Senin, 25 April 2011
Berita DAerah-alimantan) Kalimantan Barat boleh berbangga memiliki salah satu keajaiban alam berupa Sungai Kapuas yang juga sungai terpanjang di Indonesia.
Panjangnya mencapai 1.086 kilometer, melewati tujuh kabupaten dan kota mulai dari Kapuas Hulu dan bermuara di Kabupaten Pontianak-Kabupaten Kubu Raya.
Daerah aliran sungai (DAS) Kapuas mencakup kawasan dengan luas lebih dari 10 juta hektare.
"Sedikitnya ada 1,7 juta jiwa penduduk Kalbar yang hidupnya bergantung pada keberlanjutan DAS Kapuas," kata Kepala Divisi Riset dan Kampanye Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalbar, Hendrikus Adam.
Dapat dibayangkan betapa banyaknya jiwa penduduk di Kalbar yang terkena dampak langsung maupun tidak kalau DAS Kapuas terganggu dan tercemar. Dan kondisi itu yang sepertinya terjadi.
Hendrikus Adam mengatakan, kualitas air di Sungai Kapuas kian menurun akibat tingginya pencemaran secara kimiawi dan biologis.
"Sungai Kapuas tidak hanya tercemar oleh zat kimia merkuri, tetapi juga oleh limbah pabrik, rumah tangga, bakteri ecoli dan pestisida dari perkebunan," kata dia.
DAS Kapuas tergolong agak kritis dengan luas mencapai 4,24 juta hektare dan yang berpotensi kritis 2,89 juta hektare (data 2009).
DAS Kapuas memiliki kekhususan tersendiri serta menjadi muara dari 9 sub-DAS yakni Kapuas Hulu, Sentarum, Silat/Manday, Melawi (Melawi-Sintang), Ketungau (Kabupaten Sintang), Sekayam, Sekadau, Landak, Mendawak (Kabupaten Pontianak, Sanggau, Ketapang).
Selama ini pemanfaatan kawasan sungai/DAS untuk sumber air bersih dan mandi cuci kakus (MCK), sarana transportasi, sumber penghidupan (pengairan pertanian, budidaya dan menangkap ikan bagi nelayan) serta sarana sosial, budaya dan bahkan religi bagi warga.
Pemantauan Terbatas
Sementara itu, Ketua Badan Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Kalbar, Darmawan mengakui, pantauan terhadap kualitas air Sungai Kapuas masih kurang memadai karena terbatasnya anggaran.
"Anggaran yang terbatas membuat lokasi pengambilan kualitas masih jauh dari angka ideal," kata Darmawan beberapa waktu lalu.
Menurut dia, Sungai Kapuas dengan panjang 1.086 kilometer idealnya mempunyai lokasi pengambilan sampel air sebanyak 720 tempat. Pertimbangannya, jarak antarlokasi sekitar 1,5 kilometer. Biaya yang dibutuhkan diperkirakan Rp1,8 miliar dengan rentang waktu pengambilan contoh air sebanyak enam kali dalam setahun.
Namun, lanjut dia, saat ini pihaknya hanya mampu mengambil contoh air di 30 titik. "Dengan jarak antarlokasi sekitar 35 kilometer," kata Darmawan.
Meski jumlah lokasi pengambilan contoh air belum ideal, namun Darmawan menyatakan bahwa hasil penelitian terhadap kualitas Sungai Kapuas sudah akurat.
Ia menegaskan, secara umum kualitas air Sungai Kapuas dalam kondisi baik.
Ia melanjutkan, kalau pun terjadi peningkatan kadar merkuri, umumnya saat musim penghujan dengan jumlah yang tidak melebihi kadar yang berbahaya.
Ia menjelaskan, meningkatnya kadar merkuri di musim penghujan karena zat tersebut massa jenisnya lebih berat dari air. "Ketika hujan, air yang mengalir lebih deras di sungai sehingga mendorong merkuri naik ke permukaan," katanya.
Sedangkan untuk pencemaran, ia memperkirakan kondisi Sungai Landak yang bermuara di Sungai Kapuas, cukup parah.
Pencemaran terutama berasal dari maraknya penambangan emas tanpa izin yang ada di sekitar daerah aliran sungai Landak tersebut.
Ancaman Emas
Maraknya penambangan emas tanpa izin di Kalbar yang umumnya berada di tepian sungai kini menjadi ancaman tambahan bagi pengguna air DAS Kapuas.
Data Dinas Pertambangan dan Energi Kalbar, hingga Juli 2009 ada 351 izin perusahaan dengan total areal 2.150.171 hektare; 93 izin dengan total 523.155 hektare sudah mengeksploitasi.
Terdapat pula 267 titik PETI (Penambangan Emas Tanpa Izin) di Kalbar dengan luas lahan 6.613 hektare.
Di Tahun 2003, Fakultas MIPA Universitas Tanjungpura Pontianak dan Program Pemberdayaan Sumber Daya Alam Kerakyatan (PPSDAK), lembaga anggota Walhi Kalbar untuk Balai Riset dan Standarisasi Industri dan Perdagangan melakukan penelitian pada tiga kelompok masyarakat.
Yakni pekerja tambang (Sungai Ayak, Sungai Sekayam, Sungai Tayan, Nanga Sepauk, dan Sungai Mandor), warga sekitar tambang dan warga pengguna PDAM. Hasilnya, Sungai Kapuas telah tercemar zat kimia merkuri.
Hal itu terlihat pada pengguna PDAM dengan rata-rata kadar merkuri di kuku adalah 2,80 mg (mikro gram)/g (gram) dengan kadar merkuri tertinggi 27,01 mg/g. Sedangkan rata-rata merkuri pada rambut adalah 1,30 mg/g.
Kadar merkuri pada rambut tertinggi sebesar 8,15 mg/g. Sebanyak 18 persen sampel penambang (11 sampel dari 60 sampel), 6 persen penduduk (3 sampel dari 50 sampel), dan 5 persen pengguna PDAM (2 sampel dari 40 sampel) mempunyai kandungan merkuri 6,0 mikrogram/g.
Hendrikus Adam menambahkan, sementara penelitian Lasmi Yulistiana (2010), mahasiswa pascasarjana Institut Pertanian Bogor, bahwa air Kapuas di Kota Pontianak sudah tercemar dengan indikasi konsentrasi polutan yang tinggi, seperti parameter fisika, kimia dan biologi.
Untuk fisika, menunjukan konsentrasi rata-rata TDS (Total Dissolved Solid/ zat padat terlarut) sebesar 1.223 mg (miligram)/I (liter) dan TSS (Toxic Shock Syndrome) sebesar 250mg/L di muara Jungkat.
Sedangkan untuk parameter kimia menunjukan konsentrasi tinggi dan telah melewati baku mutu air kelas I, II, III dan IV yaitu PP no 82 tahun 2001 yang diindikasikan melalui adanya indikator dimana Sungai Kapuas telah tercemar oleh hg (Merkuri).
Hendrikus Adam melanjutkan, kondisi itu menunjukkan bahwa Sungai Kapuas sebenarnya sudah tidak memenuhi syarat untuk digunakan sebagai air baku minum.
"Sungai Kapuas hanya memenuhi syarat untuk digunakan bagi keperluan irigasi dan keperluan lain karena pencemaran air sangat berdampak pada kesehatan dan biota air yang ada di dalamnya," kata Hendrikus Adam.
Ia mengungkapkan, ada dua komponen, biologi dan non biologis, yang masuk dan dimasukkan ke dalam badan air Sungai Kapuas sehingga kualitas menurun dan tidak sesuai dengan peruntukkannya.
Komponen non biologis dapat berupa pupuk, sampah, minyak, bahan radioaktif, senyawa anorganik dan mineral, termasuk logam-logam berat serta komponen organik sintetik seperti residu pestisida dan deterjen.
Sementara komponen biologis seperti mikroba, khususnya mikroba yang bersifat merugikan manusia dan makhluk hidup lainnya, seperti bakteri patogen dan bakteri pencemar.
Sebelum Terlambat
Hendrikus Adam mengatakan, masih ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk menekan pencemaran di sungai yang luasnya 68,39 persen dari total luas Provinsi Kalbar itu.
Di antaranya, peningkatan pengendalian terhadap eksploitasi serta rehabilitasi hutan dan lahan, konsistensi terhadap tata ruang, meningkatkan kesadaran masyarakat dalam pengelolaan sumber daya air yang lestari.
Selain itu, peningkatan kedisiplinan pemenuhan ketentuan penambangan pasir yang ramah lingkungan, penegakan hukum terhadap penambangan emas tanpa izin, menertibkan pengelolaan daerah sempadan sungai termasuk penertiban bangunan liar.
Kemudian pemberian penghargaan maupun hukuman terhadap lembaga usaha atau pemerintah dalam upaya menjaga mutu air, peningkatan SDM baik internal maupun eksternal, koordinasi seluruh pemangku kepentingan, menyamakan persepsi tentang konservasi sumber daya air, penguatan kelembagaan forum daerah aliran sungai, serta penambahan program muatan lokal tentang lingkungan hidup pada kurikulum sekolah.
"Isu lingkungan harus menjadi pola pikir bersama segenap pihak dan bukan hanya dibicarakan oleh pegiat lingkungan dan atau guru IPA saja," kata dia.
Dibutuhkan pula advokasi yang mengarahkan konsistensi kebijakan dan penataan ruang untuk mengendalikan model global pembangunan yang cenderung eksploitatif dan destruktif.
"Kedepankan aspek pembangunan jangka panjang," katanya.
Ia mengimbau, agar diperkuat akses dan kontrol warga atas sumber daya air dengan menghargai kearifan lokal.
(ma/MA/bd-ant)
Sumber: http://beritadaerah.com/artikel/kalimantan/38292
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar