Kamis, 22 April 2010
PONTIANAK. Instruksi Presiden SBY yang meminta pengusutan vonis hukuman ringan kepada para pelaku pembalakan hutan mendapat respons Yayasan Titian, LPS-AIR dan Walhi Kalbar. Tiga LSM tersebut menuntut pengungkapan mafia kehutanan di Kalbar.
“Harus ada pengkajian kembali terhadap beberapa kasus kejahatan kehutanan di Kalbar,” tegas Yuyun Kurniawan dari Yayasan Titian dalam jumpa pers di Tapaz Pontianak, Rabu (21/4).
Pada awal April lalu, Presiden SBY menginstruksikan Satuan Tugas (Satgas) Pemberantasan Mafia Hukum untuk mengusut vonis ringan terhadap kasus-kasus kejahatan kehutanan di seluruh Indonesia. Political will pemerintah tersebut, diharapkan menjadi tonggak pengkajian kembali penanganan kasus-kasus kehutanan di Kalbar, karena dari sekian banyak kasus, beberapa di antaranya divonis bebas dan terdapat banyak kejanggalan.
Di antara kasus yang paling fenomenal di Kalbar mengenai kasus pembalakan liar dilakukan Prasetyo Gow alias Asong yang divonis bebas di Pengadilan Tinggi, Ng Tung Peng alias Apeng yang kini masih dalam Daftar Pencarian Orang (DPO), M Sun’an dan Syaiful yang divonis bebas bersyarat, termasuk juga kasus penyimpangan dana Provisi Sumber Daya Hutan/Dana Reboisasi (PSDH/DR).
“Terutama kasus Tian Hartono alias Buntia yang divonis bebas di tingkat kasasi, terjadi banyak kejanggalan yang berujung pada lemahnya vonis pengadilan kasus tersebut,” terang Yuyun.
Hal senada diutarakan Ketua LPS-AIR Kalbar, Deman Huri. Menurutnya, dalam sepuluh tahun terakhir, banyak pelaku-pelaku kejahatan kehutanan yang divonis bebas. “Hal ini mengindikasikan adanya permainan para mafia hukum,” katanya.
Terkait kasus Buntia, berdasarkan hasil investigasi tim gabungan dari Dinas Kehutanan Kalbar yang menjadi dasar tuntutan pihak kepolisian dan kejaksaan, pada hasil Berita Acara Pemerintah (BAP) tertanggal 8 Juli 2005 tergambar pasal-pasal UU 41/1999 tentang Kehutanan, nyata-nyata Buntia melakukan kejahatan kehutanan.
Terdapat beberapa pasal dalam UU 41/1999 tentang Kehutanan yang dilanggar Buntia, di antaranya Pasal 50 ayat (3) e Junto pasal 78 ayat (5) junto pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.
PT Rimba Kapuas Lestari melakukan aktivitas penebangan dalam kawasan Hutan Lindung Lubuk Lintang. Buntia selaku pimpinan perusahaan tersebut mengetahui kalau kawasan tersebut merupakan hutan lindung.
Berdasarkan fakta investigasi Dinas Kehutanan ditemukan adanya jalan angkutan kayu atas nama PT Rimba Kapuas Lestari yang masuk dalam kawasan Hutan Lindung Lubuk Lintang sepanjang 11.337,57 meter, terdiri atas jalan Lintang sepanjang 8.820,38 meter dan jalan cabang sepanjang 2.517,19 meter.
Selain itu, ditemukan adanya 20 jalan sarad, 4 TPN, 4 4 TPK dan areal penebangan kayu pada kawasan Hutan Lindung Lubuk Lintang. Juga ditemukan tunggul/tonggak kayu bekas tebangan pada 6 jalan sarad seluas sekitar 140 hektar dan tunggul sebanyak 1.365 pohon dengan taksasi volume tegakan sekitar 10.500 meter kubik. Buntia juga membawa alat berat didasarkan pada rekomendasi Bupati Sintang Nomor 522/0119.A/Ekbang pada 22 Januari 2003.
Pada kasus persidangan kasus Buntia, terdapat beberapa pihak yang terlibat. Peranan pihak yang terlibat merupakan bagian dari proses penegakan hukum kasus illegal logging.
Mejelis hakim Pengadilan Negeri Pontianak yang menangani kasus Buntia tersebut terdiri atas D Tuwi Togu SH, U Simangunsong SH, Pangeran Napitupulu SH MH. Sementara jaksanya terdiri atas Rido Wangono SH MHum, ST Simaremare SH, Wagio SH dan Ariefsyah SH MH.
Sedangkan advokatnya terdiri atas Hotma PDS SH, Ruhut PSS SH, Jhon Thomson SH, Mari C Bernado SH, Andel SH, Christopher Purba SH, Durapati Sinulingga SH, Andi F Sumangunsong SH dengan Panitera Christian dan M Isya SH.
Putusannya dibacakan U Simangunsong SH, Lidya Sasando P SH MH, Ramses Pasaribu SH MH. Karena Hakim D Tuwo Togu SH dan Pangeran Napitupulu SH dipindahtugaskan dari Pengadilan Negeri Pontianak.
Dengan terdakwa Buntia tersebut, saksi a carge yang dihadirkan terdiri atas 18 orang dan saksi adecharge (saksi yang meringankan) dua orang. Sedangkan saksi ahli terdiri atas lima orang saksi a carge dan tiga orang saksi ahli ade carge.
Saksi yang tidak dihadirkan dalam persidangan tersebut terdiri atas Bujang Achmad, Juli Irawan, Arief Mustafa SHut MSi dan Abdilah Fadil.
Jaksa menyatakan Buntia secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindakan pidana menebang pohon di hutan tanpa izin dari yang berwenang dan memasukkan alat-alat berat ke dalam hutan tanpa izin dari pihak yang berwenang, sebagaimana diatur pasal 50 ayat (3) jo pasal 78 ayat (5) UU 41/1999 Jo pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP. Dan pasal 50 ayat (3) huruf j jo 78 ayat (9) UU 41/1999 jo pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP dalam dakwaan kesatu primair dan kedua.
Dalam tuntutannya, jaksa menyatakan Buntia dipidana penjara 10 tahun dikurangi selama terdakwa ditahan dan menjatuhkan pidana denda Rp 2 miliar. Tetapi vonis PN Pontianak justru tidak sesuai yang diharapkan.
Vonis hakim menyatakan, Buntia tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana seperti yang didakwakan dalam dakwaan kesatu primer, subsider. Buntia pun dinyatakan bebas.
Buntia hanya dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana membawa alat-alat berat yang patut diketahui digunakan untuk mengangkut hasil hutan di dalam kawasan hutan lindung tanpa izin pejabat yang berwenang.
Pidana pun dijatuhkan dengan penjara dua tahun, denda Rp 1 miliar subsider 4 bulan kurungan. Hakim pun menyatakan masa penahanan yang telah dijalankan terdakwa dikurangkan sepuluh dari pidana yang dijatuhkan.
Selanjutnya pada vonis pengadilan tinggi Kalbar, hakim hanya memvonis pidana penjara 1 tahun dan dengan Rp 500 juta. Di Mahkamah Agung (MA) justru Buntia dibebaskan dari segala tuntutan.
Kepala Bidang (Kabid) Perlindungan Hutan Dinas Kehutanan Kalbar, Ir Sunarno menyatakan, dalam kasus Buntia tersebut sangat kental konspirasi. “Indikasi sudah masuk angin,” katanya.
Sunarno yang melakukan pemeriksaan sejak awal terhadap kasus Buntia tersebut ternyata dalam persidangan hanya dijadikan saksi a carge (saksi tambahan) bukan saksi ahli.
Dia menilai kasus tersebut banyak konspirasi, karena terdapat beberapa kejanggalan. “Salah satu contoh, kenapa hanya dinyatakan salah membawa alat berat, memangnya alat berat di hutan lindung itu untuk apa kalau tidak untuk pembalakan,” kata Sunarno
Konspirasi terhadap kasus Buntia tersebut, terang Sunarno, melibatkan oknum-oknum Dinas Kehutanan Provinsi, hal ini dalam bentuk rekayasa Berita Acara Pemeriksaan (BAP). “Bagaimana mungkin kawasan itu dinyatakan tidak jelas, padahal sudah jelas-jelas ditemukan tapal batas yang menyatakan kawasan tersebut masuk hutan lindung,” katanya.
Sunarno juga mengatakan, hakim banyak keberpihakan, karena hanya melihat data lapangan yang direkayasa, sementara fakta dalam pengadilan yang sudah jelas justru diabaikan.
Dia juga mengungkapkan, saksi ahli yang meringankan juga menjadi bagian konspirasi, karena saksi ahli tersebut merupakan konsultan yang pergi ke lapangan tanpa melibatkan pihak Dinas Kehutanan atau lainnya.
Penasehat hukum dalam kasus Buntia juga, kata Sunarno, melakukan kebohongan dengan mengatakan terdakwa sakit dan sedang dirawat, ketika diperiksa di tempat dia dirawat, Buntia tidak ada. “Buntia berstatus tahanan kota, tetapi bisa pulang pergi ke Jakarta,” ungkapnya.
Departemen Kehutanan dalam hal ini dinilai ikut terlibat konspirasi terhadap kasus Buntia. “Bagaimana bisa, surat Dirjen ke Menhut yang bersifat rahasia bisa ditangan tersangka (Buntia, red),” kata Sunarno.
Selain kasus Buntia, Sunarno tahu betul terdapat mafia-mafia hukum di dalamnya. Dia juga mengungkapkan kasus lainnya yang penuh kejanggalan, sehingga pelaku bebas atau mendapat keringanan hukuman.
Di antara kasus yang dimaksud Sunarno tersebut terkait Prasetyo Gow alias Asong di Ketapang. “Dua kapalnya yang memuat kayu tanpa dilengkapi dokumen, lalu dokumennya menyusul dua hari berikutnya,” ungkap Sunarno.
Ternyata, tambah dia, petugas yang membuat dokumen untuk kayu di Kapal milik Asong tersebut tidak melakukan pengukuran, sehingga sempat ditahan di Polda Kalbar.
“Sekitar satu minggu setelah vonis dibacakan (terhadap Asong, red) saya memergoki Jaksa Penuntut Umum, Majelis Hami dan anggota keluarga terdakwa duduk satu meja. Tiba-tiba Asong vonis bebas di pengadilan tinggi, padahal tuntutannya 4 tahun karena kedapatan membawa sekitar 1000 kubik kayu tanpa dilengkapi dokumen,” kata Sunarno.
Selain itu, Sunarno juga mengungkapkan kasus Rudi Pendek di Sintang yang terjadi sekitar 2005. “Rudi Pendek ini divonis bersalah, tetapi kapal dan kayunya diserahkan kembali ke terdakwa, bukan disita, majelis hakimnya menggunakan dasar hukum apa tidak menyita kapal dan kayu tersebut,” tanyanya.
Terdapat beberapa kasus tersebut, Sunarno mendukung sepenuhnya kalau akan dilakukan lagi pengkajian terhadap kasus-kasus kehutanan di Kalbar. “Saya siap membantu, semua file-nya saya punya,” katanya. (dik)
Sumber: http://www.equator-news.com/utama/bongkar-mafia-kehutanan-kalbar
Selasa, 22 Maret 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar