Penulis: Agustinus Handoko | Editor: Tri Wahono
Minggu, 27 Februari 2011 | 17:24 WIB
KUBU RAYA, KOMPAS.com - Penebangan kayu bulat dengan diameter kurang dari 12 centimeter atau yang sering disebut cerucuk makin marak di Kalimantan Barat. Akibatnya, kondisi lingkungan makin buruk karena kayu-kayu besarpun sudah habis dijarah.
Salah satu kawasan yang menjadi sumber kayu cerucuk adalah Kecamatan Sungai Ambawang, Kabupaten Kubu Raya. Seperti terpantau pada Sabtu (26/2/2011), kayu-kayu cerucuk dihanyutkan melalui sungai, rawa, dan parit-parit kecil dari hutan-hutan di pedalaman ke pinggir Jalan Raya trans-Kalimantan.
Sadiman (58), salah seorang sopir pengangkut cerucuk mengatakan, kayu-kayu cerucuk itu ditebang dari kawasan Loncek, Desa Enggang Raya, Kecamatan Sungai Ambawang. "Jaraknya sekitar 20 kilometer dari jalan raya dan hanya diangkut dengan cara dihanyutkan melalui sungai, rawa, dan parit kecil," kata Sadiman.
Kayu bulat biasanya digunakan untuk pondasi rumah panggung sederhana, warung, atau tempat usaha sederhana yang umumnya bertempat di sempadan sungai atau di atas rawa-rawa. Sebelum ada penertiban pembabatan hutan secara ilegal, kayu-kayu masih mudah diperoleh. Setelah itu, kayu-kayu besar sulit diperoleh sehingga masyarakat menggunakan kayu cerucuk untuk berbagai keperluan, mulai dari pondasi rumah panggung hingga rangka rumah dan penyanga atap.
Dari jalan raya trans-Kalimantan, kayu cerucuk yang sebelumnya dihanyutkan itu baru diangkut menggunakan truk ke Kota Pontianak dan sekitarnya. Kayu cerucuk umumnya berukuran panjang sekitar 10 meter per batang. Di Sungai Ambawang, kayu cerucuk itu berasal dari kayu mentangur yang memang memiliki batang yang lurus. Harga cerucuk dari penduduk yang menebangnya Rp 30.000 per batang, tetapi di tangan konsumen sudah mencapai Rp 50.000 per batang.
"Namun, sekarang cerucuk juga sudah mulai sulit diperoleh. Itu pun diperoleh dari wilayah-wilayah yang sangat jauh dari jalan raya. Biasanya penduduk mendapatkannya dari kawasan yang akan dijadikan perkebunan kelapa sawit," kata Sadiman.
Pemerhati lingkungan Pater Samuel Oton Sidin, OFM Cap mengungkapkan, penebangan kayu cerucuk yang tidak terkendali sangat mengancam kelangsungan ekosistem. Di jalan trans-Kalimantan, banjir sering menggenangi jalan raya sejak penebangan cerucuk itu mulai marak. Lebih-lebih, kawasan yang sudah dibuka lalu dijadikan perkebunan kelapa sawit, kata Samuel. Samuel bertutur, sebelum kawasan hutan itu dibuka sangat jarang terjadi banjir di sekitar jalan trans-Kalimantan.
Kepala Divisi Riset dan Kampanye Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalimantan Barat Hendrikus Adam mengatakan, jika penebangan cerucuk tidak bisa dikendalikan, dampak terhadap lingkungan akan semakin luas.
"Kami prihatin dengan kondisi itu dan berharap pemerintah mengambill sikap tanpa harus mengorbankan kepentingan masyarakat dan ketersediaan kayu bagi masyarakat," kata Adam.
Sumber: http://regional.kompas.com/read/2011/02/27/17242654/Aduh.Kayu.Cerucuk.Pun.Banyak.Dijarah
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar