Jumat, 14 Mei 2010
PONTIANAK. Jefri Gideon Saragih dari Sawit Watch mengatakan, 70 persen lahan perkebunan sawit yang ada di Kalbar milik Malaysia. Hal ini akibat kebijakan yang membolehkan usaha sawit, mulai dari on farm hingga ox farm dapat diberikan kepada siapa asalkan memiliki uang.
“Nah yang punya uang ini Malaysia ataupun perusahaan asing lain. Makanya, mereka berbondong-bondong datang kemari,” jelas Jefri dalam Seminar Publik Menelaah Perkebunan Sawit di Kalbar yang diselenggarakan Walhi Kalbar, Sawit Watch dan Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) Kalbar di Ruang Sidang Magister Hukum Universitas Tanjungpura Pontianak, Rabu (12/5) lalu.
Kenyataan ini kata Jefri, menimbulkan pertanyaan bagi warga Kalbar, apakah kita hanya mampu menjadi penyedia tanah dan buruh dari usaha perkebunan sawit. Sementara, pemilik lahan adalah mereka dari luar Kalbar itu. “Anehnya lagi, kita ini tetap mengeluarkan izin-izin baru lagi,” ungkap Jefri menyesalkan.
Tidak hanya itu, Jefri pun mempertanyakan apakah keberadaan kebun sawit di Indonesia umumnya, dan Kalbar khususnya sudah untuk memakmurkan bangsa?. Padahal, saat ini kepemilikan lahan sawit di Kalbar dimiliki oleh Sime Darby, Wilmar dan Cargill. Akibat dari kepemilikan kebun sawit oleh perusahaan asing tersebut terjadilah illegal konversi. “Untuk itu, pemerintah sudah seharusnya melakukan penelitian dan penindakan terhadap perusahaan-perusahaan yang tidak memiliki HGU (hak guna usaha, red), yang sudah pasti tidak membayar pajak,” jelas Jefri.
Lebih lanjut Jefri mengatakan, dampak perkebunan sawit yang selalu ditemukan di lapangan dan akibat penegakan hukum yang tidak jelas, adalah tergusurnya masyarakat adat dari lingkungannya. “Hukumnya bagus, tetapi tidak tahu siapa yang akan menegakkannya,” tegas Jefri.
Sawit Watch sendiri mencatat, hingga 2010 sebanyak 630 konflik terjadi antara perusahaan sawit dengan masyarakat adat. “Dimana setiap tahunnya sekitar 20 orang dikriminalisasikan. Data kami, sejak Januari-Maret 2010 lalu sudah 12 orang masyarakat adat ditangkap dan dipenjarakan,” terang Jefri.
Kemudian kata Jefri, selain permasalahan yang terjadi kepada masyarakat adat, juga terjadi masalah dengan petani plasma. Dimana, penyerahan kebun kepada petani tidak tepat waktu. “Dalam perjanjian empat tahun, tapi rata-rata diserahkan itu enam sampai tujuh tahun. Kemudian, kualitas kebun plasmanya buruk dan tidak sesuai ukuran,” kata Jefri.
Pada kesempatan tersebut, pihaknya memberikan beberapa poin rekomendasi dari seminar publik tersebut. Pertama, meminta dilakukan reformasi kebijakan dan dapat diawali dengan penertiban HGU. Kedua, pemerintah sebaiknya melakukan oratorium untuk izin-izin lokasi baru yang diterbitkan oleh pemkab/pemkot. “Nah, sejak otonomi daerah seakan-akan semua kabupaten bisa seenak-enak perutnya menerbitkan apa saja yang bisa menjual daerahnya,” tegas Jefri.
Hal ini akan menjadi persoalan. Sebab kata Jefri, izin-izin tersebut diterbitkan dengan melanggar tata ruang wilayah kabupaten/kotanya yang sudah ada. “Pemerintah provinsi maupun pusat diharapkan dapat mengintervensi setiap izin lokasi yang diterbitkan oleh sebuah kabupaten,” katanya berharap.
Lalu lanjutnya, hasil intervensi tersebut dipublikasikan, agar masyarakat mengetahui izin mana saja yang akan terbit. “Ya, kami berharap ada moratoriumlah untuk perkebunan sawit ini,” jelas Jefri. (ian)
Sumber: http://www.equator-news.com/lintas-barat/pontianak/70-persen-sawit-kalbar-milik-malaysia
Selasa, 22 Maret 2011
Bongkar Mafia Kehutanan Kalbar
Kamis, 22 April 2010
PONTIANAK. Instruksi Presiden SBY yang meminta pengusutan vonis hukuman ringan kepada para pelaku pembalakan hutan mendapat respons Yayasan Titian, LPS-AIR dan Walhi Kalbar. Tiga LSM tersebut menuntut pengungkapan mafia kehutanan di Kalbar.
“Harus ada pengkajian kembali terhadap beberapa kasus kejahatan kehutanan di Kalbar,” tegas Yuyun Kurniawan dari Yayasan Titian dalam jumpa pers di Tapaz Pontianak, Rabu (21/4).
Pada awal April lalu, Presiden SBY menginstruksikan Satuan Tugas (Satgas) Pemberantasan Mafia Hukum untuk mengusut vonis ringan terhadap kasus-kasus kejahatan kehutanan di seluruh Indonesia. Political will pemerintah tersebut, diharapkan menjadi tonggak pengkajian kembali penanganan kasus-kasus kehutanan di Kalbar, karena dari sekian banyak kasus, beberapa di antaranya divonis bebas dan terdapat banyak kejanggalan.
Di antara kasus yang paling fenomenal di Kalbar mengenai kasus pembalakan liar dilakukan Prasetyo Gow alias Asong yang divonis bebas di Pengadilan Tinggi, Ng Tung Peng alias Apeng yang kini masih dalam Daftar Pencarian Orang (DPO), M Sun’an dan Syaiful yang divonis bebas bersyarat, termasuk juga kasus penyimpangan dana Provisi Sumber Daya Hutan/Dana Reboisasi (PSDH/DR).
“Terutama kasus Tian Hartono alias Buntia yang divonis bebas di tingkat kasasi, terjadi banyak kejanggalan yang berujung pada lemahnya vonis pengadilan kasus tersebut,” terang Yuyun.
Hal senada diutarakan Ketua LPS-AIR Kalbar, Deman Huri. Menurutnya, dalam sepuluh tahun terakhir, banyak pelaku-pelaku kejahatan kehutanan yang divonis bebas. “Hal ini mengindikasikan adanya permainan para mafia hukum,” katanya.
Terkait kasus Buntia, berdasarkan hasil investigasi tim gabungan dari Dinas Kehutanan Kalbar yang menjadi dasar tuntutan pihak kepolisian dan kejaksaan, pada hasil Berita Acara Pemerintah (BAP) tertanggal 8 Juli 2005 tergambar pasal-pasal UU 41/1999 tentang Kehutanan, nyata-nyata Buntia melakukan kejahatan kehutanan.
Terdapat beberapa pasal dalam UU 41/1999 tentang Kehutanan yang dilanggar Buntia, di antaranya Pasal 50 ayat (3) e Junto pasal 78 ayat (5) junto pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.
PT Rimba Kapuas Lestari melakukan aktivitas penebangan dalam kawasan Hutan Lindung Lubuk Lintang. Buntia selaku pimpinan perusahaan tersebut mengetahui kalau kawasan tersebut merupakan hutan lindung.
Berdasarkan fakta investigasi Dinas Kehutanan ditemukan adanya jalan angkutan kayu atas nama PT Rimba Kapuas Lestari yang masuk dalam kawasan Hutan Lindung Lubuk Lintang sepanjang 11.337,57 meter, terdiri atas jalan Lintang sepanjang 8.820,38 meter dan jalan cabang sepanjang 2.517,19 meter.
Selain itu, ditemukan adanya 20 jalan sarad, 4 TPN, 4 4 TPK dan areal penebangan kayu pada kawasan Hutan Lindung Lubuk Lintang. Juga ditemukan tunggul/tonggak kayu bekas tebangan pada 6 jalan sarad seluas sekitar 140 hektar dan tunggul sebanyak 1.365 pohon dengan taksasi volume tegakan sekitar 10.500 meter kubik. Buntia juga membawa alat berat didasarkan pada rekomendasi Bupati Sintang Nomor 522/0119.A/Ekbang pada 22 Januari 2003.
Pada kasus persidangan kasus Buntia, terdapat beberapa pihak yang terlibat. Peranan pihak yang terlibat merupakan bagian dari proses penegakan hukum kasus illegal logging.
Mejelis hakim Pengadilan Negeri Pontianak yang menangani kasus Buntia tersebut terdiri atas D Tuwi Togu SH, U Simangunsong SH, Pangeran Napitupulu SH MH. Sementara jaksanya terdiri atas Rido Wangono SH MHum, ST Simaremare SH, Wagio SH dan Ariefsyah SH MH.
Sedangkan advokatnya terdiri atas Hotma PDS SH, Ruhut PSS SH, Jhon Thomson SH, Mari C Bernado SH, Andel SH, Christopher Purba SH, Durapati Sinulingga SH, Andi F Sumangunsong SH dengan Panitera Christian dan M Isya SH.
Putusannya dibacakan U Simangunsong SH, Lidya Sasando P SH MH, Ramses Pasaribu SH MH. Karena Hakim D Tuwo Togu SH dan Pangeran Napitupulu SH dipindahtugaskan dari Pengadilan Negeri Pontianak.
Dengan terdakwa Buntia tersebut, saksi a carge yang dihadirkan terdiri atas 18 orang dan saksi adecharge (saksi yang meringankan) dua orang. Sedangkan saksi ahli terdiri atas lima orang saksi a carge dan tiga orang saksi ahli ade carge.
Saksi yang tidak dihadirkan dalam persidangan tersebut terdiri atas Bujang Achmad, Juli Irawan, Arief Mustafa SHut MSi dan Abdilah Fadil.
Jaksa menyatakan Buntia secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindakan pidana menebang pohon di hutan tanpa izin dari yang berwenang dan memasukkan alat-alat berat ke dalam hutan tanpa izin dari pihak yang berwenang, sebagaimana diatur pasal 50 ayat (3) jo pasal 78 ayat (5) UU 41/1999 Jo pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP. Dan pasal 50 ayat (3) huruf j jo 78 ayat (9) UU 41/1999 jo pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP dalam dakwaan kesatu primair dan kedua.
Dalam tuntutannya, jaksa menyatakan Buntia dipidana penjara 10 tahun dikurangi selama terdakwa ditahan dan menjatuhkan pidana denda Rp 2 miliar. Tetapi vonis PN Pontianak justru tidak sesuai yang diharapkan.
Vonis hakim menyatakan, Buntia tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana seperti yang didakwakan dalam dakwaan kesatu primer, subsider. Buntia pun dinyatakan bebas.
Buntia hanya dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana membawa alat-alat berat yang patut diketahui digunakan untuk mengangkut hasil hutan di dalam kawasan hutan lindung tanpa izin pejabat yang berwenang.
Pidana pun dijatuhkan dengan penjara dua tahun, denda Rp 1 miliar subsider 4 bulan kurungan. Hakim pun menyatakan masa penahanan yang telah dijalankan terdakwa dikurangkan sepuluh dari pidana yang dijatuhkan.
Selanjutnya pada vonis pengadilan tinggi Kalbar, hakim hanya memvonis pidana penjara 1 tahun dan dengan Rp 500 juta. Di Mahkamah Agung (MA) justru Buntia dibebaskan dari segala tuntutan.
Kepala Bidang (Kabid) Perlindungan Hutan Dinas Kehutanan Kalbar, Ir Sunarno menyatakan, dalam kasus Buntia tersebut sangat kental konspirasi. “Indikasi sudah masuk angin,” katanya.
Sunarno yang melakukan pemeriksaan sejak awal terhadap kasus Buntia tersebut ternyata dalam persidangan hanya dijadikan saksi a carge (saksi tambahan) bukan saksi ahli.
Dia menilai kasus tersebut banyak konspirasi, karena terdapat beberapa kejanggalan. “Salah satu contoh, kenapa hanya dinyatakan salah membawa alat berat, memangnya alat berat di hutan lindung itu untuk apa kalau tidak untuk pembalakan,” kata Sunarno
Konspirasi terhadap kasus Buntia tersebut, terang Sunarno, melibatkan oknum-oknum Dinas Kehutanan Provinsi, hal ini dalam bentuk rekayasa Berita Acara Pemeriksaan (BAP). “Bagaimana mungkin kawasan itu dinyatakan tidak jelas, padahal sudah jelas-jelas ditemukan tapal batas yang menyatakan kawasan tersebut masuk hutan lindung,” katanya.
Sunarno juga mengatakan, hakim banyak keberpihakan, karena hanya melihat data lapangan yang direkayasa, sementara fakta dalam pengadilan yang sudah jelas justru diabaikan.
Dia juga mengungkapkan, saksi ahli yang meringankan juga menjadi bagian konspirasi, karena saksi ahli tersebut merupakan konsultan yang pergi ke lapangan tanpa melibatkan pihak Dinas Kehutanan atau lainnya.
Penasehat hukum dalam kasus Buntia juga, kata Sunarno, melakukan kebohongan dengan mengatakan terdakwa sakit dan sedang dirawat, ketika diperiksa di tempat dia dirawat, Buntia tidak ada. “Buntia berstatus tahanan kota, tetapi bisa pulang pergi ke Jakarta,” ungkapnya.
Departemen Kehutanan dalam hal ini dinilai ikut terlibat konspirasi terhadap kasus Buntia. “Bagaimana bisa, surat Dirjen ke Menhut yang bersifat rahasia bisa ditangan tersangka (Buntia, red),” kata Sunarno.
Selain kasus Buntia, Sunarno tahu betul terdapat mafia-mafia hukum di dalamnya. Dia juga mengungkapkan kasus lainnya yang penuh kejanggalan, sehingga pelaku bebas atau mendapat keringanan hukuman.
Di antara kasus yang dimaksud Sunarno tersebut terkait Prasetyo Gow alias Asong di Ketapang. “Dua kapalnya yang memuat kayu tanpa dilengkapi dokumen, lalu dokumennya menyusul dua hari berikutnya,” ungkap Sunarno.
Ternyata, tambah dia, petugas yang membuat dokumen untuk kayu di Kapal milik Asong tersebut tidak melakukan pengukuran, sehingga sempat ditahan di Polda Kalbar.
“Sekitar satu minggu setelah vonis dibacakan (terhadap Asong, red) saya memergoki Jaksa Penuntut Umum, Majelis Hami dan anggota keluarga terdakwa duduk satu meja. Tiba-tiba Asong vonis bebas di pengadilan tinggi, padahal tuntutannya 4 tahun karena kedapatan membawa sekitar 1000 kubik kayu tanpa dilengkapi dokumen,” kata Sunarno.
Selain itu, Sunarno juga mengungkapkan kasus Rudi Pendek di Sintang yang terjadi sekitar 2005. “Rudi Pendek ini divonis bersalah, tetapi kapal dan kayunya diserahkan kembali ke terdakwa, bukan disita, majelis hakimnya menggunakan dasar hukum apa tidak menyita kapal dan kayu tersebut,” tanyanya.
Terdapat beberapa kasus tersebut, Sunarno mendukung sepenuhnya kalau akan dilakukan lagi pengkajian terhadap kasus-kasus kehutanan di Kalbar. “Saya siap membantu, semua file-nya saya punya,” katanya. (dik)
Sumber: http://www.equator-news.com/utama/bongkar-mafia-kehutanan-kalbar
PONTIANAK. Instruksi Presiden SBY yang meminta pengusutan vonis hukuman ringan kepada para pelaku pembalakan hutan mendapat respons Yayasan Titian, LPS-AIR dan Walhi Kalbar. Tiga LSM tersebut menuntut pengungkapan mafia kehutanan di Kalbar.
“Harus ada pengkajian kembali terhadap beberapa kasus kejahatan kehutanan di Kalbar,” tegas Yuyun Kurniawan dari Yayasan Titian dalam jumpa pers di Tapaz Pontianak, Rabu (21/4).
Pada awal April lalu, Presiden SBY menginstruksikan Satuan Tugas (Satgas) Pemberantasan Mafia Hukum untuk mengusut vonis ringan terhadap kasus-kasus kejahatan kehutanan di seluruh Indonesia. Political will pemerintah tersebut, diharapkan menjadi tonggak pengkajian kembali penanganan kasus-kasus kehutanan di Kalbar, karena dari sekian banyak kasus, beberapa di antaranya divonis bebas dan terdapat banyak kejanggalan.
Di antara kasus yang paling fenomenal di Kalbar mengenai kasus pembalakan liar dilakukan Prasetyo Gow alias Asong yang divonis bebas di Pengadilan Tinggi, Ng Tung Peng alias Apeng yang kini masih dalam Daftar Pencarian Orang (DPO), M Sun’an dan Syaiful yang divonis bebas bersyarat, termasuk juga kasus penyimpangan dana Provisi Sumber Daya Hutan/Dana Reboisasi (PSDH/DR).
“Terutama kasus Tian Hartono alias Buntia yang divonis bebas di tingkat kasasi, terjadi banyak kejanggalan yang berujung pada lemahnya vonis pengadilan kasus tersebut,” terang Yuyun.
Hal senada diutarakan Ketua LPS-AIR Kalbar, Deman Huri. Menurutnya, dalam sepuluh tahun terakhir, banyak pelaku-pelaku kejahatan kehutanan yang divonis bebas. “Hal ini mengindikasikan adanya permainan para mafia hukum,” katanya.
Terkait kasus Buntia, berdasarkan hasil investigasi tim gabungan dari Dinas Kehutanan Kalbar yang menjadi dasar tuntutan pihak kepolisian dan kejaksaan, pada hasil Berita Acara Pemerintah (BAP) tertanggal 8 Juli 2005 tergambar pasal-pasal UU 41/1999 tentang Kehutanan, nyata-nyata Buntia melakukan kejahatan kehutanan.
Terdapat beberapa pasal dalam UU 41/1999 tentang Kehutanan yang dilanggar Buntia, di antaranya Pasal 50 ayat (3) e Junto pasal 78 ayat (5) junto pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.
PT Rimba Kapuas Lestari melakukan aktivitas penebangan dalam kawasan Hutan Lindung Lubuk Lintang. Buntia selaku pimpinan perusahaan tersebut mengetahui kalau kawasan tersebut merupakan hutan lindung.
Berdasarkan fakta investigasi Dinas Kehutanan ditemukan adanya jalan angkutan kayu atas nama PT Rimba Kapuas Lestari yang masuk dalam kawasan Hutan Lindung Lubuk Lintang sepanjang 11.337,57 meter, terdiri atas jalan Lintang sepanjang 8.820,38 meter dan jalan cabang sepanjang 2.517,19 meter.
Selain itu, ditemukan adanya 20 jalan sarad, 4 TPN, 4 4 TPK dan areal penebangan kayu pada kawasan Hutan Lindung Lubuk Lintang. Juga ditemukan tunggul/tonggak kayu bekas tebangan pada 6 jalan sarad seluas sekitar 140 hektar dan tunggul sebanyak 1.365 pohon dengan taksasi volume tegakan sekitar 10.500 meter kubik. Buntia juga membawa alat berat didasarkan pada rekomendasi Bupati Sintang Nomor 522/0119.A/Ekbang pada 22 Januari 2003.
Pada kasus persidangan kasus Buntia, terdapat beberapa pihak yang terlibat. Peranan pihak yang terlibat merupakan bagian dari proses penegakan hukum kasus illegal logging.
Mejelis hakim Pengadilan Negeri Pontianak yang menangani kasus Buntia tersebut terdiri atas D Tuwi Togu SH, U Simangunsong SH, Pangeran Napitupulu SH MH. Sementara jaksanya terdiri atas Rido Wangono SH MHum, ST Simaremare SH, Wagio SH dan Ariefsyah SH MH.
Sedangkan advokatnya terdiri atas Hotma PDS SH, Ruhut PSS SH, Jhon Thomson SH, Mari C Bernado SH, Andel SH, Christopher Purba SH, Durapati Sinulingga SH, Andi F Sumangunsong SH dengan Panitera Christian dan M Isya SH.
Putusannya dibacakan U Simangunsong SH, Lidya Sasando P SH MH, Ramses Pasaribu SH MH. Karena Hakim D Tuwo Togu SH dan Pangeran Napitupulu SH dipindahtugaskan dari Pengadilan Negeri Pontianak.
Dengan terdakwa Buntia tersebut, saksi a carge yang dihadirkan terdiri atas 18 orang dan saksi adecharge (saksi yang meringankan) dua orang. Sedangkan saksi ahli terdiri atas lima orang saksi a carge dan tiga orang saksi ahli ade carge.
Saksi yang tidak dihadirkan dalam persidangan tersebut terdiri atas Bujang Achmad, Juli Irawan, Arief Mustafa SHut MSi dan Abdilah Fadil.
Jaksa menyatakan Buntia secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindakan pidana menebang pohon di hutan tanpa izin dari yang berwenang dan memasukkan alat-alat berat ke dalam hutan tanpa izin dari pihak yang berwenang, sebagaimana diatur pasal 50 ayat (3) jo pasal 78 ayat (5) UU 41/1999 Jo pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP. Dan pasal 50 ayat (3) huruf j jo 78 ayat (9) UU 41/1999 jo pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP dalam dakwaan kesatu primair dan kedua.
Dalam tuntutannya, jaksa menyatakan Buntia dipidana penjara 10 tahun dikurangi selama terdakwa ditahan dan menjatuhkan pidana denda Rp 2 miliar. Tetapi vonis PN Pontianak justru tidak sesuai yang diharapkan.
Vonis hakim menyatakan, Buntia tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana seperti yang didakwakan dalam dakwaan kesatu primer, subsider. Buntia pun dinyatakan bebas.
Buntia hanya dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana membawa alat-alat berat yang patut diketahui digunakan untuk mengangkut hasil hutan di dalam kawasan hutan lindung tanpa izin pejabat yang berwenang.
Pidana pun dijatuhkan dengan penjara dua tahun, denda Rp 1 miliar subsider 4 bulan kurungan. Hakim pun menyatakan masa penahanan yang telah dijalankan terdakwa dikurangkan sepuluh dari pidana yang dijatuhkan.
Selanjutnya pada vonis pengadilan tinggi Kalbar, hakim hanya memvonis pidana penjara 1 tahun dan dengan Rp 500 juta. Di Mahkamah Agung (MA) justru Buntia dibebaskan dari segala tuntutan.
Kepala Bidang (Kabid) Perlindungan Hutan Dinas Kehutanan Kalbar, Ir Sunarno menyatakan, dalam kasus Buntia tersebut sangat kental konspirasi. “Indikasi sudah masuk angin,” katanya.
Sunarno yang melakukan pemeriksaan sejak awal terhadap kasus Buntia tersebut ternyata dalam persidangan hanya dijadikan saksi a carge (saksi tambahan) bukan saksi ahli.
Dia menilai kasus tersebut banyak konspirasi, karena terdapat beberapa kejanggalan. “Salah satu contoh, kenapa hanya dinyatakan salah membawa alat berat, memangnya alat berat di hutan lindung itu untuk apa kalau tidak untuk pembalakan,” kata Sunarno
Konspirasi terhadap kasus Buntia tersebut, terang Sunarno, melibatkan oknum-oknum Dinas Kehutanan Provinsi, hal ini dalam bentuk rekayasa Berita Acara Pemeriksaan (BAP). “Bagaimana mungkin kawasan itu dinyatakan tidak jelas, padahal sudah jelas-jelas ditemukan tapal batas yang menyatakan kawasan tersebut masuk hutan lindung,” katanya.
Sunarno juga mengatakan, hakim banyak keberpihakan, karena hanya melihat data lapangan yang direkayasa, sementara fakta dalam pengadilan yang sudah jelas justru diabaikan.
Dia juga mengungkapkan, saksi ahli yang meringankan juga menjadi bagian konspirasi, karena saksi ahli tersebut merupakan konsultan yang pergi ke lapangan tanpa melibatkan pihak Dinas Kehutanan atau lainnya.
Penasehat hukum dalam kasus Buntia juga, kata Sunarno, melakukan kebohongan dengan mengatakan terdakwa sakit dan sedang dirawat, ketika diperiksa di tempat dia dirawat, Buntia tidak ada. “Buntia berstatus tahanan kota, tetapi bisa pulang pergi ke Jakarta,” ungkapnya.
Departemen Kehutanan dalam hal ini dinilai ikut terlibat konspirasi terhadap kasus Buntia. “Bagaimana bisa, surat Dirjen ke Menhut yang bersifat rahasia bisa ditangan tersangka (Buntia, red),” kata Sunarno.
Selain kasus Buntia, Sunarno tahu betul terdapat mafia-mafia hukum di dalamnya. Dia juga mengungkapkan kasus lainnya yang penuh kejanggalan, sehingga pelaku bebas atau mendapat keringanan hukuman.
Di antara kasus yang dimaksud Sunarno tersebut terkait Prasetyo Gow alias Asong di Ketapang. “Dua kapalnya yang memuat kayu tanpa dilengkapi dokumen, lalu dokumennya menyusul dua hari berikutnya,” ungkap Sunarno.
Ternyata, tambah dia, petugas yang membuat dokumen untuk kayu di Kapal milik Asong tersebut tidak melakukan pengukuran, sehingga sempat ditahan di Polda Kalbar.
“Sekitar satu minggu setelah vonis dibacakan (terhadap Asong, red) saya memergoki Jaksa Penuntut Umum, Majelis Hami dan anggota keluarga terdakwa duduk satu meja. Tiba-tiba Asong vonis bebas di pengadilan tinggi, padahal tuntutannya 4 tahun karena kedapatan membawa sekitar 1000 kubik kayu tanpa dilengkapi dokumen,” kata Sunarno.
Selain itu, Sunarno juga mengungkapkan kasus Rudi Pendek di Sintang yang terjadi sekitar 2005. “Rudi Pendek ini divonis bersalah, tetapi kapal dan kayunya diserahkan kembali ke terdakwa, bukan disita, majelis hakimnya menggunakan dasar hukum apa tidak menyita kapal dan kayu tersebut,” tanyanya.
Terdapat beberapa kasus tersebut, Sunarno mendukung sepenuhnya kalau akan dilakukan lagi pengkajian terhadap kasus-kasus kehutanan di Kalbar. “Saya siap membantu, semua file-nya saya punya,” katanya. (dik)
Sumber: http://www.equator-news.com/utama/bongkar-mafia-kehutanan-kalbar
Buntia Divonis Bebas bagian Mafia Kehutanan?
Kamis, 22 April 2010
Kalau kuliah di Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura, biasa disebut Orang Hukum. Kuliah di Fakultas Pertanian, biasa disebut Orang Tani. Kuliah di Fakultas Teknik, biasa disebut Orang Teknik. Nah kalau kerjaannya merambah hutan, sebutannya bukan Orang Hutan tapi Mafia Hutan.
Yah zaman mutakhir ini, julukan mafia bukan hanya bidang penanganan hukum, tapi juga meramu hutan.
Instruksi Presiden SBY meminta pengusutan vonis hukuman ringan kepada para pelaku pembalakan hutan mendapat respons Yayasan Titian, LPS-AIR dan Walhi Kalbar. Tiga lembaga swadaya masyarakat (LSM) itu menuntut pengungkapan mafia kehutanan di Kalbar.
Di antara kasus yang paling fenomenal di Kalbar mengenai kasus pembalakan liar dilakukan Prasetyo Gow alias Asong yang divonis bebas di Pengadilan Tinggi, Ng Tung Peng alias Apeng yang kini masih dalam Daftar Pencarian Orang (DPO), M Sun’an dan Syaiful yang divonis bebas bersyarat, termasuk juga kasus penyimpangan dana Provisi Sumber Daya Hutan/Dana Reboisasi (PSDH/DR).
Kasus Tian Hartono alias Buntia divonis bebas di tingkat kasasi, terjadi banyak kejanggalan yang berujung pada lemahnya vonis pengadilan kasus itu.
Terkait kasus Buntia, berdasarkan hasil investigasi tim gabungan dari Dinas Kehutanan Kalbar yang menjadi dasar tuntutan pihak kepolisian dan kejaksaan, pada hasil Berita Acara Pemerintah (BAP) tertanggal 8 Juli 2005 tergambar pasal-pasal UU 41/1999 tentang Kehutanan, nyata-nyata Buntia melakukan kejahatan kehutanan.
Terdapat beberapa pasal dalam UU 41/1999 tentang Kehutanan yang dilanggar Buntia, di antaranya Pasal 50 ayat (3) e Junto pasal 78 ayat (5) junto pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.
PT Rimba Kapuas Lestari melakukan aktivitas penebangan dalam kawasan Hutan Lindung Lubuk Lintang. Buntia selaku pimpinan perusahaan tersebut mengetahui kalau kawasan tersebut merupakan hutan lindung.
Berdasarkan fakta investigasi Dinas Kehutanan ditemukan adanya jalan angkutan kayu atas nama PT Rimba Kapuas Lestari yang masuk dalam kawasan Hutan Lindung Lubuk Lintang sepanjang 11.337,57 meter, terdiri atas jalan Lintang sepanjang 8.820,38 meter dan jalan cabang sepanjang 2.517,19 meter.
Selain itu, ditemukan adanya 20 jalan sarad, 4 TPN, 4 4 TPK dan areal penebangan kayu pada kawasan Hutan Lindung Lubuk Lintang. Juga ditemukan tunggul/tonggak kayu bekas tebangan pada 6 jalan sarad seluas sekitar 140 hektar dan tunggul sebanyak 1.365 pohon dengan taksasi volume tegakan sekitar 10.500 meter kubik. Buntia juga membawa alat berat didasarkan pada rekomendasi Bupati Sintang Nomor 522/0119.A/Ekbang pada 22 Januari 2003.
Pada kasus persidangan kasus Buntia, terdapat beberapa pihak yang terlibat. Peranan pihak yang terlibat merupakan bagian dari proses penegakan hukum kasus illegal logging.
Mejelis hakim yang menangani kasus Buntia tersebut terdiri atas D Tuwi Togu SH, U Simangunsong SH, Pangeran Napitupulu SH MH. Sementara jaksanya terdiri atas Rido Wangono SH MHum, ST Simaremare SH, Wagio SH dan Ariefsyah SH MH.
Istilah Mafia berasal Italia. Sebutan itu merujuk La Cosa Nostra (bahasa Italia: Hal Kami), adalah panggilan kolektif untuk beberapa organisasi rahasia di Sisilia (Italia bagian Selaran) dan Amerika Serikat.
Mafia awalnya merupakan nama sebuah konfederasi yang orang-orang di Sisilia masuki pada Abad Pertengahan untuk tujuan perlindungan dan penegakan hukum sendiri (main hakim). Konfederasi ini kemudian mulai melakukan kejahatan terorganisir.
Anggota Mafia disebut "mafioso" yang berarti "pria terhormat". Apa Buntia layak disebut Mafioso?
Sumber: http://www.equator-news.com/kalbar-raya/tajuk-rencana/buntia-divonis-bebas-bagian-mafia-kehutanan
Kalau kuliah di Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura, biasa disebut Orang Hukum. Kuliah di Fakultas Pertanian, biasa disebut Orang Tani. Kuliah di Fakultas Teknik, biasa disebut Orang Teknik. Nah kalau kerjaannya merambah hutan, sebutannya bukan Orang Hutan tapi Mafia Hutan.
Yah zaman mutakhir ini, julukan mafia bukan hanya bidang penanganan hukum, tapi juga meramu hutan.
Instruksi Presiden SBY meminta pengusutan vonis hukuman ringan kepada para pelaku pembalakan hutan mendapat respons Yayasan Titian, LPS-AIR dan Walhi Kalbar. Tiga lembaga swadaya masyarakat (LSM) itu menuntut pengungkapan mafia kehutanan di Kalbar.
Di antara kasus yang paling fenomenal di Kalbar mengenai kasus pembalakan liar dilakukan Prasetyo Gow alias Asong yang divonis bebas di Pengadilan Tinggi, Ng Tung Peng alias Apeng yang kini masih dalam Daftar Pencarian Orang (DPO), M Sun’an dan Syaiful yang divonis bebas bersyarat, termasuk juga kasus penyimpangan dana Provisi Sumber Daya Hutan/Dana Reboisasi (PSDH/DR).
Kasus Tian Hartono alias Buntia divonis bebas di tingkat kasasi, terjadi banyak kejanggalan yang berujung pada lemahnya vonis pengadilan kasus itu.
Terkait kasus Buntia, berdasarkan hasil investigasi tim gabungan dari Dinas Kehutanan Kalbar yang menjadi dasar tuntutan pihak kepolisian dan kejaksaan, pada hasil Berita Acara Pemerintah (BAP) tertanggal 8 Juli 2005 tergambar pasal-pasal UU 41/1999 tentang Kehutanan, nyata-nyata Buntia melakukan kejahatan kehutanan.
Terdapat beberapa pasal dalam UU 41/1999 tentang Kehutanan yang dilanggar Buntia, di antaranya Pasal 50 ayat (3) e Junto pasal 78 ayat (5) junto pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.
PT Rimba Kapuas Lestari melakukan aktivitas penebangan dalam kawasan Hutan Lindung Lubuk Lintang. Buntia selaku pimpinan perusahaan tersebut mengetahui kalau kawasan tersebut merupakan hutan lindung.
Berdasarkan fakta investigasi Dinas Kehutanan ditemukan adanya jalan angkutan kayu atas nama PT Rimba Kapuas Lestari yang masuk dalam kawasan Hutan Lindung Lubuk Lintang sepanjang 11.337,57 meter, terdiri atas jalan Lintang sepanjang 8.820,38 meter dan jalan cabang sepanjang 2.517,19 meter.
Selain itu, ditemukan adanya 20 jalan sarad, 4 TPN, 4 4 TPK dan areal penebangan kayu pada kawasan Hutan Lindung Lubuk Lintang. Juga ditemukan tunggul/tonggak kayu bekas tebangan pada 6 jalan sarad seluas sekitar 140 hektar dan tunggul sebanyak 1.365 pohon dengan taksasi volume tegakan sekitar 10.500 meter kubik. Buntia juga membawa alat berat didasarkan pada rekomendasi Bupati Sintang Nomor 522/0119.A/Ekbang pada 22 Januari 2003.
Pada kasus persidangan kasus Buntia, terdapat beberapa pihak yang terlibat. Peranan pihak yang terlibat merupakan bagian dari proses penegakan hukum kasus illegal logging.
Mejelis hakim yang menangani kasus Buntia tersebut terdiri atas D Tuwi Togu SH, U Simangunsong SH, Pangeran Napitupulu SH MH. Sementara jaksanya terdiri atas Rido Wangono SH MHum, ST Simaremare SH, Wagio SH dan Ariefsyah SH MH.
Istilah Mafia berasal Italia. Sebutan itu merujuk La Cosa Nostra (bahasa Italia: Hal Kami), adalah panggilan kolektif untuk beberapa organisasi rahasia di Sisilia (Italia bagian Selaran) dan Amerika Serikat.
Mafia awalnya merupakan nama sebuah konfederasi yang orang-orang di Sisilia masuki pada Abad Pertengahan untuk tujuan perlindungan dan penegakan hukum sendiri (main hakim). Konfederasi ini kemudian mulai melakukan kejahatan terorganisir.
Anggota Mafia disebut "mafioso" yang berarti "pria terhormat". Apa Buntia layak disebut Mafioso?
Sumber: http://www.equator-news.com/kalbar-raya/tajuk-rencana/buntia-divonis-bebas-bagian-mafia-kehutanan
LSM Lingkungan "Tak Berhak" Tempuh Jalur Hukum
Rabu, 17 Februari 2010
Jumpa pers AMAN Kalbar di Casa de Tafaz, kemarin (16/2). (FOTO : Mordiadi/Equator)
PONTIANAK. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang lingkungan hidup, selama ini tidak memperkarakan ke jalur hukum terhadap perusahaan perkebunan yang merusak lingkungan. Mereka hanya mengungkapkan fakta-fakta pelanggaran.
Hal tersebut diakui Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kalbar, Sujarni Alloy. “Kita hanya mengungkapkan, kalau pun ada masyarakat yang akan membawanya ke jalur hukum karena mereka merupakan pihak yang dirugikan, kita akan memfasilitasinya,” katanya ketika jumpa pers di Casa de Tafaz, kemarin (16/2).
Jumpa pers yang mengundang hampir seluruh media massa cetak dan elektronik tersebut juga menghadirkan Perkumpulan Telapak, suatu perkumpulan individu yang mendorong pengelolaan sumberdayaan alam yang berkeadilan, basis perkumpulan ini di Bogor.
Selain itu, dalam jumpa pers yang bertemakan “Kebal dari Jangkauan Hukum” itu, hadir pula Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalbar, suatu forum organisasi non pemerintah yang bertujuan mewujudkan pengelolaan lingkungan hidup berkelanjutan dengan menekankan prinsip-prinsip keadilan.
Dalam jumpa pers yang diprakarsai LSM yang bergerak lingkungan itu, terungkap kalau PT Ledo Lestari terus merusak kawasan hutan adat di perbatasan RI-Malaysia.
Kawasan hutan yang dirusak PT Ledo Lestari tersebut merupakan kawasan adat Dayak Iban di Desa Semunying Jaya, Kecamatan Jagoi Babang Kabupaten Bengkayang.
PT Ledo Lestari tersebut tidak memiliki Izin Pengelolaan Kawasan (IPK) ketika membuka areal hutan alam untuk perkebunan kelapa sawit. Berarti melanggar Standar Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) yang tertuang dalam Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) Nomor 38 tahun 2009.
Muhammad Yayat Afianto dari Telapak mengatakan, Permenhut 38/2009 tentang SVLK tersebut diharapkan bisa menjawab definisi legalitas kayu yang selama ini terus dipertanyakan.
Selain itu, tambah dia, peraturan baru ini diharapkan akan bisa mengurangi laju kerusakan hutan Indonesai dan pembalakan liar dengan cara melakukan verifikasi terhadap fisik kayu dan asal muasalnya.
“Saat ini sedang terjadi pelanggaran besar-besaran terhadap aturan SVLK di wilayah perbatasan Kalbar dan Sarawak—Malaysia. Kayu-kayu ditebang secara illegal di wilayah Indonesia dan diselundupkan memanfaatkan jalur-jalur di area perusahaan kelapa sawit hingga melewati perbatasan ke wilayah Sarawak—Mayasia,” ungkap Yayat.
Berdasarkan pantauan AMAN Kalbar dan Telapak, terdapat banyak jalan tikus ke wilayah Malaysia. Alasannya untuk pembelian logistik dan jalan bagi masyarakat lokal dalam jual beli hasil buminya.
Namun kenyataan di lapangan, jalan-jalan tersebut berfungsi ganda. “pada siang hari digunakan untuk melakukan kegiatan perdagangan, namun pada malam hari menjadi jalur pengiriman-pengiriman kayu dari lokasi perkebunan ke kilang-kilang kayu di wilayah Malaysia, seperti Sematan dan Kuching. Kegiatan ilegal ini berlangsung tanpa tersentuh pihak keamanan,” terang Yayat.
Selain membabat hutan dan mengambil kayu secara illegal, PT Ledo Lestari juga melakukan pembukaan lahan gambut berkedalaman lebih dari tiga meter dan pembakaran pada salah satu blok tebangan di kawasan hutan adat, masyarakat adat Dayak Iban.
Konflik antara masyarakat Dayak Iban dengan PT Ledo Lestari telah berlangsung sejak beroperasinya perusahaan tersebut. Hingga kini pun belum reda. Konflik tersebut menjadi berlarut-larut karena hutan keramat dirusak dan hak masyarakat adat tidak dihargai pihak perusahaan.
Salah seorang masyarakat Desa Semunying Jaya, Jamaluddin mengatakan, perluasan kawasan perkebunan kepala sawit berlangsung tanpa mengindahkan permintaan masyarakat adat Dayak Iban di Desa Semunying Jaya.
Menurut Jamaluddin, sudah puluhan dan mungkin ratusan mesin pemotong kayu (chainsaw) milik perusahaan yang diamankan masyarakat. Namun akhirnya–setelah diserahkan kepada pihak berwajib–dikembalikan lagi ke perusahaan.
“Kami yang mengamankan orang yang mencuri kayu di kawasan adat kami, malah kami yang dianggap sebagai penghalang pembangunan,” kesal Jamaluddin.
Telah banyak bukti yang menyatakan kalau PT Ledo Lestari tidak memiliki izin operasi, di antaranya Surat Keputusan Bupati Bengkayang Nomor 400/0528/BPN/UI/2009 yang menyatakan kalau perusahaan tersebut tidak bisa beroperasi lagi, karena izinnya sudah tidak berlaku dan gugur secara hukum. Tetapi hingga kini, aktivitas perusahaan tersebut masih berlangsung. (dik)
Sumber: http://www.equator-news.com/kalbar-raya/potret-kalbar/lsm-lingkungan-tak-berhak-tempuh-jalur-hukum
Jumpa pers AMAN Kalbar di Casa de Tafaz, kemarin (16/2). (FOTO : Mordiadi/Equator)
PONTIANAK. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang lingkungan hidup, selama ini tidak memperkarakan ke jalur hukum terhadap perusahaan perkebunan yang merusak lingkungan. Mereka hanya mengungkapkan fakta-fakta pelanggaran.
Hal tersebut diakui Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kalbar, Sujarni Alloy. “Kita hanya mengungkapkan, kalau pun ada masyarakat yang akan membawanya ke jalur hukum karena mereka merupakan pihak yang dirugikan, kita akan memfasilitasinya,” katanya ketika jumpa pers di Casa de Tafaz, kemarin (16/2).
Jumpa pers yang mengundang hampir seluruh media massa cetak dan elektronik tersebut juga menghadirkan Perkumpulan Telapak, suatu perkumpulan individu yang mendorong pengelolaan sumberdayaan alam yang berkeadilan, basis perkumpulan ini di Bogor.
Selain itu, dalam jumpa pers yang bertemakan “Kebal dari Jangkauan Hukum” itu, hadir pula Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalbar, suatu forum organisasi non pemerintah yang bertujuan mewujudkan pengelolaan lingkungan hidup berkelanjutan dengan menekankan prinsip-prinsip keadilan.
Dalam jumpa pers yang diprakarsai LSM yang bergerak lingkungan itu, terungkap kalau PT Ledo Lestari terus merusak kawasan hutan adat di perbatasan RI-Malaysia.
Kawasan hutan yang dirusak PT Ledo Lestari tersebut merupakan kawasan adat Dayak Iban di Desa Semunying Jaya, Kecamatan Jagoi Babang Kabupaten Bengkayang.
PT Ledo Lestari tersebut tidak memiliki Izin Pengelolaan Kawasan (IPK) ketika membuka areal hutan alam untuk perkebunan kelapa sawit. Berarti melanggar Standar Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) yang tertuang dalam Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) Nomor 38 tahun 2009.
Muhammad Yayat Afianto dari Telapak mengatakan, Permenhut 38/2009 tentang SVLK tersebut diharapkan bisa menjawab definisi legalitas kayu yang selama ini terus dipertanyakan.
Selain itu, tambah dia, peraturan baru ini diharapkan akan bisa mengurangi laju kerusakan hutan Indonesai dan pembalakan liar dengan cara melakukan verifikasi terhadap fisik kayu dan asal muasalnya.
“Saat ini sedang terjadi pelanggaran besar-besaran terhadap aturan SVLK di wilayah perbatasan Kalbar dan Sarawak—Malaysia. Kayu-kayu ditebang secara illegal di wilayah Indonesia dan diselundupkan memanfaatkan jalur-jalur di area perusahaan kelapa sawit hingga melewati perbatasan ke wilayah Sarawak—Mayasia,” ungkap Yayat.
Berdasarkan pantauan AMAN Kalbar dan Telapak, terdapat banyak jalan tikus ke wilayah Malaysia. Alasannya untuk pembelian logistik dan jalan bagi masyarakat lokal dalam jual beli hasil buminya.
Namun kenyataan di lapangan, jalan-jalan tersebut berfungsi ganda. “pada siang hari digunakan untuk melakukan kegiatan perdagangan, namun pada malam hari menjadi jalur pengiriman-pengiriman kayu dari lokasi perkebunan ke kilang-kilang kayu di wilayah Malaysia, seperti Sematan dan Kuching. Kegiatan ilegal ini berlangsung tanpa tersentuh pihak keamanan,” terang Yayat.
Selain membabat hutan dan mengambil kayu secara illegal, PT Ledo Lestari juga melakukan pembukaan lahan gambut berkedalaman lebih dari tiga meter dan pembakaran pada salah satu blok tebangan di kawasan hutan adat, masyarakat adat Dayak Iban.
Konflik antara masyarakat Dayak Iban dengan PT Ledo Lestari telah berlangsung sejak beroperasinya perusahaan tersebut. Hingga kini pun belum reda. Konflik tersebut menjadi berlarut-larut karena hutan keramat dirusak dan hak masyarakat adat tidak dihargai pihak perusahaan.
Salah seorang masyarakat Desa Semunying Jaya, Jamaluddin mengatakan, perluasan kawasan perkebunan kepala sawit berlangsung tanpa mengindahkan permintaan masyarakat adat Dayak Iban di Desa Semunying Jaya.
Menurut Jamaluddin, sudah puluhan dan mungkin ratusan mesin pemotong kayu (chainsaw) milik perusahaan yang diamankan masyarakat. Namun akhirnya–setelah diserahkan kepada pihak berwajib–dikembalikan lagi ke perusahaan.
“Kami yang mengamankan orang yang mencuri kayu di kawasan adat kami, malah kami yang dianggap sebagai penghalang pembangunan,” kesal Jamaluddin.
Telah banyak bukti yang menyatakan kalau PT Ledo Lestari tidak memiliki izin operasi, di antaranya Surat Keputusan Bupati Bengkayang Nomor 400/0528/BPN/UI/2009 yang menyatakan kalau perusahaan tersebut tidak bisa beroperasi lagi, karena izinnya sudah tidak berlaku dan gugur secara hukum. Tetapi hingga kini, aktivitas perusahaan tersebut masih berlangsung. (dik)
Sumber: http://www.equator-news.com/kalbar-raya/potret-kalbar/lsm-lingkungan-tak-berhak-tempuh-jalur-hukum
Lahan Karet dan Sawit di Kalbar Meluas
Senin, 3 Januari 2011
Tak Adil, Pajak Diambil Pusat
Perkebunan sawit dan karet telah terbukti mendongkrak ekonomi masyarakat. Mengapa lingkungan jadi korban. Ada propaganda via LSM?
Pontianak. Pada tahun 2017-2020 daerah sasaran perkebunan kelapa sawit dan karet di Kalbar akan bertambah luas mencapai 2 juta hektar tersebar di 12 kabupaten. Namun upaya untuk membantu meningkatkan taraf hidup masyarakat ini sering terbentur Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) dan isu lingkungan.
“Jika target perkebunan ini berjalan lancar, otomatis akan dibangun pabrik guna menandingi produksi minyak matahari di Eropa, dan industri karet di Amerika,” kata Drs Cornelis MH, Gubernur Kalbar ketika menghadiri acara Muswil Muhammadiyah ke 13, belum lama ini.
Geliat negara berkembang ini untuk menuju pasar bebas memang membuat negara maju ketar-ketir. Wajar jika diembuskan isu global warming ke negara berkembang. Sementara mereka sendiri paling banyak melakukan pencemaran udara dengan industri besarnya.
“Ini trick dari negara maju yang perang pasar dagang negara maju dengan isu global warming. Pada kesempatan ini saya menjelaskan, jangan percaya dengan NGO yang diintimidasi dari negara Eropa,” ucap Cornelis.
Cornelis tak menampik dalam pengembangannya ada tanah adat yang diambil atau terabaikan. Tetapi itu dikarenakan masyarakat adat sendiri tidak memiliki dokumen dan kekuatan hukum yang tetap atas kepemilikan dokumen tanah yang lengkap.
“Masalah ini saya sampaikan ke pengadilan internasional. Saya dituduh melakukan pelanggaran HAM, padahal ini imbas dari ekspansi sawit masa lalu. Saya cerita dengan menteri lingkungan hidup bahwa mereka yang makan, kita sekarang yang cuci piring,” ujar Cornelis.
Menanggapi rencana tersebut, Direktur Lembaga Pengkajian Studi dan Arus Informasi Regional (LPS AIR) Kalbar, Deman Huri Gustira menilai, rencana tersebut bisa menimbulkan bencana bagi Kalbar. Sebab, untuk merealisasikan hal tersebut terlebih dahulu mengsingkronkan dulu Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP), baru bisa merealisasikan 2 juta hektar kebun sawit dan karet.
“Draf RTRWPnya saja belum ditandatangani pusat. Kalau saya lihat drafnya cukup berbahaya. Khususnya di daerah aliran sungai (DAS). Sekarang saja banjir terjadi di beberapa titik di Kalbar dikarenakan hutan sudah banyak dibabat dan tak mampu menahan laju air,” kata Deman.
Hal ini, kata Deman, terjadi di Kabupaten Kapuas Hulu dikarenakan hutannya sudah habis ditebang. “Menyangkut RTRWP belum matching. Baik dari Dinas PU Kalbar, Bapedalda dan Dishut Kalbar. Pemerintah hendaknya melakukan penyeragaman RTRWP dahulu. Draftnya sekarang ini masih dianggap buku suci. Ini harus dipublikasikan agar kita tahu daerah mana saja yang menjadi sasaran perkebunan sawit dan karet,” ujar Deman.
Jika alasan ingin mengejar Pendapatan Asli Daerah (PAD), kata Deman, salah kaprah. Kenyataan belum ada dampak pada PAD Kalbar karena pajak dari produksi sawit dan karet ini diambil pusat. “Ini sebuah ketidakadilan. Karena pajaknya langsung diserahkan di pusat ini merugikan daerah. Sekarang ini PAD Kalbar didukung dari kendaraan bermotor,” terang Deman.
Sementara itu, Hendi Chandra dari WALHI Kalbar menuturkan kalau penanamannya hanya untuk kepentingan investasi skala besar, maka yang dikorbankan pastilah rakyat dan lingkungan hidup.
“Penguasaan agraria ini hanya segelintir orang saja. Kalau sesungguhnya untuk kepentingan rakyat kebanyakan tidak ada persoalan. Untuk lahan sebanyak itu pastilah akan mengorbankan tegakkan hutan, gambut dan lahan masyarakat untuk para investor. Akibatnya bencana ekologi akan meluas,” tegas Hendi. (boy)
Sumber: http://www.equator-news.com/utama/lahan-karet-dan-sawit-di-kalbar-meluas
Tak Adil, Pajak Diambil Pusat
Perkebunan sawit dan karet telah terbukti mendongkrak ekonomi masyarakat. Mengapa lingkungan jadi korban. Ada propaganda via LSM?
Pontianak. Pada tahun 2017-2020 daerah sasaran perkebunan kelapa sawit dan karet di Kalbar akan bertambah luas mencapai 2 juta hektar tersebar di 12 kabupaten. Namun upaya untuk membantu meningkatkan taraf hidup masyarakat ini sering terbentur Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) dan isu lingkungan.
“Jika target perkebunan ini berjalan lancar, otomatis akan dibangun pabrik guna menandingi produksi minyak matahari di Eropa, dan industri karet di Amerika,” kata Drs Cornelis MH, Gubernur Kalbar ketika menghadiri acara Muswil Muhammadiyah ke 13, belum lama ini.
Geliat negara berkembang ini untuk menuju pasar bebas memang membuat negara maju ketar-ketir. Wajar jika diembuskan isu global warming ke negara berkembang. Sementara mereka sendiri paling banyak melakukan pencemaran udara dengan industri besarnya.
“Ini trick dari negara maju yang perang pasar dagang negara maju dengan isu global warming. Pada kesempatan ini saya menjelaskan, jangan percaya dengan NGO yang diintimidasi dari negara Eropa,” ucap Cornelis.
Cornelis tak menampik dalam pengembangannya ada tanah adat yang diambil atau terabaikan. Tetapi itu dikarenakan masyarakat adat sendiri tidak memiliki dokumen dan kekuatan hukum yang tetap atas kepemilikan dokumen tanah yang lengkap.
“Masalah ini saya sampaikan ke pengadilan internasional. Saya dituduh melakukan pelanggaran HAM, padahal ini imbas dari ekspansi sawit masa lalu. Saya cerita dengan menteri lingkungan hidup bahwa mereka yang makan, kita sekarang yang cuci piring,” ujar Cornelis.
Menanggapi rencana tersebut, Direktur Lembaga Pengkajian Studi dan Arus Informasi Regional (LPS AIR) Kalbar, Deman Huri Gustira menilai, rencana tersebut bisa menimbulkan bencana bagi Kalbar. Sebab, untuk merealisasikan hal tersebut terlebih dahulu mengsingkronkan dulu Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP), baru bisa merealisasikan 2 juta hektar kebun sawit dan karet.
“Draf RTRWPnya saja belum ditandatangani pusat. Kalau saya lihat drafnya cukup berbahaya. Khususnya di daerah aliran sungai (DAS). Sekarang saja banjir terjadi di beberapa titik di Kalbar dikarenakan hutan sudah banyak dibabat dan tak mampu menahan laju air,” kata Deman.
Hal ini, kata Deman, terjadi di Kabupaten Kapuas Hulu dikarenakan hutannya sudah habis ditebang. “Menyangkut RTRWP belum matching. Baik dari Dinas PU Kalbar, Bapedalda dan Dishut Kalbar. Pemerintah hendaknya melakukan penyeragaman RTRWP dahulu. Draftnya sekarang ini masih dianggap buku suci. Ini harus dipublikasikan agar kita tahu daerah mana saja yang menjadi sasaran perkebunan sawit dan karet,” ujar Deman.
Jika alasan ingin mengejar Pendapatan Asli Daerah (PAD), kata Deman, salah kaprah. Kenyataan belum ada dampak pada PAD Kalbar karena pajak dari produksi sawit dan karet ini diambil pusat. “Ini sebuah ketidakadilan. Karena pajaknya langsung diserahkan di pusat ini merugikan daerah. Sekarang ini PAD Kalbar didukung dari kendaraan bermotor,” terang Deman.
Sementara itu, Hendi Chandra dari WALHI Kalbar menuturkan kalau penanamannya hanya untuk kepentingan investasi skala besar, maka yang dikorbankan pastilah rakyat dan lingkungan hidup.
“Penguasaan agraria ini hanya segelintir orang saja. Kalau sesungguhnya untuk kepentingan rakyat kebanyakan tidak ada persoalan. Untuk lahan sebanyak itu pastilah akan mengorbankan tegakkan hutan, gambut dan lahan masyarakat untuk para investor. Akibatnya bencana ekologi akan meluas,” tegas Hendi. (boy)
Sumber: http://www.equator-news.com/utama/lahan-karet-dan-sawit-di-kalbar-meluas
Kalbar Butuh Central Penanganan Limbah
Kalbar Raya › Potret Kalbar ›
Jumat, 18 Juni 2010
PONTIANAK. Kondisi air Sungai Kapuas semakin mengkhawatirkan, beberapa biotanya mulai berkurang atau bahkan hilang. Karena dijadikan alternatif utama untuk membuang limbah. Sehingga sudah seharusnya Kalbar memiliki Central Penanganan Limbah.
“Pembangunan Central Penanganan Limbah hendaknya segera diwujudkan, agar pencemaran sungai tidak semakin parah,” kata Nicodemus Ale, Kepala Divisi Advokasi dan Pendidikan Lingkungan, Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kalbar ditemui di tempat kerjanya.
Menurut Ale, badan usaha berskala besar di sekitar kawasan sungai memberikan kontribusi yang besar terhadap pencemaran sungai, karena limbah yang dihasilkannya cukup melimpah. “Apalagi mereka menjadikan sungai sebagai alternatif utama membuang limbah yang dihasilkan dari proses produksi badan usaha tersebut,” katanya.
Sungai menjadi alternatif utama dalam membuang limbah tersebut, terang Ale, karena badan usaha berskala besar itu tidak optimal dalam mengelola limbah yang dihasilkannya. “Penampung limbahnya tidak optimal, kalau ada hanya sekedarnya,” ungkapnya.
Sebenarnya kata Ale, telah banyak aturan melarang pembuangan limbah yang dapat merusak lingkungan hidup. “Tetapi hingga sekarang, badan usaha yang melanggar belum dikenakan sanksi,” sesalnya.
Oleh karenanya, dia mengharapkan pemerintah lebih ketat menegakkan aturan guna menyelamatkan lingkungan di Kalbar terutama air sungai yang hingga kini menjadi urat nadi kebutuhan masyarakat Kalbar.
Selain badan usaha berskala besar yang memberikan kontribusi terhadap pencemaran sungai, limbah rumah tangga juga memberikan andil. “Tetapi kalau masyarakat ini tentunya tidak bisa dikenakan sanksi, tetapi perlu upaya penyadaran yang lebih intensif, agar limbah rumah tangga itu tidak lagi dibuang ke sungai,” pungkas Ale. (dik)
Sumber: http://www.equator-news.com/kalbar-raya/potret-kalbar/kalbar-butuh-central-penanganan-limbah
Jumat, 18 Juni 2010
PONTIANAK. Kondisi air Sungai Kapuas semakin mengkhawatirkan, beberapa biotanya mulai berkurang atau bahkan hilang. Karena dijadikan alternatif utama untuk membuang limbah. Sehingga sudah seharusnya Kalbar memiliki Central Penanganan Limbah.
“Pembangunan Central Penanganan Limbah hendaknya segera diwujudkan, agar pencemaran sungai tidak semakin parah,” kata Nicodemus Ale, Kepala Divisi Advokasi dan Pendidikan Lingkungan, Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kalbar ditemui di tempat kerjanya.
Menurut Ale, badan usaha berskala besar di sekitar kawasan sungai memberikan kontribusi yang besar terhadap pencemaran sungai, karena limbah yang dihasilkannya cukup melimpah. “Apalagi mereka menjadikan sungai sebagai alternatif utama membuang limbah yang dihasilkan dari proses produksi badan usaha tersebut,” katanya.
Sungai menjadi alternatif utama dalam membuang limbah tersebut, terang Ale, karena badan usaha berskala besar itu tidak optimal dalam mengelola limbah yang dihasilkannya. “Penampung limbahnya tidak optimal, kalau ada hanya sekedarnya,” ungkapnya.
Sebenarnya kata Ale, telah banyak aturan melarang pembuangan limbah yang dapat merusak lingkungan hidup. “Tetapi hingga sekarang, badan usaha yang melanggar belum dikenakan sanksi,” sesalnya.
Oleh karenanya, dia mengharapkan pemerintah lebih ketat menegakkan aturan guna menyelamatkan lingkungan di Kalbar terutama air sungai yang hingga kini menjadi urat nadi kebutuhan masyarakat Kalbar.
Selain badan usaha berskala besar yang memberikan kontribusi terhadap pencemaran sungai, limbah rumah tangga juga memberikan andil. “Tetapi kalau masyarakat ini tentunya tidak bisa dikenakan sanksi, tetapi perlu upaya penyadaran yang lebih intensif, agar limbah rumah tangga itu tidak lagi dibuang ke sungai,” pungkas Ale. (dik)
Sumber: http://www.equator-news.com/kalbar-raya/potret-kalbar/kalbar-butuh-central-penanganan-limbah
Pemkot Vs Patiware
Lintas Utara › Singkawang ›
Jumat, 9 April 2010
Walhi : Oknum Dewan Tak Bela Rakyat
SINGKAWANG. Dewan Daerah Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi Kalbar), Agus Sutomo menyesalkan tindakan dua oknum DPRD Kota Singkawang yang tidak berpihak kepada rakyat. Pendapat ini dilontarkan menyikapi kemelut yang terjadi antara Pemkot Singkawang dengan PT Patiware.
“Saya hanya ingin bertanya pada anggota DPRD dari Partai Golkar, terutama Awang Sopian dan Dedy Mulyadi, kenapa pada saat masyarakat berkonflik dengan PT Patiware mereka tidak membela masyarakat? Mengapa saat PT Patiware melakukan pembakaran lahan yang mengakibatkan kabut asap yang tebal di Kota Singkawang tidak berkomentar,” tanyanya seraya mengatakan hingga kini sisa pembakaran masih bisa ditemukan.
Ketika terjadi banjir di Kelurahan Sedau, kenapa anggota DPRD tidak menyiapkan tim untuk melakukan investigasi penyebab banjir di Kelurahan Sedau. “Saya tidak membela siapapun dalam hal ini, hanya yang menjadi pertimbangan saya adalah dampak lingkungan dan sosial rakyat,” tegasnya.
Tomo menjelaskan, Kota Singkawang luasnya kurang lebih 50 ribuan hektar. Bila sekarang ada lima perusahaan perkebunan sawit yang masuk dengan luas areal 10 ribu hektar, maka pertanyaannya kemana tempat tinggal masyarakat nantinya. “Dimana lagi masyarakat akan bertani, mendapatkaan sumber air bersih?” ucapnya.
Bila satu perusahaan perkebunan sawit paling sedikit 10 ribu hektar baru mendapatkan keuntungan, belum lagi perusahaan yang lain. “Jadi saya berpikir, lebih baik berinvestasi yang tidak membawa mudaratnya,” ungkapnya.
Perusahaan perkebunan sawit di Indonesia telah mencapai 10 juta hektar seluruh Indonesia, dan menghasilkan 2 juta ton CPO, namun tidak memberikan efek positif pada kebutuhan pangan rakyat. Contohnya, harga minyak goreng tetap mahal. Sebab, 65 persen sampai dengan 70 persen CPO dibawa keluar negeri. “Buruh saja susah untuk mendapatkan minyak goreng murah. Padahal itu hasil keringat mereka menanam sawit,” paparnya.
Buruh pula yang membuat pengusaha menjadi berlipat-lipat kekayaannya. Jadi jika dikatakan akan menghambat investasi yang lain, maka ia menilai pernyataan tersebut merupakan pernyataan yang tidak disengaja dari Awang Sopian. Apalagi jika merujuk dari data investasi di seluruh negeri ini. (oVa)
Sumber: http://www.equator-news.com/lintas-utara/singkawang/walhi-oknum-dewan-tak-bela-rakyat
Jumat, 9 April 2010
Walhi : Oknum Dewan Tak Bela Rakyat
SINGKAWANG. Dewan Daerah Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi Kalbar), Agus Sutomo menyesalkan tindakan dua oknum DPRD Kota Singkawang yang tidak berpihak kepada rakyat. Pendapat ini dilontarkan menyikapi kemelut yang terjadi antara Pemkot Singkawang dengan PT Patiware.
“Saya hanya ingin bertanya pada anggota DPRD dari Partai Golkar, terutama Awang Sopian dan Dedy Mulyadi, kenapa pada saat masyarakat berkonflik dengan PT Patiware mereka tidak membela masyarakat? Mengapa saat PT Patiware melakukan pembakaran lahan yang mengakibatkan kabut asap yang tebal di Kota Singkawang tidak berkomentar,” tanyanya seraya mengatakan hingga kini sisa pembakaran masih bisa ditemukan.
Ketika terjadi banjir di Kelurahan Sedau, kenapa anggota DPRD tidak menyiapkan tim untuk melakukan investigasi penyebab banjir di Kelurahan Sedau. “Saya tidak membela siapapun dalam hal ini, hanya yang menjadi pertimbangan saya adalah dampak lingkungan dan sosial rakyat,” tegasnya.
Tomo menjelaskan, Kota Singkawang luasnya kurang lebih 50 ribuan hektar. Bila sekarang ada lima perusahaan perkebunan sawit yang masuk dengan luas areal 10 ribu hektar, maka pertanyaannya kemana tempat tinggal masyarakat nantinya. “Dimana lagi masyarakat akan bertani, mendapatkaan sumber air bersih?” ucapnya.
Bila satu perusahaan perkebunan sawit paling sedikit 10 ribu hektar baru mendapatkan keuntungan, belum lagi perusahaan yang lain. “Jadi saya berpikir, lebih baik berinvestasi yang tidak membawa mudaratnya,” ungkapnya.
Perusahaan perkebunan sawit di Indonesia telah mencapai 10 juta hektar seluruh Indonesia, dan menghasilkan 2 juta ton CPO, namun tidak memberikan efek positif pada kebutuhan pangan rakyat. Contohnya, harga minyak goreng tetap mahal. Sebab, 65 persen sampai dengan 70 persen CPO dibawa keluar negeri. “Buruh saja susah untuk mendapatkan minyak goreng murah. Padahal itu hasil keringat mereka menanam sawit,” paparnya.
Buruh pula yang membuat pengusaha menjadi berlipat-lipat kekayaannya. Jadi jika dikatakan akan menghambat investasi yang lain, maka ia menilai pernyataan tersebut merupakan pernyataan yang tidak disengaja dari Awang Sopian. Apalagi jika merujuk dari data investasi di seluruh negeri ini. (oVa)
Sumber: http://www.equator-news.com/lintas-utara/singkawang/walhi-oknum-dewan-tak-bela-rakyat
Perkebunan Skala Besar Wajib Kantongi Amdal
Radar Timur › Sintang ›
Kamis, 3 Maret 2011
Sintang. Perkebunan skala besar 3.000 hektare lebih wajib memiliki analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal). Kepala Badan Lingkungan Hidup Sintang Murjani mengutarakan terdapat 30 perkebunan di Sintang yang telah mengantongi Amdal. Amdal yang dimaksud, boleh dari Pusat, Provinsi atau Kabupaten. Masa berlaku Amdal sepanjang usaha dan jika tidak terjadi perubahan teknologi atau luasan lahan.
Ia memastikan, perkebunan skala besar di Sintang belum ada yang melakukan perubahan teknologi. “Kita ada pengawasan Amdal,” kata dia beberapa waktu lalu.
Sebaliknya menurut Murjani, beberapa luasan lahan perkebunan mengalami pengurangan dari izin yang telah diajukan. Jika perusahaan tidak mampu selama tiga tahun ditambah satu tahun perpanjangan untuk membebaskan lahan maka harus kembali kepada pemerintah. Sesuai dengan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 11 Tahun 2006 tentang jenis rencana usaha dan/atau kegiatan yang wajib dilengkapi Amdal. “Semua dokumen lingkungan selalu diawasi,” ucapnya.
Murjani mengatakan perkebunan dengan luasan kurang dari 3.000 hektare cukup dengan dokumen usaha pengelolaan lingkungan hidup-usaha pemantauan lingkungan hidup (UKL-UPL). Hal sama berlaku terhadap pembangkit listrik kurang dari 10 MW. Ia mengatakan UKL-UPL Pembangkit Listrik Tenaga Gas Batubara (PLTGB) di Jamela Sintang sebesar 3 MW telah diajukan. “Namun masih ada persyaratan yang kurang,” ujar dia.
Sementara itu Kepala Divisi Riset dan Kampanye Wahana Lingkungan Hidup Kalbar Hendrikus Adam berharap kepada Badan Lingkungan Hidup Sintang untuk serius mengawasi aktivitas perusahaan perkebunan yang beroperasi di Sintang. Khususnya mengenai dampak terhadap lingkungan. “Beberapa perusahaan perkebunan disinyalir turut Amdal dalam perusakan lingkungan,” sebut dia. (man)
Sumber: http://www.equator-news.com/radar-timur/sintang/perkebunan-skala-besar-wajib-kantongi-amdal
Kamis, 3 Maret 2011
Sintang. Perkebunan skala besar 3.000 hektare lebih wajib memiliki analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal). Kepala Badan Lingkungan Hidup Sintang Murjani mengutarakan terdapat 30 perkebunan di Sintang yang telah mengantongi Amdal. Amdal yang dimaksud, boleh dari Pusat, Provinsi atau Kabupaten. Masa berlaku Amdal sepanjang usaha dan jika tidak terjadi perubahan teknologi atau luasan lahan.
Ia memastikan, perkebunan skala besar di Sintang belum ada yang melakukan perubahan teknologi. “Kita ada pengawasan Amdal,” kata dia beberapa waktu lalu.
Sebaliknya menurut Murjani, beberapa luasan lahan perkebunan mengalami pengurangan dari izin yang telah diajukan. Jika perusahaan tidak mampu selama tiga tahun ditambah satu tahun perpanjangan untuk membebaskan lahan maka harus kembali kepada pemerintah. Sesuai dengan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 11 Tahun 2006 tentang jenis rencana usaha dan/atau kegiatan yang wajib dilengkapi Amdal. “Semua dokumen lingkungan selalu diawasi,” ucapnya.
Murjani mengatakan perkebunan dengan luasan kurang dari 3.000 hektare cukup dengan dokumen usaha pengelolaan lingkungan hidup-usaha pemantauan lingkungan hidup (UKL-UPL). Hal sama berlaku terhadap pembangkit listrik kurang dari 10 MW. Ia mengatakan UKL-UPL Pembangkit Listrik Tenaga Gas Batubara (PLTGB) di Jamela Sintang sebesar 3 MW telah diajukan. “Namun masih ada persyaratan yang kurang,” ujar dia.
Sementara itu Kepala Divisi Riset dan Kampanye Wahana Lingkungan Hidup Kalbar Hendrikus Adam berharap kepada Badan Lingkungan Hidup Sintang untuk serius mengawasi aktivitas perusahaan perkebunan yang beroperasi di Sintang. Khususnya mengenai dampak terhadap lingkungan. “Beberapa perusahaan perkebunan disinyalir turut Amdal dalam perusakan lingkungan,” sebut dia. (man)
Sumber: http://www.equator-news.com/radar-timur/sintang/perkebunan-skala-besar-wajib-kantongi-amdal
Selasa, 15 Maret 2011
Kalbar Mulai Tak Nyaman
Kamis, 10 Maret 2011 , 08:21:00
PONTIANAK – Musim kemarau yang sedang berlangsung kemungkinan akan berdampak hebat terhadap kondisi lingkungan wilayah Kalimantan Barat. Hal ini sudah terlihat dalam beberapa hari terakhir ini. Contoh nyatanya adalah pendangkalan sungai dan kebakaran hutan. Padahal kemarau belum mencapai titik puncaknya.Gusti Hardiansyah, Dosen Fakultas Kehutanan Untan mengatakan fenomena kebakaran hutan dan pendangkalan sungai menandakan kesiapan pemerintah yang kurang. Namun, menurutnya masih ada waktu untuk menanggulangi terjadinya bahaya lingkungan yang lebih besar.
“Ini saja belum masuk puncak kemarau. Pengamatan BMKG puncaknya itu bulan April sampai Mei. Sekarang saja sudah terasa dampaknya. Sungai Kapuas dangkal dan kebakaran hutan. Masih ada waktu satu dua bulan, pemerintah dan masyarakat harus bersiap-siap. Perlu kesiapan teknis yang tepat,” tuturnya.Selain urusan teknis, Hardiansyah juga menilai pemerintah perlu mensosialisasikan bahaya kerusakan alam pada masyarakat. Tindakan tegas terhadap para perusak lingkungan pun wajib dilakukan. “Kalau undang-undang kita punya lengkap. Cuma masalahnya, pemerintah tegas saja dengan mereka,” sambung Hardiansyah.
Pernyataan tersebut diamini oleh aktivis Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), Hendrikus Adam. Menurutnya, selama ini baik pemerintah provinsi dan kabupaten terkesan lemah dalam menindak perusahaan-perusahaan yang merusak lingkungan. Ia berpendapat bahwa pendangkalan sungai disebabkan oleh aktivitas pertambangan yang tidak terawasi. Sedangkan berulang-ulangnya kebakaran hutan setiap tahun juga karena ‘kemandulan’ pemerintah dan aparat.Adam memberikan contoh tentang laporan warga baru-baru ini yang ‘dicuekin’ pemerintah. “Baru-baru ini warga di Sekadau memberi kami informasi bahwa ada kegiatan pembakaran hutan yang dilakukan oleh perusahaan sawit PT LG International. Tapi belum ada respon dari pemerintah di sana. Ini kan aneh,” ungkapnya. (ars)
Sumber : http://www.pontianakpost.com/index.php?mib=berita.detail&id=87981
PONTIANAK – Musim kemarau yang sedang berlangsung kemungkinan akan berdampak hebat terhadap kondisi lingkungan wilayah Kalimantan Barat. Hal ini sudah terlihat dalam beberapa hari terakhir ini. Contoh nyatanya adalah pendangkalan sungai dan kebakaran hutan. Padahal kemarau belum mencapai titik puncaknya.Gusti Hardiansyah, Dosen Fakultas Kehutanan Untan mengatakan fenomena kebakaran hutan dan pendangkalan sungai menandakan kesiapan pemerintah yang kurang. Namun, menurutnya masih ada waktu untuk menanggulangi terjadinya bahaya lingkungan yang lebih besar.
“Ini saja belum masuk puncak kemarau. Pengamatan BMKG puncaknya itu bulan April sampai Mei. Sekarang saja sudah terasa dampaknya. Sungai Kapuas dangkal dan kebakaran hutan. Masih ada waktu satu dua bulan, pemerintah dan masyarakat harus bersiap-siap. Perlu kesiapan teknis yang tepat,” tuturnya.Selain urusan teknis, Hardiansyah juga menilai pemerintah perlu mensosialisasikan bahaya kerusakan alam pada masyarakat. Tindakan tegas terhadap para perusak lingkungan pun wajib dilakukan. “Kalau undang-undang kita punya lengkap. Cuma masalahnya, pemerintah tegas saja dengan mereka,” sambung Hardiansyah.
Pernyataan tersebut diamini oleh aktivis Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), Hendrikus Adam. Menurutnya, selama ini baik pemerintah provinsi dan kabupaten terkesan lemah dalam menindak perusahaan-perusahaan yang merusak lingkungan. Ia berpendapat bahwa pendangkalan sungai disebabkan oleh aktivitas pertambangan yang tidak terawasi. Sedangkan berulang-ulangnya kebakaran hutan setiap tahun juga karena ‘kemandulan’ pemerintah dan aparat.Adam memberikan contoh tentang laporan warga baru-baru ini yang ‘dicuekin’ pemerintah. “Baru-baru ini warga di Sekadau memberi kami informasi bahwa ada kegiatan pembakaran hutan yang dilakukan oleh perusahaan sawit PT LG International. Tapi belum ada respon dari pemerintah di sana. Ini kan aneh,” ungkapnya. (ars)
Sumber : http://www.pontianakpost.com/index.php?mib=berita.detail&id=87981
Jumat, 04 Maret 2011
Alih Fungsi Hutan Kalimantan Barat Bermasalah, Pemerintah Diminta Tegas
Rabu, 16 Februari 2011 | 12:04 WIB
TEMPO Interaktif, Pontianak - Sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat di Kalimantan Barat mendesak pemerintah bertindak tegas atas alih fungsi hutan oleh sejumlah perusahaan. Pengalihan itu selain illegal juga menimbulkan banyak masalah.
Hal tersebut disampaikan oleh Yayasan Titian, Wahana Lingkungan Hidup (WALHI), Konsorsiaum Anti Ileggal Logging (KAIL) serta Amanat Masyarakat Pedalaman (AMAN) kepada TEMPO di Pontianak, Rabu (16/2), menanggapi rencana pemeritah mengubah tata ruang kawasan hutan menjadi Hak Peruntukan Lain (HPL).
“Usulan perubahan tata ruang hutan harus ditinjau ulang, karena menimbulkan banyak rmasalah. Bahkan, di Kabupaten Sanggau dan Bengakayang, sejumlah perusahaan sawit mengunakan lahan illegal,” kata Rido, Manajer Program Yayasan Titian, Rabu (16/2).
Direktur Eksekutif Walhi Kalimantan Barat, Blasius Hendi Candra, meminta Menteri Kehutanan berhati-hati untuk mensetujui usulan perubahan tata ruang kawasan hutan menjadi HPL seluas 2,3 juta ha. “KPK harus turun tangan karena banyak kawasan hutan sudah ditanami sawit dan jadi kawasan tambang illegal. Kalau perubahan karena alasan kawasan penduduk itu tidak besar jumlahnya, inikan pasti ada kepentinan para inventor yang lebih besar,” ungkapnya.
Hendi mengaku sudah meminta Menteri Kehutanan melaporkan kasus tersebut kepada KPK, termasuk kasus illegal logging yang tidak tuntas.
“Kasus pelaku illegal Logging Ketapang yang masuk daftar buronan polisi juga harus diteruskan dan ditangkap. Karena para DPO Mebes Polri itu masih berkeliaran bebas di Pontianak dan Ketapang, bahkan membuka usaha lain termasuk tambang dan sawit, agar masyarakat tidak menjadi bingung soal keadilan,” katanya lagi.
Dari data Dinas Kehutanan Kalimantan Barat diperoleh keterangan, sekitar 1,5 juta hektare kawasan hutan telah beralih fungsi menjadi kawasan perkebunan dan pertambangan secara ilegal. Tumpang tindih perizinan itu terjadi hampir merata, seperti Kabupaten Landak, Ketapang, Bengkayang Sintang, Melawi, Kapuas Hulu, Sambas, Sanggau, dan Kubu Raya.
Di Desa Pamayam, Kecamatan Ngabang, Kabupaten Landak di kawasan hutan produksi milik PT. Sinar Kalbar Raya, Bumi Raya Group telah ditanami kebun sawit seluas 6000 hektare. Direktur BRU Thomas Agap Alim saat dihubungi Tempo di kantornya enggan memberi keterangan.
Ketua AMAN, Kalimantan Barat Surjani Alloy justru menunding rencana perubahan kawasan hutan tidak mewakili kesejahteraan masyarakat pedalaman. “Itukan untuk kepentingan para penguasa dan pengusaha sawit dan tambang, masyarakat di pedalaman akan makin tersingkir dari tanahnya sendiri. Lihat saja Kalbar sekarang, hampir semua kabupaten dan kota tenggelam oleh banjir."
Kepala Badan Pertahanan Nasional (PBN) Kalimantan Barat Imel Poluan mengaku telah memberikan data yang dibutuhkan tim Perubahan Tata Ruang dari Dinas Kehutanan dan Dinas Pekerjaan Umum.
"BPN tidak masuk dalam tim inti, hanya memberikan data yang kami punya, keputusan tentunya pada mereka," kata Imel.
Staf Humas dan Komunikasi Departemen Kehutanan Purwantio membenarkan, sejumlah pejabat dari kantornya besok Kamis (17/2) akan datang ke Pontianak bersama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Bareskim Mabes Polri, Kejaksaan Agung, dan Satgas Mafia Hukum, untuk melakukan rapat koordinasi dengan kepala daerah tingkat II dan Gubernur Kalimantan Barat.
Kalimantan Barat memiliki luas daratan 14.546.319 Ha, berdasarkan surat keputusan Menteri Kehutanan No 259/kpts-ii/2000, kawasan seluas 9.101.760,00 Ha (62,57% dari luas total) telah ditunjuk kawasan hutan seluas yang terdiri dari (1) kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam seluas 1.645.580 Ha, (2) Hutan Lindung (HL) seluas 2.307.045 Ha, (3) Hutan Produksi Terbatas (HPT) seluas 2.445.985, (4) Hutan Produksi (HP) seluas 2.265.800 Ha, (5) Hutan Produksi Konversi (HPK) seluas 514.350 ha [HARRY DAYA]
Sumber: http://www.tempointeraktif.com/hg/nusa_lainnya/2011/02/16/brk,20110216-313742,id.html
TEMPO Interaktif, Pontianak - Sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat di Kalimantan Barat mendesak pemerintah bertindak tegas atas alih fungsi hutan oleh sejumlah perusahaan. Pengalihan itu selain illegal juga menimbulkan banyak masalah.
Hal tersebut disampaikan oleh Yayasan Titian, Wahana Lingkungan Hidup (WALHI), Konsorsiaum Anti Ileggal Logging (KAIL) serta Amanat Masyarakat Pedalaman (AMAN) kepada TEMPO di Pontianak, Rabu (16/2), menanggapi rencana pemeritah mengubah tata ruang kawasan hutan menjadi Hak Peruntukan Lain (HPL).
“Usulan perubahan tata ruang hutan harus ditinjau ulang, karena menimbulkan banyak rmasalah. Bahkan, di Kabupaten Sanggau dan Bengakayang, sejumlah perusahaan sawit mengunakan lahan illegal,” kata Rido, Manajer Program Yayasan Titian, Rabu (16/2).
Direktur Eksekutif Walhi Kalimantan Barat, Blasius Hendi Candra, meminta Menteri Kehutanan berhati-hati untuk mensetujui usulan perubahan tata ruang kawasan hutan menjadi HPL seluas 2,3 juta ha. “KPK harus turun tangan karena banyak kawasan hutan sudah ditanami sawit dan jadi kawasan tambang illegal. Kalau perubahan karena alasan kawasan penduduk itu tidak besar jumlahnya, inikan pasti ada kepentinan para inventor yang lebih besar,” ungkapnya.
Hendi mengaku sudah meminta Menteri Kehutanan melaporkan kasus tersebut kepada KPK, termasuk kasus illegal logging yang tidak tuntas.
“Kasus pelaku illegal Logging Ketapang yang masuk daftar buronan polisi juga harus diteruskan dan ditangkap. Karena para DPO Mebes Polri itu masih berkeliaran bebas di Pontianak dan Ketapang, bahkan membuka usaha lain termasuk tambang dan sawit, agar masyarakat tidak menjadi bingung soal keadilan,” katanya lagi.
Dari data Dinas Kehutanan Kalimantan Barat diperoleh keterangan, sekitar 1,5 juta hektare kawasan hutan telah beralih fungsi menjadi kawasan perkebunan dan pertambangan secara ilegal. Tumpang tindih perizinan itu terjadi hampir merata, seperti Kabupaten Landak, Ketapang, Bengkayang Sintang, Melawi, Kapuas Hulu, Sambas, Sanggau, dan Kubu Raya.
Di Desa Pamayam, Kecamatan Ngabang, Kabupaten Landak di kawasan hutan produksi milik PT. Sinar Kalbar Raya, Bumi Raya Group telah ditanami kebun sawit seluas 6000 hektare. Direktur BRU Thomas Agap Alim saat dihubungi Tempo di kantornya enggan memberi keterangan.
Ketua AMAN, Kalimantan Barat Surjani Alloy justru menunding rencana perubahan kawasan hutan tidak mewakili kesejahteraan masyarakat pedalaman. “Itukan untuk kepentingan para penguasa dan pengusaha sawit dan tambang, masyarakat di pedalaman akan makin tersingkir dari tanahnya sendiri. Lihat saja Kalbar sekarang, hampir semua kabupaten dan kota tenggelam oleh banjir."
Kepala Badan Pertahanan Nasional (PBN) Kalimantan Barat Imel Poluan mengaku telah memberikan data yang dibutuhkan tim Perubahan Tata Ruang dari Dinas Kehutanan dan Dinas Pekerjaan Umum.
"BPN tidak masuk dalam tim inti, hanya memberikan data yang kami punya, keputusan tentunya pada mereka," kata Imel.
Staf Humas dan Komunikasi Departemen Kehutanan Purwantio membenarkan, sejumlah pejabat dari kantornya besok Kamis (17/2) akan datang ke Pontianak bersama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Bareskim Mabes Polri, Kejaksaan Agung, dan Satgas Mafia Hukum, untuk melakukan rapat koordinasi dengan kepala daerah tingkat II dan Gubernur Kalimantan Barat.
Kalimantan Barat memiliki luas daratan 14.546.319 Ha, berdasarkan surat keputusan Menteri Kehutanan No 259/kpts-ii/2000, kawasan seluas 9.101.760,00 Ha (62,57% dari luas total) telah ditunjuk kawasan hutan seluas yang terdiri dari (1) kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam seluas 1.645.580 Ha, (2) Hutan Lindung (HL) seluas 2.307.045 Ha, (3) Hutan Produksi Terbatas (HPT) seluas 2.445.985, (4) Hutan Produksi (HP) seluas 2.265.800 Ha, (5) Hutan Produksi Konversi (HPK) seluas 514.350 ha [HARRY DAYA]
Sumber: http://www.tempointeraktif.com/hg/nusa_lainnya/2011/02/16/brk,20110216-313742,id.html
Rabu, 02 Maret 2011
Aduh, Kayu Cerucuk Pun Banyak Dijarah
Penulis: Agustinus Handoko | Editor: Tri Wahono
Minggu, 27 Februari 2011 | 17:24 WIB
KUBU RAYA, KOMPAS.com - Penebangan kayu bulat dengan diameter kurang dari 12 centimeter atau yang sering disebut cerucuk makin marak di Kalimantan Barat. Akibatnya, kondisi lingkungan makin buruk karena kayu-kayu besarpun sudah habis dijarah.
Salah satu kawasan yang menjadi sumber kayu cerucuk adalah Kecamatan Sungai Ambawang, Kabupaten Kubu Raya. Seperti terpantau pada Sabtu (26/2/2011), kayu-kayu cerucuk dihanyutkan melalui sungai, rawa, dan parit-parit kecil dari hutan-hutan di pedalaman ke pinggir Jalan Raya trans-Kalimantan.
Sadiman (58), salah seorang sopir pengangkut cerucuk mengatakan, kayu-kayu cerucuk itu ditebang dari kawasan Loncek, Desa Enggang Raya, Kecamatan Sungai Ambawang. "Jaraknya sekitar 20 kilometer dari jalan raya dan hanya diangkut dengan cara dihanyutkan melalui sungai, rawa, dan parit kecil," kata Sadiman.
Kayu bulat biasanya digunakan untuk pondasi rumah panggung sederhana, warung, atau tempat usaha sederhana yang umumnya bertempat di sempadan sungai atau di atas rawa-rawa. Sebelum ada penertiban pembabatan hutan secara ilegal, kayu-kayu masih mudah diperoleh. Setelah itu, kayu-kayu besar sulit diperoleh sehingga masyarakat menggunakan kayu cerucuk untuk berbagai keperluan, mulai dari pondasi rumah panggung hingga rangka rumah dan penyanga atap.
Dari jalan raya trans-Kalimantan, kayu cerucuk yang sebelumnya dihanyutkan itu baru diangkut menggunakan truk ke Kota Pontianak dan sekitarnya. Kayu cerucuk umumnya berukuran panjang sekitar 10 meter per batang. Di Sungai Ambawang, kayu cerucuk itu berasal dari kayu mentangur yang memang memiliki batang yang lurus. Harga cerucuk dari penduduk yang menebangnya Rp 30.000 per batang, tetapi di tangan konsumen sudah mencapai Rp 50.000 per batang.
"Namun, sekarang cerucuk juga sudah mulai sulit diperoleh. Itu pun diperoleh dari wilayah-wilayah yang sangat jauh dari jalan raya. Biasanya penduduk mendapatkannya dari kawasan yang akan dijadikan perkebunan kelapa sawit," kata Sadiman.
Pemerhati lingkungan Pater Samuel Oton Sidin, OFM Cap mengungkapkan, penebangan kayu cerucuk yang tidak terkendali sangat mengancam kelangsungan ekosistem. Di jalan trans-Kalimantan, banjir sering menggenangi jalan raya sejak penebangan cerucuk itu mulai marak. Lebih-lebih, kawasan yang sudah dibuka lalu dijadikan perkebunan kelapa sawit, kata Samuel. Samuel bertutur, sebelum kawasan hutan itu dibuka sangat jarang terjadi banjir di sekitar jalan trans-Kalimantan.
Kepala Divisi Riset dan Kampanye Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalimantan Barat Hendrikus Adam mengatakan, jika penebangan cerucuk tidak bisa dikendalikan, dampak terhadap lingkungan akan semakin luas.
"Kami prihatin dengan kondisi itu dan berharap pemerintah mengambill sikap tanpa harus mengorbankan kepentingan masyarakat dan ketersediaan kayu bagi masyarakat," kata Adam.
Sumber: http://regional.kompas.com/read/2011/02/27/17242654/Aduh.Kayu.Cerucuk.Pun.Banyak.Dijarah
Minggu, 27 Februari 2011 | 17:24 WIB
KUBU RAYA, KOMPAS.com - Penebangan kayu bulat dengan diameter kurang dari 12 centimeter atau yang sering disebut cerucuk makin marak di Kalimantan Barat. Akibatnya, kondisi lingkungan makin buruk karena kayu-kayu besarpun sudah habis dijarah.
Salah satu kawasan yang menjadi sumber kayu cerucuk adalah Kecamatan Sungai Ambawang, Kabupaten Kubu Raya. Seperti terpantau pada Sabtu (26/2/2011), kayu-kayu cerucuk dihanyutkan melalui sungai, rawa, dan parit-parit kecil dari hutan-hutan di pedalaman ke pinggir Jalan Raya trans-Kalimantan.
Sadiman (58), salah seorang sopir pengangkut cerucuk mengatakan, kayu-kayu cerucuk itu ditebang dari kawasan Loncek, Desa Enggang Raya, Kecamatan Sungai Ambawang. "Jaraknya sekitar 20 kilometer dari jalan raya dan hanya diangkut dengan cara dihanyutkan melalui sungai, rawa, dan parit kecil," kata Sadiman.
Kayu bulat biasanya digunakan untuk pondasi rumah panggung sederhana, warung, atau tempat usaha sederhana yang umumnya bertempat di sempadan sungai atau di atas rawa-rawa. Sebelum ada penertiban pembabatan hutan secara ilegal, kayu-kayu masih mudah diperoleh. Setelah itu, kayu-kayu besar sulit diperoleh sehingga masyarakat menggunakan kayu cerucuk untuk berbagai keperluan, mulai dari pondasi rumah panggung hingga rangka rumah dan penyanga atap.
Dari jalan raya trans-Kalimantan, kayu cerucuk yang sebelumnya dihanyutkan itu baru diangkut menggunakan truk ke Kota Pontianak dan sekitarnya. Kayu cerucuk umumnya berukuran panjang sekitar 10 meter per batang. Di Sungai Ambawang, kayu cerucuk itu berasal dari kayu mentangur yang memang memiliki batang yang lurus. Harga cerucuk dari penduduk yang menebangnya Rp 30.000 per batang, tetapi di tangan konsumen sudah mencapai Rp 50.000 per batang.
"Namun, sekarang cerucuk juga sudah mulai sulit diperoleh. Itu pun diperoleh dari wilayah-wilayah yang sangat jauh dari jalan raya. Biasanya penduduk mendapatkannya dari kawasan yang akan dijadikan perkebunan kelapa sawit," kata Sadiman.
Pemerhati lingkungan Pater Samuel Oton Sidin, OFM Cap mengungkapkan, penebangan kayu cerucuk yang tidak terkendali sangat mengancam kelangsungan ekosistem. Di jalan trans-Kalimantan, banjir sering menggenangi jalan raya sejak penebangan cerucuk itu mulai marak. Lebih-lebih, kawasan yang sudah dibuka lalu dijadikan perkebunan kelapa sawit, kata Samuel. Samuel bertutur, sebelum kawasan hutan itu dibuka sangat jarang terjadi banjir di sekitar jalan trans-Kalimantan.
Kepala Divisi Riset dan Kampanye Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalimantan Barat Hendrikus Adam mengatakan, jika penebangan cerucuk tidak bisa dikendalikan, dampak terhadap lingkungan akan semakin luas.
"Kami prihatin dengan kondisi itu dan berharap pemerintah mengambill sikap tanpa harus mengorbankan kepentingan masyarakat dan ketersediaan kayu bagi masyarakat," kata Adam.
Sumber: http://regional.kompas.com/read/2011/02/27/17242654/Aduh.Kayu.Cerucuk.Pun.Banyak.Dijarah
Ketahanan Pangan Kalimantan Terancam
PERTAMBANGAN
Samarinda, Kompas - Ketahanan pangan di Pulau Kalimantan terancam jika 2.475 pertambangan yang mendapat izin beroperasi semua. Penggiat lingkungan mengingatkan, kebutuhan pangan rakyat harus diutamakan daripada menggusur lahan-lahan pertanian untuk tambang. Hasil tambang tidak bisa dimakan.
Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Andre S Wijaya mengemukakan hal itu ketika berunjuk rasa memperingati Hari Hak Asasi Manusia di depan Kantor Gubernur Kalimantan Timur di Kota Samarinda, Jumat (10/12).
Andre mengatakan, tambang batu bara telah menggusur lahan-lahan pertanian pangan. Prinsip kedaulatan pangan oleh rakyat menjadi terganggu. Tersisihnya kedaulatan pangan merupakan bentuk pelanggaran hak asasi manusia. ”Ingat, hasil tambang tidak bisa dimakan,” katanya.
Merah Johansyah Ismail dari Jatam Kaltim menguraikan fakta, dari jumlah 2.475 izin pertambangan, sebanyak 1.269 izin terdapat di Kaltim. Luas lahan yang diperuntukkan bagi tambang, terutama batu bara, seluas 3,2 juta hektar. Luas tersebut melebihi alokasi lahan untuk pertanian yang cuma 2,4 juta hektar.
Merah mengingatkan, sejak tahun 2008 Kaltim hanya mampu memproduksi 570.000 ton beras dari kebutuhan 590.000 ton. Sisanya, 20.000 ton, didatangkan dari Pulau Jawa dan Pulau Sulawesi. Ironisnya, setiap tahun, sekitar 12.000 hektar lahan pertanian dilepas atau dijual pemiliknya kepada perusahaan tambang batu bara.
Bakal tergusur
Maulidin dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalsel menambahkan, 6.223 hektar lahan yang digarap 9.900 petani di Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kalsel, akan tergusur jika perusahaan tambang batu bara jadi beroperasi tahun 2011. Sawah seluas 5.250 hektar penghasil 99.000 ton beras setiap tahun di Kabupaten Kotabaru, Kalsel, juga bakal tergusur.
Anang Juhaidi dari Walhi Kalteng dan Hendrikus Adam dari Walhi Kalbar mengatakan, pertambangan jadi ancaman serius keberadaan lahan-lahan penghasil bahan makanan. Pertambangan juga mencemari lingkungan, yaitu sungai, sebab sungai-sungai besar dipakai sebagai jalur pengangkutan hasil tambang.
”Food not coal (pangan bukan batu bara),” kata Anang dan Hendrikus dengan lantang saat berorasi diikuti oleh pengunjuk rasa lainnya.
Aksi unjuk rasa berlangsung damai, simpatik, dan sarat pesan. Ada aksi teatrikal yang menggambarkan perebutan pangan oleh rakyat yang kehilangan lahan akibat tergusur tambang. Ada pula aksi memasak yang ingin mengingatkan bahwa hasil-hasil bumi Kalimantan patut dicurigai telah tercemar aktivitas pertambangan. (BRO)
Sumber: http://www.walhi.or.id/en/ruang-media/walhi-di-media/berita-tambang-a-energi/145-pertambangan-ketahanan-pangan-kalimantan-terancam
Samarinda, Kompas - Ketahanan pangan di Pulau Kalimantan terancam jika 2.475 pertambangan yang mendapat izin beroperasi semua. Penggiat lingkungan mengingatkan, kebutuhan pangan rakyat harus diutamakan daripada menggusur lahan-lahan pertanian untuk tambang. Hasil tambang tidak bisa dimakan.
Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Andre S Wijaya mengemukakan hal itu ketika berunjuk rasa memperingati Hari Hak Asasi Manusia di depan Kantor Gubernur Kalimantan Timur di Kota Samarinda, Jumat (10/12).
Andre mengatakan, tambang batu bara telah menggusur lahan-lahan pertanian pangan. Prinsip kedaulatan pangan oleh rakyat menjadi terganggu. Tersisihnya kedaulatan pangan merupakan bentuk pelanggaran hak asasi manusia. ”Ingat, hasil tambang tidak bisa dimakan,” katanya.
Merah Johansyah Ismail dari Jatam Kaltim menguraikan fakta, dari jumlah 2.475 izin pertambangan, sebanyak 1.269 izin terdapat di Kaltim. Luas lahan yang diperuntukkan bagi tambang, terutama batu bara, seluas 3,2 juta hektar. Luas tersebut melebihi alokasi lahan untuk pertanian yang cuma 2,4 juta hektar.
Merah mengingatkan, sejak tahun 2008 Kaltim hanya mampu memproduksi 570.000 ton beras dari kebutuhan 590.000 ton. Sisanya, 20.000 ton, didatangkan dari Pulau Jawa dan Pulau Sulawesi. Ironisnya, setiap tahun, sekitar 12.000 hektar lahan pertanian dilepas atau dijual pemiliknya kepada perusahaan tambang batu bara.
Bakal tergusur
Maulidin dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalsel menambahkan, 6.223 hektar lahan yang digarap 9.900 petani di Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kalsel, akan tergusur jika perusahaan tambang batu bara jadi beroperasi tahun 2011. Sawah seluas 5.250 hektar penghasil 99.000 ton beras setiap tahun di Kabupaten Kotabaru, Kalsel, juga bakal tergusur.
Anang Juhaidi dari Walhi Kalteng dan Hendrikus Adam dari Walhi Kalbar mengatakan, pertambangan jadi ancaman serius keberadaan lahan-lahan penghasil bahan makanan. Pertambangan juga mencemari lingkungan, yaitu sungai, sebab sungai-sungai besar dipakai sebagai jalur pengangkutan hasil tambang.
”Food not coal (pangan bukan batu bara),” kata Anang dan Hendrikus dengan lantang saat berorasi diikuti oleh pengunjuk rasa lainnya.
Aksi unjuk rasa berlangsung damai, simpatik, dan sarat pesan. Ada aksi teatrikal yang menggambarkan perebutan pangan oleh rakyat yang kehilangan lahan akibat tergusur tambang. Ada pula aksi memasak yang ingin mengingatkan bahwa hasil-hasil bumi Kalimantan patut dicurigai telah tercemar aktivitas pertambangan. (BRO)
Sumber: http://www.walhi.or.id/en/ruang-media/walhi-di-media/berita-tambang-a-energi/145-pertambangan-ketahanan-pangan-kalimantan-terancam
Langganan:
Postingan (Atom)