Luar Daerah | December 10, 2010 at 16:24
SAMARINDA, KOMPAS.com – Ketahanan pangan di Pulau Kalimantan terancam jika 2.475 izin pertambangan beroperasi semua. Penggiat lingkungan mengingatkan kebutuhan pangan rakyat harus diutamakan daripada menggusur lahan-lahan pertanian untuk tambang. Hasil tambang tidak bisa dimakan.
Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Andre S Wijaya mengatakan itu saat berunjuk rasa memperingati Hari Hak Asasi Manusia di depan Kantor Gubernur Kalimantan Timur, Kota Samarinda, Jumat (10/12/2010).
"Tambang batu bara telah menggusur lahan-lahan pertanian pangan. Prinsip kedaulatan pangan oleh rakyat menjadi terganggu. Tersisihnya kedaulatan pangan merupakan bentuk pelanggaran hak asasi manusia. Ingat batu bara tidak bisa dimakan," katanya.
Dari jumlah 2.475 izin tadi, sebanyak 1.269 izin ada di Kaltim. Luas lahan yang diperuntukkan bagi tambang terutama batu bara 3,2 juta hektar. Itu melebihi alokasi lahan untuk pertanian yang cuma 2,4 juta hektar.
Sejak 2008, Kaltim hanya mampu memproduksi 570.000 ton beras dari kebutuhan 590.000 ton. Sisanya yang 20.000 ton didatangkan dari Jawa dan Sulawesi. Ironisnya, setiap tahun, sekitar 12.000 hektar lahan pertanian dilepas atau dijual pemiliknya kepada perusahaan tambang batu bara.
Yang juga ironis, 6.223 hektar lahan yang digarap 9.900 petani di Kabupaten Hulu Sungai Tengah (Kalsel) akan tergusur jika perusahaan tambang batu bara jadi beroperasi tahun depan. Nasib serupa juga bakal dialami oleh 5.250 hektar sawah penghasil 99.000 ton beras setiap tahun di Kabupaten Kotabaru (Kalsel).
Kondisi serupa juga dialami oleh Kalbar dan Kalteng. Pertambangan menjadi ancaman serius bagi keberadaan lahan-lahan penghasil bahan makanan. Pertambangan juga mencemari lingkungan yaitu sungai sebab sungai-sungai besar dipakai sebagai jalur pengangkutan hasil tambang.
Food not coal (pangan bukan batu bara), teriak para penggiat yang berunjuk rasa.
Aksi unjuk rasa dilangsungkan dengan damai, simpatik, dan sarat makna. Ada aksi teatrikal yang menggambarkan perebutan pangan oleh rakyat yang kehilangan lahan-lahannya akibat tergusur tambang. Ada juga aksi memasak yang ingin mengingatkan bahwa hasil-hasil bumi Kalimantan patut dicurigai telah tercemar aktivitas pertambangan.
Sumber:
http://arsipberita.com/show/regional/luar-daerah/2010/12/10/kebutuhan-pangan-harus-diutamakan.html
Senin, 13 Desember 2010
Kami Butuh Pangan, Bukan Tambang
Jumat, 10/12/2010
BANJARMASINPOST.CO.ID, SAMARINDA - Sekitar 20 aktivis Jatam dan Walhi, Jumat (10/12/2010), menggelar aksi damai yang simpatik dan sarat makna di depan Kantor Gubernur Kalimantan Timur, Kota Samarinda. Aksi ini dilakukan berkait dengan peringatan Hari Hak Asasi Manusia.
Menurut para aktivis itu, di Kalimantan telah terjadi pelanggaran hak asasi manusia (HAM) terkait terancamnya ketahanan pangan oleh aktivitas pertambangan batu bara.
Koordinator Nasional Jatam Andre S Wijaya mengingatkan, di Kalimantan ada hampir 2.500 izin tambang batu bara. "Yang diperlukan adalah ketahanan pangan, bukan ketahanan tambang batu bara," katanya.
Aksi digelar secara simpatik dan unik. Aktivis menggelar aksi teatrikal yang menggambarkan rakyat berebut lahan dan pangan akibat lahan habis oleh tambang. Aktivis juga memasak ikan dan sayur yang malambangkan bahan makanan yang dihasilkan bumi Kalimantan tercemar tambang batu bara.
Sumber:
http://banjarmasinpost.co.id/read/artikel/2010/12/10/66627/hubungikami
BANJARMASINPOST.CO.ID, SAMARINDA - Sekitar 20 aktivis Jatam dan Walhi, Jumat (10/12/2010), menggelar aksi damai yang simpatik dan sarat makna di depan Kantor Gubernur Kalimantan Timur, Kota Samarinda. Aksi ini dilakukan berkait dengan peringatan Hari Hak Asasi Manusia.
Menurut para aktivis itu, di Kalimantan telah terjadi pelanggaran hak asasi manusia (HAM) terkait terancamnya ketahanan pangan oleh aktivitas pertambangan batu bara.
Koordinator Nasional Jatam Andre S Wijaya mengingatkan, di Kalimantan ada hampir 2.500 izin tambang batu bara. "Yang diperlukan adalah ketahanan pangan, bukan ketahanan tambang batu bara," katanya.
Aksi digelar secara simpatik dan unik. Aktivis menggelar aksi teatrikal yang menggambarkan rakyat berebut lahan dan pangan akibat lahan habis oleh tambang. Aktivis juga memasak ikan dan sayur yang malambangkan bahan makanan yang dihasilkan bumi Kalimantan tercemar tambang batu bara.
Sumber:
http://banjarmasinpost.co.id/read/artikel/2010/12/10/66627/hubungikami
Tambang Ancam Ketahanan Pangan
Jumat, 10/12/2010/pk/15:11 WIB
SAMARINDA, KOMPAS.com- Keberadaan tambang batu bara yang menggerus lahan-lahan pertanian membuat Kalimantan merana. Kelaparan bisa menjadi masalah yang nyata dihadapi Kalimantan ketika tidak ada lagi lahan-lahan penghasil pangan.
Demikian diutarakan aktivis Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) saat menggelar aksi damai, simpatik, dan sarat makna guna memeringati Hari Hak Asasi Manusia di depan Kantor Gubernur Kalimantan Timur, Kota Samarinda, Jumat (10/12/2010) siang.
Merah Johansyah Ismail dari Jatam Kaltim mencontohkan di provinsi ini telah terbit 1.269 izin kuasa pertambangan batu bara dengan total luas lahan 3,2 juta hektar. Luasan itu jauh melebihi alokasi lahan untuk pertanian yang 2,4 juta hektar.
Maulidin dari Walhi Kalsel menambahkan, luas Kalsel 3,7 juta hektar, 3,1 juta hektar di antaranya telah habis untuk tambang, perkebunan, dan kehutanan. "Lahan untuk rakyat kurang dari 600.000 hektar. Bagaimana mungkin ada ketahanan pangan?" katanya.
Para aktivis mengajukan pertanyaan renungan mengapa pemerintah provinsi mendahulukan kepentingan investasi tambang yang berdaya rusak besar daripada menjamin pemenuhan pangan warganya?
"Apakah pemerintah akan menyuruh warganya untuk mengunyah batu bara, bukan lagi makanan?," kata Merah Johansyah.
Sumber:
http://regional.kompas.com/read/2010/12/10/15114994/Tambang.Ancam.Ketahanan.Pangan.
SAMARINDA, KOMPAS.com- Keberadaan tambang batu bara yang menggerus lahan-lahan pertanian membuat Kalimantan merana. Kelaparan bisa menjadi masalah yang nyata dihadapi Kalimantan ketika tidak ada lagi lahan-lahan penghasil pangan.
Demikian diutarakan aktivis Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) saat menggelar aksi damai, simpatik, dan sarat makna guna memeringati Hari Hak Asasi Manusia di depan Kantor Gubernur Kalimantan Timur, Kota Samarinda, Jumat (10/12/2010) siang.
Merah Johansyah Ismail dari Jatam Kaltim mencontohkan di provinsi ini telah terbit 1.269 izin kuasa pertambangan batu bara dengan total luas lahan 3,2 juta hektar. Luasan itu jauh melebihi alokasi lahan untuk pertanian yang 2,4 juta hektar.
Maulidin dari Walhi Kalsel menambahkan, luas Kalsel 3,7 juta hektar, 3,1 juta hektar di antaranya telah habis untuk tambang, perkebunan, dan kehutanan. "Lahan untuk rakyat kurang dari 600.000 hektar. Bagaimana mungkin ada ketahanan pangan?" katanya.
Para aktivis mengajukan pertanyaan renungan mengapa pemerintah provinsi mendahulukan kepentingan investasi tambang yang berdaya rusak besar daripada menjamin pemenuhan pangan warganya?
"Apakah pemerintah akan menyuruh warganya untuk mengunyah batu bara, bukan lagi makanan?," kata Merah Johansyah.
Sumber:
http://regional.kompas.com/read/2010/12/10/15114994/Tambang.Ancam.Ketahanan.Pangan.
Sabtu, 11 Desember 2010
Hari Ham Sedunia, Jatam-Walhi Gelar Demo Ketahanan Pangan
Jumat, 10/12/2010/pk/10:22 WITA
wartawan Tribun Kaltim, M Khaidir
SAMARINDA, tribunkaltim.co.id - Memperingati hari Hak Asasi Manusia (HAM) se-dunia, puluhan aktivis Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) dan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kalimantan Barat dan Tengah menggelar unjuk rasa di depan kantor Gubernur Kaltim, Jumat (10/12/2010).
Unjuk rasa mereka gelar dengan cara yang berbeda, yakni dengan melakukan demo memasak dan teaterikal ketahanan pangan. Untuk memasak, mereka membawa dua kompor, wajan, sayur-mayur, ikan dan peralatan lainnya yang langsung mereka masak di arena unjuk rasa. Juru masak pun menggunakan celemek bertuliskan "food not coal" sebagai perwujudan pangan masyarakat bukanlah batu bara.
Sedangkan teaterikal, sebanyak 9 orang diantara mereka melakukannya dengan menyiramkan air berwarna merah ke wajah mereka, dan saling berebut sayur-mayur, ini merupakan simbol bahwa pangan masyarakat telah direbut hanya untuk kepentingan tambang batu bara.
"Mengapa kami melakukan ini semua, adalah sebagai perwujudan bahwa pangan masyarakat bukanlah batu bara, dan lahan pertanian masyarakat telah diserobot untuk batu bara. Dihari HAM ini kami sampaikan, merebut hak-hak pangan masyarakat, adalah pelanggaran HAM berat yang harus dimusnahkan di negeri ini," kata Merah Johansyah, Divisi Hukum dan Humas JATAM Kaltim di sela unjuk rasa. (*)
Sumber:
http://www.tribunkaltim.co.id/read/artikel/73111
wartawan Tribun Kaltim, M Khaidir
SAMARINDA, tribunkaltim.co.id - Memperingati hari Hak Asasi Manusia (HAM) se-dunia, puluhan aktivis Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) dan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kalimantan Barat dan Tengah menggelar unjuk rasa di depan kantor Gubernur Kaltim, Jumat (10/12/2010).
Unjuk rasa mereka gelar dengan cara yang berbeda, yakni dengan melakukan demo memasak dan teaterikal ketahanan pangan. Untuk memasak, mereka membawa dua kompor, wajan, sayur-mayur, ikan dan peralatan lainnya yang langsung mereka masak di arena unjuk rasa. Juru masak pun menggunakan celemek bertuliskan "food not coal" sebagai perwujudan pangan masyarakat bukanlah batu bara.
Sedangkan teaterikal, sebanyak 9 orang diantara mereka melakukannya dengan menyiramkan air berwarna merah ke wajah mereka, dan saling berebut sayur-mayur, ini merupakan simbol bahwa pangan masyarakat telah direbut hanya untuk kepentingan tambang batu bara.
"Mengapa kami melakukan ini semua, adalah sebagai perwujudan bahwa pangan masyarakat bukanlah batu bara, dan lahan pertanian masyarakat telah diserobot untuk batu bara. Dihari HAM ini kami sampaikan, merebut hak-hak pangan masyarakat, adalah pelanggaran HAM berat yang harus dimusnahkan di negeri ini," kata Merah Johansyah, Divisi Hukum dan Humas JATAM Kaltim di sela unjuk rasa. (*)
Sumber:
http://www.tribunkaltim.co.id/read/artikel/73111
Hari HAM, Mandi Pakai Limbah Tambang
Sabtu, 11/12/2010/pk/08:33:00
Memperingati Hari Hak Asasi Manusia (HAM) se-Dunia, Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim menggelar aksi, bukan cuma dalam bentuk orasi, tapi juga demo masak, dan teaterikal di depan Kantor Gubernur (10/12) kemarin.
Puluhan orang ini membawa misi keselamatan pangan di Kaltim. Mereka menyuarakan Food Not Coal. Kalimantan tidak butuh batu bara, tetapi pangan. Acara garapan Jatam ini juga dihadiri perwakilan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalteng, Kalbar, Kalsel, Sumsel, dan Bengkulu.
Sementara itu, dalam aksi teaterikal yang dimainkan 9 orang ini, menceritakan tentang keadaan rakyat sekarang. Bahwa tambang batu bara sudah merenggut lahan pangan mereka. Sehingga menjadi krisis pangan karena tidak ada lagi tempat bercocok tanam. Aksi teaterikal tersebut ditandai dengan mandi menggunakan limbah tambang dan berebut sayur, sementara tangan mereka saling terikat.
Disamping itu juga mereka memasak bersama di pinggir Jalan.
"Pemerintah mengobral 1.269 izin Kuasa Pertambangan (KP) yang mencapai 2,3 juta hektare. Alokasi tersebut menyalip lahan pertanian yang hanya mendapat jatah 2,4 hektare, sungguh ironis. Ini jelas melanggar HAM," seru Merah Johansyah, divisi Advokasi dan Hukum Jatam Kaltim. (*/adc)
Sumber:
http://www.kaltimpost.co.id/index.php?mib=berita.detail&id=82314
Memperingati Hari Hak Asasi Manusia (HAM) se-Dunia, Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim menggelar aksi, bukan cuma dalam bentuk orasi, tapi juga demo masak, dan teaterikal di depan Kantor Gubernur (10/12) kemarin.
Puluhan orang ini membawa misi keselamatan pangan di Kaltim. Mereka menyuarakan Food Not Coal. Kalimantan tidak butuh batu bara, tetapi pangan. Acara garapan Jatam ini juga dihadiri perwakilan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalteng, Kalbar, Kalsel, Sumsel, dan Bengkulu.
Sementara itu, dalam aksi teaterikal yang dimainkan 9 orang ini, menceritakan tentang keadaan rakyat sekarang. Bahwa tambang batu bara sudah merenggut lahan pangan mereka. Sehingga menjadi krisis pangan karena tidak ada lagi tempat bercocok tanam. Aksi teaterikal tersebut ditandai dengan mandi menggunakan limbah tambang dan berebut sayur, sementara tangan mereka saling terikat.
Disamping itu juga mereka memasak bersama di pinggir Jalan.
"Pemerintah mengobral 1.269 izin Kuasa Pertambangan (KP) yang mencapai 2,3 juta hektare. Alokasi tersebut menyalip lahan pertanian yang hanya mendapat jatah 2,4 hektare, sungguh ironis. Ini jelas melanggar HAM," seru Merah Johansyah, divisi Advokasi dan Hukum Jatam Kaltim. (*/adc)
Sumber:
http://www.kaltimpost.co.id/index.php?mib=berita.detail&id=82314
Jumat, 19 November 2010
PROFILE
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia
(WALHI) Kalimantan Barat
Visi WALHI Kalbar 2009 - 2013 :
Menjadi gerakan
sosial lingkungan yang kuat, populis dan dinamis-konsisten dalam memperjuangkan akses dan kontrol rakyat atas lingkungan hidup dan sumber-sumber kehidupan di Kalimantan
MISI WALHI Kalbar 2009 - 2013 :
1. Memperkuat konsolidasi anggota lembaga, perorangan dan sahabat Walhi serta mitra-mitra potensial sehingga menjadi organisasi lingkungan berbasis rakyat
2. Memperkuat dan memastikan gerakan politik rakyat mampu melawan penindasan dan ketidakadilan secara efektif;
3. Memperkuat akses dan kontrol rakyat atas lingkungan hidup dan sumber-sumber kehidupan;
4. Menumbuhkan kesadaran dan kepedulian publik pada persoalan-persoalan lingkungan hidup;
5. Adanya jaminan keselamatan kawasan-kawasan ekologi genting sebagai sumber-sumber kehidupan rakyat dari ancaman ekspansi modal skala besar
LATAR BELAKANG
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Kalbar adalah SEBUAH FORUM ORGANISASI NON-PEMERINTAH (ORNOP) DAN KELOMPOK MASYARAKAT YANG MEMILIKI KEPEDULIAN PADA MASALAH-MASALAH LINGKUNGAN HIDUP DI KALBAR. Forum ini di dirikan pada tahun 1990 di Kalbar sebagai reaksi dan keprihatinan atas masalah-masalah lingkungan hidup serta ketidak-adilan dalam pengelolaan sumber daya alam, yang di akibatkan oleh kegiatan pembangunan di Kalimantan Barat
Forum tertinggi WALHI dalam pembuatan kebijakan / keputusan adalah Pertemuan Nasional Lingkungan Hidup (PNLH) yang dilakukan setiap 3 tahun dan ditingkat daerah adalah Pertemuan daerah Lingkunagn Hidup (PDLH). Forum ini menerima dan mengesahkan pertanggung jawaban Eksekutif daerah dan Dewan Daerah ; mengevaluasi kegiatan yang dilakukan oleh seluruh komponen WALHI selama 1 periode ; merumuskan strategi dan kebijakan dasar WALHI. Pertemuan ini dihadiri dengan tegas tidak menerima sumbangan atau hibah dari perorangan / lembaga yang terbukti sebagai perusak lingkungan seperti Bank Dunia, HPH, Perusahaan perkebunan kelapa sawit dan HTI
(WALHI) Kalimantan Barat
Visi WALHI Kalbar 2009 - 2013 :
Menjadi gerakan
sosial lingkungan yang kuat, populis dan dinamis-konsisten dalam memperjuangkan akses dan kontrol rakyat atas lingkungan hidup dan sumber-sumber kehidupan di Kalimantan
MISI WALHI Kalbar 2009 - 2013 :
1. Memperkuat konsolidasi anggota lembaga, perorangan dan sahabat Walhi serta mitra-mitra potensial sehingga menjadi organisasi lingkungan berbasis rakyat
2. Memperkuat dan memastikan gerakan politik rakyat mampu melawan penindasan dan ketidakadilan secara efektif;
3. Memperkuat akses dan kontrol rakyat atas lingkungan hidup dan sumber-sumber kehidupan;
4. Menumbuhkan kesadaran dan kepedulian publik pada persoalan-persoalan lingkungan hidup;
5. Adanya jaminan keselamatan kawasan-kawasan ekologi genting sebagai sumber-sumber kehidupan rakyat dari ancaman ekspansi modal skala besar
LATAR BELAKANG
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Kalbar adalah SEBUAH FORUM ORGANISASI NON-PEMERINTAH (ORNOP) DAN KELOMPOK MASYARAKAT YANG MEMILIKI KEPEDULIAN PADA MASALAH-MASALAH LINGKUNGAN HIDUP DI KALBAR. Forum ini di dirikan pada tahun 1990 di Kalbar sebagai reaksi dan keprihatinan atas masalah-masalah lingkungan hidup serta ketidak-adilan dalam pengelolaan sumber daya alam, yang di akibatkan oleh kegiatan pembangunan di Kalimantan Barat
Forum tertinggi WALHI dalam pembuatan kebijakan / keputusan adalah Pertemuan Nasional Lingkungan Hidup (PNLH) yang dilakukan setiap 3 tahun dan ditingkat daerah adalah Pertemuan daerah Lingkunagn Hidup (PDLH). Forum ini menerima dan mengesahkan pertanggung jawaban Eksekutif daerah dan Dewan Daerah ; mengevaluasi kegiatan yang dilakukan oleh seluruh komponen WALHI selama 1 periode ; merumuskan strategi dan kebijakan dasar WALHI. Pertemuan ini dihadiri dengan tegas tidak menerima sumbangan atau hibah dari perorangan / lembaga yang terbukti sebagai perusak lingkungan seperti Bank Dunia, HPH, Perusahaan perkebunan kelapa sawit dan HTI
Senin, 15 November 2010
Propinsi Kalbar Terancam Bencana Banjir.
Ancaman bencana Banjir di Propinsi Kalimantan Barat sangat tergantung dari sikap pemerintah terhadap para pemohon ijin pengelolaan hutan . Dari luas hutan 9 juta hektar saat ini , menurut Wahana Lingkungan Hidup 3,7 juta hektar masih menunggu keluarnya ijin ekploitasi hutan dari pemerintah . Sedangkan 600.000 hektar sudah disetujui Pemerintah Daerah Kalbar .
Direktur Walhi Kalbar Hendi Chandra menjelaskan, jika perizinan itu disetujui Pemerintah, maka keberadaan hutan di Daerah ini semakin terkikis. Saat ini saja, bencana banjir yang diakibatkan luapan air sungai karena berkurangnya daerah resapan air, kerap kali melanda sejumlah Daerah.Jika perubahan peruntukan ini masih terus dilakukan, maka dikhawatirkan, bencana yang lebih besar akan muncul, karena alam yang sudah tidak terawat.
Direktur Walhi Kalbar Hendi Chandra juga menyatakan, aktifitas Penambangan Emas Tanpa Izin – PETI yang dilakukan Masyarakat di sepanjang Sungai Kapuas dan Sungai Landak menambah daftar panjang penyebab bencana banjir yang terjadi selama ini.Karenanya Walhi berharap Pemerintah Daerah segera melakukan tindakan nyata, bukan sekedar ceremony dan pernyataan politis saja. Selain itu, Walhi yang peduli dan konsen terhadap kondisi lingkungan ini, juga mendesak agar Pemerintah Pusat dan Daerah tidak sembarangan memberikan izin perubahan hutan menjadi perkebunan sawit, karena perubahan peruntukan itu dinilai mejadi penyebab rusaknya lingkungan dan terjadinya bencana banjir selama ini.// Apalagi dari kondisi yang ada, hampir seluruh Kabupaten Kota di Provinsi kalbar di lewati arus Sungai yang airnya bisa meluap kapan saja terlebih jika intensitas hujan tinggi seperti sekarang (Apolonius Welly ptk )
Sumber:
http://www.infosketsa.com/index.php?option=com_content&view=article&id=3667%3Apropinsi-kalbar-terancam-bencana-banjir&catid=51%3Aberita-foto&Itemid=1
Direktur Walhi Kalbar Hendi Chandra menjelaskan, jika perizinan itu disetujui Pemerintah, maka keberadaan hutan di Daerah ini semakin terkikis. Saat ini saja, bencana banjir yang diakibatkan luapan air sungai karena berkurangnya daerah resapan air, kerap kali melanda sejumlah Daerah.Jika perubahan peruntukan ini masih terus dilakukan, maka dikhawatirkan, bencana yang lebih besar akan muncul, karena alam yang sudah tidak terawat.
Direktur Walhi Kalbar Hendi Chandra juga menyatakan, aktifitas Penambangan Emas Tanpa Izin – PETI yang dilakukan Masyarakat di sepanjang Sungai Kapuas dan Sungai Landak menambah daftar panjang penyebab bencana banjir yang terjadi selama ini.Karenanya Walhi berharap Pemerintah Daerah segera melakukan tindakan nyata, bukan sekedar ceremony dan pernyataan politis saja. Selain itu, Walhi yang peduli dan konsen terhadap kondisi lingkungan ini, juga mendesak agar Pemerintah Pusat dan Daerah tidak sembarangan memberikan izin perubahan hutan menjadi perkebunan sawit, karena perubahan peruntukan itu dinilai mejadi penyebab rusaknya lingkungan dan terjadinya bencana banjir selama ini.// Apalagi dari kondisi yang ada, hampir seluruh Kabupaten Kota di Provinsi kalbar di lewati arus Sungai yang airnya bisa meluap kapan saja terlebih jika intensitas hujan tinggi seperti sekarang (Apolonius Welly ptk )
Sumber:
http://www.infosketsa.com/index.php?option=com_content&view=article&id=3667%3Apropinsi-kalbar-terancam-bencana-banjir&catid=51%3Aberita-foto&Itemid=1
Jumat, 12 November 2010
Peringatan Hari Pahlawan, Walhi Ajak Anak TK Primanda Peduli Lingkungan
Kamis, 11/11/2010/pk/10:01
Oleh: Viodeogo
Banyak cara untuk memperingati Hari Pahlawan, tidak hanya mengheningkan cipta mengingat jasa para pahlawan. WALHI Kalbar mencoba dengan gerakan yang berbeda, yakni mengajak anak-anak TK Primanda menonton film tentang hutan dan membersihkan sampah di sekitar lingkungan, Rabu (10/11).
Selain menonton film, Walhi juga memberikan pigura bertemakan melindungi pohon-pohon di hutan kepada TK yang berlokasi di Jalan Ketapang. Ada juga pemberian buku bergambar berjudul 17 Tulah, yang isinya menceritakan kehidupan masyarakat di perkampungan. Buku tersebut dibagikan kepada murid-murid TK dengan tampilan gambaran seperti komik.
“Anak-anak ini mencoba menjadi pahlawan bagi dirinya sendiri, walaupun kecil perannya seperti membersihkan sampah tetapi itu membuktikan peduli lingkungan hidup dan mereka bisa menceritakan kepada teman-teman lainnya,” kata Adam, dari perwakilan Walhi.
“Kita melihat semua pihak memiliki peran melindungi hutan, termasuk juga anak TK. Walhi ajak mereka untuk menonton film dokumenter selama 7 menit bertema “Anak dan Hutan,” tambahnya. Menurutnya, film tersebut menggambarkan anak-anak di sebuah perkampungan dan harus kehilangan tempat bermain, karena hutan tempat mencari sayur-sayuran telah menjadi lahan perkebunan sawit. “Ini bagian kita untuk menambahkan kesadaran masyarakat untuk peduli lingkungan hidup,” ungkapnya.
Kepala Sekolah TK Primanda, Kartina mengatakan kegiatan yang diikuti 60 murid TK dan 7 guru ini dimaksudkan agar peringatan hari pahlawan yang jatuh pada tanggal 10 November dikenang salah satunya dengan cara kepedulian terhadap lingkungan.
“Biasanya peringatan hari nasional, seperti Hari Kartini hanya mengheningkan cipta, tapi sekarang berbeda di hari Pahlawan,” ungkap Kartina. Sekolah TK Primanda, biasanya setiap semester pertama di minggu ke-15 mengajak murid Tk menanam tanaman sebagai bentuk kepedulian terhadap lingkungan hidup. Bentuk kepedulian lainnya, guru-guru bersama-sama murid membersihkan sampah setiap hari.
Walhi dalam bulan ini akan mengadakan pemilihan Duta Lingkungan Hidup bagi TK Primanda. Tujuannya supaya anak-anak yang terpilih mengkampanyekan kebersihan lingkungan, dan kepedulian lingkungan kepada teman-teman dekatnya.
Sumber:
http://www.borneotribune.com/pendidikan/peringatan-hari-pahlawan-walhi-ajak-anak-tk-primanda-peduli-lingkungan.html
Oleh: Viodeogo
Banyak cara untuk memperingati Hari Pahlawan, tidak hanya mengheningkan cipta mengingat jasa para pahlawan. WALHI Kalbar mencoba dengan gerakan yang berbeda, yakni mengajak anak-anak TK Primanda menonton film tentang hutan dan membersihkan sampah di sekitar lingkungan, Rabu (10/11).
Selain menonton film, Walhi juga memberikan pigura bertemakan melindungi pohon-pohon di hutan kepada TK yang berlokasi di Jalan Ketapang. Ada juga pemberian buku bergambar berjudul 17 Tulah, yang isinya menceritakan kehidupan masyarakat di perkampungan. Buku tersebut dibagikan kepada murid-murid TK dengan tampilan gambaran seperti komik.
“Anak-anak ini mencoba menjadi pahlawan bagi dirinya sendiri, walaupun kecil perannya seperti membersihkan sampah tetapi itu membuktikan peduli lingkungan hidup dan mereka bisa menceritakan kepada teman-teman lainnya,” kata Adam, dari perwakilan Walhi.
“Kita melihat semua pihak memiliki peran melindungi hutan, termasuk juga anak TK. Walhi ajak mereka untuk menonton film dokumenter selama 7 menit bertema “Anak dan Hutan,” tambahnya. Menurutnya, film tersebut menggambarkan anak-anak di sebuah perkampungan dan harus kehilangan tempat bermain, karena hutan tempat mencari sayur-sayuran telah menjadi lahan perkebunan sawit. “Ini bagian kita untuk menambahkan kesadaran masyarakat untuk peduli lingkungan hidup,” ungkapnya.
Kepala Sekolah TK Primanda, Kartina mengatakan kegiatan yang diikuti 60 murid TK dan 7 guru ini dimaksudkan agar peringatan hari pahlawan yang jatuh pada tanggal 10 November dikenang salah satunya dengan cara kepedulian terhadap lingkungan.
“Biasanya peringatan hari nasional, seperti Hari Kartini hanya mengheningkan cipta, tapi sekarang berbeda di hari Pahlawan,” ungkap Kartina. Sekolah TK Primanda, biasanya setiap semester pertama di minggu ke-15 mengajak murid Tk menanam tanaman sebagai bentuk kepedulian terhadap lingkungan hidup. Bentuk kepedulian lainnya, guru-guru bersama-sama murid membersihkan sampah setiap hari.
Walhi dalam bulan ini akan mengadakan pemilihan Duta Lingkungan Hidup bagi TK Primanda. Tujuannya supaya anak-anak yang terpilih mengkampanyekan kebersihan lingkungan, dan kepedulian lingkungan kepada teman-teman dekatnya.
Sumber:
http://www.borneotribune.com/pendidikan/peringatan-hari-pahlawan-walhi-ajak-anak-tk-primanda-peduli-lingkungan.html
Selasa, 26 Oktober 2010
Sarankan Investigasi Tandingan, Aman-Walhi Jawab Bantahan Korem
Sabtu, 20/02/2010//pk/09:46
Borneo Tribune, Pontianak.
By. Hentakun
Aman-Telapak dan Komando Resort Militer (Korem) 121/ABW bak berbalas pantun saja. Yang satu membantah sementara satunya lagi membeberkan bukti.
Aman-Telapak dan Komando Resort Militer (Korem) 121/ABW bak berbalas pantun saja. Yang satu membantah sementara satunya lagi membeberkan bukti.
Perseteruan itu menyusul temuan investigasi Telapak-Aman atas dugaan keterlibatan oknum anggota TNI dari kesatuan 642 Sintang yang mengintimidasi masyarakat Desa Semunying Jaya, Kecamatan Jagoy Babang, Bengkayang.
Ditemui di Kantor Walhi Kalbar, Jumat (19/2), Ketua BPH Aman Kalbar, Sujarni Alloy menanggapi bantahan Kasi Intel Korem, Letkol, (Kav). Agung Alamsyah, yang dilansir Borneo Tribune Jumat (19/2).
Korem membantah tudingan sebagaimana dilaporkan dalam investigasi Aman-Telapak tersebut. Sebab sikap Korem (TNI) jelas tidak pernah mentolerir anggota yang melanggar aturan, karena selama anggota bertugas di lapangan, selalu menekankan baik lisan, maupun dengan surat agar selalu menjaga nama baik TNI, sebagaimana ditegaskan Agung.
Namun menurut Sujarni Alloy, indikasi keterlibatan oknum aparat didasarkan pada kejadian di lapangan, fakta, dimana ada proses pembiaran penebangan kayu secara ilegal yang dilakukan karyawan tebang tebas PT Ledo Lestari. ”PT Ledo Lestari, sejak 2007 ijin sudah habis melalui SK Bupati Bengkayang No. 400/0528/BPN/UI/2009, kenapa dibiarkan terus membabat hutan?” kata Alloy setengah bertanya.
Selain itu, tambah Alloy, perusahaan juga tidak mengantongi ijin pelepasan kawasan (IPK) hutan dari menteri kehutanan.
Kepala Divisi Advokasi Walhi Kalbar, Nikodemus menjelaskan, lokasi yang dibabat perusahaan itu hutan adat dan dijaga masyarakat, kenapa dibiarkan ditebang? Masyarakat saja tidak melakukan penebangan, harusnya aparat juga demikian,” Niko.
Investigasi tandingan
Aman dan Walhi juga menyarankan Korem melakukan investigasi tandingan untuk memastikan ada keterlibatan oknum TNI atau tidak. “Silakan Korem melakukan investigasi tandingan ke lapangan dan melakukan pertemuan dengan masyarakat Semunying Jaya, agar tidak mendapat informasi sepihak, jika dianggap investigasi kami sepihak,” tantang Alloy.
Kata Alloy, karena selama ini masyarakat Semunying Jaya tidak berdaya, karena laporan masyarakat tidak mendapat respon dari pihak manapun, yang sudah dilaporkan pun tidak ada tindak lanjut apalagi aparat.
Dewan Daerah Eksekutif Walhi Kalbar, Bung Tomo menambahkan, militer dalam menyelesaikan masalah untuk tidak bertindakan refresif layaknya orde baru. “Kejadian ini bisa membuktikan mana yang benar-benar nasionalis dan tidak nasionalis. Masyarakat Semunying dengan menjaga hutan itu menunjukan kecintaan mereka terhadap negara ini, sejak konfrontasi (Malaysia) mereka sudah membela tanah air,” kata Bung Tomo.
Dihubungi via telepon, Jamaludin, warga Semunying Jaya membenarkan keterlibatan oknum aparat, yang dibuktikan dengan foto-foto. “Kami punya foto aparat yang yang menghadang masyarakat, nanti saya bawa ke Pontianak,” kata Jamaludin singkat.
Sumber:
http://www.borneotribune.com/headline/sarankan-investigasi-tandingan-aman-walhi-jawab-bantahan-korem.html
Borneo Tribune, Pontianak.
By. Hentakun
Aman-Telapak dan Komando Resort Militer (Korem) 121/ABW bak berbalas pantun saja. Yang satu membantah sementara satunya lagi membeberkan bukti.
Aman-Telapak dan Komando Resort Militer (Korem) 121/ABW bak berbalas pantun saja. Yang satu membantah sementara satunya lagi membeberkan bukti.
Perseteruan itu menyusul temuan investigasi Telapak-Aman atas dugaan keterlibatan oknum anggota TNI dari kesatuan 642 Sintang yang mengintimidasi masyarakat Desa Semunying Jaya, Kecamatan Jagoy Babang, Bengkayang.
Ditemui di Kantor Walhi Kalbar, Jumat (19/2), Ketua BPH Aman Kalbar, Sujarni Alloy menanggapi bantahan Kasi Intel Korem, Letkol, (Kav). Agung Alamsyah, yang dilansir Borneo Tribune Jumat (19/2).
Korem membantah tudingan sebagaimana dilaporkan dalam investigasi Aman-Telapak tersebut. Sebab sikap Korem (TNI) jelas tidak pernah mentolerir anggota yang melanggar aturan, karena selama anggota bertugas di lapangan, selalu menekankan baik lisan, maupun dengan surat agar selalu menjaga nama baik TNI, sebagaimana ditegaskan Agung.
Namun menurut Sujarni Alloy, indikasi keterlibatan oknum aparat didasarkan pada kejadian di lapangan, fakta, dimana ada proses pembiaran penebangan kayu secara ilegal yang dilakukan karyawan tebang tebas PT Ledo Lestari. ”PT Ledo Lestari, sejak 2007 ijin sudah habis melalui SK Bupati Bengkayang No. 400/0528/BPN/UI/2009, kenapa dibiarkan terus membabat hutan?” kata Alloy setengah bertanya.
Selain itu, tambah Alloy, perusahaan juga tidak mengantongi ijin pelepasan kawasan (IPK) hutan dari menteri kehutanan.
Kepala Divisi Advokasi Walhi Kalbar, Nikodemus menjelaskan, lokasi yang dibabat perusahaan itu hutan adat dan dijaga masyarakat, kenapa dibiarkan ditebang? Masyarakat saja tidak melakukan penebangan, harusnya aparat juga demikian,” Niko.
Investigasi tandingan
Aman dan Walhi juga menyarankan Korem melakukan investigasi tandingan untuk memastikan ada keterlibatan oknum TNI atau tidak. “Silakan Korem melakukan investigasi tandingan ke lapangan dan melakukan pertemuan dengan masyarakat Semunying Jaya, agar tidak mendapat informasi sepihak, jika dianggap investigasi kami sepihak,” tantang Alloy.
Kata Alloy, karena selama ini masyarakat Semunying Jaya tidak berdaya, karena laporan masyarakat tidak mendapat respon dari pihak manapun, yang sudah dilaporkan pun tidak ada tindak lanjut apalagi aparat.
Dewan Daerah Eksekutif Walhi Kalbar, Bung Tomo menambahkan, militer dalam menyelesaikan masalah untuk tidak bertindakan refresif layaknya orde baru. “Kejadian ini bisa membuktikan mana yang benar-benar nasionalis dan tidak nasionalis. Masyarakat Semunying dengan menjaga hutan itu menunjukan kecintaan mereka terhadap negara ini, sejak konfrontasi (Malaysia) mereka sudah membela tanah air,” kata Bung Tomo.
Dihubungi via telepon, Jamaludin, warga Semunying Jaya membenarkan keterlibatan oknum aparat, yang dibuktikan dengan foto-foto. “Kami punya foto aparat yang yang menghadang masyarakat, nanti saya bawa ke Pontianak,” kata Jamaludin singkat.
Sumber:
http://www.borneotribune.com/headline/sarankan-investigasi-tandingan-aman-walhi-jawab-bantahan-korem.html
Kamis, 21 Oktober 2010
Walhi Kalimantan Kecam Renstra Nasional REDD
Jumat, 15/10/2010/pk/14:23 WIB
Samarinda (ANTARA News) - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) se- Kalimantan mengecam Rencana Strategi (Renstra) Nasional tentang Reduction Emission from Deforestation and Degradation (REDD), karena dianggap tak berpihak pada rakyat.
"REDD atau Penurunan Emisi dari Deforestrasi dan Degradasi Hutan masih sangat kental dengan nuansa politik dagang karbon hutan, tidak mengutamakan keselamatan ekologi dan hak kelola rakyat," kata Direktur Eksekutif Walhi Kaltim, Isal Wardhana, di Samarinda, Jumat.
Seharusnya, menurut Isal, pemerintah lebih memperhatikan hak kelola rakyat atas berbagai sumber penghidupan warga setempat, namun justru lebih menyerahkan kebijakan politik iklim Indonesia kepada negara-negara maju yang memiliki andil besar terhadap rusaknya ekologi di Kalimantan dan kepulauan Indonesia.
Kalimantan merupakan pulau besar yang strategis untuk dijadikan korban proyek percontohan REDD.
Pemerintahan di pulau kalimantan umumnya masih mengandalkan alih fungsi hutan untuk perluasan industri ekstraktif, seperti perkebunan skala besar, Hak Pengusahaan Hutan (HPH), Hutan Tanaman Industri (HTI) dan pertambangan skala besar.
Hal ini bisa dilihat dari usulan RTRWP Kalimantan, yakni tingkat konversi hutan masih sangat tinggi hingga mencapai 7,3 juta hektare dengan rincian, 2,9 juta hektare di Kalteng, 1,3 juta hektare di Kaltim), 1,7 juta hektare di Kalbar, dan 1,4 juta hektare di Kalsel yang sudah digunakan aktifitas perkebunan, pertambangan dan HTI.
Rekam jejak kerusakan ini berakibat pada semakin banyaknya tunggakan masalah yang terjadi dalam konteks pengelolaan sumber penghidupan rakyat, seperti konflik hak lahan, konflik sosial hingga konflik pengelolaan kawasan kelola rakyat.
Diterapkannya REDD di Kalimantan dan Indonesia pada umumnya akan secara signifikan berdampak pada semakin tingginya konflik pengelolaan kawasan hutan, mengingat kebijakan dan regulasi implementasi REDD di Indonesia tidak berpihak pada masyarakat yang hidup di sekitar dan dalam kawasan hutan.
Negara maju, lanjutnya, harus bertanggung jawab atas hutang ekologi yang kini menjadi tanggung jawab mutlak bagi semua negara termasuk Indonesia. selain itu, negara maju seharusnya memiliki komitmen kuat dalam menurunkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK).
Pasalnya, GRK yang merupakan dari aktivitas industri dan pola hidup yang banyak mengeluarkan energi, menjadi komponen terbesar terjadinya perubahan iklim.
Selama ini negara-negara maju justru menghindari tanggung jawab dan memindahkan persoalan ini ke negara-negara selatan (termasuk Indonesia) yang memiliki hutan. Namun nyatannya masih terdapat persoalan dengan tata kelola kehutanan, persoalan kemiskinan serta sumber daya manusia.
Kompensasi pembiayaan iklim yang diusung sudah pasti merugikan bangsa Indonesia, karena menggunakan mekanisme hutang yang akan membebani anggaran negara.
(ANT/P003)
Sumber:
http://www.antaranews.com/berita/1287127388/walhi-kalimantan-kecam-renstra-nasional-redd
Samarinda (ANTARA News) - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) se- Kalimantan mengecam Rencana Strategi (Renstra) Nasional tentang Reduction Emission from Deforestation and Degradation (REDD), karena dianggap tak berpihak pada rakyat.
"REDD atau Penurunan Emisi dari Deforestrasi dan Degradasi Hutan masih sangat kental dengan nuansa politik dagang karbon hutan, tidak mengutamakan keselamatan ekologi dan hak kelola rakyat," kata Direktur Eksekutif Walhi Kaltim, Isal Wardhana, di Samarinda, Jumat.
Seharusnya, menurut Isal, pemerintah lebih memperhatikan hak kelola rakyat atas berbagai sumber penghidupan warga setempat, namun justru lebih menyerahkan kebijakan politik iklim Indonesia kepada negara-negara maju yang memiliki andil besar terhadap rusaknya ekologi di Kalimantan dan kepulauan Indonesia.
Kalimantan merupakan pulau besar yang strategis untuk dijadikan korban proyek percontohan REDD.
Pemerintahan di pulau kalimantan umumnya masih mengandalkan alih fungsi hutan untuk perluasan industri ekstraktif, seperti perkebunan skala besar, Hak Pengusahaan Hutan (HPH), Hutan Tanaman Industri (HTI) dan pertambangan skala besar.
Hal ini bisa dilihat dari usulan RTRWP Kalimantan, yakni tingkat konversi hutan masih sangat tinggi hingga mencapai 7,3 juta hektare dengan rincian, 2,9 juta hektare di Kalteng, 1,3 juta hektare di Kaltim), 1,7 juta hektare di Kalbar, dan 1,4 juta hektare di Kalsel yang sudah digunakan aktifitas perkebunan, pertambangan dan HTI.
Rekam jejak kerusakan ini berakibat pada semakin banyaknya tunggakan masalah yang terjadi dalam konteks pengelolaan sumber penghidupan rakyat, seperti konflik hak lahan, konflik sosial hingga konflik pengelolaan kawasan kelola rakyat.
Diterapkannya REDD di Kalimantan dan Indonesia pada umumnya akan secara signifikan berdampak pada semakin tingginya konflik pengelolaan kawasan hutan, mengingat kebijakan dan regulasi implementasi REDD di Indonesia tidak berpihak pada masyarakat yang hidup di sekitar dan dalam kawasan hutan.
Negara maju, lanjutnya, harus bertanggung jawab atas hutang ekologi yang kini menjadi tanggung jawab mutlak bagi semua negara termasuk Indonesia. selain itu, negara maju seharusnya memiliki komitmen kuat dalam menurunkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK).
Pasalnya, GRK yang merupakan dari aktivitas industri dan pola hidup yang banyak mengeluarkan energi, menjadi komponen terbesar terjadinya perubahan iklim.
Selama ini negara-negara maju justru menghindari tanggung jawab dan memindahkan persoalan ini ke negara-negara selatan (termasuk Indonesia) yang memiliki hutan. Namun nyatannya masih terdapat persoalan dengan tata kelola kehutanan, persoalan kemiskinan serta sumber daya manusia.
Kompensasi pembiayaan iklim yang diusung sudah pasti merugikan bangsa Indonesia, karena menggunakan mekanisme hutang yang akan membebani anggaran negara.
(ANT/P003)
Sumber:
http://www.antaranews.com/berita/1287127388/walhi-kalimantan-kecam-renstra-nasional-redd
Masyarakat yang Tolak Sawit Dikriminalisasi
Selasa, 12/10/2010/pk/13:36 WIB
Pontianak (ANTARA News) - Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalimantan Barat Hendi Chandra menyatakan ada upaya kriminalisasi oleh pemilik perkebunan sawit di Kabupaten Ketapang terhadap masyarakat yang menolak daerahnya dikembangkan sawit.
"Buktinya dua masyarakat Desa Silat Hulu, Kecamatan Marau, Kabupaten Ketapang yakni Pitalis Andi dan Japin telah tiga kali didakwa jaksa penuntut umum setempat meskipun hakim Pengadilan Negeri Ketapang membatalkan demi hukum untuk tuntutan pertama dan kedua," kata Hendi Chandra di Pontianak, Selasa.
Ia menjelaskan, dibatalkannya dakwaan JPU karena kasus itu telah diselesaikan secara adat antara kedua terdakwa dan PT. Bangun Nusa Mandiri milik anak perusahaan PT. Sinar Mas Group.
"Tetapi kenapa JPU tetap ngotot. Untuk dakwaan ketiga saat ini dalam tahap pemeriksaan saksi dari pihak kejaksaan dan perusahaan," ujarnya.
Walhi Kalbar dalam kasus ini memberikan pendampingan hukum bagi kedua masyarakat tersebut.
"Kami tidak akan melakukan eksepsi atas dakwaan ketiga agar kasusnya cepat diselesaikan," kata Hendi.
Hendi menambahkan, kedua masyarakat itu dijerat UU No. 18 tahun 2004 tentang Perkebunan dengan ancaman kurungan maksimal lima tahun.
"Kami berharap pemilik perkebunan secara profesional dalam melakukan pengembangan perkebunan sawit tidak mengorbankan kepentingan orang banyak dan tidak melakukan kriminalisasi," ujarnya.
Ia mengatakan, kedua warga itu dituduh melakukan tindak kriminal karena telah menyandera dua unit alat berat milik perkebunan itu. Kondisi di lapangan malah pemilik perkebunan itu yang melakukan perusakan terhadap kebun karet yang sah milik masyarakat setempat sehingga memicu perselisihan antara masyarakat dengan pemilik perkebunan.
PT. Bangun Nusa Mandiri anak perusahaan PT. Sinar Mas Group hingga kini baru memiliki izin usaha perkebunan di Kabupaten Ketapang seluas 18 ribu hektare dan belum memiliki Hak Guna Usaha terhadap tanah yang akan digunakan untuk perkebunan sawit tersebut, kata Hendi.
Sawit Watch, mencatat sejak 30 tahun terakhir sudah 1.753 kasus konflik yang terjadi antara pemilik perkebunan dengan masyarakat sekitar perkebunan karena masyarakat merasa haknya sudah terampas.
Dari luas perkebunan sawit se-Indonesia 7,3 juta hektare, sebesar 1,3 juta hektare lahan perkebunan sawit berkonflik.
Produksi CPO (Crude Palm Oil) Kalbar sebesar 800 ribu ton per tahun dengan luas lahan perkebunan yang baru produksi sekitar 200 ribu hektare.
Pemerintah kabupaten/kota di Kalbar telah menerbitkan info lahan seluas 4,6 juta hektare untuk perkebunan sawit. Meski info lahan yang diterbitkan amat luas, namun realisasi penanaman sawit di Kalbar baru sekitar 10 persen atau 400 ribu hektare, dengan jumlah petani sawit sekitar 80 ribu kepala keluarga.
(A057/R007)
Sumber:
http://www.antaranews.com/berita/1286865418/masyarakat-yang-tolak-sawit-dikriminalisasi
Pontianak (ANTARA News) - Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalimantan Barat Hendi Chandra menyatakan ada upaya kriminalisasi oleh pemilik perkebunan sawit di Kabupaten Ketapang terhadap masyarakat yang menolak daerahnya dikembangkan sawit.
"Buktinya dua masyarakat Desa Silat Hulu, Kecamatan Marau, Kabupaten Ketapang yakni Pitalis Andi dan Japin telah tiga kali didakwa jaksa penuntut umum setempat meskipun hakim Pengadilan Negeri Ketapang membatalkan demi hukum untuk tuntutan pertama dan kedua," kata Hendi Chandra di Pontianak, Selasa.
Ia menjelaskan, dibatalkannya dakwaan JPU karena kasus itu telah diselesaikan secara adat antara kedua terdakwa dan PT. Bangun Nusa Mandiri milik anak perusahaan PT. Sinar Mas Group.
"Tetapi kenapa JPU tetap ngotot. Untuk dakwaan ketiga saat ini dalam tahap pemeriksaan saksi dari pihak kejaksaan dan perusahaan," ujarnya.
Walhi Kalbar dalam kasus ini memberikan pendampingan hukum bagi kedua masyarakat tersebut.
"Kami tidak akan melakukan eksepsi atas dakwaan ketiga agar kasusnya cepat diselesaikan," kata Hendi.
Hendi menambahkan, kedua masyarakat itu dijerat UU No. 18 tahun 2004 tentang Perkebunan dengan ancaman kurungan maksimal lima tahun.
"Kami berharap pemilik perkebunan secara profesional dalam melakukan pengembangan perkebunan sawit tidak mengorbankan kepentingan orang banyak dan tidak melakukan kriminalisasi," ujarnya.
Ia mengatakan, kedua warga itu dituduh melakukan tindak kriminal karena telah menyandera dua unit alat berat milik perkebunan itu. Kondisi di lapangan malah pemilik perkebunan itu yang melakukan perusakan terhadap kebun karet yang sah milik masyarakat setempat sehingga memicu perselisihan antara masyarakat dengan pemilik perkebunan.
PT. Bangun Nusa Mandiri anak perusahaan PT. Sinar Mas Group hingga kini baru memiliki izin usaha perkebunan di Kabupaten Ketapang seluas 18 ribu hektare dan belum memiliki Hak Guna Usaha terhadap tanah yang akan digunakan untuk perkebunan sawit tersebut, kata Hendi.
Sawit Watch, mencatat sejak 30 tahun terakhir sudah 1.753 kasus konflik yang terjadi antara pemilik perkebunan dengan masyarakat sekitar perkebunan karena masyarakat merasa haknya sudah terampas.
Dari luas perkebunan sawit se-Indonesia 7,3 juta hektare, sebesar 1,3 juta hektare lahan perkebunan sawit berkonflik.
Produksi CPO (Crude Palm Oil) Kalbar sebesar 800 ribu ton per tahun dengan luas lahan perkebunan yang baru produksi sekitar 200 ribu hektare.
Pemerintah kabupaten/kota di Kalbar telah menerbitkan info lahan seluas 4,6 juta hektare untuk perkebunan sawit. Meski info lahan yang diterbitkan amat luas, namun realisasi penanaman sawit di Kalbar baru sekitar 10 persen atau 400 ribu hektare, dengan jumlah petani sawit sekitar 80 ribu kepala keluarga.
(A057/R007)
Sumber:
http://www.antaranews.com/berita/1286865418/masyarakat-yang-tolak-sawit-dikriminalisasi
Rabu, 06 Oktober 2010
DAS Kalimantan Barat Tercemar Pertambangan dan Sawit
Wednesday, 06/10/2010/pk/12:25
Aceng Mukaram, Kontributor KBR68H Kalimantan Barat
Lebih dari 30 persen Daerah Aliran Sungai (DAS) di Kalimantan Barat mengalami kerusakan yang parah. Air di DAS itu berwarna kuning kehitaman dan berkarat.
Juru Bicara Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalbar, Hendrikus Adam mengatakan, kerusakan ini disebabkan penambangan ilegal, pembukaan perkebunan sawit dan Hutan Tanaman Industri (HTI).
Hendrikus mencontohkan, salah satu DAS yang paling rusak terdapat di Kabupaten Landak. Di kabupaten itu semua sungai utama dan kecil dalam kondisi tercemar. Air sungai, tambahnya, tidak layak dikonsumsi warga. Sungai juga tidak bisa digunakan sebagai sarana transportasi karena mengalami pendangkalan.
Pertambangan emas tanpa ijin makin marak di Kabupaten Landak. Kondisi ini terjadi karena warga setempat terus mendapat pasokan modal dari cukong-cukong luar daerah untuk menambang emas.
Pertambangan ilegal menyebabkan kerusakan lingkungan tak hanya di tempat penambangan, tetapi di sepanjang aliran sungai. Air sungai tak bisa lagi digunakan karena tercemar merkuri. Air menyebabkan gatal-gatal di kulit jika digunakan untuk mandi.
Masyarakat penambang selalu menggunakan kondisi ekonomi sebagai alasan melakukan penambangan. Alasan tersebut pula yang menyebabkan penambang berani melawan penertiban yang dilakukan pemerintah dan polisi.
Kabupaten Landak dalam peta pertambangan nasional seluruhnya masuk ke wilayah pertambangan. Konsekuensinya, di seluruh wilayah Landak bisa diterbitkan ijin wilayah usaha pertambangan.
Jenis mineral yang terkandung di wilayah landak, antara lain, adalah bauksit, emas sekunder, galena, dan batubara.
Sumber:
http://www.greenradio.fm/index.php?option=com_content&view=article&id=4068:das-kalimantan-barat-tercemar-pertambangan-dan-sawit&catid=1:latest-news&Itemid=338
Aceng Mukaram, Kontributor KBR68H Kalimantan Barat
Lebih dari 30 persen Daerah Aliran Sungai (DAS) di Kalimantan Barat mengalami kerusakan yang parah. Air di DAS itu berwarna kuning kehitaman dan berkarat.
Juru Bicara Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalbar, Hendrikus Adam mengatakan, kerusakan ini disebabkan penambangan ilegal, pembukaan perkebunan sawit dan Hutan Tanaman Industri (HTI).
Hendrikus mencontohkan, salah satu DAS yang paling rusak terdapat di Kabupaten Landak. Di kabupaten itu semua sungai utama dan kecil dalam kondisi tercemar. Air sungai, tambahnya, tidak layak dikonsumsi warga. Sungai juga tidak bisa digunakan sebagai sarana transportasi karena mengalami pendangkalan.
Pertambangan emas tanpa ijin makin marak di Kabupaten Landak. Kondisi ini terjadi karena warga setempat terus mendapat pasokan modal dari cukong-cukong luar daerah untuk menambang emas.
Pertambangan ilegal menyebabkan kerusakan lingkungan tak hanya di tempat penambangan, tetapi di sepanjang aliran sungai. Air sungai tak bisa lagi digunakan karena tercemar merkuri. Air menyebabkan gatal-gatal di kulit jika digunakan untuk mandi.
Masyarakat penambang selalu menggunakan kondisi ekonomi sebagai alasan melakukan penambangan. Alasan tersebut pula yang menyebabkan penambang berani melawan penertiban yang dilakukan pemerintah dan polisi.
Kabupaten Landak dalam peta pertambangan nasional seluruhnya masuk ke wilayah pertambangan. Konsekuensinya, di seluruh wilayah Landak bisa diterbitkan ijin wilayah usaha pertambangan.
Jenis mineral yang terkandung di wilayah landak, antara lain, adalah bauksit, emas sekunder, galena, dan batubara.
Sumber:
http://www.greenradio.fm/index.php?option=com_content&view=article&id=4068:das-kalimantan-barat-tercemar-pertambangan-dan-sawit&catid=1:latest-news&Itemid=338
Sabtu, 25 September 2010
Investor Mesti Jujur
Sabtu, 18/09/2010/pk/08:08:00
Ashri Isnaini, POntianak Post.
PONTIANAK - Kadiv Riset dan Kampanye Walhi Kalbar, Hendrikus Adam mengatakan hingga saat ini berbagai kasus kriminalisasi masyarakat masih sering terjadi di daerah, seperti di Semunying Jaya, terdapat dua orang warga (Momonus dan jamaludin) dipenjara karena berjuang mempertahankan haknya atas tanah dan sumber daya alamnya yang digusur tanpa permisi oleh sebuah perusahaan sawit setempat.
Selain itu kata dia juga terjadi penahanan tiga warga Keluap Pelaik di Kabupaten Melawi juga dengan persoalan yang tidak jauh berbeda dan di ketapang juga terjadi penahanan dua masyarakat adat (Andi dan Japin) yang berjuang mempertahankan tanahnya atas konsesi sebuah perusahaan sawit. “Kejadian ini menunjukkan hingga sekarang keberadaan masyarakat adat masih sangat rentan terhadap kriminalisasi yang dilakukan oleh aparat penegak hokum, terlebih lagi apa yang terjadi dan dialami masyarakat adapt seringkali tidak memenuhi rasa keadilan bagi warga,”paparnya.
Untuk mendapat legalitas dari pemerintah daerah dalam menjalankan usahanya membuka kawasan hutan untuk perkebunan sawit tambahnya, seringkali pihak perusahaan menggunakan jargon untuk mensejahtrakan raakyat. Selain itu, kata Adam, sapaan akrabnya, warga selama ini juga seringkali diberikan informasi yang tidak utuh tentang investasi yang akan dibangun disuatu daerah.
“Sedikit ada empat mitos yang seringkali digunakan pihak perusahaan tersebut untuk mengiming-imingi warga agar sebuah investasi besar bisa diterima oleh masyarakat setempat, walaupun dalam kenyataannya di lapangan lebih banyak masuk karena “dipaksakan”,”ujarnya.
Adapun empat hal yang dijanjikan pihak investor tersebut kata dia, yakni mengenai akan membuka lapangan pekerjaan, membuka daerah terisolir, meningkatkan PAD, dan menjanjikan kesejahtraan bagi rakyat. Keempat dalih pembangunan investasi ini menurutnya seringkali membuat warga terbuai, sehingga alat produksi penting yang dimiliki seperti tanah akhirnya harus berpindah kepemilikan kepada pihak lain.
Kata Adam, keempat hal ini sesungguhnya juga tidak begitu mendasar bila di telaah lebih kritis, Karena pada kenyataannya sesungguhnya, warga di daerah pedalaman sana tidak pernah merasa kekurangan pekerjaan. “Mereka telah terbiasa dengan melakukan kegiatan menorah karet dan melakukan kegiatan pertanian lainnya untuk mempertahankan hidup.
Sebaliknya, justru pihak perusahaanlah yang membutuhkan tenaga kerja, karena bila tanpa tenaga kerja maka sebuah usaha tidak akan berjalan. Demikian halnya soal membuka daerah terisolir, ini juga terlalu mengada-ada. Yang namanya memberikan akses kebutuhan dasar bagi rakyat seperti sarana pendidikan, kesehatan dan juga infrastruktur seperti jalan adalah kewajiban negara untuk memenuhinya,”katanya.
Fenomena ini menurutnya seakan-akan menunjukkan ada sistem barter bila membuka daerah terisolir harus dengan membangun perkebunan. Jadi seharusnya ujar Adam, tidak ada sistem barter. Menurutnya rakyat di daerah memang membutuhkan perbaikan jalan, silakan dibangun.
Namun tidak harus ditukar dengan membabat sumber kehidupan warga dengan perkebunan yang sudah pasti akan membawa sejumlah konsekuensi yang buruk atas keberadaan hutan, tanah dan air yang selama ini diakses oleh warga. “Sama halnya dalih untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Faktanya saat ini PAD dari sektor perkebunan sawit nihil.
Malah hanya oknum-oknum tertentu yang diuntungkan, sementara rakyat akhirnya tetap kehilangan tanah dan bahkan tidak lagi menjadi tuan atas apa yang dulunya dimiliki,”tandasnya.(ash)
Sumber:
http://www.pontianakpost.com/index.php?mib=berita.detail&id=38905
Ashri Isnaini, POntianak Post.
PONTIANAK - Kadiv Riset dan Kampanye Walhi Kalbar, Hendrikus Adam mengatakan hingga saat ini berbagai kasus kriminalisasi masyarakat masih sering terjadi di daerah, seperti di Semunying Jaya, terdapat dua orang warga (Momonus dan jamaludin) dipenjara karena berjuang mempertahankan haknya atas tanah dan sumber daya alamnya yang digusur tanpa permisi oleh sebuah perusahaan sawit setempat.
Selain itu kata dia juga terjadi penahanan tiga warga Keluap Pelaik di Kabupaten Melawi juga dengan persoalan yang tidak jauh berbeda dan di ketapang juga terjadi penahanan dua masyarakat adat (Andi dan Japin) yang berjuang mempertahankan tanahnya atas konsesi sebuah perusahaan sawit. “Kejadian ini menunjukkan hingga sekarang keberadaan masyarakat adat masih sangat rentan terhadap kriminalisasi yang dilakukan oleh aparat penegak hokum, terlebih lagi apa yang terjadi dan dialami masyarakat adapt seringkali tidak memenuhi rasa keadilan bagi warga,”paparnya.
Untuk mendapat legalitas dari pemerintah daerah dalam menjalankan usahanya membuka kawasan hutan untuk perkebunan sawit tambahnya, seringkali pihak perusahaan menggunakan jargon untuk mensejahtrakan raakyat. Selain itu, kata Adam, sapaan akrabnya, warga selama ini juga seringkali diberikan informasi yang tidak utuh tentang investasi yang akan dibangun disuatu daerah.
“Sedikit ada empat mitos yang seringkali digunakan pihak perusahaan tersebut untuk mengiming-imingi warga agar sebuah investasi besar bisa diterima oleh masyarakat setempat, walaupun dalam kenyataannya di lapangan lebih banyak masuk karena “dipaksakan”,”ujarnya.
Adapun empat hal yang dijanjikan pihak investor tersebut kata dia, yakni mengenai akan membuka lapangan pekerjaan, membuka daerah terisolir, meningkatkan PAD, dan menjanjikan kesejahtraan bagi rakyat. Keempat dalih pembangunan investasi ini menurutnya seringkali membuat warga terbuai, sehingga alat produksi penting yang dimiliki seperti tanah akhirnya harus berpindah kepemilikan kepada pihak lain.
Kata Adam, keempat hal ini sesungguhnya juga tidak begitu mendasar bila di telaah lebih kritis, Karena pada kenyataannya sesungguhnya, warga di daerah pedalaman sana tidak pernah merasa kekurangan pekerjaan. “Mereka telah terbiasa dengan melakukan kegiatan menorah karet dan melakukan kegiatan pertanian lainnya untuk mempertahankan hidup.
Sebaliknya, justru pihak perusahaanlah yang membutuhkan tenaga kerja, karena bila tanpa tenaga kerja maka sebuah usaha tidak akan berjalan. Demikian halnya soal membuka daerah terisolir, ini juga terlalu mengada-ada. Yang namanya memberikan akses kebutuhan dasar bagi rakyat seperti sarana pendidikan, kesehatan dan juga infrastruktur seperti jalan adalah kewajiban negara untuk memenuhinya,”katanya.
Fenomena ini menurutnya seakan-akan menunjukkan ada sistem barter bila membuka daerah terisolir harus dengan membangun perkebunan. Jadi seharusnya ujar Adam, tidak ada sistem barter. Menurutnya rakyat di daerah memang membutuhkan perbaikan jalan, silakan dibangun.
Namun tidak harus ditukar dengan membabat sumber kehidupan warga dengan perkebunan yang sudah pasti akan membawa sejumlah konsekuensi yang buruk atas keberadaan hutan, tanah dan air yang selama ini diakses oleh warga. “Sama halnya dalih untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Faktanya saat ini PAD dari sektor perkebunan sawit nihil.
Malah hanya oknum-oknum tertentu yang diuntungkan, sementara rakyat akhirnya tetap kehilangan tanah dan bahkan tidak lagi menjadi tuan atas apa yang dulunya dimiliki,”tandasnya.(ash)
Sumber:
http://www.pontianakpost.com/index.php?mib=berita.detail&id=38905
Sabtu, 18 September 2010
Jangan Paksakan Rakyat Menyerahkan Alat Produksinya!
Jum'at, 17/09/2010/pk/09:03:00 wiba
Pontianak Post, Wartawan; Heri Mustari.
Sintang - Berbagai kasus kriminalisasi masyarakat seringkali terjadi disejumlah daerah terkait persoalan investasi sehingga persoalan yanmg muncul itu haruslah menjadi bahan evaluasi pemerintah dalam mengelola investasi di daerahnya masing-masing. Kadiv Riset dan Kampanye Walhi Kalbar, Hendrikus Adam mencontohkan kasus di Semunying Jaya Kabupaten Bengkayang. Sejak beberapa tahun silam dua orang warga dipenjara karena berjuang mempertahankan hak mereka atas tanah dan sumber daya alamnya yang digusur tanpa permisi oleh perusahaan sawit PT Ledo Lestari.“Selanjutnya juga terjadi penahanan tiga warga Pelaik Keruap Kecamatan Menukung Kabupaten Melawi atas persoalan yang tidak jauih berbeda, begitu juga yang terjadi di Ketapang,” jelasnya.
Contoh itu kata dia adalah deretan persoalan yang penting menjadi catatan bersama betapa keberadaan masyarakat adat masih sangat rentan terhadap kriminalisasi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. “Terlebih upaya yang terjadi dan dialami masyarakat adat seringkali tidak memenuhi rasa keadilan bagi warga,” ungkapnya ketika berada di Sintang baru-baru ini.Menurutnya, pihak perusahaan yang mendapat legalitas dari pemerintah daerah dalam melakukan usahanya membuka kasawan hutan untuk perkebunan sawit seringkali menggunakan jargon untuk mensejahterakan rakyat. “Warga selama ini juga seringkali diberikan informasi yang tidak utuh tentang sebuah investasi yang akan dibangun dalam suatu daerah,” jelasnya.
Ia mengatakan sedikitnya ada empat mitos yang seringkali dilakukan untuk mengiming-imingi warga agar sebuah investasi besar bisa diterima oleh masyarakat walaupun dalam kenyataannya dilapangan lebih banyak masuk karena ‘dipaksakan’.Keempat hal tersebut adalah membuka lapangan pekerjaan, membuka daerah terisolir, meningkatkan PAD dan menjanjikan kesejahteraan bagi rakyat. “Keempat dalih pembangunan investasi ini seringkali membuat warga terbuai, sehingga alat produksi penting yang dimiliki seperti tanah akhirnya harus berpindah kepemilikan kepada pihak lain,” ungkapnya.Keempat hal ini sesungguhnya juga tidak begitu mendasar bila ditelaah lebih kritis karena menurutnya pada kenyataannya sesungguhnya, warga di daerah pedalaman tidak pernah merasa kekurangan pekerjaan. “Mereka telah terbiasa dengan melakukan kegiatan menoreh karet dan melakukan kegiatan pertanian lainnya untuk mempertahankan hidup,” imbuhnya.
Sebaliknya kata dia justru sesungguhnya pihak perusahaanlah yang membutuhkan tenaga kerja, karena bila tanpa tenaga kerja maka sebuah usaha tidak akan berjalan. Demikian halnya soal membuka daerah terisolir. “Dalih ini juga terlalu mengada-ada karena yang namanya memberikan akses kebutuhan dasar bagi rakyat seperti sarana pendidikan, kesehatan dan juga infrastruktur seperti jalan adalah kewajiban negara untuk memenuhinya,” kata dia.Ia mengatakan seakan-akan ada sistem barter bila membuka daerah terisolir harus dengan membangun perkebunan. “Jadi seharusnya tidak ada sistem barter,” jelasnya.Rakyat di daerah kata dia memang membutuhkan perbaikan jalan, silahkan dibangun oleh pemerintah. “Namun tidak harus ditukar dengan membabat sumber kehidupan warga dengan perkebunan yang sudah pasti akan membawa sejumlah konsekuensi yang buruk atas keberadaan hutan, tanah dan air yang selama ini diakses oleh warga,” ucapnya.
Demikian juga dengan dalih untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah. Faktanya kata dia saat ini PAD dari sektor perkebunan sawit nihil. “Malah hanya oknum-oknum tertentu yang diuntungkan, sementara rakyat akhirnya tetap kehilangan tanah dan bahkan tidak lagi menjadi tuan atas apa yang dulunya dimiliki,” ungkapnya.
Mengenai dalih kesejahteraan ia menegaskan siapa yang berani menjamin, bila perkebunan masuk dalam suatu wilayah maka warga setempat akan sejahtera?. “Jadi terkesan hanya omong kosong saja,” ucapnya.Menurutnya, kasus yang menimpa dua orang ibu rumah tangga di kampung Sanjan Emberas di Kabupaten Sanggau beberapa waktu lalu yang dikriminalisasi adalah sebuah realita dimana keterbatasan akses terhadap tanah karena telah dikuasai oleh perusahaan. “Hanya karena mengambil ‘sisa’ brondolan sawit yang tidak lagi terpakai, sampai-sampai pihak managemen perusahaan perkebunan sawit memprosesnya hingga ke jalur hukum positif,” paparnya.
Pada hal kata dia seharusnya masalah itu bisa diselesaikan melalui pendekatan kekeluargaan. “Kondisi ini mengambarkan betapa keberadaan masyarakat adat yang awalnya sebagai pemilik wilayah kelola justru seringkali harus menelan pil pahit,” ujarnya. Pendekatan keamanan dengan menempuh jalur hukum negara (positif) melalui perlindungan sejumlah oknum ‘aparat’ menurut Adam seringkali menjadi bagian dari cara yang seringkali ditempuh bagi investor guna melindungi usahanya. Ia mencontohkan di kampung Sejirak, Kecamatan Ketungau Hilir Kabupaten Sintang beberapa waktu lalu, kriminalisasi dialami oleh sebanyak 15 orang warga (dua diantaranya dibebaskan) yang membuka lahan untuk perladangan diatas tanah yang secara defakto dimiliki mereka. “Selama 15 hari mereka harus mendekam dalam jeruji besi beberapa waktu lalu dan baru ditangguhkan penahanannya sehari sebelum pelantikan Bupati Sintang bahkan kini mereka masih tetap harus melapor sekali dalam setiap Minggu dengan biaya yang tentu saja tidak sedikit dikeluarkan karena harus menempuh berjam-jam perjalanan lamanya dari kampung menuju Kantor Polres di ibukota Kabupaten,” kata dia.
Bila memang harus melapor, menurutnya sedianya pihak terkait dapat lebih bijak memberikan keringanan masa wajib lapor sekali dalam sebulan misalnya. “Atau bahkan bila perlu dihentikan proses hukum ini,” ujarnya.Pihak pelapor juga kata dia hendaknya tidak memaksakan kehendak tanpa melakukan koreksi atas kinerja manajemen yang dilakukan selama ini. Latar belakang yang menjadikan warga melakukan tindakan ‘nekad’ tersebut harusnya dilihat secara jernih dan hendaknya menjadi dasar dari proses penyelesaian persoalan yang terjadi. “Keterbatasan lahan pertanian untuk bercocok tanam, sikap tertutup pihak perusahaan, kinerja perusahaan yang justeru dirasakan warga tidak memberikan kontribusi dan ketidakkonsistenan terhadap kesepakatan bersama adalah sejumlah realitas yang mesti menjadi catatan krusial dan harus tetap dilihat untuk diselesaikan meskipun proses hukum suatu ketika akhirnya terhenti,” terangnya.
Pihak eksekutif juga menurutnya harus sigap menyikapi persoalan betapa perihnya kondisi yang dialami warga Sejirak yang dilaporkan oleh pihak PT Finnantara Intiga. “Persoalan yang menimpa warga Sejirak di Kecamatan Ketungau Hilir ini kiranya dapat menggugah semua pihak untuk dapat melakukan refleksi dan kajian yang utuh atas keberadaan masyarakat adat yang begitu rentan terhadap perlakuan yang jauh dari rasa keadilan, disaat hutan-tanah-air yang dimiliki telah dominan dikuasai oleh para spekulan/investor,” ucapnya.Ia mengatakan harus diakui bahwa kriminalisasi adalah buah dari kebijakan pembangunan ketika alat produksi rakyat yaitu hutan, tanah dan air dikuasai para spekulan yang mendapat legalitas dari penguasa. “Kriminalisasi terhadap masyarakat adat yang terjadi selama ini adalah simbol bahwa keberpihakan negara terhadap rakyatnya masih jauh dari harapan,” ujarnya.Negara melalui pemerintah menurutnya sudah selayaknya memberikan ruang bagi rakyat untuk melakukan pengelolaan terhadap alat produksinya. “Jangan paksakan mereka dengan gaya pembangunan yang justru mengancam keberadaan ekologi dan kondisi ekonomi, sosial dan budaya masyarakat,” pungkasnya. (mus)
Sumber:
http://www.pontianakpost.com/index.php?mib=berita.detail&id=38875
Pontianak Post, Wartawan; Heri Mustari.
Sintang - Berbagai kasus kriminalisasi masyarakat seringkali terjadi disejumlah daerah terkait persoalan investasi sehingga persoalan yanmg muncul itu haruslah menjadi bahan evaluasi pemerintah dalam mengelola investasi di daerahnya masing-masing. Kadiv Riset dan Kampanye Walhi Kalbar, Hendrikus Adam mencontohkan kasus di Semunying Jaya Kabupaten Bengkayang. Sejak beberapa tahun silam dua orang warga dipenjara karena berjuang mempertahankan hak mereka atas tanah dan sumber daya alamnya yang digusur tanpa permisi oleh perusahaan sawit PT Ledo Lestari.“Selanjutnya juga terjadi penahanan tiga warga Pelaik Keruap Kecamatan Menukung Kabupaten Melawi atas persoalan yang tidak jauih berbeda, begitu juga yang terjadi di Ketapang,” jelasnya.
Contoh itu kata dia adalah deretan persoalan yang penting menjadi catatan bersama betapa keberadaan masyarakat adat masih sangat rentan terhadap kriminalisasi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. “Terlebih upaya yang terjadi dan dialami masyarakat adat seringkali tidak memenuhi rasa keadilan bagi warga,” ungkapnya ketika berada di Sintang baru-baru ini.Menurutnya, pihak perusahaan yang mendapat legalitas dari pemerintah daerah dalam melakukan usahanya membuka kasawan hutan untuk perkebunan sawit seringkali menggunakan jargon untuk mensejahterakan rakyat. “Warga selama ini juga seringkali diberikan informasi yang tidak utuh tentang sebuah investasi yang akan dibangun dalam suatu daerah,” jelasnya.
Ia mengatakan sedikitnya ada empat mitos yang seringkali dilakukan untuk mengiming-imingi warga agar sebuah investasi besar bisa diterima oleh masyarakat walaupun dalam kenyataannya dilapangan lebih banyak masuk karena ‘dipaksakan’.Keempat hal tersebut adalah membuka lapangan pekerjaan, membuka daerah terisolir, meningkatkan PAD dan menjanjikan kesejahteraan bagi rakyat. “Keempat dalih pembangunan investasi ini seringkali membuat warga terbuai, sehingga alat produksi penting yang dimiliki seperti tanah akhirnya harus berpindah kepemilikan kepada pihak lain,” ungkapnya.Keempat hal ini sesungguhnya juga tidak begitu mendasar bila ditelaah lebih kritis karena menurutnya pada kenyataannya sesungguhnya, warga di daerah pedalaman tidak pernah merasa kekurangan pekerjaan. “Mereka telah terbiasa dengan melakukan kegiatan menoreh karet dan melakukan kegiatan pertanian lainnya untuk mempertahankan hidup,” imbuhnya.
Sebaliknya kata dia justru sesungguhnya pihak perusahaanlah yang membutuhkan tenaga kerja, karena bila tanpa tenaga kerja maka sebuah usaha tidak akan berjalan. Demikian halnya soal membuka daerah terisolir. “Dalih ini juga terlalu mengada-ada karena yang namanya memberikan akses kebutuhan dasar bagi rakyat seperti sarana pendidikan, kesehatan dan juga infrastruktur seperti jalan adalah kewajiban negara untuk memenuhinya,” kata dia.Ia mengatakan seakan-akan ada sistem barter bila membuka daerah terisolir harus dengan membangun perkebunan. “Jadi seharusnya tidak ada sistem barter,” jelasnya.Rakyat di daerah kata dia memang membutuhkan perbaikan jalan, silahkan dibangun oleh pemerintah. “Namun tidak harus ditukar dengan membabat sumber kehidupan warga dengan perkebunan yang sudah pasti akan membawa sejumlah konsekuensi yang buruk atas keberadaan hutan, tanah dan air yang selama ini diakses oleh warga,” ucapnya.
Demikian juga dengan dalih untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah. Faktanya kata dia saat ini PAD dari sektor perkebunan sawit nihil. “Malah hanya oknum-oknum tertentu yang diuntungkan, sementara rakyat akhirnya tetap kehilangan tanah dan bahkan tidak lagi menjadi tuan atas apa yang dulunya dimiliki,” ungkapnya.
Mengenai dalih kesejahteraan ia menegaskan siapa yang berani menjamin, bila perkebunan masuk dalam suatu wilayah maka warga setempat akan sejahtera?. “Jadi terkesan hanya omong kosong saja,” ucapnya.Menurutnya, kasus yang menimpa dua orang ibu rumah tangga di kampung Sanjan Emberas di Kabupaten Sanggau beberapa waktu lalu yang dikriminalisasi adalah sebuah realita dimana keterbatasan akses terhadap tanah karena telah dikuasai oleh perusahaan. “Hanya karena mengambil ‘sisa’ brondolan sawit yang tidak lagi terpakai, sampai-sampai pihak managemen perusahaan perkebunan sawit memprosesnya hingga ke jalur hukum positif,” paparnya.
Pada hal kata dia seharusnya masalah itu bisa diselesaikan melalui pendekatan kekeluargaan. “Kondisi ini mengambarkan betapa keberadaan masyarakat adat yang awalnya sebagai pemilik wilayah kelola justru seringkali harus menelan pil pahit,” ujarnya. Pendekatan keamanan dengan menempuh jalur hukum negara (positif) melalui perlindungan sejumlah oknum ‘aparat’ menurut Adam seringkali menjadi bagian dari cara yang seringkali ditempuh bagi investor guna melindungi usahanya. Ia mencontohkan di kampung Sejirak, Kecamatan Ketungau Hilir Kabupaten Sintang beberapa waktu lalu, kriminalisasi dialami oleh sebanyak 15 orang warga (dua diantaranya dibebaskan) yang membuka lahan untuk perladangan diatas tanah yang secara defakto dimiliki mereka. “Selama 15 hari mereka harus mendekam dalam jeruji besi beberapa waktu lalu dan baru ditangguhkan penahanannya sehari sebelum pelantikan Bupati Sintang bahkan kini mereka masih tetap harus melapor sekali dalam setiap Minggu dengan biaya yang tentu saja tidak sedikit dikeluarkan karena harus menempuh berjam-jam perjalanan lamanya dari kampung menuju Kantor Polres di ibukota Kabupaten,” kata dia.
Bila memang harus melapor, menurutnya sedianya pihak terkait dapat lebih bijak memberikan keringanan masa wajib lapor sekali dalam sebulan misalnya. “Atau bahkan bila perlu dihentikan proses hukum ini,” ujarnya.Pihak pelapor juga kata dia hendaknya tidak memaksakan kehendak tanpa melakukan koreksi atas kinerja manajemen yang dilakukan selama ini. Latar belakang yang menjadikan warga melakukan tindakan ‘nekad’ tersebut harusnya dilihat secara jernih dan hendaknya menjadi dasar dari proses penyelesaian persoalan yang terjadi. “Keterbatasan lahan pertanian untuk bercocok tanam, sikap tertutup pihak perusahaan, kinerja perusahaan yang justeru dirasakan warga tidak memberikan kontribusi dan ketidakkonsistenan terhadap kesepakatan bersama adalah sejumlah realitas yang mesti menjadi catatan krusial dan harus tetap dilihat untuk diselesaikan meskipun proses hukum suatu ketika akhirnya terhenti,” terangnya.
Pihak eksekutif juga menurutnya harus sigap menyikapi persoalan betapa perihnya kondisi yang dialami warga Sejirak yang dilaporkan oleh pihak PT Finnantara Intiga. “Persoalan yang menimpa warga Sejirak di Kecamatan Ketungau Hilir ini kiranya dapat menggugah semua pihak untuk dapat melakukan refleksi dan kajian yang utuh atas keberadaan masyarakat adat yang begitu rentan terhadap perlakuan yang jauh dari rasa keadilan, disaat hutan-tanah-air yang dimiliki telah dominan dikuasai oleh para spekulan/investor,” ucapnya.Ia mengatakan harus diakui bahwa kriminalisasi adalah buah dari kebijakan pembangunan ketika alat produksi rakyat yaitu hutan, tanah dan air dikuasai para spekulan yang mendapat legalitas dari penguasa. “Kriminalisasi terhadap masyarakat adat yang terjadi selama ini adalah simbol bahwa keberpihakan negara terhadap rakyatnya masih jauh dari harapan,” ujarnya.Negara melalui pemerintah menurutnya sudah selayaknya memberikan ruang bagi rakyat untuk melakukan pengelolaan terhadap alat produksinya. “Jangan paksakan mereka dengan gaya pembangunan yang justru mengancam keberadaan ekologi dan kondisi ekonomi, sosial dan budaya masyarakat,” pungkasnya. (mus)
Sumber:
http://www.pontianakpost.com/index.php?mib=berita.detail&id=38875
Sabtu, 11 September 2010
WALHI: Stop Perluasan Kebun Sawit Di Kalbar
Rabu, 11 Maret 2009
(Berita Daerah - Kalimantan) - Deputi Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Kalimantan Barat, Hendi Chandra, mengatakan pihaknya tetap mengkampanyekan "Stop Perluasan Perkebunan Sawit" di provinsi tersebut.
"Karena perluasan perkebunan sawit hanya akan merugikan masyarakat luas serta tidak sedikit izin perluasan lahan perkebunan sawit di Kalbar menjadi kedok melegalkan penebangan hutan secara liar," kata Hendi Chandra, di Pontianak, Selasa.
Ia mengatakan, ketika izin perluasan lahan perkebunan sawit keluar, pemilik perkebunan dengan leluasanya melakukan pembersihan lahan, menebang pohon yang masih produktif untuk dijual ke negara tetangga, seperti Sarawak (Malaysia Timur).
Hendi menambahkan, dampak dari perluasan perkebunan sawit di Kalbar saat ini sudah dirasakan. Di antaranya bencana banjir yang hampir terjadi di seluruh kabupaten/kota yang sebelumnya hanya terjadi di beberapa kawasan rendah saja.
Data dari Sawit Watch, sejak 30 tahun terakhir sudah tercatat 1.753 kasus konflik yang terjadi antara pemilik perkebunan dengan masyarakat sekitar perkebunan karena masyarakat merasa haknya sudah terampas.
Dari luas perkebunan sawit seindonesia seluas 7,3 juta hektare, sebesar 1,3 juta hektare lahan perkebunan sawit berkonflik.
"Melihat itu, berarti perluasan sawit dengan tujuan mensejahterakan masyarakat belum sepenuhnya benar," katanya.
Saat ini produksi Crude Palm Oil Kalbar sebesar 800 ribu ton pertahun dengan luas lahan perkebunan yang baru produksi sekitar 200 ribu hektare.
Hingga akhir 2007, pemerintah kabupaten/kota di Kalbar telah menerbitkan info lahan seluas 4,6 juta hektare untuk perkebunan sawit. Meski info lahan yang diterbitkan amat luas, namun realisasi penanaman sawit di Kalbar baru sekitar 10 persen atau 400 ribu hektare, dengan jumlah petani sawit sekitar 80 ribu kepala keluarga.
Sebelumnya, Gubernur Kalbar, Cornelis, mengakui akan menghadiri persidangan di Jenewa, 17 Maret, terkait perluasan perkebunan sawit di provinsi tersebut.
(fb/FB/ant)
Sumber:
http://www.beritadaerah.com/news.php?pg=berita_kalimantan&id=8254&sub=column&page=77
(Berita Daerah - Kalimantan) - Deputi Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Kalimantan Barat, Hendi Chandra, mengatakan pihaknya tetap mengkampanyekan "Stop Perluasan Perkebunan Sawit" di provinsi tersebut.
"Karena perluasan perkebunan sawit hanya akan merugikan masyarakat luas serta tidak sedikit izin perluasan lahan perkebunan sawit di Kalbar menjadi kedok melegalkan penebangan hutan secara liar," kata Hendi Chandra, di Pontianak, Selasa.
Ia mengatakan, ketika izin perluasan lahan perkebunan sawit keluar, pemilik perkebunan dengan leluasanya melakukan pembersihan lahan, menebang pohon yang masih produktif untuk dijual ke negara tetangga, seperti Sarawak (Malaysia Timur).
Hendi menambahkan, dampak dari perluasan perkebunan sawit di Kalbar saat ini sudah dirasakan. Di antaranya bencana banjir yang hampir terjadi di seluruh kabupaten/kota yang sebelumnya hanya terjadi di beberapa kawasan rendah saja.
Data dari Sawit Watch, sejak 30 tahun terakhir sudah tercatat 1.753 kasus konflik yang terjadi antara pemilik perkebunan dengan masyarakat sekitar perkebunan karena masyarakat merasa haknya sudah terampas.
Dari luas perkebunan sawit seindonesia seluas 7,3 juta hektare, sebesar 1,3 juta hektare lahan perkebunan sawit berkonflik.
"Melihat itu, berarti perluasan sawit dengan tujuan mensejahterakan masyarakat belum sepenuhnya benar," katanya.
Saat ini produksi Crude Palm Oil Kalbar sebesar 800 ribu ton pertahun dengan luas lahan perkebunan yang baru produksi sekitar 200 ribu hektare.
Hingga akhir 2007, pemerintah kabupaten/kota di Kalbar telah menerbitkan info lahan seluas 4,6 juta hektare untuk perkebunan sawit. Meski info lahan yang diterbitkan amat luas, namun realisasi penanaman sawit di Kalbar baru sekitar 10 persen atau 400 ribu hektare, dengan jumlah petani sawit sekitar 80 ribu kepala keluarga.
Sebelumnya, Gubernur Kalbar, Cornelis, mengakui akan menghadiri persidangan di Jenewa, 17 Maret, terkait perluasan perkebunan sawit di provinsi tersebut.
(fb/FB/ant)
Sumber:
http://www.beritadaerah.com/news.php?pg=berita_kalimantan&id=8254&sub=column&page=77
Walhi: Perjanjian pengurangan emisi gas tak jalan
Senin, 14/06/2010/pk/13:12:46 WIB
Oleh: Sonny Majid
JAKARTA (Bisnis.com): Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) se-Kalimantan memberikan apresiasi terhadap inisiatif perjanjian Indonesia-Norwegia tentang Kerjasama Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca dari Deforestrasi dan Degradasi Hutan.
Namun mereka mengkhawatirkan perjanjian tersebut tidak akan berjalan baik, mengingat Pemerintah Indonesia tidak memiliki komitmen yang jelas terhadap perbaikan kondisi ekologi, khususnya di Pulau Kalimantan.
Ari Rio Rompas, Eksekutif Daerah Walhi Kalimantan Tengah menuturkan, bahwa moratorium konversi hutan alam dan gambut yang menjadi ikon dalam perjanjian tersebut disayangkan. Pasalnya hanya berdasarkan orientasi proyek, bukan atas semangat menyelamatkan dan mengatasi kondisi krisis ekologi genting dan melindungi sumber-sumber penghidupan masyarakat di Kalimantan. “Konsepsi moratorium yang digunakan masih teramat dangkal,” paparnya, hari ini.
Dia menambahkan skema REDD plus, menisbihkan kepentingan masyarakat sekitar dan di dalam hutan untuk mengakses sumber-sumber kehutanan, ternyata hanya menguntungkan sektor swasta, serta makelar karbon yang menjual hutan di Kalimantan.
Eksekutif Daerah Walhi Kalimantan Barat Blasius Hendy menambahkan perjanjian tersebut juga terindikasi berdampak terhadap berlomba-lombanya seluruh kepala daerah di provinsi se-Kalimantan dan Kementerian Kehutanan untuk mengkonversi hutan alam dan gambut. Hal ini mengingat perjanjian itu sudah berlaku dari 2011 sampai 2013. “Artinya ada jeda sekitar enam bulan untuk melakukan konversi hutan alam dan gambut untuk perizinan eksploitas sumber daya alam,” ujarnya.
Menurut data yang dibeberkan Walhi se-Kalimantan, perkembangan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) Kalimantan dalam proses tim terpadu (timdu), masih bisa direkayasa. Alasannya, semua usulan RTRWP di Kalimantan masih mengandalkan konversi hutan alam untuk perizinan perkebunan, pertambangan, dan hutan tanaman industri (HTI).
Pengusulan konversi hutan menjadi non hutan di Kalimantan Tengah diperkirakan mencapai 2,9 juta ha, Kalimantan Timur 1,3 juta ha, 1,7 ha di Kalimantan Barat, dan 1,4 juta ha di Kalimantan Selatan, dan sudah digunakan aktivitas perkebunan, pertambangan, dan HTI.
“Rekam jejak ini semakin membuktikan bahwa semakin masifnya kawasan di hutan alam Kalimantan,” tuturnya. “Sementara masih banyak persoalan lain dalam konteks pengelolaan sumber daya alam sebagai penghidupan masyarakat. Seperti konflik lahan dan sosial.”
Perjanjian antara Pemerintah Indonesia dengan Norwegia soal moratorium tadi, dijelaskan Ekesekutif Daerah Walhi Kalimantan Timur Isal Wardhana, pemerintah Norwegia akan memberikan insentif fund yang menurutnya berpotensi untuk dikorupsi. Insentif fund tersebut nilainya mencapai US$1 miliar.
Skema REDD yang dilakukan di Kalimantan, tak bisa lepas dari program Global Forest Alliance (GFA) dimana penekanannya pada pendanaan iklim. “Penanaman hutan kembali dengan sistem pembayaran atas jasa lingkungan, berbasis pasar hanya akan menguntungkan makelar dan penadah karbon yang menjual hutan tropis Kalimantan,” kata Isal. (mrp)
Sumber:
http://gresnews.com/ch/TopStories/cl/REDD/id/1222754/Walhi+Perjanjian+pengurangan+emisi+gas+tak+jalan
Oleh: Sonny Majid
JAKARTA (Bisnis.com): Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) se-Kalimantan memberikan apresiasi terhadap inisiatif perjanjian Indonesia-Norwegia tentang Kerjasama Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca dari Deforestrasi dan Degradasi Hutan.
Namun mereka mengkhawatirkan perjanjian tersebut tidak akan berjalan baik, mengingat Pemerintah Indonesia tidak memiliki komitmen yang jelas terhadap perbaikan kondisi ekologi, khususnya di Pulau Kalimantan.
Ari Rio Rompas, Eksekutif Daerah Walhi Kalimantan Tengah menuturkan, bahwa moratorium konversi hutan alam dan gambut yang menjadi ikon dalam perjanjian tersebut disayangkan. Pasalnya hanya berdasarkan orientasi proyek, bukan atas semangat menyelamatkan dan mengatasi kondisi krisis ekologi genting dan melindungi sumber-sumber penghidupan masyarakat di Kalimantan. “Konsepsi moratorium yang digunakan masih teramat dangkal,” paparnya, hari ini.
Dia menambahkan skema REDD plus, menisbihkan kepentingan masyarakat sekitar dan di dalam hutan untuk mengakses sumber-sumber kehutanan, ternyata hanya menguntungkan sektor swasta, serta makelar karbon yang menjual hutan di Kalimantan.
Eksekutif Daerah Walhi Kalimantan Barat Blasius Hendy menambahkan perjanjian tersebut juga terindikasi berdampak terhadap berlomba-lombanya seluruh kepala daerah di provinsi se-Kalimantan dan Kementerian Kehutanan untuk mengkonversi hutan alam dan gambut. Hal ini mengingat perjanjian itu sudah berlaku dari 2011 sampai 2013. “Artinya ada jeda sekitar enam bulan untuk melakukan konversi hutan alam dan gambut untuk perizinan eksploitas sumber daya alam,” ujarnya.
Menurut data yang dibeberkan Walhi se-Kalimantan, perkembangan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) Kalimantan dalam proses tim terpadu (timdu), masih bisa direkayasa. Alasannya, semua usulan RTRWP di Kalimantan masih mengandalkan konversi hutan alam untuk perizinan perkebunan, pertambangan, dan hutan tanaman industri (HTI).
Pengusulan konversi hutan menjadi non hutan di Kalimantan Tengah diperkirakan mencapai 2,9 juta ha, Kalimantan Timur 1,3 juta ha, 1,7 ha di Kalimantan Barat, dan 1,4 juta ha di Kalimantan Selatan, dan sudah digunakan aktivitas perkebunan, pertambangan, dan HTI.
“Rekam jejak ini semakin membuktikan bahwa semakin masifnya kawasan di hutan alam Kalimantan,” tuturnya. “Sementara masih banyak persoalan lain dalam konteks pengelolaan sumber daya alam sebagai penghidupan masyarakat. Seperti konflik lahan dan sosial.”
Perjanjian antara Pemerintah Indonesia dengan Norwegia soal moratorium tadi, dijelaskan Ekesekutif Daerah Walhi Kalimantan Timur Isal Wardhana, pemerintah Norwegia akan memberikan insentif fund yang menurutnya berpotensi untuk dikorupsi. Insentif fund tersebut nilainya mencapai US$1 miliar.
Skema REDD yang dilakukan di Kalimantan, tak bisa lepas dari program Global Forest Alliance (GFA) dimana penekanannya pada pendanaan iklim. “Penanaman hutan kembali dengan sistem pembayaran atas jasa lingkungan, berbasis pasar hanya akan menguntungkan makelar dan penadah karbon yang menjual hutan tropis Kalimantan,” kata Isal. (mrp)
Sumber:
http://gresnews.com/ch/TopStories/cl/REDD/id/1222754/Walhi+Perjanjian+pengurangan+emisi+gas+tak+jalan
Selasa, 31 Agustus 2010
Hutan Adat Dayak Dibabat
Rabu, 17/02/2010/pk/03:43 WIB
Pontianak, Kompas - Sedikitnya 1.420 hektar hutan adat Dayak Iban atau Ibanik di Desa Semunying Jaya, Kecamatan Jagoi Babang, Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat, dibabat untuk lahan perkebunan kelapa sawit. Kayu tebangan itu kemudian diselundupkan ke Malaysia.
Demikian pernyataan bersama Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Kalimantan Barat Sujarni Alloy; juru kampanye hutan Perkumpulan Telapak, Muhammad Yayat Afianto; dan Ketua Badan Perwakilan Desa Semunying Jaya Jamaludin dalam konferensi pers di Pontianak, Kalbar, Selasa (16/2).
”Tindakan perusahaan perkebunan itu seolah-olah kebal hukum mengingat bupati setempat tidak mengeluarkan izin lokasi perkebunan sawit di hutan tersebut. Perusahaan itu juga belum mengantongi izin pemanfaatan kayu (IPK) dinas kehutanan, tetapi sampai sekarang aktivitas mereka tetap berlangsung,” ujar Yayat.
Jamaludin menambahkan, pembabatan hutan adat Dayak Iban itu sudah berlangsung sejak tahun 2005. ”Sejak hutan adat dibabat, masyarakat adat makin kesulitan memenuhi kebutuhan hidup karena hasil hutan yang biasanya bisa dimanfaatkan tak ada lagi,” katanya.
Masyarakat adat Dayak Iban dulu menggantungkan hidup dari hasil hutan, seperti rotan, damar, kulit kayu pudo, dan tanaman-tanaman untuk obat tradisional. Setelah hutan habis, masyarakat yang tidak terbiasa dengan pertanian budidaya menjadi amat kesulitan.
Alloy mengatakan, kayu-kayu hasil tebangan dari hutan adat Dayak Iban itu diangkut ke Malaysia melalui jalan setapak yang biasanya digunakan untuk mengangkut keperluan logistik masyarakat. ”Konflik dengan masyarakat adat Dayak Ibanik terus terjadi. Masyarakat adat hanya ingin menuntut hak mereka yang dirampas,” kata Alloy.
Tumpang tindih
Hasil pemantauan kalangan aktivis lingkungan pada lembaga Save Our Borneo (SOB), pembabatan hutan untuk perkebunan sawit di Kalimantan Tengah juga parah, seperti perampokan kekayaan alam secara sistematis dan terorganisasi.
Faktanya, kata Direktur Eksekutif SOB Nordin di Palangkaraya, pembabatan hutan di Kecamatan Kapuas Tengah, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah, yang berlangsung sejak tahun 2008 luasnya sudah 10.000 hektar.
Ironisnya, lanjut Nordin, kawasan hutan yang dibuka untuk perkebunan kelapa sawit oleh tiga perusahaan tumpang tindih dengan kawasan eks hutan milik dua perusahaan pemegang izin hak pengusahaan hutan. Selain itu, pembukaan perkebunan
juga ada yang berlangsung di wilayah tanah dan kebun warga, seperti di Jangkang dan Balai Banjang.
”Ketiga perusahaan itu berani beroperasi karena memiliki izin lokasi dari bupati setempat. Tetapi, dalam pembabatan hutan itu diduga tidak punya izin pelepasan hutan dari Menteri Kehutanan sebab ketiga perusahaan tersebut belum memiliki IPK,” ujar Nordin.
Kayu-kayu yang dibabat dari hutan adat Dayak tersebut, kata Nordin, ada yang ditanam dalam tanah, dibakar, dibuang, ditumpuk, atau dipakai untuk perumahan, jembatan, dan keperluan lainnya oleh tiap-tiap perusahaan tersebut. ”Apabila dihitung potensi kayu yang hilang dengan luas konsesi tiap perusahaan perkebunan 20.000 hektar, negara mengalami kerugian Rp 141,5 miliar per perusahaan,” katanya.
Menurut Nordin, pihaknya bersama dengan sejumlah lembaga aktivis lingkungan dan antikorupsi akan melaporkan kejahatan kehutanan ini kepada Komisi Pemberantasan Korupsi. ”Aparat instansi terkait tidak peduli lagi mau menegakkan hukum dan menyelamatkan hutan,” katanya. (AHA/FUL)
Sumber:
http://cetak.kompas.com/read/2010/02/17/03430475/hutan.adat.dayak.dibabat
Pontianak, Kompas - Sedikitnya 1.420 hektar hutan adat Dayak Iban atau Ibanik di Desa Semunying Jaya, Kecamatan Jagoi Babang, Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat, dibabat untuk lahan perkebunan kelapa sawit. Kayu tebangan itu kemudian diselundupkan ke Malaysia.
Demikian pernyataan bersama Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Kalimantan Barat Sujarni Alloy; juru kampanye hutan Perkumpulan Telapak, Muhammad Yayat Afianto; dan Ketua Badan Perwakilan Desa Semunying Jaya Jamaludin dalam konferensi pers di Pontianak, Kalbar, Selasa (16/2).
”Tindakan perusahaan perkebunan itu seolah-olah kebal hukum mengingat bupati setempat tidak mengeluarkan izin lokasi perkebunan sawit di hutan tersebut. Perusahaan itu juga belum mengantongi izin pemanfaatan kayu (IPK) dinas kehutanan, tetapi sampai sekarang aktivitas mereka tetap berlangsung,” ujar Yayat.
Jamaludin menambahkan, pembabatan hutan adat Dayak Iban itu sudah berlangsung sejak tahun 2005. ”Sejak hutan adat dibabat, masyarakat adat makin kesulitan memenuhi kebutuhan hidup karena hasil hutan yang biasanya bisa dimanfaatkan tak ada lagi,” katanya.
Masyarakat adat Dayak Iban dulu menggantungkan hidup dari hasil hutan, seperti rotan, damar, kulit kayu pudo, dan tanaman-tanaman untuk obat tradisional. Setelah hutan habis, masyarakat yang tidak terbiasa dengan pertanian budidaya menjadi amat kesulitan.
Alloy mengatakan, kayu-kayu hasil tebangan dari hutan adat Dayak Iban itu diangkut ke Malaysia melalui jalan setapak yang biasanya digunakan untuk mengangkut keperluan logistik masyarakat. ”Konflik dengan masyarakat adat Dayak Ibanik terus terjadi. Masyarakat adat hanya ingin menuntut hak mereka yang dirampas,” kata Alloy.
Tumpang tindih
Hasil pemantauan kalangan aktivis lingkungan pada lembaga Save Our Borneo (SOB), pembabatan hutan untuk perkebunan sawit di Kalimantan Tengah juga parah, seperti perampokan kekayaan alam secara sistematis dan terorganisasi.
Faktanya, kata Direktur Eksekutif SOB Nordin di Palangkaraya, pembabatan hutan di Kecamatan Kapuas Tengah, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah, yang berlangsung sejak tahun 2008 luasnya sudah 10.000 hektar.
Ironisnya, lanjut Nordin, kawasan hutan yang dibuka untuk perkebunan kelapa sawit oleh tiga perusahaan tumpang tindih dengan kawasan eks hutan milik dua perusahaan pemegang izin hak pengusahaan hutan. Selain itu, pembukaan perkebunan
juga ada yang berlangsung di wilayah tanah dan kebun warga, seperti di Jangkang dan Balai Banjang.
”Ketiga perusahaan itu berani beroperasi karena memiliki izin lokasi dari bupati setempat. Tetapi, dalam pembabatan hutan itu diduga tidak punya izin pelepasan hutan dari Menteri Kehutanan sebab ketiga perusahaan tersebut belum memiliki IPK,” ujar Nordin.
Kayu-kayu yang dibabat dari hutan adat Dayak tersebut, kata Nordin, ada yang ditanam dalam tanah, dibakar, dibuang, ditumpuk, atau dipakai untuk perumahan, jembatan, dan keperluan lainnya oleh tiap-tiap perusahaan tersebut. ”Apabila dihitung potensi kayu yang hilang dengan luas konsesi tiap perusahaan perkebunan 20.000 hektar, negara mengalami kerugian Rp 141,5 miliar per perusahaan,” katanya.
Menurut Nordin, pihaknya bersama dengan sejumlah lembaga aktivis lingkungan dan antikorupsi akan melaporkan kejahatan kehutanan ini kepada Komisi Pemberantasan Korupsi. ”Aparat instansi terkait tidak peduli lagi mau menegakkan hukum dan menyelamatkan hutan,” katanya. (AHA/FUL)
Sumber:
http://cetak.kompas.com/read/2010/02/17/03430475/hutan.adat.dayak.dibabat
Perbatasan RI-Malaysia di Kalimantan Masih Aman
Senin, 30/08/2010/pk/ 05:56 WIB
Metrotvnews.com, Pontianak: Situasi keamanan di perbatasan Indonesia-Malaysia di Kalimantan Barat (Kalbar) sejauh ini msih kondusif. Hubungan kedua negara yang memanas akhir-akhir ini tidak mempengaruhi aktivitas warga di perbatasan.
"Situasi politik yang memanas saat ini tidak berpengaruh terhadap kehidupan warga. Semuanya masih aman dan terkendali," kata Sekretaris Desa Semunying Jaya, Abulipah, Kalbar, Ahad (29/8).
Desa Semunying Jaya berada di Kecamatan Jagoi Babang, Kabupaten Bengkayang. Desa ini termasuk salah satu desa di Kabar yang berbatasan langsung dengan wilayah Serawak, Malaysia.
Kawasan perbatasan kedua negara di desa ini relatif terbuka karena hutan yang ada sudah banyak berubah menjadi hamparan perkebunan kelapa sawit. Kondisi itu dikhawatirkan oleh warga setempat jika sewaktu-waktu terjadi konflik terbuka antara Indonesia-Malaysia.
"Hutan yang seharusnya bisa berfungsi menangkal atau setidaknya menghambat gerakan pasukan musuh ke wilayah kita, sudah banyak yang gundul karena aktivitas land clearing,"ungkap Abulipah.
Kekhawatiran warga cukup beralasan mengingat kondisi infrastruktur di wilayah Malaysia jauh lebih memadai, sehingga memungkinkan negara jiran itu memobilisasi pasukan dengan cepat. Sedangkan, kondisi wilayah di perbatasan Indonesia sangat terisolasi dan tertinggal.(MI/RIZ)
Sumber:
http://www.metrotvnews.com/index.php/metromain/newscat/polkam/2010/08/30/27520/Perbatasan-RI-Malaysia-di-Kalimantan-Masih-Aman
Metrotvnews.com, Pontianak: Situasi keamanan di perbatasan Indonesia-Malaysia di Kalimantan Barat (Kalbar) sejauh ini msih kondusif. Hubungan kedua negara yang memanas akhir-akhir ini tidak mempengaruhi aktivitas warga di perbatasan.
"Situasi politik yang memanas saat ini tidak berpengaruh terhadap kehidupan warga. Semuanya masih aman dan terkendali," kata Sekretaris Desa Semunying Jaya, Abulipah, Kalbar, Ahad (29/8).
Desa Semunying Jaya berada di Kecamatan Jagoi Babang, Kabupaten Bengkayang. Desa ini termasuk salah satu desa di Kabar yang berbatasan langsung dengan wilayah Serawak, Malaysia.
Kawasan perbatasan kedua negara di desa ini relatif terbuka karena hutan yang ada sudah banyak berubah menjadi hamparan perkebunan kelapa sawit. Kondisi itu dikhawatirkan oleh warga setempat jika sewaktu-waktu terjadi konflik terbuka antara Indonesia-Malaysia.
"Hutan yang seharusnya bisa berfungsi menangkal atau setidaknya menghambat gerakan pasukan musuh ke wilayah kita, sudah banyak yang gundul karena aktivitas land clearing,"ungkap Abulipah.
Kekhawatiran warga cukup beralasan mengingat kondisi infrastruktur di wilayah Malaysia jauh lebih memadai, sehingga memungkinkan negara jiran itu memobilisasi pasukan dengan cepat. Sedangkan, kondisi wilayah di perbatasan Indonesia sangat terisolasi dan tertinggal.(MI/RIZ)
Sumber:
http://www.metrotvnews.com/index.php/metromain/newscat/polkam/2010/08/30/27520/Perbatasan-RI-Malaysia-di-Kalimantan-Masih-Aman
Warga Semunying Jaya Tetap Tolak Sawit
Minggu, 29/08/2010/pk/20:00
Pontianak, Indowarta
Warga Desa Semunying Jaya Kabupaten Bengkayang kembali menegaskan penolakan mereka terhadap perusahaan perkebunan sawit. Mereka menganggap sawit tidak sesuai dengan budaya kehidupan mereka yang turun temurun lebih familiar dengan karet. Dan kehadiran perkebunan sawit ini telah membabat 14.000 hektar hutan dan tanaman karet masyarakat Semunying Jaya, termasuk di dalamnya 1.420 hektar hutan adat.
Penegasan ini disampaikan oleh Kepala Desa Semunying Jaya Momonus, Ketua BPD Desa Semunying Jaya Nuh Rusmanto, Sekretaris Desa Semunying Jaya Abulipah dan Wakil Ketua BPD Desa Semunying Jaya Jamaludin, dalam sebuah pers release di Pontianak, Minggu (29/8), setelah adanya tayangan di salah satu stasiun TV swasta yang menggambarkan bahwa Desa Semunying Jaya telah sejahtera berkat masuknya perkebunan sawit.
Momonus mengatakan pihaknya sangat menyayangkan suguhan informasi dalam tayangan tersebut. ”Tayangan ini berpotensi menimbulkan konflik baru, karena telah menutupi realitas kondisi sosial masyarakat Desa Semunying Jaya yang sesungguhnya. Seolah-olah kami menerima program sawit itu. Padahal kenyataannya justru kami sudah seringkali menolak masuknya perkebunan sawit ke wilayah kami,” paparnya dihadapan sejumlah awak media.
”Sebagai Kades saya tahu situasi maupun kondisi masyarakat kami disana. Apa yang disebutkan telah sejahtera, itu tidak benar. Kenyataannya saat ini sekitar 99% masyarakat Desa Semunying Jaya masih miskin. Semenjak masuknya PT Ledo Lestari, banyak kasus belum tuntas hingga hari ini. Bahkan kami juga tidak pernah mengadakan ritual adat yang merestui pembukaan hutan untuk areal perkebunan PT Ledo Lestari,” urainya kembali. Sejatinya, para aparat desa Semunying Jaya ini juga meminta agar ada klarifikasi atas tayangan yang dianggap tidak menggambarkan realita sesungguhnya tersebut.
Menurutnya, warga Semunying Jaya tidak ada yang bekerja di perusahaan sawit, rata-rata bekerja sebagai petani, peladang, berburu di hutan, nelayan dan beberapa ada yang menjadi guru. Penghasilan rata-rata Rp 300.000 – Rp 400.000/bulan. ”Dari hasil menoreh karet, rata-rata kami bisa menghasilkan 5 kg/hari dengan harga jual Rp 13.000/kg,” katanya.
Sementara itu, aktivis Uplink Kalbar Tomo mengatakan yang perlu diperangi bukan hanya PT Ledo Lestari, karena itu hanya merupakan anak perusahaan yang berinduk pada PT Duta Palma Group. “Di Bengkayang saja ada 6 anak perusahaan Duta Palma, dan hampir semua anak perusahaan Duta Palma bermasalah. Ambil saja contoh permasalahan karyawan yang keseluruhan adalah buruh lepas harian atau outsourcing yang sewaktu-waktu bisa dipecat tanpa ada pesangon,” ungkapnya.
Ia menambahkan, terkait masalah perijinan, PT Ledo Lestari sendiri belum memiliki hak guna usaha (HGU) atas lahan, namun mereka sudah melakukan penebangan hutan (land clearing). “Jadi jelas-jelas PT Ledo Lestari telah melakukan illegal Logging. Kita bisa hitung berapa kerugian negara atas kayu-kayu yang ditebang tersebut. Belum lagi pembukaan lahan yang menggunakan sistem pembakaran yang menimbulkan asap,” tutur pria berperawakan gempal ini.
Sementara itu Jamaludin menyayangkan kepemimpinan Bupati Bengkayang periode 2005-2010 yang gagal membuat Perda tentang perlindungan hutan adat. Ia mengatakan sudah seringkali melawan dan mengkritisi terkait masalah ini, bahkan sampai bupati turun belum juga mampu membuat Perda tentang Hutan Adat.
”Mustahil seorang bupati tidak mengetahui permasalahan kasus PT Ledo Lestari ini. Hal ini hanya membuat dugaan masyarakat semakin kuat, bahwa beliau mempunyai saham diperusahaan tersebut,” ujarnya.
Sedangkan DPRD Kabupaten Bengkayang, menurut Abulipa, belum ada tanggapan sama sekali msekipun sudah diberikan tembusan kasus ini. ”Dalam penyelesaian secara formal maupun rapat-rapat membahas masalah ini, Pemkab Bengkayang tidak pernah mengundang dan melibatkan DPRD Bengkayang,” sesalnya. Abulipah juga menyayangkan belum adanya kejelasan atas kasus ini, meskipun sudah beberapa kali diadukan ke Polres Bengkayang. (fai)
Sumber:
http://www.indowarta.com/index.php?option=com_content&view=article&id=9769:warga-semunying-jaya-tetap-tolak-sawit&catid=137:kalimantan-barat&Itemid=364
Pontianak, Indowarta
Warga Desa Semunying Jaya Kabupaten Bengkayang kembali menegaskan penolakan mereka terhadap perusahaan perkebunan sawit. Mereka menganggap sawit tidak sesuai dengan budaya kehidupan mereka yang turun temurun lebih familiar dengan karet. Dan kehadiran perkebunan sawit ini telah membabat 14.000 hektar hutan dan tanaman karet masyarakat Semunying Jaya, termasuk di dalamnya 1.420 hektar hutan adat.
Penegasan ini disampaikan oleh Kepala Desa Semunying Jaya Momonus, Ketua BPD Desa Semunying Jaya Nuh Rusmanto, Sekretaris Desa Semunying Jaya Abulipah dan Wakil Ketua BPD Desa Semunying Jaya Jamaludin, dalam sebuah pers release di Pontianak, Minggu (29/8), setelah adanya tayangan di salah satu stasiun TV swasta yang menggambarkan bahwa Desa Semunying Jaya telah sejahtera berkat masuknya perkebunan sawit.
Momonus mengatakan pihaknya sangat menyayangkan suguhan informasi dalam tayangan tersebut. ”Tayangan ini berpotensi menimbulkan konflik baru, karena telah menutupi realitas kondisi sosial masyarakat Desa Semunying Jaya yang sesungguhnya. Seolah-olah kami menerima program sawit itu. Padahal kenyataannya justru kami sudah seringkali menolak masuknya perkebunan sawit ke wilayah kami,” paparnya dihadapan sejumlah awak media.
”Sebagai Kades saya tahu situasi maupun kondisi masyarakat kami disana. Apa yang disebutkan telah sejahtera, itu tidak benar. Kenyataannya saat ini sekitar 99% masyarakat Desa Semunying Jaya masih miskin. Semenjak masuknya PT Ledo Lestari, banyak kasus belum tuntas hingga hari ini. Bahkan kami juga tidak pernah mengadakan ritual adat yang merestui pembukaan hutan untuk areal perkebunan PT Ledo Lestari,” urainya kembali. Sejatinya, para aparat desa Semunying Jaya ini juga meminta agar ada klarifikasi atas tayangan yang dianggap tidak menggambarkan realita sesungguhnya tersebut.
Menurutnya, warga Semunying Jaya tidak ada yang bekerja di perusahaan sawit, rata-rata bekerja sebagai petani, peladang, berburu di hutan, nelayan dan beberapa ada yang menjadi guru. Penghasilan rata-rata Rp 300.000 – Rp 400.000/bulan. ”Dari hasil menoreh karet, rata-rata kami bisa menghasilkan 5 kg/hari dengan harga jual Rp 13.000/kg,” katanya.
Sementara itu, aktivis Uplink Kalbar Tomo mengatakan yang perlu diperangi bukan hanya PT Ledo Lestari, karena itu hanya merupakan anak perusahaan yang berinduk pada PT Duta Palma Group. “Di Bengkayang saja ada 6 anak perusahaan Duta Palma, dan hampir semua anak perusahaan Duta Palma bermasalah. Ambil saja contoh permasalahan karyawan yang keseluruhan adalah buruh lepas harian atau outsourcing yang sewaktu-waktu bisa dipecat tanpa ada pesangon,” ungkapnya.
Ia menambahkan, terkait masalah perijinan, PT Ledo Lestari sendiri belum memiliki hak guna usaha (HGU) atas lahan, namun mereka sudah melakukan penebangan hutan (land clearing). “Jadi jelas-jelas PT Ledo Lestari telah melakukan illegal Logging. Kita bisa hitung berapa kerugian negara atas kayu-kayu yang ditebang tersebut. Belum lagi pembukaan lahan yang menggunakan sistem pembakaran yang menimbulkan asap,” tutur pria berperawakan gempal ini.
Sementara itu Jamaludin menyayangkan kepemimpinan Bupati Bengkayang periode 2005-2010 yang gagal membuat Perda tentang perlindungan hutan adat. Ia mengatakan sudah seringkali melawan dan mengkritisi terkait masalah ini, bahkan sampai bupati turun belum juga mampu membuat Perda tentang Hutan Adat.
”Mustahil seorang bupati tidak mengetahui permasalahan kasus PT Ledo Lestari ini. Hal ini hanya membuat dugaan masyarakat semakin kuat, bahwa beliau mempunyai saham diperusahaan tersebut,” ujarnya.
Sedangkan DPRD Kabupaten Bengkayang, menurut Abulipa, belum ada tanggapan sama sekali msekipun sudah diberikan tembusan kasus ini. ”Dalam penyelesaian secara formal maupun rapat-rapat membahas masalah ini, Pemkab Bengkayang tidak pernah mengundang dan melibatkan DPRD Bengkayang,” sesalnya. Abulipah juga menyayangkan belum adanya kejelasan atas kasus ini, meskipun sudah beberapa kali diadukan ke Polres Bengkayang. (fai)
Sumber:
http://www.indowarta.com/index.php?option=com_content&view=article&id=9769:warga-semunying-jaya-tetap-tolak-sawit&catid=137:kalimantan-barat&Itemid=364
Walhi Segera Luncurkan Karikatur Sawit
PONTIANAK, TRIBUN - Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kalbar, berencana menerbitkan publikasi berisi kritik sosial terkait industri perkebunan kelapa sawit.
Direktur Walhi Kalbar, Blasius H Candra, Senin (30/8/10), mengatakan, publikasi tersebut hendak menyampaikan pesan-pesan sosial, terkait bahaya kelapa sawit yang mengancam lingkungan hidup, maupun keberlangsungan masyarakat di seputar areal konsesi.
"Kami ingin menyampaikan pesan-pesan sosial, yang mudah ditangkap warga. Kali ini modelnya kombinasi karikaturan dengan penjelasan sederhana," ujar Blasius.
Walhi Kalbar cukup banyak mendampingi kelompok masyarakat, yang merasa tergusur akibat perkembangan industri sawit skala besar. Tak hanya mata pencaharian yang hilang, lahan adat pun kerap dicaplok diam-diam oleh pengusaha.
Sumber:
http://www.tribunpontianak.co.id/read/artikel/15898/walhi-segera-luncurkan-karikatur-sawit
Direktur Walhi Kalbar, Blasius H Candra, Senin (30/8/10), mengatakan, publikasi tersebut hendak menyampaikan pesan-pesan sosial, terkait bahaya kelapa sawit yang mengancam lingkungan hidup, maupun keberlangsungan masyarakat di seputar areal konsesi.
"Kami ingin menyampaikan pesan-pesan sosial, yang mudah ditangkap warga. Kali ini modelnya kombinasi karikaturan dengan penjelasan sederhana," ujar Blasius.
Walhi Kalbar cukup banyak mendampingi kelompok masyarakat, yang merasa tergusur akibat perkembangan industri sawit skala besar. Tak hanya mata pencaharian yang hilang, lahan adat pun kerap dicaplok diam-diam oleh pengusaha.
Sumber:
http://www.tribunpontianak.co.id/read/artikel/15898/walhi-segera-luncurkan-karikatur-sawit
Warga Perbatasan RI-Malaysia Khawatirkan Kondisi Keamanan
Senin, 30/08/2010/pk/11:42 WIB
Penulis : Aris Munandar
BENGKAYANG--MI: Situasi keamanan di perbatasan Indonesia-Malaysia di Kalimantan Barat (Kalbar) kondusif. Namun warga mengkawatirkan kemungkinan sewaktu-waktu terjadi konflik terbuka antara Indonesia-Malaysia.
"Situasi politik yang memanas saat ini tidak berpengaruh terhadap kehidupan warga. Semuanya masih aman dan terkendali," kata Sekretaris Desa Semunying Jaya Abulipah, Minggu (29/8). Ia mengatakan itu terkait kondisi hubungan antarkedua negara yang memanas akhir-akhir ini.
Desa Semunying Jaya berada di Kecamatan Jagoi Babang, Kabupaten Bengkayang. Desa itu termasuk salah satu desa di Kalbar yang berbatasan langsung dengan wilayah Serawak, Malaysia.
Kawasan perbatasan kedua negara di desa ini relatif terbuka karena hutan yang ada sudah banyak berubah menjadi hamparan perkebunan kelapa sawit. Kondisi ini inilah justru yang dikhawatirkan oleh warga setempat jika sewaktu-waktu terjadi konflik terbuka antara Indonesia-Malaysia.
"Hutan yang seharusnya bisa berfungsi menangkal atau setidaknya menghambat gerakan pasukan musuh ke wilayah kita, sudah banyak yang gundul karena aktivitas land clearing, katanya.
Kekhawatiran warga beralasan mengingat kondisi infrastruktur di wilayah Malaysia jauh lebih memadai, sehingga memungkinkan negeri jiran itu memobilisasi pasukan mereka dengan cepat. Sedangkan, kondisi wilayah di perbatasan Indonesia sangat terisolasi dan tertinggal.
"Konsep pertahanan kita selama ini adalah bergerilya sehingga keberadaan kawasan hutan sangat strategis. Selain bisa menjadi benteng pertahanan, hutan juga menjadi sumber logistik bagi pasukan," jelas Abulipah.
Warga Desa Semunjing Jaya memiliki pengalaman dalam berkonflik dengan Malaysia saat peristiwa konfrontasi pada 1963. Banyak warga desa ketika itu dikerahkan untuk membantu TNI dalam menghadapi tentara Malaysia. (AR/OL-01)
Sumber:
http://www.mediaindonesia.com/read/2010/08/30/165528/127/101/Warga-Perbatasan-RI-Malaysia-Khawatirkan-Kondisi-Keamanan
Penulis : Aris Munandar
BENGKAYANG--MI: Situasi keamanan di perbatasan Indonesia-Malaysia di Kalimantan Barat (Kalbar) kondusif. Namun warga mengkawatirkan kemungkinan sewaktu-waktu terjadi konflik terbuka antara Indonesia-Malaysia.
"Situasi politik yang memanas saat ini tidak berpengaruh terhadap kehidupan warga. Semuanya masih aman dan terkendali," kata Sekretaris Desa Semunying Jaya Abulipah, Minggu (29/8). Ia mengatakan itu terkait kondisi hubungan antarkedua negara yang memanas akhir-akhir ini.
Desa Semunying Jaya berada di Kecamatan Jagoi Babang, Kabupaten Bengkayang. Desa itu termasuk salah satu desa di Kalbar yang berbatasan langsung dengan wilayah Serawak, Malaysia.
Kawasan perbatasan kedua negara di desa ini relatif terbuka karena hutan yang ada sudah banyak berubah menjadi hamparan perkebunan kelapa sawit. Kondisi ini inilah justru yang dikhawatirkan oleh warga setempat jika sewaktu-waktu terjadi konflik terbuka antara Indonesia-Malaysia.
"Hutan yang seharusnya bisa berfungsi menangkal atau setidaknya menghambat gerakan pasukan musuh ke wilayah kita, sudah banyak yang gundul karena aktivitas land clearing, katanya.
Kekhawatiran warga beralasan mengingat kondisi infrastruktur di wilayah Malaysia jauh lebih memadai, sehingga memungkinkan negeri jiran itu memobilisasi pasukan mereka dengan cepat. Sedangkan, kondisi wilayah di perbatasan Indonesia sangat terisolasi dan tertinggal.
"Konsep pertahanan kita selama ini adalah bergerilya sehingga keberadaan kawasan hutan sangat strategis. Selain bisa menjadi benteng pertahanan, hutan juga menjadi sumber logistik bagi pasukan," jelas Abulipah.
Warga Desa Semunjing Jaya memiliki pengalaman dalam berkonflik dengan Malaysia saat peristiwa konfrontasi pada 1963. Banyak warga desa ketika itu dikerahkan untuk membantu TNI dalam menghadapi tentara Malaysia. (AR/OL-01)
Sumber:
http://www.mediaindonesia.com/read/2010/08/30/165528/127/101/Warga-Perbatasan-RI-Malaysia-Khawatirkan-Kondisi-Keamanan
360 M3 Kayu per Bulan Diselundupkan ke Malaysia
Pontianak/28/08/2010
AKTIVITAS pembalakan liar (illegal logging) di perbatasan Indonesia-Malaysia di Kalimantan Barat masih berlangsung."Sejak ada gebrakan (operasi) penertiban dari polisi, illegal logging di wilayah kami memang sempat terhenti. Namun, kini muncul lagi meskipun dilakukan secara sembunyi-sembunyi," kata Momunus, Kepala Desa Semunying Jaya, Kecamatan Jagoi Babang, Kabupaten Bengkayang, kepada Media Indonesia, kemarin.
Sebagian besar kayu itu diselundupkan ke Serawak, Malaysia, dengan menggunakan truk melalui sejumlah jalan yang menghubungkan wilayah Semunying Jaya dengan tiga kampung di Serawak. Kayu-kayu itu kemudian ditampung sebuah perusahaan pengolahan kayu di Distrik Sematan, Serawak.Menurut Momonus, terdapat tujuh akses jalan yang kerap digunakan sebagai jalur penyelundupan kayu di Semunying. Salah satu akses tersebut berupa jalan semipermanen berlapis batu yang berada disebuah lokasi perkebunan kelapa sawit. "Jalan itu cukup lebar, kira-kira ada 6 meter karena bisa dilalui dua truk yang berpapasan," ungkapnya.
Pembalakan liar dan penyelundupan kayu ini diduga melibatkan para pemodal dari Malaysia. Mereka membeli kayu-kayu dari para penebang dengan kisaran harga RM300 hingga RM800 atau sekitar Rp864 ribu hingga Rp2,3 juta per tan. Satu tan setara dengan 1,5 m3. "Ada tiga cukong kayu dari Malaysia yang terlibat, yakni Mr Wong, Mr Akun, dan Mr Ayun. Namun, cukong terbesar adalah Mr Wong karena mempekerjakan banyak karyawan," kata Wakil Kenia Badan Perwakilan Desa (BPD) Semunying Jaya Jamaludin.
Hasil investigasi Lembaga Pengkajian dan Studi Arus Informasi Regional (LPS-AIR) Pontianak menyebutkan penyelundupan kayu di wilayah perbatasan dengan Malaysia di Bengkayang biasanya beroperasi pada malam hingga subuh hari. Ini dilakukan agar aktivitas itu tidak terlalu mencolok dan menghindari pemantauan petugas.Hasil investigasi yang dipublikasikan pada Februari lalu itu memperkirakan sedikitnya 360 m3 kayu setiap bulan diselundupkan ke Malaysia melalui jalur perbatasan di Jagoi Babang."Truk pengangkut ini harus melewati setidaknya enam pos penjagaan. Oleh karena itu, tidak menutup kemungkinan ada oknum aparat yang terlibat dalam memuluskan aksi ini," ungkap Direktur LPS-AIR Deman Huri.Kapolres Bengkayang AKB Mosyan Ntmitch menyatakan pembalakan liar dan penyelundupan kayu di kawasan perbatasan di Bengkayang telah menurun drastis sejak dua tahun terakhir. (AR/N-1)
Sumber:
AKTIVITAS pembalakan liar (illegal logging) di perbatasan Indonesia-Malaysia di Kalimantan Barat masih berlangsung."Sejak ada gebrakan (operasi) penertiban dari polisi, illegal logging di wilayah kami memang sempat terhenti. Namun, kini muncul lagi meskipun dilakukan secara sembunyi-sembunyi," kata Momunus, Kepala Desa Semunying Jaya, Kecamatan Jagoi Babang, Kabupaten Bengkayang, kepada Media Indonesia, kemarin.
Sebagian besar kayu itu diselundupkan ke Serawak, Malaysia, dengan menggunakan truk melalui sejumlah jalan yang menghubungkan wilayah Semunying Jaya dengan tiga kampung di Serawak. Kayu-kayu itu kemudian ditampung sebuah perusahaan pengolahan kayu di Distrik Sematan, Serawak.Menurut Momonus, terdapat tujuh akses jalan yang kerap digunakan sebagai jalur penyelundupan kayu di Semunying. Salah satu akses tersebut berupa jalan semipermanen berlapis batu yang berada disebuah lokasi perkebunan kelapa sawit. "Jalan itu cukup lebar, kira-kira ada 6 meter karena bisa dilalui dua truk yang berpapasan," ungkapnya.
Pembalakan liar dan penyelundupan kayu ini diduga melibatkan para pemodal dari Malaysia. Mereka membeli kayu-kayu dari para penebang dengan kisaran harga RM300 hingga RM800 atau sekitar Rp864 ribu hingga Rp2,3 juta per tan. Satu tan setara dengan 1,5 m3. "Ada tiga cukong kayu dari Malaysia yang terlibat, yakni Mr Wong, Mr Akun, dan Mr Ayun. Namun, cukong terbesar adalah Mr Wong karena mempekerjakan banyak karyawan," kata Wakil Kenia Badan Perwakilan Desa (BPD) Semunying Jaya Jamaludin.
Hasil investigasi Lembaga Pengkajian dan Studi Arus Informasi Regional (LPS-AIR) Pontianak menyebutkan penyelundupan kayu di wilayah perbatasan dengan Malaysia di Bengkayang biasanya beroperasi pada malam hingga subuh hari. Ini dilakukan agar aktivitas itu tidak terlalu mencolok dan menghindari pemantauan petugas.Hasil investigasi yang dipublikasikan pada Februari lalu itu memperkirakan sedikitnya 360 m3 kayu setiap bulan diselundupkan ke Malaysia melalui jalur perbatasan di Jagoi Babang."Truk pengangkut ini harus melewati setidaknya enam pos penjagaan. Oleh karena itu, tidak menutup kemungkinan ada oknum aparat yang terlibat dalam memuluskan aksi ini," ungkap Direktur LPS-AIR Deman Huri.Kapolres Bengkayang AKB Mosyan Ntmitch menyatakan pembalakan liar dan penyelundupan kayu di kawasan perbatasan di Bengkayang telah menurun drastis sejak dua tahun terakhir. (AR/N-1)
Sumber:
Sabtu, 28 Agustus 2010
Pembalakan Hutan di Perbatasan RI Malaysia Terus Berlangsung
Jumat, 27/08/2010/pk/13:45 WIB
Penulis; Aris Munandar
PONTIANAK--MI: Aktivitas pembalakan liar (illegal logging) di perbatasan Indonesia-Malaysia di Kalimantan Barat hingga saat ini masih terus berlangsung. Pelaku memanfaatkan kelegahan petugas dalam menjalankan aksi mereka.
"Sejak ada gebrakan (operasi) penertiban dari polisi, illegal logging di wilayah kami memang sempat terhenti. Namun, kini mucul lagi meskipun dilakukan secara sembunyi-sembunyi," kata Kepala Desa Semunying Jaya, Kecamatan Jagoi Babang, Kabupaten Bengkayang Momunus kepada Media Indonesia, Jumat (27/8).
Sebagian besar kayu hasil pembalakan liar itu diselundupkan ke Serawak, Malaysia dengan menggunakan truk melalui sejumlah jalan yang menghubungkan wilayah Semunying Jaya dengan tiga kampung di Serawak. Kayu-kayu itu kemudian ditampung oleh sebuah perusahaan pengolahan kayu di Distrik Sematan, Serawak.
Menurut Momonus terdapat tujuh akses jalan yang kerap digunakan sebagai jalur penyelundupan kayu di Semunying. Salah satu akses tersebut berupa jalan semipermanen berlapis batu yang berada di sebuah lokasi perkebunan kelapa sawit. "Jalan itu cukup lebar, kira-kira ada enam meter karena bisa dilalui dua truk yang berpapasan," ungkapnya.
Pembalakan liar dan penyelundupan kayu ini diduga melibatkan para pemodal dari Malaysia. Mereka membeli kayu-kayu dari para penebang dengan kisaran harga RM300 hingga RM800 atau sekitar Rp864 ribu hingga Rp2,3 juta per tan. Satu tan setara dengan 1,5 M3.
"Ada tiga cukong kayu dari Malaysia yang terlibat, yakni Mr Wong, Mr Akun dan Mr Ayun. Namun, cukong terbesar adalah Mr Wong karena memperkerjakan banyak karyawan," kata Wakil Ketua Badan Perwakilan Desa (BPD) Semunying Jaya Jamaludin. (AR/OL-8)
Sumber:
http://www.mediaindonesia.com/read/2010/08/27/165024/127/101/Pembalakan-Hutan-di-Perbatasan-RI-Malaysia-Terus-Berlangsung
Penulis; Aris Munandar
PONTIANAK--MI: Aktivitas pembalakan liar (illegal logging) di perbatasan Indonesia-Malaysia di Kalimantan Barat hingga saat ini masih terus berlangsung. Pelaku memanfaatkan kelegahan petugas dalam menjalankan aksi mereka.
"Sejak ada gebrakan (operasi) penertiban dari polisi, illegal logging di wilayah kami memang sempat terhenti. Namun, kini mucul lagi meskipun dilakukan secara sembunyi-sembunyi," kata Kepala Desa Semunying Jaya, Kecamatan Jagoi Babang, Kabupaten Bengkayang Momunus kepada Media Indonesia, Jumat (27/8).
Sebagian besar kayu hasil pembalakan liar itu diselundupkan ke Serawak, Malaysia dengan menggunakan truk melalui sejumlah jalan yang menghubungkan wilayah Semunying Jaya dengan tiga kampung di Serawak. Kayu-kayu itu kemudian ditampung oleh sebuah perusahaan pengolahan kayu di Distrik Sematan, Serawak.
Menurut Momonus terdapat tujuh akses jalan yang kerap digunakan sebagai jalur penyelundupan kayu di Semunying. Salah satu akses tersebut berupa jalan semipermanen berlapis batu yang berada di sebuah lokasi perkebunan kelapa sawit. "Jalan itu cukup lebar, kira-kira ada enam meter karena bisa dilalui dua truk yang berpapasan," ungkapnya.
Pembalakan liar dan penyelundupan kayu ini diduga melibatkan para pemodal dari Malaysia. Mereka membeli kayu-kayu dari para penebang dengan kisaran harga RM300 hingga RM800 atau sekitar Rp864 ribu hingga Rp2,3 juta per tan. Satu tan setara dengan 1,5 M3.
"Ada tiga cukong kayu dari Malaysia yang terlibat, yakni Mr Wong, Mr Akun dan Mr Ayun. Namun, cukong terbesar adalah Mr Wong karena memperkerjakan banyak karyawan," kata Wakil Ketua Badan Perwakilan Desa (BPD) Semunying Jaya Jamaludin. (AR/OL-8)
Sumber:
http://www.mediaindonesia.com/read/2010/08/27/165024/127/101/Pembalakan-Hutan-di-Perbatasan-RI-Malaysia-Terus-Berlangsung
Pembalakan Hutan di Perbatasan RI-Malaysia Terus Berlangsung
Polkam / Jumat, 27 Agustus 2010 14:09 WIB
Metrotvnews.com, Pontianak: Aktivitas pembalakan liar (illegal logging) di perbatasan Indonesia-Malaysia di Kalimantan Barat hingga saat ini masih terus berlangsung. Pelaku memanfaatkan kelegahan petugas dalam menjalankan aksi mereka.
Sejak ada gebrakan (operasi) penertiban dari polisi, illegal logging di wilayah kami memang sempat terhenti. Namun, kini mucul lagi meskipun dilakukan secara sembunyi-sembunyi, kata Kepala Desa Semunying Jaya, Kecamatan Jagoi Babang, Kabupaten Bengkayang Momunus kepada Media Indonesia, Jumat (27/8).
Sebagian besar kayu hasil pembalakan liar itu diselundupkan ke Serawak, Malaysia dengan menggunakan truk melalui sejumlah jalan yang menghubungkan wilayah Semunying Jaya dengan tiga kampung di Serawak. Kayu-kayu itu kemudian ditampung oleh sebuah perusahaan pengolahan kayu di Distrik Sematan, Serawak.
Menurut Momonus terdapat tujuh akses jalan yang kerap digunakan sebagai jalur penyelundupan kayu di Semunying. Salah satu akses tersebut berupa jalan semipermanen berlapis batu yang berada di sebuah lokasi perkebunan kelapa sawit. Jalan itu cukup lebar, kira-kira ada enam meter karena bisa dilalui dua truk yang berpapasan, ungkapnya.
Pembalakan liar dan penyelundupan kayu ini diduga melibatkan para pemodal dari Malaysia. Mereka membeli kayu-kayu dari para penebang dengan kisaran harga RM300 hingga RM800 atau sekitar Rp864 ribu hingga Rp2,3 juta per tan. Satu tan setara dengan 1,5 M3.
Ada tiga cukong kayu dari Malaysia yang terlibat, yakni Mr Wong, Mr Akun dan Mr Ayun. Namun, cukong terbesar adalah Mr Wong karena memperkerjakan banyak karyawan,†kata Wakil Ketua Badan Perwakilan Desa (BPD) Semunying Jaya Jamaludin. (MI/ICH)
Sumber:
http://www.metrotvnews.com/index.php/metromain/news/2010/08/27/27309/Pembalakan-Hutan-di-Perbatasan-RI-Malaysia-Terus-Berlangsung-
Metrotvnews.com, Pontianak: Aktivitas pembalakan liar (illegal logging) di perbatasan Indonesia-Malaysia di Kalimantan Barat hingga saat ini masih terus berlangsung. Pelaku memanfaatkan kelegahan petugas dalam menjalankan aksi mereka.
Sejak ada gebrakan (operasi) penertiban dari polisi, illegal logging di wilayah kami memang sempat terhenti. Namun, kini mucul lagi meskipun dilakukan secara sembunyi-sembunyi, kata Kepala Desa Semunying Jaya, Kecamatan Jagoi Babang, Kabupaten Bengkayang Momunus kepada Media Indonesia, Jumat (27/8).
Sebagian besar kayu hasil pembalakan liar itu diselundupkan ke Serawak, Malaysia dengan menggunakan truk melalui sejumlah jalan yang menghubungkan wilayah Semunying Jaya dengan tiga kampung di Serawak. Kayu-kayu itu kemudian ditampung oleh sebuah perusahaan pengolahan kayu di Distrik Sematan, Serawak.
Menurut Momonus terdapat tujuh akses jalan yang kerap digunakan sebagai jalur penyelundupan kayu di Semunying. Salah satu akses tersebut berupa jalan semipermanen berlapis batu yang berada di sebuah lokasi perkebunan kelapa sawit. Jalan itu cukup lebar, kira-kira ada enam meter karena bisa dilalui dua truk yang berpapasan, ungkapnya.
Pembalakan liar dan penyelundupan kayu ini diduga melibatkan para pemodal dari Malaysia. Mereka membeli kayu-kayu dari para penebang dengan kisaran harga RM300 hingga RM800 atau sekitar Rp864 ribu hingga Rp2,3 juta per tan. Satu tan setara dengan 1,5 M3.
Ada tiga cukong kayu dari Malaysia yang terlibat, yakni Mr Wong, Mr Akun dan Mr Ayun. Namun, cukong terbesar adalah Mr Wong karena memperkerjakan banyak karyawan,†kata Wakil Ketua Badan Perwakilan Desa (BPD) Semunying Jaya Jamaludin. (MI/ICH)
Sumber:
http://www.metrotvnews.com/index.php/metromain/news/2010/08/27/27309/Pembalakan-Hutan-di-Perbatasan-RI-Malaysia-Terus-Berlangsung-
Kamis, 26 Agustus 2010
PT. MKS Cemari Sungai Noyan, Warga Resah Hadirnya Aparat!!!
Pembangunan investasi perkebunan monokultur dengan dalih untuk memberikan kesejahteraan namun berbuah “petaka” karena justeru merugikan bagi rakyat seperti konflik penyerobotan lahan maupun tanah warga dan pencemaran sumber air adalah fenomena yang tidak asing di republik ini. Warga Desa Noyan dan sekitarnya di Kabupaten Sanggau adalah suatu komunitas masyarakat Dayak Bisonu’-Bemate’ yang juga bagian dari anak negeri, namun harus menelan pil pahit sebagai akibat dari pembukaan investasi yang hanya menguntungkan pihak tertentu semata.
Desa Noyan sendiri terdiri dari tiga dusun yakni; Dusun Noyan yang meliputi Kampung Kojup dan Plaman Noyan, Entubu dan Krosik. Sumber pencaharian warga Noyan pada umumnya sebagai peladang, petani karet, pedagang, dan ada juga yang bekerja di perkebunan sawit.
Berbagai persoalan di Desa Noyan terkait dengan keberadaan perkebunan sawit di daerah tersebut tidak dapat terhindari. Salah satu perusahaan perkebunan Sawit yang ada di daerah ini adalah PT. Mitra Karya Sentosa (MKS) anak perusahaan Surya Dumai Gropus. Berdasarkan hasil penelusuran lapangan dan laporan warga setempat, sejumlah fakta lapangan sebagai akibat dari pembukaan kawasan hutan untuk perkebunan sawit di daerah tersebut bahwa diantaranya; 1) Air Sungai Noyan sejak tahun 2009 mulai keruh dan bahkan kini rawan banjir karena kawasan hutan sebagai penyangga sudah dibabat, 2) tanah warga di serobot tanpa pemisi yang pada akhirnya hanya dihargai seadanya. Bahkan masih ada tanah warga yang diserobot namun belum di GRTT (Ganti Rugi Tanam Tumbuh), 3) telah terjadi tumpang tindih lahan perkebunan, 4) terjadi gejolak dan kerawanan sosial di tingkatan masyarakat dan bahkan konflik antar keluarga, 5) masyarakat resah dengan kehadiran aparat keamanan (brimob) yang menjadi alat perusahaan untuk mengamankan proses penggarapan dan pembebasan lahan.
Dalam prakteknya, pihak perusahaan malah menggunakan masyarakat lokal yang pro perkebunan untuk mendukung pembebasan lahan masyarakat.
Berbagai persoalan di Desa Noyan terkait dengan keberadaan perkebunan sawit di daerah tersebut tidak dapat terhindari. Salah satu perusahaan perkebunan Sawit yang ada di daerah ini adalah PT. Mitra Karya Sentosa (MKS). Berdasarkan hasil FGD bersama warga, sejumlah fakta yang didapati sebagai akibat dari pembukaan kawasan hutan untuk perkebunan sawit di daerah tersebut bahwa; 1) Air Sungai Noyan sejak tahun 2009 mulai keruh dan rawan banjir karena kawasan hutan sebagai penyangga sudah dibabat, 2) tanah warga di gusur tanpa pemisi dan pada akhir nya di hargai seadanya (bahkan ada yang belum di GRTT), 3) telah terjadi tumpang tindih lahan perkebunan, 4) terjadi gejolak dan kerawanan sosial di tingkatan masyarakat dan bahkan permusuhan antar keluarga, 5) masyarakat resah dengan kehadiran aparat keamanan (brimob) yang menjadi alat perusahaan untuk mengamankan proses penggarapan dan pembebasan lahan, 6) pihak perusahaan menggunakan masyarakat lokal yang pro perkebunan untuk mendukung pembebasan lahan masyarakat.
Dibalik berbagai persoalan tersebut, masyarakat di Desa Noyan masih berada dalam posisi yang lemah. Mereka disatu sisi tidak pernah mendapatkan informasi yang utuh mengenai sejumlah dampak investasi di daerahnya. Bahkan masyarakat setempat tidak mengetahui banyak soal keberadaan PT. MKS yang beroperasi di daerah mereka. Mereka juga tidak berdaya disaat perusahaan menggusur tanah mereka tanpa permisi.
Kondisi kebun juga tampak kurang terawat, dan hal demikian di akui warga. Disamping itu, masyarakat setempat merasa tidak pernah dilibatkan atas hadirnya perusahaan ini. Tidak melibatkan semua unsur. Berdasarkan informasi dilapangan bahwa izin PT. MKS dan PT. Bumi Tata Lestari (BTL) di Sei Daun tumpang tindih. Masyarakat juga menilai bahwa hadirnya PT. MKS tidak memberi kontribusi bagi masyarakat setempat. Yang ada justeru merugikan. Hutan masyarakat dibabat dan tanah di serobot tanpa permisi.
Disamping PT. MKS yang baru hadir di daerah Noyan dan sekitarnyasekitar tahun 2008/2009, juga terdapat PT. Global yang masuk sejak tahun 2005, PT. SISU (Sepanjang Inti Surya Utama) masuk tahun 2006/2007, PT. Semai Lestari (SL) dan PT. Bumi Tata Lestari (BTL) di tahun 2009. Persoalan tumpang tindih pengelolaan kawasan semakin di perparah dengan upaya eksplorasi yang dilakukan PT. Kendawangan Putra Abadi (sebuah perusahaan pertambangan) yang akan menggunakan areal kawasan PT. Mitra Karya Sentosa (MKS) sebagai kawasan konsesi.
Pemerintah daerah dan semua pihak terkait yang berniat baik dan memiliki tanggungjawab hendaknya memperhatikan persoalan yang dihadapi warga Noyan. Tercemarnya Sungai Noyan dan Sungai di Dusun Mayan mengancam kehidupan warga atas akses sumber air bersih bagi warga. Aparat kepolisian (brimob) yang hadir untuk perusahaan telah meresahkan warga. Pihak keamanan dan pihak terkait lainnya, khususnya Kapolda Kalimantan Barat hendaknya menarik aparat yang dianggap telah meresahkan dan membuat warga merasa trauma.
Disampaikan oleh Hendrikus Adam, Kadiv Riset dan Kampanye Walhi Kalimantan Barat.
Desa Noyan sendiri terdiri dari tiga dusun yakni; Dusun Noyan yang meliputi Kampung Kojup dan Plaman Noyan, Entubu dan Krosik. Sumber pencaharian warga Noyan pada umumnya sebagai peladang, petani karet, pedagang, dan ada juga yang bekerja di perkebunan sawit.
Berbagai persoalan di Desa Noyan terkait dengan keberadaan perkebunan sawit di daerah tersebut tidak dapat terhindari. Salah satu perusahaan perkebunan Sawit yang ada di daerah ini adalah PT. Mitra Karya Sentosa (MKS) anak perusahaan Surya Dumai Gropus. Berdasarkan hasil penelusuran lapangan dan laporan warga setempat, sejumlah fakta lapangan sebagai akibat dari pembukaan kawasan hutan untuk perkebunan sawit di daerah tersebut bahwa diantaranya; 1) Air Sungai Noyan sejak tahun 2009 mulai keruh dan bahkan kini rawan banjir karena kawasan hutan sebagai penyangga sudah dibabat, 2) tanah warga di serobot tanpa pemisi yang pada akhirnya hanya dihargai seadanya. Bahkan masih ada tanah warga yang diserobot namun belum di GRTT (Ganti Rugi Tanam Tumbuh), 3) telah terjadi tumpang tindih lahan perkebunan, 4) terjadi gejolak dan kerawanan sosial di tingkatan masyarakat dan bahkan konflik antar keluarga, 5) masyarakat resah dengan kehadiran aparat keamanan (brimob) yang menjadi alat perusahaan untuk mengamankan proses penggarapan dan pembebasan lahan.
Dalam prakteknya, pihak perusahaan malah menggunakan masyarakat lokal yang pro perkebunan untuk mendukung pembebasan lahan masyarakat.
Berbagai persoalan di Desa Noyan terkait dengan keberadaan perkebunan sawit di daerah tersebut tidak dapat terhindari. Salah satu perusahaan perkebunan Sawit yang ada di daerah ini adalah PT. Mitra Karya Sentosa (MKS). Berdasarkan hasil FGD bersama warga, sejumlah fakta yang didapati sebagai akibat dari pembukaan kawasan hutan untuk perkebunan sawit di daerah tersebut bahwa; 1) Air Sungai Noyan sejak tahun 2009 mulai keruh dan rawan banjir karena kawasan hutan sebagai penyangga sudah dibabat, 2) tanah warga di gusur tanpa pemisi dan pada akhir nya di hargai seadanya (bahkan ada yang belum di GRTT), 3) telah terjadi tumpang tindih lahan perkebunan, 4) terjadi gejolak dan kerawanan sosial di tingkatan masyarakat dan bahkan permusuhan antar keluarga, 5) masyarakat resah dengan kehadiran aparat keamanan (brimob) yang menjadi alat perusahaan untuk mengamankan proses penggarapan dan pembebasan lahan, 6) pihak perusahaan menggunakan masyarakat lokal yang pro perkebunan untuk mendukung pembebasan lahan masyarakat.
Dibalik berbagai persoalan tersebut, masyarakat di Desa Noyan masih berada dalam posisi yang lemah. Mereka disatu sisi tidak pernah mendapatkan informasi yang utuh mengenai sejumlah dampak investasi di daerahnya. Bahkan masyarakat setempat tidak mengetahui banyak soal keberadaan PT. MKS yang beroperasi di daerah mereka. Mereka juga tidak berdaya disaat perusahaan menggusur tanah mereka tanpa permisi.
Kondisi kebun juga tampak kurang terawat, dan hal demikian di akui warga. Disamping itu, masyarakat setempat merasa tidak pernah dilibatkan atas hadirnya perusahaan ini. Tidak melibatkan semua unsur. Berdasarkan informasi dilapangan bahwa izin PT. MKS dan PT. Bumi Tata Lestari (BTL) di Sei Daun tumpang tindih. Masyarakat juga menilai bahwa hadirnya PT. MKS tidak memberi kontribusi bagi masyarakat setempat. Yang ada justeru merugikan. Hutan masyarakat dibabat dan tanah di serobot tanpa permisi.
Disamping PT. MKS yang baru hadir di daerah Noyan dan sekitarnyasekitar tahun 2008/2009, juga terdapat PT. Global yang masuk sejak tahun 2005, PT. SISU (Sepanjang Inti Surya Utama) masuk tahun 2006/2007, PT. Semai Lestari (SL) dan PT. Bumi Tata Lestari (BTL) di tahun 2009. Persoalan tumpang tindih pengelolaan kawasan semakin di perparah dengan upaya eksplorasi yang dilakukan PT. Kendawangan Putra Abadi (sebuah perusahaan pertambangan) yang akan menggunakan areal kawasan PT. Mitra Karya Sentosa (MKS) sebagai kawasan konsesi.
Pemerintah daerah dan semua pihak terkait yang berniat baik dan memiliki tanggungjawab hendaknya memperhatikan persoalan yang dihadapi warga Noyan. Tercemarnya Sungai Noyan dan Sungai di Dusun Mayan mengancam kehidupan warga atas akses sumber air bersih bagi warga. Aparat kepolisian (brimob) yang hadir untuk perusahaan telah meresahkan warga. Pihak keamanan dan pihak terkait lainnya, khususnya Kapolda Kalimantan Barat hendaknya menarik aparat yang dianggap telah meresahkan dan membuat warga merasa trauma.
Disampaikan oleh Hendrikus Adam, Kadiv Riset dan Kampanye Walhi Kalimantan Barat.
Kamis, 19 Agustus 2010
Pengembangan Sawit di Kabupaten Bengkayang Ilegal
Era Baru News Sabtu, 24/04/2010
Pontianak - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Kalimantan Barat, menuding pengembangan perkebunan sawit PT Ledo Lestari di Desa Semunying Jaya, Kecamatan Jagoi, Babang Kabupaten Bengkayang ilegal.
Kepala Devisi Riset Kampanye WALHI Kalbar Hendrik Husadam dalam keterangan persnya di Pontianak, Sabtu (24/4), mengatakan pengembangan sawit oleh perusahaan itu ilegal karena izinnya telah berakhir tahun 2007, tapi hingga kini mereka masih terus melakukan pembabatan hutan adat milik masyarakat setempat.
PT Ledo Lestasri hanya memiliki izin pengembangan sawit sekitar 20 ribu hektare, kini perusahaan itu telah membabat hutan seluas 100 ribu hektare. Akibatnya hutan adat milik masyarakat setempat seluas 2.380 hektare menjadi rusak dan tersisa sekitar 930 hektare.
"Kuat dugaan selain mengembangkan sawit secara ilegal, perusahaan itu juga melakukan aktivitas pembalakan hutan secara liar. Hasil pembalakan itu dijual ke Malaysia yang jaraknya tidak terlalu jauh," katanya.
Hingga kini PT Ledo Lestari anak perusahaan PT Duta Palma Nusantara Group masih gencar melakukan pembabatan hutan. Pihak perusahaan tidak segan-segan melakukan intimidasi menggunakan kekuatan aparat penegak hukum kepada masyarakat setempat apabila menolak.
Kepala Desa Semunying Jaya Momonus mengatakan, akibat intimidasi dari pihak perusahaan, sekitar 93 kepala keluarga atau 385 jiwa, hidupnya menjadi tidak tentram.
"Hutan adat kami yang selama ini tempat menggantungkan hidup telah habis dibabat. Bahkan lahan perumahan kami juga terancam digusur," ujarnya.
Ia meminta, Pemerintah Kabupaten Bengkayang untuk menindak tegas pemilik perkebunan yang telah merampas dan merusak hutan adat milik masyarakat Desa Semunying Jaya.
"Kami yang dulunya hidup tentram dan damai, kini hidup dalam tekanan seperti masa penjajahan Belanda dan Jepang," ujarnya.
Hal senada juga diakui oleh salah seorang warga Desa Semunying Jaya, Jamaludin (50). Ia mengatakan, siapapun masyarakat yang melakukan perlawanan terhadap masuknya PT Ledo Lestari untuk pengembangan sawit selalu mendapat ancaman.
"Bahkan saya dan Kepala Desa Semunying Jaya, Momonus pernah ditahan selama sembilan hari di sel tahanan Kepolisian Resort Bengkayang dan mendapat tahanan kota selama 20 hari," katanya.
Pada dasarnya pihaknya tidak menentang perluasan sawit di desa itu. "Tapi perluasan perkebunan sawit juga memperhatikan kaedah atau norma masyarakat setempat dengan tidak merusak hutan adat dan makam leluhur kami," ujarnya.
Hasil investigasi Lembaga Pengkajian dan Studi Arus Informasi Regional (LPS-AIR) Kalbar selama lima hari di tahun Desember 2009 dan awal tahun 2010 di Kabupaten Ketapang dan Bengkayang masih menemukan maraknya aktivitas pembalakan liar.
Direktur LPS-AIR Deman Huri menyatakan, pihaknya menurunkan lima orang anggotanya untuk melakukan investigasi di Desa Sahan Kecamatan Seluas dan Desa Semunying Jaya Kecamatan Jagoi Babang Kabupaten Bengkayang dan masih menemukan maraknya aktivitas pembalakan liar.
"Hasil investigasi tim kami di lapangan, pembalakan mulai marak tahun 1977 lalu hingga kini, tapi jumlah kayunya telah menurun drastis karena penebangan kayu tanpa dibarengi menanam kembali. Modusnya yaitu para cukong mendanai masyarakat sekitar agar menebang kayu kemudian dijual ke cukong tersebut," kata Deman Huri.
Ia mengatakan, di Desa Sahan pihaknya juga menemukan PT Pencetus Sawit Andalan yang beralasan membuka hutan untuk menanam sawit di wilayah hutan adat desa itu. Padahal motif pembukaan lahan itu sebenarnya untuk mengambil kayu-kayu yang masih produktif.
Sementara di Desa Semunying Jaya Kecamatan Jagoi Babang juga terjadi aktivitas IL di hutan adat desa itu seluas 2.380 hektare yang kini tinggal 930 hektare akibat IL.
"Hasil aktivitas pembalakan oleh PT Yamaker dijual ke Malaysia karena jaraknya hanya satu sampai dua jam perjalanann," katanya.
Sebelumnya, Kepala Kepolisian Daerah (Polda) Kalimantan Barat, Brigadir Jenderal Pol Erwin TPL Tobing mengakui masih ada praktek pembalakan liar di Kabupaten Ketapang dan Bengkayang provinsi itu.
"Pembalakan hutan secara besar-besaran seperti beberapa tahun lalu sudah tiada ada lagi. Tapi untuk penebangan hutan skala kecil dan `kucing-kucingan dengan kepolisian masih ada," katanya.
Erwin menjelaskan, cukup sulit memberantas praktek itu selain karena luasnya wilayah yang harus diawasi, juga karena kurangnya personel Polda Kalbar. "Tapi yang penting praktek pembalakan secara besar-besaran sudah bisa ditekan dan secara bertahap pengawasan kami mengarah kepada praktek yang kecil," ujarnya.
Ia mengatakan, sulitnya menekan praktek pembalakan itu karena sebagian besar masyarakat masih menggantungkan hidupnya dari hasil kayu. Selain itu bahan baku kayu untuk pembangunan di Kalbar masih menjadi pilihan utama dibanding dari besi dan semen.(ant/yan)
Sumber:
http://erabaru.net/nasional/50-jakarta/12936-pengembangan-sawit-di-kabupaten-bengkayang-ilegal
Pontianak - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Kalimantan Barat, menuding pengembangan perkebunan sawit PT Ledo Lestari di Desa Semunying Jaya, Kecamatan Jagoi, Babang Kabupaten Bengkayang ilegal.
Kepala Devisi Riset Kampanye WALHI Kalbar Hendrik Husadam dalam keterangan persnya di Pontianak, Sabtu (24/4), mengatakan pengembangan sawit oleh perusahaan itu ilegal karena izinnya telah berakhir tahun 2007, tapi hingga kini mereka masih terus melakukan pembabatan hutan adat milik masyarakat setempat.
PT Ledo Lestasri hanya memiliki izin pengembangan sawit sekitar 20 ribu hektare, kini perusahaan itu telah membabat hutan seluas 100 ribu hektare. Akibatnya hutan adat milik masyarakat setempat seluas 2.380 hektare menjadi rusak dan tersisa sekitar 930 hektare.
"Kuat dugaan selain mengembangkan sawit secara ilegal, perusahaan itu juga melakukan aktivitas pembalakan hutan secara liar. Hasil pembalakan itu dijual ke Malaysia yang jaraknya tidak terlalu jauh," katanya.
Hingga kini PT Ledo Lestari anak perusahaan PT Duta Palma Nusantara Group masih gencar melakukan pembabatan hutan. Pihak perusahaan tidak segan-segan melakukan intimidasi menggunakan kekuatan aparat penegak hukum kepada masyarakat setempat apabila menolak.
Kepala Desa Semunying Jaya Momonus mengatakan, akibat intimidasi dari pihak perusahaan, sekitar 93 kepala keluarga atau 385 jiwa, hidupnya menjadi tidak tentram.
"Hutan adat kami yang selama ini tempat menggantungkan hidup telah habis dibabat. Bahkan lahan perumahan kami juga terancam digusur," ujarnya.
Ia meminta, Pemerintah Kabupaten Bengkayang untuk menindak tegas pemilik perkebunan yang telah merampas dan merusak hutan adat milik masyarakat Desa Semunying Jaya.
"Kami yang dulunya hidup tentram dan damai, kini hidup dalam tekanan seperti masa penjajahan Belanda dan Jepang," ujarnya.
Hal senada juga diakui oleh salah seorang warga Desa Semunying Jaya, Jamaludin (50). Ia mengatakan, siapapun masyarakat yang melakukan perlawanan terhadap masuknya PT Ledo Lestari untuk pengembangan sawit selalu mendapat ancaman.
"Bahkan saya dan Kepala Desa Semunying Jaya, Momonus pernah ditahan selama sembilan hari di sel tahanan Kepolisian Resort Bengkayang dan mendapat tahanan kota selama 20 hari," katanya.
Pada dasarnya pihaknya tidak menentang perluasan sawit di desa itu. "Tapi perluasan perkebunan sawit juga memperhatikan kaedah atau norma masyarakat setempat dengan tidak merusak hutan adat dan makam leluhur kami," ujarnya.
Hasil investigasi Lembaga Pengkajian dan Studi Arus Informasi Regional (LPS-AIR) Kalbar selama lima hari di tahun Desember 2009 dan awal tahun 2010 di Kabupaten Ketapang dan Bengkayang masih menemukan maraknya aktivitas pembalakan liar.
Direktur LPS-AIR Deman Huri menyatakan, pihaknya menurunkan lima orang anggotanya untuk melakukan investigasi di Desa Sahan Kecamatan Seluas dan Desa Semunying Jaya Kecamatan Jagoi Babang Kabupaten Bengkayang dan masih menemukan maraknya aktivitas pembalakan liar.
"Hasil investigasi tim kami di lapangan, pembalakan mulai marak tahun 1977 lalu hingga kini, tapi jumlah kayunya telah menurun drastis karena penebangan kayu tanpa dibarengi menanam kembali. Modusnya yaitu para cukong mendanai masyarakat sekitar agar menebang kayu kemudian dijual ke cukong tersebut," kata Deman Huri.
Ia mengatakan, di Desa Sahan pihaknya juga menemukan PT Pencetus Sawit Andalan yang beralasan membuka hutan untuk menanam sawit di wilayah hutan adat desa itu. Padahal motif pembukaan lahan itu sebenarnya untuk mengambil kayu-kayu yang masih produktif.
Sementara di Desa Semunying Jaya Kecamatan Jagoi Babang juga terjadi aktivitas IL di hutan adat desa itu seluas 2.380 hektare yang kini tinggal 930 hektare akibat IL.
"Hasil aktivitas pembalakan oleh PT Yamaker dijual ke Malaysia karena jaraknya hanya satu sampai dua jam perjalanann," katanya.
Sebelumnya, Kepala Kepolisian Daerah (Polda) Kalimantan Barat, Brigadir Jenderal Pol Erwin TPL Tobing mengakui masih ada praktek pembalakan liar di Kabupaten Ketapang dan Bengkayang provinsi itu.
"Pembalakan hutan secara besar-besaran seperti beberapa tahun lalu sudah tiada ada lagi. Tapi untuk penebangan hutan skala kecil dan `kucing-kucingan dengan kepolisian masih ada," katanya.
Erwin menjelaskan, cukup sulit memberantas praktek itu selain karena luasnya wilayah yang harus diawasi, juga karena kurangnya personel Polda Kalbar. "Tapi yang penting praktek pembalakan secara besar-besaran sudah bisa ditekan dan secara bertahap pengawasan kami mengarah kepada praktek yang kecil," ujarnya.
Ia mengatakan, sulitnya menekan praktek pembalakan itu karena sebagian besar masyarakat masih menggantungkan hidupnya dari hasil kayu. Selain itu bahan baku kayu untuk pembangunan di Kalbar masih menjadi pilihan utama dibanding dari besi dan semen.(ant/yan)
Sumber:
http://erabaru.net/nasional/50-jakarta/12936-pengembangan-sawit-di-kabupaten-bengkayang-ilegal
Sabtu, 14 Agustus 2010
30 Persen DAS di Kalbar Rusak
TRIBUNPONTIANAK/ALI
Ilustrasi
PONTIANAK, TRIBUN - Lebih dari 30 persen daerah aliran sungai (DAS) di Kalbar mengalami kerusakan yang parah. Persentase kerusakan 90 persen, dilihat dari kualitas air yang berwarna kuning kehitaman atau berkarat.
Direktur Eksekutif Walhi Kalbar, Hendi Candra, Jumat (16/7/10), menuturkan, DAS di Kalbar rusak parah akibat penambangan dan pembukaan perkebunan sawit. Satu diantara sungai yang menduduki peringkat tertinggi kerusakannya yakni Sungai di Kabupaten Landak.
"Sungai Landak paling kritis, mencakup sungai besar atau DAS utama maupun sungai kecil atau sub DAS. Jangankan untuk konsumsi, untuk transportasi saja sudah susah karena mengalami pendangkalan,," paparnya disela dialog "Pentingnya Pengelolaan DAS dalam Penataan Ruang Provinsi Kalimantan Barat" di Hotel Gajah Mada.
Ironisnya, Kalbar memiliki dan dialiri banyak sungai, sehingga terkenal sebagai daerah seribu sungai.
Editor: End | Laporan: Pab
Sumber:
http://www.tribunpontianak.co.id/read/artikel/14127
Ilustrasi
PONTIANAK, TRIBUN - Lebih dari 30 persen daerah aliran sungai (DAS) di Kalbar mengalami kerusakan yang parah. Persentase kerusakan 90 persen, dilihat dari kualitas air yang berwarna kuning kehitaman atau berkarat.
Direktur Eksekutif Walhi Kalbar, Hendi Candra, Jumat (16/7/10), menuturkan, DAS di Kalbar rusak parah akibat penambangan dan pembukaan perkebunan sawit. Satu diantara sungai yang menduduki peringkat tertinggi kerusakannya yakni Sungai di Kabupaten Landak.
"Sungai Landak paling kritis, mencakup sungai besar atau DAS utama maupun sungai kecil atau sub DAS. Jangankan untuk konsumsi, untuk transportasi saja sudah susah karena mengalami pendangkalan,," paparnya disela dialog "Pentingnya Pengelolaan DAS dalam Penataan Ruang Provinsi Kalimantan Barat" di Hotel Gajah Mada.
Ironisnya, Kalbar memiliki dan dialiri banyak sungai, sehingga terkenal sebagai daerah seribu sungai.
Editor: End | Laporan: Pab
Sumber:
http://www.tribunpontianak.co.id/read/artikel/14127
Transparansi Kepala Daerah Kelola Hutan
LINDUNGI HUTAN - (Ada Poto) Aktivis Greenpeace, Walhi dan AMAN Kalbar melakukan aksi damai di kebun sawit kawasan Taman Nasional Danau Sentarum untuk melindungi hutan dan lahan gambut dari kerusakan episode 2009 lalu.
TELAH 68 hari Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan melayangkan surat "khusus" kepada para gubernur. Sepanjang waktu itu surat belum terbalas.
Surat Menhut Nomor S95/Menhut-IV/2010 tertanggal 25 Februari 2010, berisi permintaan kepada gubernur untuk menginventarisasi pelanggaran kawasan hutan, baik akibat perkebunan maupun pertambangan.
Menhut juga minta gubernur melaporkan tindakan yang diambil dua bulan setelah menerima surat. Laporan wajib ditembuskan ke Kementerian Lingkungan Hidup, Polri, Kejaksaan Agung, dan Komisi Pemberantasan Mafia Hutan yang masuk tim gabungan penegakan hukum kehutanan.
Namun, hingga Senin (3/5), belum satu pun gubernur membalas. Ada apa dengan gubernur negeri ini? Semoga hanya masalah administratif, bukan terkait mata rantai mafia hutan.
Tak lama lagi, tim gabungan penegakan hukum kehutanan turun lapangan untuk menghimpun bukti pelanggaran kawasan hutan. Jika ada kepala daerah membangkang pelaporan pelanggaran hukum kehutanan, dijadikan "temuan" tim.
Sikap lamban gubernur menjadi "aneh," di tengah gencarnya kampanye pemberantasan mafia hukum, khususnya di bidang kehutanan. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bahkan telah mengobarkan perang terhadap 9 mafia yang disebut big fish.
Anomali komunikasi pejabat daerah-pusat ini, patut didalami manakala mengristal kelambanan sikap sama di tingkat pejabat bupati. Khususnya, dalam membantu rakyat memperoleh izin hak pengelolaan hutan tanaman rakyat (HTR)
HTR merupakan program andalan Kemenhut yang melibatkan masyarakat untuk menanami hutan dengan tanaman bernilai ekonomi. Targetnya, seluas 2,5 juta hektare sampai 2014. Kemenhut mencadangkan 480 ribu hektare dari target 500 ribu hektare kawasan hutan produksi untuk program HTR tahun ini.
Sayang, hingga kini bupati baru menerbitkan izin 60 ribu hektare. Akselerasi penerbitan izin pengelolaan HTR oleh masyarakat, kelompok tani atau koperasi ini, diplot di Sumatera, Sulawesi, Kalimantan dan Papua.
Menghadapi "stagnasi" sikap kepala daerah ini, Menhut minta bantuan Mendagri Gamawan Fauzi agar menginstruksikan bupati secepatnya memproses izin pengelolaan HTR. Ada apa, dan mengapa bupati dan gubernur bersikap "lamban"?
Hutan Kalbar Kritis
Pertanyaan besar yang wajib diungkap ke publik. Komisi IV DPR yang membidangi pertanian, perkebunan, perikanan, kelautan, kehutanan, dan pangan, patut menggunakan fungsi pengawasannya.
Mendata sahih sekaligus menyelamatkan hutan saat ini, adalah keniscayaan. Wajib diingat, negeri kita yang menempati urutan kelima dari 10 negara berhutan luas di dunia, masuk ranking dua laju kerusakan hutan tertinggi di muka bumi.
Laju kerusakan hutan Indonesia mencapai 1,87 juta hektare selama 2000-2005. Kerusakan ini tak hanya mengancam harta hutan yang bisa dimanfaatkan untuk peningkatan kesejahteraan rakyat, tetapi sekaligus mengancam masa depan dan kesinambungan hidup anak cucu kita.
Kerusakan hutan senantiasa berdampak buruk terhadap ekosistem semesta alam. Perubahan iklim dan pemanasan global, adalah akibat sekaligus ancaman kehidupan manusia di dunia saat ini.
Fenomena ini juga melanda hutan Bumi Khatulistiwa. Dari 9,176 juta hektare lahan hutan Kalbar, sekitar 2,1 juta hektare kritis. Laju kerusakan hutan Kalbar mencapai 165 ribu hektare per tahun, atau 23 kali luas lapangan sepakbola per jam.
Masihkah kita bangga menebangi hutan sekehendak hati? Masihkah kita bangga menerbitkan izin perkebunan sawit tanpa mengindahkan keseimbangan alam? Masihkah kita tutup mata tak menegakkan hukum atas illegal logging, illegal mining?
Jika ya jawabannya, cepat atau lambat kita akan menjadi Gayus kesekian. Penyesalan selalu datang belakangan. Hentikan menimbun harta haram yang mengancam kehidupan masa mendatang.
Seharusnya kita bisa memetik hikmah dugaan keterlibatan pejabat publik, termasuk dua pejabat tinggi Mabes Polri dalam mafia kehutanan. Satgas Pemberantasan Mafia Hukum sedang menindaklanjuti kasus ini yang diduga merugikan negara Rp 2,8 triliun.
Menyembunyikan uang haram di era kini, sulit dilakukan. Jika kita tidak takut Tuhan, petugas Pusat Pelaporan dan Analis Transaksi Keuangan mudah melacak. Haruskah kita menghabiskan masa tua di bui?
Tidakkah kita malu mendapat gelar koruptor? Atau ikhlaskah jika harkat dan martabat sebagai pejabat amanah hancur? Mari, selamatkan dan manfaatkan hutan sesuai kaidah alam.
sumber: tribun pontianak edisi cetak
editor: alb
Sumber:
http://www.tribunpontianak.co.id/read/artikel/9409
TELAH 68 hari Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan melayangkan surat "khusus" kepada para gubernur. Sepanjang waktu itu surat belum terbalas.
Surat Menhut Nomor S95/Menhut-IV/2010 tertanggal 25 Februari 2010, berisi permintaan kepada gubernur untuk menginventarisasi pelanggaran kawasan hutan, baik akibat perkebunan maupun pertambangan.
Menhut juga minta gubernur melaporkan tindakan yang diambil dua bulan setelah menerima surat. Laporan wajib ditembuskan ke Kementerian Lingkungan Hidup, Polri, Kejaksaan Agung, dan Komisi Pemberantasan Mafia Hutan yang masuk tim gabungan penegakan hukum kehutanan.
Namun, hingga Senin (3/5), belum satu pun gubernur membalas. Ada apa dengan gubernur negeri ini? Semoga hanya masalah administratif, bukan terkait mata rantai mafia hutan.
Tak lama lagi, tim gabungan penegakan hukum kehutanan turun lapangan untuk menghimpun bukti pelanggaran kawasan hutan. Jika ada kepala daerah membangkang pelaporan pelanggaran hukum kehutanan, dijadikan "temuan" tim.
Sikap lamban gubernur menjadi "aneh," di tengah gencarnya kampanye pemberantasan mafia hukum, khususnya di bidang kehutanan. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bahkan telah mengobarkan perang terhadap 9 mafia yang disebut big fish.
Anomali komunikasi pejabat daerah-pusat ini, patut didalami manakala mengristal kelambanan sikap sama di tingkat pejabat bupati. Khususnya, dalam membantu rakyat memperoleh izin hak pengelolaan hutan tanaman rakyat (HTR)
HTR merupakan program andalan Kemenhut yang melibatkan masyarakat untuk menanami hutan dengan tanaman bernilai ekonomi. Targetnya, seluas 2,5 juta hektare sampai 2014. Kemenhut mencadangkan 480 ribu hektare dari target 500 ribu hektare kawasan hutan produksi untuk program HTR tahun ini.
Sayang, hingga kini bupati baru menerbitkan izin 60 ribu hektare. Akselerasi penerbitan izin pengelolaan HTR oleh masyarakat, kelompok tani atau koperasi ini, diplot di Sumatera, Sulawesi, Kalimantan dan Papua.
Menghadapi "stagnasi" sikap kepala daerah ini, Menhut minta bantuan Mendagri Gamawan Fauzi agar menginstruksikan bupati secepatnya memproses izin pengelolaan HTR. Ada apa, dan mengapa bupati dan gubernur bersikap "lamban"?
Hutan Kalbar Kritis
Pertanyaan besar yang wajib diungkap ke publik. Komisi IV DPR yang membidangi pertanian, perkebunan, perikanan, kelautan, kehutanan, dan pangan, patut menggunakan fungsi pengawasannya.
Mendata sahih sekaligus menyelamatkan hutan saat ini, adalah keniscayaan. Wajib diingat, negeri kita yang menempati urutan kelima dari 10 negara berhutan luas di dunia, masuk ranking dua laju kerusakan hutan tertinggi di muka bumi.
Laju kerusakan hutan Indonesia mencapai 1,87 juta hektare selama 2000-2005. Kerusakan ini tak hanya mengancam harta hutan yang bisa dimanfaatkan untuk peningkatan kesejahteraan rakyat, tetapi sekaligus mengancam masa depan dan kesinambungan hidup anak cucu kita.
Kerusakan hutan senantiasa berdampak buruk terhadap ekosistem semesta alam. Perubahan iklim dan pemanasan global, adalah akibat sekaligus ancaman kehidupan manusia di dunia saat ini.
Fenomena ini juga melanda hutan Bumi Khatulistiwa. Dari 9,176 juta hektare lahan hutan Kalbar, sekitar 2,1 juta hektare kritis. Laju kerusakan hutan Kalbar mencapai 165 ribu hektare per tahun, atau 23 kali luas lapangan sepakbola per jam.
Masihkah kita bangga menebangi hutan sekehendak hati? Masihkah kita bangga menerbitkan izin perkebunan sawit tanpa mengindahkan keseimbangan alam? Masihkah kita tutup mata tak menegakkan hukum atas illegal logging, illegal mining?
Jika ya jawabannya, cepat atau lambat kita akan menjadi Gayus kesekian. Penyesalan selalu datang belakangan. Hentikan menimbun harta haram yang mengancam kehidupan masa mendatang.
Seharusnya kita bisa memetik hikmah dugaan keterlibatan pejabat publik, termasuk dua pejabat tinggi Mabes Polri dalam mafia kehutanan. Satgas Pemberantasan Mafia Hukum sedang menindaklanjuti kasus ini yang diduga merugikan negara Rp 2,8 triliun.
Menyembunyikan uang haram di era kini, sulit dilakukan. Jika kita tidak takut Tuhan, petugas Pusat Pelaporan dan Analis Transaksi Keuangan mudah melacak. Haruskah kita menghabiskan masa tua di bui?
Tidakkah kita malu mendapat gelar koruptor? Atau ikhlaskah jika harkat dan martabat sebagai pejabat amanah hancur? Mari, selamatkan dan manfaatkan hutan sesuai kaidah alam.
sumber: tribun pontianak edisi cetak
editor: alb
Sumber:
http://www.tribunpontianak.co.id/read/artikel/9409
Teatrikal Walhi Kalbar Peringati Hari Bumi
Kamis, 22/04/2010/pk/13:13 WIB
PONTIANA, TRIBUN - Memperingati Hari Bumi pada 22 April ini, pegiat Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kalimantan Barat menggelar aksi teaterikal di Bundaran Digulis Universitas Tanjungpura (Untan), Kamis (22/4).
Walau hanya diperankan sekitar tujuh orang, aksi teaterikal tersebut sangat menarik penonton. Mereka menggambarkan bencana banjir, longsor, kekeringan, badai akibat kerusakan lingkungan. Ada yang berperan sebagai investor, warga, petugas dan lainnya.
Aksi teaterikal menggambarkan ajakan Walhi untuk menghentikan perluasan pembukaan lahan kebun sawit dan penghentian illegal logging serta land cleaning. Aksi teaterikal berlangsung sekitar pukul 11.00 hingga saat ini. (*)
Laporan: Iin Sholihin
Editor: nip
Dapatkan artikel ini di URL:
http://www.tribunpontianak.co.id/read/artikel/8527
Sumber:
http://www.tribunpontianak.co.id/printnews/artikel/8527
PONTIANA, TRIBUN - Memperingati Hari Bumi pada 22 April ini, pegiat Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kalimantan Barat menggelar aksi teaterikal di Bundaran Digulis Universitas Tanjungpura (Untan), Kamis (22/4).
Walau hanya diperankan sekitar tujuh orang, aksi teaterikal tersebut sangat menarik penonton. Mereka menggambarkan bencana banjir, longsor, kekeringan, badai akibat kerusakan lingkungan. Ada yang berperan sebagai investor, warga, petugas dan lainnya.
Aksi teaterikal menggambarkan ajakan Walhi untuk menghentikan perluasan pembukaan lahan kebun sawit dan penghentian illegal logging serta land cleaning. Aksi teaterikal berlangsung sekitar pukul 11.00 hingga saat ini. (*)
Laporan: Iin Sholihin
Editor: nip
Dapatkan artikel ini di URL:
http://www.tribunpontianak.co.id/read/artikel/8527
Sumber:
http://www.tribunpontianak.co.id/printnews/artikel/8527
Selasa, 10 Agustus 2010
Ketika Warga Seruat Mengadu ke Walhi Kalbar
Selasa, 10/08/2010/pk/11:06:00
Kami Tak Mampu Lawan Kekuatan Pemilik Modal
By. Sutami, Pontianak
Tanah adalah kekayaan. Anugerah sekaligus pintu petaka. Pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit skala besar mulai berdampak pada masyarakat. Ancaman banjir hingga menjadi bangsa yang pekerja. Orang-orang kecil itu sudah tak sanggup melawan kekuatan pemilik modal.
LANCAR bicaranya. Bersemangat mengutarakan persoalan yang dihadapi. Daerahnya pernah dihantam banjir. Menjadi pengalaman pahit yang sungguh terasa. Sebuah kejadian yang sebelumnya tidak pernah terjadi. Ungkapan Jasni, warga Desa Seruat, Kabupaten Kubu Raya, secara spontan menggambarkan dampak paling nyata dari pembukaan sporadis lahan perkebunan sawit. Duduk berderet dan saling berhadapan menjadi pertemuan serius di sekretariat Wahana Lingkungan Indonesia Kalimantan Barat, Senin (9/8) di Pontinanak. Dipojok kanan Jasni duduk sambil bercerita. Menguraikan keadaan yang masyarakat setempat rasakan.
Dia menuturkan tentang Desa Seruat. Mulai mata pencaharian hingga keadaan terkini. Sama dengan daerah lain di Kubu Raya. Untuk mata pencaharian masyarakatnya mengandalkan pertanian. Hal tersebut menjadi permasalahan. Dia menguraikan, masalah pertanian terkait dengan lahan. Tetapi, sekarang masalah tanah yang sedang diratapi, yakni perluasan areal perkebunan yang tak mampu dilawan. Karena aktivitas perusahaan memiliki kekuatan legal secara formal melalui aturan yang dibuat pemerintah. Jasni bercerita, masyarakat diminta menjual lahan yang berstatus tanah negara. “Ketika masyarakat ingin mempertahankan justru malah perusahaan melaporkan ke pihak berwajib,” katanya.
Keadaan membingungkan menyelimuti warga. Mereka seakan kehilangan tempat menumpahkan penderitaan. “Mendatangi DPRD Kubu Raya sudah kami lakukan. Menemui bupati juga sudah. Tapi hasilnya belum kunjung tiba,” ujar Jasni. Hal ditakuti Jasni adalah tentang masa depan generasi Seruat. Ia tak menginginkan keturunananya menjadi kuli akibat lahan peninggalan nenek moyang secara perlahan habis dikuasai pemodal. Sehingga tidak lagi menyisakan tempat untuk bercocok tanam atau merasakan sedikit rasa kemerdekaan. Panjang lebar Jasni mengungkapkan permasalah di Desa Seruat II. Saat datang ke Walhi Kalbar, Jasni ditemani Sutia. Keduanya membuka tabir menyangkut peliknya masalah lahan. Yang sekilas tidak terlalu menjadi masalah yang menyilaukan. Tetapi di balik kerindangan dan kemegahan batang-batang sawit menyimpan misteri.
Sutia bercerita, perusahaan yang membuka lahan di desanya, memang pernah bersosialisasi. Namun kesepakatan tidak mencapai titik temu. Direktur Eksekutif Walhi Kalbar Hendi Chandra mengatakan, kawasan hutan Kubu Raya merupakan penyangga daerah aliran sungai Kapuas. Bila dibiarkan akan memberikan dampak menonjol terhadap masalah lingkungan. Tomo dari Gemawan menegaskan keterlibatan pemerintah dalam pemberian izin pembukaan lahan turut menyuburkan kerusakan hutan. Masyarakat yang paling rentan merasakan dampak. Selain kerusakan lingkungan, berhadapan dengan perusahaan juga kriminalisasi aparat penegak hukum juga bakal menghantui akibat berseberangan dengan keinginan pemilik modal. (*)
Sumber:
http://www.pontianakpost.com/index.php?mib=berita.detail&id=37284
Kami Tak Mampu Lawan Kekuatan Pemilik Modal
By. Sutami, Pontianak
Tanah adalah kekayaan. Anugerah sekaligus pintu petaka. Pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit skala besar mulai berdampak pada masyarakat. Ancaman banjir hingga menjadi bangsa yang pekerja. Orang-orang kecil itu sudah tak sanggup melawan kekuatan pemilik modal.
LANCAR bicaranya. Bersemangat mengutarakan persoalan yang dihadapi. Daerahnya pernah dihantam banjir. Menjadi pengalaman pahit yang sungguh terasa. Sebuah kejadian yang sebelumnya tidak pernah terjadi. Ungkapan Jasni, warga Desa Seruat, Kabupaten Kubu Raya, secara spontan menggambarkan dampak paling nyata dari pembukaan sporadis lahan perkebunan sawit. Duduk berderet dan saling berhadapan menjadi pertemuan serius di sekretariat Wahana Lingkungan Indonesia Kalimantan Barat, Senin (9/8) di Pontinanak. Dipojok kanan Jasni duduk sambil bercerita. Menguraikan keadaan yang masyarakat setempat rasakan.
Dia menuturkan tentang Desa Seruat. Mulai mata pencaharian hingga keadaan terkini. Sama dengan daerah lain di Kubu Raya. Untuk mata pencaharian masyarakatnya mengandalkan pertanian. Hal tersebut menjadi permasalahan. Dia menguraikan, masalah pertanian terkait dengan lahan. Tetapi, sekarang masalah tanah yang sedang diratapi, yakni perluasan areal perkebunan yang tak mampu dilawan. Karena aktivitas perusahaan memiliki kekuatan legal secara formal melalui aturan yang dibuat pemerintah. Jasni bercerita, masyarakat diminta menjual lahan yang berstatus tanah negara. “Ketika masyarakat ingin mempertahankan justru malah perusahaan melaporkan ke pihak berwajib,” katanya.
Keadaan membingungkan menyelimuti warga. Mereka seakan kehilangan tempat menumpahkan penderitaan. “Mendatangi DPRD Kubu Raya sudah kami lakukan. Menemui bupati juga sudah. Tapi hasilnya belum kunjung tiba,” ujar Jasni. Hal ditakuti Jasni adalah tentang masa depan generasi Seruat. Ia tak menginginkan keturunananya menjadi kuli akibat lahan peninggalan nenek moyang secara perlahan habis dikuasai pemodal. Sehingga tidak lagi menyisakan tempat untuk bercocok tanam atau merasakan sedikit rasa kemerdekaan. Panjang lebar Jasni mengungkapkan permasalah di Desa Seruat II. Saat datang ke Walhi Kalbar, Jasni ditemani Sutia. Keduanya membuka tabir menyangkut peliknya masalah lahan. Yang sekilas tidak terlalu menjadi masalah yang menyilaukan. Tetapi di balik kerindangan dan kemegahan batang-batang sawit menyimpan misteri.
Sutia bercerita, perusahaan yang membuka lahan di desanya, memang pernah bersosialisasi. Namun kesepakatan tidak mencapai titik temu. Direktur Eksekutif Walhi Kalbar Hendi Chandra mengatakan, kawasan hutan Kubu Raya merupakan penyangga daerah aliran sungai Kapuas. Bila dibiarkan akan memberikan dampak menonjol terhadap masalah lingkungan. Tomo dari Gemawan menegaskan keterlibatan pemerintah dalam pemberian izin pembukaan lahan turut menyuburkan kerusakan hutan. Masyarakat yang paling rentan merasakan dampak. Selain kerusakan lingkungan, berhadapan dengan perusahaan juga kriminalisasi aparat penegak hukum juga bakal menghantui akibat berseberangan dengan keinginan pemilik modal. (*)
Sumber:
http://www.pontianakpost.com/index.php?mib=berita.detail&id=37284
Sabtu, 07 Agustus 2010
Walhi says land grabs degrading environment
The Jakarta Post, Jakarta
Monday/06/07/2010/pk/9:54 AM
JAKARTA: The Indonesian Environmental Forum (Walhi) alleges that land grabs by large-scale plantation companies are leading to rapid environmental degradation in West Kalimantan.
Local Walhi activist Hendrikus Adam said plantation companies that are expanding production opening new estates are damaging the most land.
Hendrikus made the statement while addressing a demonstration held in observance of the World Environment Day at Tanjungpura University in Pontianak on Saturday.
Activists at the demonstration demanded that the government stop illegal logging, land clearing and seizure of local community’s property.
Hendrikus said powerful plantation companies often intimidated locals who resist seizure of their land.
“Ironically, local governments are very generous when issuing new permits for plantation companies to open estates in West Kalaimantan,” he said as quoted by Antara.
Walhi’s statistics show 6,632 disasters from ecological degradation over the past 13 years.
Sawit Watch, a non-governmental organization that monitors oil palm plantations, has recorded 630 land-ownership conflicts between locals and companies so far this year. — JP
Sumber:
http://www.thejakartapost.com/news/2010/06/07/walhi-says-land-grabs-degrading-environment.html
lihat juga:
http://webcache.googleusercontent.com/search?q=cache:w9Y4m3amHigJ:gccs.cos.gmu.edu/aggregator/categories/5%3Fpage%3D12+Hendrikus+Adam+Walhi+Kalbar&cd=37&hl=en&ct=clnk&client=firefox-a
Monday/06/07/2010/pk/9:54 AM
JAKARTA: The Indonesian Environmental Forum (Walhi) alleges that land grabs by large-scale plantation companies are leading to rapid environmental degradation in West Kalimantan.
Local Walhi activist Hendrikus Adam said plantation companies that are expanding production opening new estates are damaging the most land.
Hendrikus made the statement while addressing a demonstration held in observance of the World Environment Day at Tanjungpura University in Pontianak on Saturday.
Activists at the demonstration demanded that the government stop illegal logging, land clearing and seizure of local community’s property.
Hendrikus said powerful plantation companies often intimidated locals who resist seizure of their land.
“Ironically, local governments are very generous when issuing new permits for plantation companies to open estates in West Kalaimantan,” he said as quoted by Antara.
Walhi’s statistics show 6,632 disasters from ecological degradation over the past 13 years.
Sawit Watch, a non-governmental organization that monitors oil palm plantations, has recorded 630 land-ownership conflicts between locals and companies so far this year. — JP
Sumber:
http://www.thejakartapost.com/news/2010/06/07/walhi-says-land-grabs-degrading-environment.html
lihat juga:
http://webcache.googleusercontent.com/search?q=cache:w9Y4m3amHigJ:gccs.cos.gmu.edu/aggregator/categories/5%3Fpage%3D12+Hendrikus+Adam+Walhi+Kalbar&cd=37&hl=en&ct=clnk&client=firefox-a
Perubahan Iklim Menjadi Isu Utama Masyarakat
Jumat, 06/08/2010
Ditulis oleh Hentakun
“Media lokal melihat bahwa perubahan iklim dan REDD bukan isu utama yang harus diinformasikan,” ujar Kepala Lembaga Pengkajian dan Studi Arus Informasi Regional (LPS-AIR) Deman Huri Gustira dalam diskusi dan peluncuran buku, Mewartakan Perubahan Iklim dan REDD di kafe D’Tapaz, Pontianak, Kamis (5/8).
Diskusi tersebut dihadiri jurnalis se-Kalbar, Bonn University Jerman dan penggiat lingkungan seperti Walhi, DED, PRCF, Sakawana dan Badan Lingkungan Hidup Provinsi Kalbar.
Kurangnya pemberitaan tersebut menurut Deman lantaran masih lemahnya jurnalis lokal dalam memahami permasalahan perubahan iklim dan REDD dan politik media serta kepentingan pasar, jurnalis dan pemilik media belum melihat bahwa perubahan iklim dan REDD adalah isu yang hangat dan laku di pasaran.
Hendrikus Adam dari Walhi Kalbar mengatakan, dampak dari perubahan iklim memang tidak bisa dihindari. Karena itu memang pasti terjadi, namun bagimana kita bisa mengurangi hal itu, harus ada cara-cara khusus, bagaimana menekan laju perubahan iklim. Disatu sisi kebijakan untuk pembukaan hutan secara untuk sawit masih terus terjadi. Kebijakan yang ada masih berbalik dengan keadaanya yang ada. Bukan malah mengurangi perubahan iklim namun malah semakin kompleks.
Dedy dari PRCF, mengatakan terkait dengan perubahan iklim, sudah merancang membentuk komunitas tentang perubahan iklim. Tentu saja yang terkait langsung ialah petani serta hasil panen yang mereka peroleh. Berikan penyuluhan tentang perubahan iklim, siapa yang bisa mereka hubungi, yang pasti bagaimana mereka bisa le;uar dengan hal itu.
Pemerintah harus aktif dan menentukan aspek yang ada. Yang hangat ialah baru di internasional, jadi belum dipasarkan, terkait dengan pemerintah daerha harus menyiapkan agar. Jangan sampai itu tidak direspon dari pemerintah daerah. Jangan sampai mereka tidak ikut dengan dewan iklim nasional yang sudah merancang itu. NGO bisa berkerjasama dengan pemerintah daerah, rencana jangka panjang untuk mendukung dan terjun ke lapangan ke level daerah yang bisa terjun langsung ke daerah yang terkena langsung perubahan iklim.
Sumber:
http://borneotribune.com/nasional/perubahan-iklim-menjadi-isu-utama-masyarakat.html
Ditulis oleh Hentakun
“Media lokal melihat bahwa perubahan iklim dan REDD bukan isu utama yang harus diinformasikan,” ujar Kepala Lembaga Pengkajian dan Studi Arus Informasi Regional (LPS-AIR) Deman Huri Gustira dalam diskusi dan peluncuran buku, Mewartakan Perubahan Iklim dan REDD di kafe D’Tapaz, Pontianak, Kamis (5/8).
Diskusi tersebut dihadiri jurnalis se-Kalbar, Bonn University Jerman dan penggiat lingkungan seperti Walhi, DED, PRCF, Sakawana dan Badan Lingkungan Hidup Provinsi Kalbar.
Kurangnya pemberitaan tersebut menurut Deman lantaran masih lemahnya jurnalis lokal dalam memahami permasalahan perubahan iklim dan REDD dan politik media serta kepentingan pasar, jurnalis dan pemilik media belum melihat bahwa perubahan iklim dan REDD adalah isu yang hangat dan laku di pasaran.
Hendrikus Adam dari Walhi Kalbar mengatakan, dampak dari perubahan iklim memang tidak bisa dihindari. Karena itu memang pasti terjadi, namun bagimana kita bisa mengurangi hal itu, harus ada cara-cara khusus, bagaimana menekan laju perubahan iklim. Disatu sisi kebijakan untuk pembukaan hutan secara untuk sawit masih terus terjadi. Kebijakan yang ada masih berbalik dengan keadaanya yang ada. Bukan malah mengurangi perubahan iklim namun malah semakin kompleks.
Dedy dari PRCF, mengatakan terkait dengan perubahan iklim, sudah merancang membentuk komunitas tentang perubahan iklim. Tentu saja yang terkait langsung ialah petani serta hasil panen yang mereka peroleh. Berikan penyuluhan tentang perubahan iklim, siapa yang bisa mereka hubungi, yang pasti bagaimana mereka bisa le;uar dengan hal itu.
Pemerintah harus aktif dan menentukan aspek yang ada. Yang hangat ialah baru di internasional, jadi belum dipasarkan, terkait dengan pemerintah daerha harus menyiapkan agar. Jangan sampai itu tidak direspon dari pemerintah daerah. Jangan sampai mereka tidak ikut dengan dewan iklim nasional yang sudah merancang itu. NGO bisa berkerjasama dengan pemerintah daerah, rencana jangka panjang untuk mendukung dan terjun ke lapangan ke level daerah yang bisa terjun langsung ke daerah yang terkena langsung perubahan iklim.
Sumber:
http://borneotribune.com/nasional/perubahan-iklim-menjadi-isu-utama-masyarakat.html
Selasa, 20 Juli 2010
Bongkar Mafia Kehutanan Kalbar
Kamis, 22/04/2010/pk/06:01:00
Beberapa kasus perlu dibedah. Banyak kejanggalan atas penanganan perkara para penjahat kehutanan. Konspirasi mafia hukum sangat kentara.
PONTIANAK. Instruksi Presiden SBY yang meminta pengusutan vonis hukuman ringan kepada para pelaku pembalakan hutan mendapat respons Yayasan Titian, LPS-AIR dan Walhi Kalbar. Tiga LSM tersebut menuntut pengungkapan mafia kehutanan di Kalbar.
“Harus ada pengkajian kembali terhadap beberapa kasus kejahatan kehutanan di Kalbar,” tegas Yuyun Kurniawan dari Yayasan Titian dalam jumpa pers di Tapaz Pontianak, Rabu (21/4).
Pada awal April lalu, Presiden SBY menginstruksikan Satuan Tugas (Satgas) Pemberantasan Mafia Hukum untuk mengusut vonis ringan terhadap kasus-kasus kejahatan kehutanan di seluruh Indonesia. Political will pemerintah tersebut, diharapkan menjadi tonggak pengkajian kembali penanganan kasus-kasus kehutanan di Kalbar, karena dari sekian banyak kasus, beberapa di antaranya divonis bebas dan terdapat banyak kejanggalan.
Di antara kasus yang paling fenomenal di Kalbar mengenai kasus pembalakan liar dilakukan Prasetyo Gow alias Asong yang divonis bebas di Pengadilan Tinggi, Ng Tung Peng alias Apeng yang kini masih dalam Daftar Pencarian Orang (DPO), M Sun’an dan Syaiful yang divonis bebas bersyarat, termasuk juga kasus penyimpangan dana Provisi Sumber Daya Hutan/Dana Reboisasi (PSDH/DR).
“Terutama kasus Tian Hartono alias Buntia yang divonis bebas di tingkat kasasi, terjadi banyak kejanggalan yang berujung pada lemahnya vonis pengadilan kasus tersebut,” terang Yuyun.
Hal senada diutarakan Ketua LPS-AIR Kalbar, Deman Huri. Menurutnya, dalam sepuluh tahun terakhir, banyak pelaku-pelaku kejahatan kehutanan yang divonis bebas. “Hal ini mengindikasikan adanya permainan para mafia hukum,” katanya.
Terkait kasus Buntia, berdasarkan hasil investigasi tim gabungan dari Dinas Kehutanan Kalbar yang menjadi dasar tuntutan pihak kepolisian dan kejaksaan, pada hasil Berita Acara Pemerintah (BAP) tertanggal 8 Juli 2005 tergambar pasal-pasal UU 41/1999 tentang Kehutanan, nyata-nyata Buntia melakukan kejahatan kehutanan.
Terdapat beberapa pasal dalam UU 41/1999 tentang Kehutanan yang dilanggar Buntia, di antaranya Pasal 50 ayat (3) e Junto pasal 78 ayat (5) junto pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.
PT Rimba Kapuas Lestari melakukan aktivitas penebangan dalam kawasan Hutan Lindung Lubuk Lintang. Buntia selaku pimpinan perusahaan tersebut mengetahui kalau kawasan tersebut merupakan hutan lindung.
Berdasarkan fakta investigasi Dinas Kehutanan ditemukan adanya jalan angkutan kayu atas nama PT Rimba Kapuas Lestari yang masuk dalam kawasan Hutan Lindung Lubuk Lintang sepanjang 11.337,57 meter, terdiri atas jalan Lintang sepanjang 8.820,38 meter dan jalan cabang sepanjang 2.517,19 meter.
Selain itu, ditemukan adanya 20 jalan sarad, 4 TPN, 4 4 TPK dan areal penebangan kayu pada kawasan Hutan Lindung Lubuk Lintang. Juga ditemukan tunggul/tonggak kayu bekas tebangan pada 6 jalan sarad seluas sekitar 140 hektar dan tunggul sebanyak 1.365 pohon dengan taksasi volume tegakan sekitar 10.500 meter kubik. Buntia juga membawa alat berat didasarkan pada rekomendasi Bupati Sintang Nomor 522/0119.A/Ekbang pada 22 Januari 2003.
Pada kasus persidangan kasus Buntia, terdapat beberapa pihak yang terlibat. Peranan pihak yang terlibat merupakan bagian dari proses penegakan hukum kasus illegal logging.
Mejelis hakim Pengadilan Negeri Pontianak yang menangani kasus Buntia tersebut terdiri atas D Tuwi Togu SH, U Simangunsong SH, Pangeran Napitupulu SH MH. Sementara jaksanya terdiri atas Rido Wangono SH MHum, ST Simaremare SH, Wagio SH dan Ariefsyah SH MH.
Sedangkan advokatnya terdiri atas Hotma PDS SH, Ruhut PSS SH, Jhon Thomson SH, Mari C Bernado SH, Andel SH, Christopher Purba SH, Durapati Sinulingga SH, Andi F Sumangunsong SH dengan Panitera Christian dan M Isya SH.
Putusannya dibacakan U Simangunsong SH, Lidya Sasando P SH MH, Ramses Pasaribu SH MH. Karena Hakim D Tuwo Togu SH dan Pangeran Napitupulu SH dipindahtugaskan dari Pengadilan Negeri Pontianak.
Dengan terdakwa Buntia tersebut, saksi a carge yang dihadirkan terdiri atas 18 orang dan saksi adecharge (saksi yang meringankan) dua orang. Sedangkan saksi ahli terdiri atas lima orang saksi a carge dan tiga orang saksi ahli ade carge.
Saksi yang tidak dihadirkan dalam persidangan tersebut terdiri atas Bujang Achmad, Juli Irawan, Arief Mustafa SHut MSi dan Abdilah Fadil.
Jaksa menyatakan Buntia secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindakan pidana menebang pohon di hutan tanpa izin dari yang berwenang dan memasukkan alat-alat berat ke dalam hutan tanpa izin dari pihak yang berwenang, sebagaimana diatur pasal 50 ayat (3) jo pasal 78 ayat (5) UU 41/1999 Jo pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP. Dan pasal 50 ayat (3) huruf j jo 78 ayat (9) UU 41/1999 jo pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP dalam dakwaan kesatu primair dan kedua.
Dalam tuntutannya, jaksa menyatakan Buntia dipidana penjara 10 tahun dikurangi selama terdakwa ditahan dan menjatuhkan pidana denda Rp 2 miliar. Tetapi vonis PN Pontianak justru tidak sesuai yang diharapkan.
Vonis hakim menyatakan, Buntia tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana seperti yang didakwakan dalam dakwaan kesatu primer, subsider. Buntia pun dinyatakan bebas.
Buntia hanya dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana membawa alat-alat berat yang patut diketahui digunakan untuk mengangkut hasil hutan di dalam kawasan hutan lindung tanpa izin pejabat yang berwenang.
Pidana pun dijatuhkan dengan penjara dua tahun, denda Rp 1 miliar subsider 4 bulan kurungan. Hakim pun menyatakan masa penahanan yang telah dijalankan terdakwa dikurangkan sepuluh dari pidana yang dijatuhkan.
Selanjutnya pada vonis pengadilan tinggi Kalbar, hakim hanya memvonis pidana penjara 1 tahun dan dengan Rp 500 juta. Di Mahkamah Agung (MA) justru Buntia dibebaskan dari segala tuntutan.
Kepala Bidang (Kabid) Perlindungan Hutan Dinas Kehutanan Kalbar, Ir Sunarno menyatakan, dalam kasus Buntia tersebut sangat kental konspirasi. “Indikasi sudah masuk angin,” katanya.
Sunarno yang melakukan pemeriksaan sejak awal terhadap kasus Buntia tersebut ternyata dalam persidangan hanya dijadikan saksi a carge (saksi tambahan) bukan saksi ahli.
Dia menilai kasus tersebut banyak konspirasi, karena terdapat beberapa kejanggalan. “Salah satu contoh, kenapa hanya dinyatakan salah membawa alat berat, memangnya alat berat di hutan lindung itu untuk apa kalau tidak untuk pembalakan,” kata Sunarno
Konspirasi terhadap kasus Buntia tersebut, terang Sunarno, melibatkan oknum-oknum Dinas Kehutanan Provinsi, hal ini dalam bentuk rekayasa Berita Acara Pemeriksaan (BAP). “Bagaimana mungkin kawasan itu dinyatakan tidak jelas, padahal sudah jelas-jelas ditemukan tapal batas yang menyatakan kawasan tersebut masuk hutan lindung,” katanya.
Sunarno juga mengatakan, hakim banyak keberpihakan, karena hanya melihat data lapangan yang direkayasa, sementara fakta dalam pengadilan yang sudah jelas justru diabaikan.
Dia juga mengungkapkan, saksi ahli yang meringankan juga menjadi bagian konspirasi, karena saksi ahli tersebut merupakan konsultan yang pergi ke lapangan tanpa melibatkan pihak Dinas Kehutanan atau lainnya.
Penasehat hukum dalam kasus Buntia juga, kata Sunarno, melakukan kebohongan dengan mengatakan terdakwa sakit dan sedang dirawat, ketika diperiksa di tempat dia dirawat, Buntia tidak ada. “Buntia berstatus tahanan kota, tetapi bisa pulang pergi ke Jakarta,” ungkapnya.
Departemen Kehutanan dalam hal ini dinilai ikut terlibat konspirasi terhadap kasus Buntia. “Bagaimana bisa, surat Dirjen ke Menhut yang bersifat rahasia bisa ditangan tersangka (Buntia, red),” kata Sunarno.
Selain kasus Buntia, Sunarno tahu betul terdapat mafia-mafia hukum di dalamnya. Dia juga mengungkapkan kasus lainnya yang penuh kejanggalan, sehingga pelaku bebas atau mendapat keringanan hukuman.
Di antara kasus yang dimaksud Sunarno tersebut terkait Prasetyo Gow alias Asong di Ketapang. “Dua kapalnya yang memuat kayu tanpa dilengkapi dokumen, lalu dokumennya menyusul dua hari berikutnya,” ungkap Sunarno.
Ternyata, tambah dia, petugas yang membuat dokumen untuk kayu di Kapal milik Asong tersebut tidak melakukan pengukuran, sehingga sempat ditahan di Polda Kalbar.
“Sekitar satu minggu setelah vonis dibacakan (terhadap Asong, red) saya memergoki Jaksa Penuntut Umum, Majelis Hami dan anggota keluarga terdakwa duduk satu meja. Tiba-tiba Asong vonis bebas di pengadilan tinggi, padahal tuntutannya 4 tahun karena kedapatan membawa sekitar 1000 kubik kayu tanpa dilengkapi dokumen,” kata Sunarno.
Selain itu, Sunarno juga mengungkapkan kasus Rudi Pendek di Sintang yang terjadi sekitar 2005. “Rudi Pendek ini divonis bersalah, tetapi kapal dan kayunya diserahkan kembali ke terdakwa, bukan disita, majelis hakimnya menggunakan dasar hukum apa tidak menyita kapal dan kayu tersebut,” tanyanya.
Terdapat beberapa kasus tersebut, Sunarno mendukung sepenuhnya kalau akan dilakukan lagi pengkajian terhadap kasus-kasus kehutanan di Kalbar. “Saya siap membantu, semua file-nya saya punya,” katanya. (dik)
Sumber:
http://www.equator-news.com/index.php?mib=berita.detail&id=17897
Beberapa kasus perlu dibedah. Banyak kejanggalan atas penanganan perkara para penjahat kehutanan. Konspirasi mafia hukum sangat kentara.
PONTIANAK. Instruksi Presiden SBY yang meminta pengusutan vonis hukuman ringan kepada para pelaku pembalakan hutan mendapat respons Yayasan Titian, LPS-AIR dan Walhi Kalbar. Tiga LSM tersebut menuntut pengungkapan mafia kehutanan di Kalbar.
“Harus ada pengkajian kembali terhadap beberapa kasus kejahatan kehutanan di Kalbar,” tegas Yuyun Kurniawan dari Yayasan Titian dalam jumpa pers di Tapaz Pontianak, Rabu (21/4).
Pada awal April lalu, Presiden SBY menginstruksikan Satuan Tugas (Satgas) Pemberantasan Mafia Hukum untuk mengusut vonis ringan terhadap kasus-kasus kejahatan kehutanan di seluruh Indonesia. Political will pemerintah tersebut, diharapkan menjadi tonggak pengkajian kembali penanganan kasus-kasus kehutanan di Kalbar, karena dari sekian banyak kasus, beberapa di antaranya divonis bebas dan terdapat banyak kejanggalan.
Di antara kasus yang paling fenomenal di Kalbar mengenai kasus pembalakan liar dilakukan Prasetyo Gow alias Asong yang divonis bebas di Pengadilan Tinggi, Ng Tung Peng alias Apeng yang kini masih dalam Daftar Pencarian Orang (DPO), M Sun’an dan Syaiful yang divonis bebas bersyarat, termasuk juga kasus penyimpangan dana Provisi Sumber Daya Hutan/Dana Reboisasi (PSDH/DR).
“Terutama kasus Tian Hartono alias Buntia yang divonis bebas di tingkat kasasi, terjadi banyak kejanggalan yang berujung pada lemahnya vonis pengadilan kasus tersebut,” terang Yuyun.
Hal senada diutarakan Ketua LPS-AIR Kalbar, Deman Huri. Menurutnya, dalam sepuluh tahun terakhir, banyak pelaku-pelaku kejahatan kehutanan yang divonis bebas. “Hal ini mengindikasikan adanya permainan para mafia hukum,” katanya.
Terkait kasus Buntia, berdasarkan hasil investigasi tim gabungan dari Dinas Kehutanan Kalbar yang menjadi dasar tuntutan pihak kepolisian dan kejaksaan, pada hasil Berita Acara Pemerintah (BAP) tertanggal 8 Juli 2005 tergambar pasal-pasal UU 41/1999 tentang Kehutanan, nyata-nyata Buntia melakukan kejahatan kehutanan.
Terdapat beberapa pasal dalam UU 41/1999 tentang Kehutanan yang dilanggar Buntia, di antaranya Pasal 50 ayat (3) e Junto pasal 78 ayat (5) junto pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.
PT Rimba Kapuas Lestari melakukan aktivitas penebangan dalam kawasan Hutan Lindung Lubuk Lintang. Buntia selaku pimpinan perusahaan tersebut mengetahui kalau kawasan tersebut merupakan hutan lindung.
Berdasarkan fakta investigasi Dinas Kehutanan ditemukan adanya jalan angkutan kayu atas nama PT Rimba Kapuas Lestari yang masuk dalam kawasan Hutan Lindung Lubuk Lintang sepanjang 11.337,57 meter, terdiri atas jalan Lintang sepanjang 8.820,38 meter dan jalan cabang sepanjang 2.517,19 meter.
Selain itu, ditemukan adanya 20 jalan sarad, 4 TPN, 4 4 TPK dan areal penebangan kayu pada kawasan Hutan Lindung Lubuk Lintang. Juga ditemukan tunggul/tonggak kayu bekas tebangan pada 6 jalan sarad seluas sekitar 140 hektar dan tunggul sebanyak 1.365 pohon dengan taksasi volume tegakan sekitar 10.500 meter kubik. Buntia juga membawa alat berat didasarkan pada rekomendasi Bupati Sintang Nomor 522/0119.A/Ekbang pada 22 Januari 2003.
Pada kasus persidangan kasus Buntia, terdapat beberapa pihak yang terlibat. Peranan pihak yang terlibat merupakan bagian dari proses penegakan hukum kasus illegal logging.
Mejelis hakim Pengadilan Negeri Pontianak yang menangani kasus Buntia tersebut terdiri atas D Tuwi Togu SH, U Simangunsong SH, Pangeran Napitupulu SH MH. Sementara jaksanya terdiri atas Rido Wangono SH MHum, ST Simaremare SH, Wagio SH dan Ariefsyah SH MH.
Sedangkan advokatnya terdiri atas Hotma PDS SH, Ruhut PSS SH, Jhon Thomson SH, Mari C Bernado SH, Andel SH, Christopher Purba SH, Durapati Sinulingga SH, Andi F Sumangunsong SH dengan Panitera Christian dan M Isya SH.
Putusannya dibacakan U Simangunsong SH, Lidya Sasando P SH MH, Ramses Pasaribu SH MH. Karena Hakim D Tuwo Togu SH dan Pangeran Napitupulu SH dipindahtugaskan dari Pengadilan Negeri Pontianak.
Dengan terdakwa Buntia tersebut, saksi a carge yang dihadirkan terdiri atas 18 orang dan saksi adecharge (saksi yang meringankan) dua orang. Sedangkan saksi ahli terdiri atas lima orang saksi a carge dan tiga orang saksi ahli ade carge.
Saksi yang tidak dihadirkan dalam persidangan tersebut terdiri atas Bujang Achmad, Juli Irawan, Arief Mustafa SHut MSi dan Abdilah Fadil.
Jaksa menyatakan Buntia secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindakan pidana menebang pohon di hutan tanpa izin dari yang berwenang dan memasukkan alat-alat berat ke dalam hutan tanpa izin dari pihak yang berwenang, sebagaimana diatur pasal 50 ayat (3) jo pasal 78 ayat (5) UU 41/1999 Jo pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP. Dan pasal 50 ayat (3) huruf j jo 78 ayat (9) UU 41/1999 jo pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP dalam dakwaan kesatu primair dan kedua.
Dalam tuntutannya, jaksa menyatakan Buntia dipidana penjara 10 tahun dikurangi selama terdakwa ditahan dan menjatuhkan pidana denda Rp 2 miliar. Tetapi vonis PN Pontianak justru tidak sesuai yang diharapkan.
Vonis hakim menyatakan, Buntia tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana seperti yang didakwakan dalam dakwaan kesatu primer, subsider. Buntia pun dinyatakan bebas.
Buntia hanya dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana membawa alat-alat berat yang patut diketahui digunakan untuk mengangkut hasil hutan di dalam kawasan hutan lindung tanpa izin pejabat yang berwenang.
Pidana pun dijatuhkan dengan penjara dua tahun, denda Rp 1 miliar subsider 4 bulan kurungan. Hakim pun menyatakan masa penahanan yang telah dijalankan terdakwa dikurangkan sepuluh dari pidana yang dijatuhkan.
Selanjutnya pada vonis pengadilan tinggi Kalbar, hakim hanya memvonis pidana penjara 1 tahun dan dengan Rp 500 juta. Di Mahkamah Agung (MA) justru Buntia dibebaskan dari segala tuntutan.
Kepala Bidang (Kabid) Perlindungan Hutan Dinas Kehutanan Kalbar, Ir Sunarno menyatakan, dalam kasus Buntia tersebut sangat kental konspirasi. “Indikasi sudah masuk angin,” katanya.
Sunarno yang melakukan pemeriksaan sejak awal terhadap kasus Buntia tersebut ternyata dalam persidangan hanya dijadikan saksi a carge (saksi tambahan) bukan saksi ahli.
Dia menilai kasus tersebut banyak konspirasi, karena terdapat beberapa kejanggalan. “Salah satu contoh, kenapa hanya dinyatakan salah membawa alat berat, memangnya alat berat di hutan lindung itu untuk apa kalau tidak untuk pembalakan,” kata Sunarno
Konspirasi terhadap kasus Buntia tersebut, terang Sunarno, melibatkan oknum-oknum Dinas Kehutanan Provinsi, hal ini dalam bentuk rekayasa Berita Acara Pemeriksaan (BAP). “Bagaimana mungkin kawasan itu dinyatakan tidak jelas, padahal sudah jelas-jelas ditemukan tapal batas yang menyatakan kawasan tersebut masuk hutan lindung,” katanya.
Sunarno juga mengatakan, hakim banyak keberpihakan, karena hanya melihat data lapangan yang direkayasa, sementara fakta dalam pengadilan yang sudah jelas justru diabaikan.
Dia juga mengungkapkan, saksi ahli yang meringankan juga menjadi bagian konspirasi, karena saksi ahli tersebut merupakan konsultan yang pergi ke lapangan tanpa melibatkan pihak Dinas Kehutanan atau lainnya.
Penasehat hukum dalam kasus Buntia juga, kata Sunarno, melakukan kebohongan dengan mengatakan terdakwa sakit dan sedang dirawat, ketika diperiksa di tempat dia dirawat, Buntia tidak ada. “Buntia berstatus tahanan kota, tetapi bisa pulang pergi ke Jakarta,” ungkapnya.
Departemen Kehutanan dalam hal ini dinilai ikut terlibat konspirasi terhadap kasus Buntia. “Bagaimana bisa, surat Dirjen ke Menhut yang bersifat rahasia bisa ditangan tersangka (Buntia, red),” kata Sunarno.
Selain kasus Buntia, Sunarno tahu betul terdapat mafia-mafia hukum di dalamnya. Dia juga mengungkapkan kasus lainnya yang penuh kejanggalan, sehingga pelaku bebas atau mendapat keringanan hukuman.
Di antara kasus yang dimaksud Sunarno tersebut terkait Prasetyo Gow alias Asong di Ketapang. “Dua kapalnya yang memuat kayu tanpa dilengkapi dokumen, lalu dokumennya menyusul dua hari berikutnya,” ungkap Sunarno.
Ternyata, tambah dia, petugas yang membuat dokumen untuk kayu di Kapal milik Asong tersebut tidak melakukan pengukuran, sehingga sempat ditahan di Polda Kalbar.
“Sekitar satu minggu setelah vonis dibacakan (terhadap Asong, red) saya memergoki Jaksa Penuntut Umum, Majelis Hami dan anggota keluarga terdakwa duduk satu meja. Tiba-tiba Asong vonis bebas di pengadilan tinggi, padahal tuntutannya 4 tahun karena kedapatan membawa sekitar 1000 kubik kayu tanpa dilengkapi dokumen,” kata Sunarno.
Selain itu, Sunarno juga mengungkapkan kasus Rudi Pendek di Sintang yang terjadi sekitar 2005. “Rudi Pendek ini divonis bersalah, tetapi kapal dan kayunya diserahkan kembali ke terdakwa, bukan disita, majelis hakimnya menggunakan dasar hukum apa tidak menyita kapal dan kayu tersebut,” tanyanya.
Terdapat beberapa kasus tersebut, Sunarno mendukung sepenuhnya kalau akan dilakukan lagi pengkajian terhadap kasus-kasus kehutanan di Kalbar. “Saya siap membantu, semua file-nya saya punya,” katanya. (dik)
Sumber:
http://www.equator-news.com/index.php?mib=berita.detail&id=17897
Perkebunan Sawit Diharapkan Tidak Tabrak Hutan Lindung
Sabtu, 09/01/2010/pk/22:03
Semitau, Kalbar, (berita2.com) : Ketua Dewan Adat Dayak Kecamatan Semitau, Kabupaten Kapuas Hulu Provinsi Kalimantan Barat, Cyrilius Daison mengharapkan pengembangan perkebunan sawit di daerah tersebut tidak menabrak kawasan hutan lindung.
"Kami berharap pemilik perkebunan konsisten dan tetap komitmen awal tujuan dikembangkannya sawit untuk kesejahteraan masyarakat dan tidak menabrak kawasan hutan lindung, seperti Taman Nasional Danau Sentarum yang termasuk kawasan konservasi dan paru-paru dunia," kata Cyrilius Daison di Semitau, saat berdialog dengan manajemen PT Sinarmas Group, salah satu pemilik perkebunan sawit terbesar di Kabupaten Kapuas Hulu, Sabtu.
Ia mengatakan, selagi pemilik perkebunan tidak melanggar komitmen awal tersebut maka tidak ada salahnya sektor perkebunan itu dikembangkan.
"Kami akan terus memantau perkembangan perluasan sawit di kawasan TNDS. Kalau ditemukan pelanggaran akan kami dialogkan dengan pemilik perusahaan agar tidak menabrak kawasan hutan lindung," katanya.
Bupati Kapuas Hulu, Abang Tambul Husin membantah kalau perluasan perkebunan sawit di kabupaten itu sudah masuk kawasan konservasi.
"Kita jangan alergi sawit dan jangan ikut-ikutan Eropa yang menolak sawit karena ada kepentingan lain," ujarnya.
Ia menjelaskan, luas Kapuas Hulu sekitar 29.850 kilometer persegi, 56,51 persen di antaranya sudah dialokasikan untuk kawasan konservasi.
"Tapi kenapa giliran kami mau mengembangkan perkebunan sawit masih dihalang-halangi oleh dunia luar melalui LSM-nya," kata Tambul.
Tambul Husin menjelaskan, Kapuas Hulu harus memilih mengembangkan sektor perkebunan apa saja setelah sumber daya alam kayunya habis ditebang pada era Orde Baru lalu.
"Hutan lindung yang kami miliki bukan untuk menyengsarakan masyarakat tetapi untuk kesejahteraan," katanya.
Humas PT Sinarmas Group Semitau, Jailani, mengatakan perusahaan itu saat ini sedang mengembangkan perkebunan sawit sejak 2007.
Ia mengatakan, PT Sinarmas Group akan mengembangkan perkebunan sawit di Kabupaten Kapuas Hulu seluas 100 ribu hektare. Dari jumlah itu hingga kini yang sudah tahap pembersihan lahan hingga penanaman sekitar 30 persen.
Sebelumnya, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Kalbar, mengingatkan adanya ancaman perluasan sawit di provinsi itu terhadap pelestarian TNDS sebagai kawasan konservasi, di Kabupaten Kapuas Hulu.
"Saat ini ada 10 perusahaan besar yang sedang mengembangkan perkebunan sawit di sekitar TNDS yang hutannya termasuk paru-paru dunia," kata Direktur WALHI Kalbar, Hendi Chandra.
Kesepuluh perusahaan yang sedang memperluas perkebunan sawit di sekitar TNDS, di antaranya PT. Smart Group seluas 22.010 hektare, Borneo Group 18.990 hektare, PT. Rimba Utara 20.000 hektare, PT. Bumi Tani Jaya 7.340 hektare, dan PT. Kartika Prima Cipta (Sinarmas Group), katanya.
"Kesepuluh perusahaan itu saat ini sedang gencar-gencarnya menebang hutan sekunder dan primer di kawasan TNDS," katanya.
Tindakan itu menurut ia, sangat berbahaya bagi kelangsungan danau itu termasuk mengancam hulu Sungai Kapuas yang merupakan sumber air sebagian besar masyarakat provinsi Kalbar.
TNDS selama ini dikenal sebagai perwakilan ekosistem lahan basah danau, hutan rawa air tawar dan hutan hujan tropik di Kalimantan. Danau musiman yang berada di TNDS terletak pada sebelah cekungan sungai Kapuas, sekitar 700 km dari muara yang menuju laut Cina Selatan.
Merupakan daerah tangkapan air, sebagai pengatur tata air bagi Daerah Aliran Sungai Kapuas. Daerah yang terletak di hilir Sungai Kapuas sangat tergantung pada fluktuasi jumlah air yang tertampung di danau tersebut.
Dari data WWF (World Wide Fund for Nature) Kalbar, TNDS memiliki ratusan jenis fauna, di antaranya mamalia (Mamal) sebanyak 147 jenis, hampir 64 persen mamalia di Kalimantan terdapat di TNDS, sebanyak 31 jenis reptilia (Reptil) salah satunya buaya katak (Crocodylus raninus) yang di asia telah dinyatakan punah sejak 500 tahun lalu,fauna jenis afes (burung) sebanyak 310, serta sebanyak 265 jenis ikan, dengan jumlah jenis ikannya lebih banyak dari semua jenis ikan air tawar di seluruh benua Eropa.
Kabupaten Kapuas Hulu memiliki luas kawasan lindung, taman nasional dan hutan lindung sekitar 1.626.868 hektare atau 54,59 persen, kawasan budidaya hutan sekitar 764.543 hektare atau 25,65 persen dan kawasan budidaya pertanian bukan danau sekitar 588.481 hektare atau 19,75 persen, serta kawasan danau sekitar 17.925 hektare.(*un)
Sumber:
http://www.berita2.com/lingkungan/masalah-lingkungan/3547-perkebunan-sawit-diharapkan-tidak-tabrak-hutan-lindung.html
Semitau, Kalbar, (berita2.com) : Ketua Dewan Adat Dayak Kecamatan Semitau, Kabupaten Kapuas Hulu Provinsi Kalimantan Barat, Cyrilius Daison mengharapkan pengembangan perkebunan sawit di daerah tersebut tidak menabrak kawasan hutan lindung.
"Kami berharap pemilik perkebunan konsisten dan tetap komitmen awal tujuan dikembangkannya sawit untuk kesejahteraan masyarakat dan tidak menabrak kawasan hutan lindung, seperti Taman Nasional Danau Sentarum yang termasuk kawasan konservasi dan paru-paru dunia," kata Cyrilius Daison di Semitau, saat berdialog dengan manajemen PT Sinarmas Group, salah satu pemilik perkebunan sawit terbesar di Kabupaten Kapuas Hulu, Sabtu.
Ia mengatakan, selagi pemilik perkebunan tidak melanggar komitmen awal tersebut maka tidak ada salahnya sektor perkebunan itu dikembangkan.
"Kami akan terus memantau perkembangan perluasan sawit di kawasan TNDS. Kalau ditemukan pelanggaran akan kami dialogkan dengan pemilik perusahaan agar tidak menabrak kawasan hutan lindung," katanya.
Bupati Kapuas Hulu, Abang Tambul Husin membantah kalau perluasan perkebunan sawit di kabupaten itu sudah masuk kawasan konservasi.
"Kita jangan alergi sawit dan jangan ikut-ikutan Eropa yang menolak sawit karena ada kepentingan lain," ujarnya.
Ia menjelaskan, luas Kapuas Hulu sekitar 29.850 kilometer persegi, 56,51 persen di antaranya sudah dialokasikan untuk kawasan konservasi.
"Tapi kenapa giliran kami mau mengembangkan perkebunan sawit masih dihalang-halangi oleh dunia luar melalui LSM-nya," kata Tambul.
Tambul Husin menjelaskan, Kapuas Hulu harus memilih mengembangkan sektor perkebunan apa saja setelah sumber daya alam kayunya habis ditebang pada era Orde Baru lalu.
"Hutan lindung yang kami miliki bukan untuk menyengsarakan masyarakat tetapi untuk kesejahteraan," katanya.
Humas PT Sinarmas Group Semitau, Jailani, mengatakan perusahaan itu saat ini sedang mengembangkan perkebunan sawit sejak 2007.
Ia mengatakan, PT Sinarmas Group akan mengembangkan perkebunan sawit di Kabupaten Kapuas Hulu seluas 100 ribu hektare. Dari jumlah itu hingga kini yang sudah tahap pembersihan lahan hingga penanaman sekitar 30 persen.
Sebelumnya, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Kalbar, mengingatkan adanya ancaman perluasan sawit di provinsi itu terhadap pelestarian TNDS sebagai kawasan konservasi, di Kabupaten Kapuas Hulu.
"Saat ini ada 10 perusahaan besar yang sedang mengembangkan perkebunan sawit di sekitar TNDS yang hutannya termasuk paru-paru dunia," kata Direktur WALHI Kalbar, Hendi Chandra.
Kesepuluh perusahaan yang sedang memperluas perkebunan sawit di sekitar TNDS, di antaranya PT. Smart Group seluas 22.010 hektare, Borneo Group 18.990 hektare, PT. Rimba Utara 20.000 hektare, PT. Bumi Tani Jaya 7.340 hektare, dan PT. Kartika Prima Cipta (Sinarmas Group), katanya.
"Kesepuluh perusahaan itu saat ini sedang gencar-gencarnya menebang hutan sekunder dan primer di kawasan TNDS," katanya.
Tindakan itu menurut ia, sangat berbahaya bagi kelangsungan danau itu termasuk mengancam hulu Sungai Kapuas yang merupakan sumber air sebagian besar masyarakat provinsi Kalbar.
TNDS selama ini dikenal sebagai perwakilan ekosistem lahan basah danau, hutan rawa air tawar dan hutan hujan tropik di Kalimantan. Danau musiman yang berada di TNDS terletak pada sebelah cekungan sungai Kapuas, sekitar 700 km dari muara yang menuju laut Cina Selatan.
Merupakan daerah tangkapan air, sebagai pengatur tata air bagi Daerah Aliran Sungai Kapuas. Daerah yang terletak di hilir Sungai Kapuas sangat tergantung pada fluktuasi jumlah air yang tertampung di danau tersebut.
Dari data WWF (World Wide Fund for Nature) Kalbar, TNDS memiliki ratusan jenis fauna, di antaranya mamalia (Mamal) sebanyak 147 jenis, hampir 64 persen mamalia di Kalimantan terdapat di TNDS, sebanyak 31 jenis reptilia (Reptil) salah satunya buaya katak (Crocodylus raninus) yang di asia telah dinyatakan punah sejak 500 tahun lalu,fauna jenis afes (burung) sebanyak 310, serta sebanyak 265 jenis ikan, dengan jumlah jenis ikannya lebih banyak dari semua jenis ikan air tawar di seluruh benua Eropa.
Kabupaten Kapuas Hulu memiliki luas kawasan lindung, taman nasional dan hutan lindung sekitar 1.626.868 hektare atau 54,59 persen, kawasan budidaya hutan sekitar 764.543 hektare atau 25,65 persen dan kawasan budidaya pertanian bukan danau sekitar 588.481 hektare atau 19,75 persen, serta kawasan danau sekitar 17.925 hektare.(*un)
Sumber:
http://www.berita2.com/lingkungan/masalah-lingkungan/3547-perkebunan-sawit-diharapkan-tidak-tabrak-hutan-lindung.html
Langganan:
Postingan (Atom)