk turut serta ambil bagian sebagai pekerja.
“Ironisnya, keterlibatan mereka yang turut ambil bagian hanya pada level biasa. Oleh kondisi mereka seakan dipaksa untuk memilih bekerja ditempat tersebut, karena tidaklah mungkin hanya sebatas menjadi penonton, sementara tanah dan hutan milik mereka telah digarap menjadi ladang sawit,” terangnya.Kehadiran perusahaan, menurut Adam, memang mengundang pro kontra di masyarakat. Namun demikian masuknya invetasi pengembangan perkebunan sawit dibeberapa kawasan masyarakat, umumnya tidaklah sungguh-sungguh bedasarkan kemauan dari masyarakat setempat secara menyeluruh. Prinsip FPIC (free, prior, and informed consent) yakni sebuah pendekatan internasional berbasis hak dasar manusia, di mana masyarakat setempat mestinya dapat menerima informasi utuh yang benar tentang produk pembangunan yang akan dikembangkan, dan di mana subjek pembangunan tersebut dapat mengambil keputusan terhadap pelaksanaan suatu pembangunan secara bebas tanpa paksaan tidak diterapkan.
“Penerimaan investasi pembukaan perkebunan skala besar misalnya, masih banyak lebih bersifat formalitas yang hanya melalui aparatur tertentu, ketimbang memperoleh legitimasi riil dari warga,” jelasnya. Menurut Adam, kebanyakan dari bentuk investasi yang ada, lebih banyak karena jasa oknum aparat tertentu di wilayah perkampungan warga. Sebaliknya, warga cenderung minim memperoleh maupun diberi informasi yang utuh mengenai berbagai sisi dari bentuk investasi yang akan dilakukan. “Dari observasi yang kami lakukan terhadap ekspansi perkebunan kelapa sawit pada beberapa wilayah di Sepauk, memang tidak bisa dipungkiri telah memberikan dampak tersendiri sebagai konsekuensi logis bagi kondisi kehidupan masyarakat, khususnya disekitar kawasan pengembangannya,” tukasnya.
Bagi keberadaan hutan sebagai asset kehidupan warga, lanjut dia, dengan hadirnya perusahaan sawit melalui pembabatan kawasan hutan menjadi ancaman tersendiri. “Kondisi sosial, ekonomi dan budaya masyarakat cenderung mendapat dampak negatif, bahkan ada lahan masyarakat yang tidak diserahkan ternyata juga digusur perusahaan,” bebernya.Hadirnya perkebunan sawit di daerah ini, menurut dia, lebih cenderung mengabaikan kesediaan murni dari masyarakat sebagaimana diamanatkan prinsip FPIC, menjadi pemicu ruang konflik di masyarakat. Bahkan memberikan ekses makin menyempitnya ruang kelola masyarakat serta akibat lainnya. “Banyak fenomena sosial, budaya, adat istiadat dan lingkungan sebagai bagian dari tatanan sistem nilai kemasyarakatan yang kian tersingkir, oleh karena upaya atas nama pembangunan melalui eksploitasi sumber daya alam yang kian menjadi di daerah ini,” cetusnya.
Dia berharap pemerintah Sintang yang sebentar lagi akan memperoleh pemimpin baru bisa hentikan perluasan pembukaan perkebunan sawit baru, juga pertambangan skala besar di Sintang serta maksimalkan potensi perkebunan yang telah ada. Kriminalisasi dan ketidakadilan yang dialami masyarakat adat juga harus diselesaikan, dan pemerintah maupun aparat penegak hukum bisa menindak tegas perusahaan yang nakal dan melakukan pelanggaran atas hak masyarakat regulasi yang berlaku. “Masyrakat juga diharapkan agar cermat melakukan penilaian dan pemilihan pemimpin yang memiliki visi serta komitmen, yang sungguh-sungguh berjuang dan berpihak atas hak-hak masyarakat dan upaya penyelamatan maupun perlindungan lingkungan,” pungkasnya. (mus)
Sumber:
http://www.pontianakpost.com/?mib=berita.detail&id=33894
Kamis, 01 Juli 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar