Jumat, 14 Mei 2010
PONTIANAK. Jefri Gideon Saragih dari Sawit Watch mengatakan, 70 persen lahan perkebunan sawit yang ada di Kalbar milik Malaysia. Hal ini akibat kebijakan yang membolehkan usaha sawit, mulai dari on farm hingga ox farm dapat diberikan kepada siapa asalkan memiliki uang.
“Nah yang punya uang ini Malaysia ataupun perusahaan asing lain. Makanya, mereka berbondong-bondong datang kemari,” jelas Jefri dalam Seminar Publik Menelaah Perkebunan Sawit di Kalbar yang diselenggarakan Walhi Kalbar, Sawit Watch dan Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) Kalbar di Ruang Sidang Magister Hukum Universitas Tanjungpura Pontianak, Rabu (12/5) lalu.
Kenyataan ini kata Jefri, menimbulkan pertanyaan bagi warga Kalbar, apakah kita hanya mampu menjadi penyedia tanah dan buruh dari usaha perkebunan sawit. Sementara, pemilik lahan adalah mereka dari luar Kalbar itu. “Anehnya lagi, kita ini tetap mengeluarkan izin-izin baru lagi,” ungkap Jefri menyesalkan.
Tidak hanya itu, Jefri pun mempertanyakan apakah keberadaan kebun sawit di Indonesia umumnya, dan Kalbar khususnya sudah untuk memakmurkan bangsa?. Padahal, saat ini kepemilikan lahan sawit di Kalbar dimiliki oleh Sime Darby, Wilmar dan Cargill. Akibat dari kepemilikan kebun sawit oleh perusahaan asing tersebut terjadilah illegal konversi. “Untuk itu, pemerintah sudah seharusnya melakukan penelitian dan penindakan terhadap perusahaan-perusahaan yang tidak memiliki HGU (hak guna usaha, red), yang sudah pasti tidak membayar pajak,” jelas Jefri.
Lebih lanjut Jefri mengatakan, dampak perkebunan sawit yang selalu ditemukan di lapangan dan akibat penegakan hukum yang tidak jelas, adalah tergusurnya masyarakat adat dari lingkungannya. “Hukumnya bagus, tetapi tidak tahu siapa yang akan menegakkannya,” tegas Jefri.
Sawit Watch sendiri mencatat, hingga 2010 sebanyak 630 konflik terjadi antara perusahaan sawit dengan masyarakat adat. “Dimana setiap tahunnya sekitar 20 orang dikriminalisasikan. Data kami, sejak Januari-Maret 2010 lalu sudah 12 orang masyarakat adat ditangkap dan dipenjarakan,” terang Jefri.
Kemudian kata Jefri, selain permasalahan yang terjadi kepada masyarakat adat, juga terjadi masalah dengan petani plasma. Dimana, penyerahan kebun kepada petani tidak tepat waktu. “Dalam perjanjian empat tahun, tapi rata-rata diserahkan itu enam sampai tujuh tahun. Kemudian, kualitas kebun plasmanya buruk dan tidak sesuai ukuran,” kata Jefri.
Pada kesempatan tersebut, pihaknya memberikan beberapa poin rekomendasi dari seminar publik tersebut. Pertama, meminta dilakukan reformasi kebijakan dan dapat diawali dengan penertiban HGU. Kedua, pemerintah sebaiknya melakukan oratorium untuk izin-izin lokasi baru yang diterbitkan oleh pemkab/pemkot. “Nah, sejak otonomi daerah seakan-akan semua kabupaten bisa seenak-enak perutnya menerbitkan apa saja yang bisa menjual daerahnya,” tegas Jefri.
Hal ini akan menjadi persoalan. Sebab kata Jefri, izin-izin tersebut diterbitkan dengan melanggar tata ruang wilayah kabupaten/kotanya yang sudah ada. “Pemerintah provinsi maupun pusat diharapkan dapat mengintervensi setiap izin lokasi yang diterbitkan oleh sebuah kabupaten,” katanya berharap.
Lalu lanjutnya, hasil intervensi tersebut dipublikasikan, agar masyarakat mengetahui izin mana saja yang akan terbit. “Ya, kami berharap ada moratoriumlah untuk perkebunan sawit ini,” jelas Jefri. (ian)
Sumber: http://www.equator-news.com/lintas-barat/pontianak/70-persen-sawit-kalbar-milik-malaysia
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar