Jika emas ditemukan, nasib pekerja tambang bisa berubah seketika. Setara dengan nyawa yang dipertaruhkan?
Muhlis Suhaeri / Angga Haksoro
31 Mei 2011 - 18:45 WIB
Dini hari, pukul 2 pagi. Ratusan perahu kelotok berjejal melintasi Sungai Enau dan Danau Serantangan di Sagatani. Beberapa perahu saling serempet. Bahkan ada perahu tenggelam karena tabrakan. Tak sampai membuat celaka. Penumpang bisa ditolong.
Ratusan penambang di Sagatani, lari ke Kota Singkawang. Sebagian memilih bertahan di lokasi penambangan. Mereka mendapat informasi dari aparat, siang hari akan ada operasi penertiban penambangan emas tanpa izin di Sagatani.
Mereka tinggal dua malam di rumah kos milik bos penambang di Kota Singkawang. Setelah itu balik lagi ke lokasi penambangan.
Siang hari, aparat keamanan gabungan melakukan razia. Saat aparat datang, penambang sudah kabur ke hutan. Aparat memukul bagian atas mesin dengan martil. Pukulan “pura-pura”. Bukan untuk menghancurkan.
Mesin rusak jika dipukul pada bagian tengah. Mesin tak bakal bisa dipakai lagi. Pukulan pura-pura hanya menghancurkan tutup mesin. Meski begitu, butuh uang Rp 300 ribu untuk mengganti tutup mesin.
Dalam beberapa kasus, operasi hanya menangkap bos tambang di lokasi. Saat bos tambang ditahan, para bos besar akan berkumpul dan menebusnya. Ada kekompakan di antara para bos besar. Berapa pun akan dibayar. Asal bisa bekerja dan beroperasi lagi.
Lingkaran setan dan kongkalikong para bos tambang dengan aparat, merupakan mata rantai yang tak pernah putus.
Humas Polda Kalimantan Barat, AKBP Mukson Munandar membantah jajarannya melindungi aktivitas penambangan liar.
“Pada prinsipnya giat penambangan emas tanpa izin melanggar undang-undang. Sudah sering jajaran Polda Kalbar melakukan penertiban. Kalau ada oknum anggota Polri yang terlibat tolong diinfokan. Kalau terbukti akan ditindak sesuai hukum,” ujar AKBP Mukson.
Parapenambang di Sagatani dan daerah lainnya, juga rentan diserang malaria. Hutan di sekitar lokasi, menjadi tempat ideal berkembangnya jentik nyamuk.
Selain diburu aparat dan penyakit, masalah lainnya adalah kehidupan malam para penambang. Di setiap lokasi penambangan, selalu ada kantin yang menyediakan berbagai makanan dan minuman. Ada bir, minuman keras tradisional, dan arak.
Di Sagatani, setiap kantin ada empat hingga lima perempuan. Mereka melayani dan berbaur dengan pengunjung. Untuk menyemarakkan suasana, tersedia televisi, tape recorder dan speaker besar. Alunan house music menemani pengunjung hingga larut malam.
Listrik menggunakan mesin diesel.
Tidak ada standar harga. Banderol minuman dan makanan bisa beda antara masing-masing bos. Tergantung siapa Anda. Bila Anda seorang bos tambang, secangkir kopi dan sekaleng bir, bisa seharga Rp 100 ribu. Padahal bila yang beli para penambang, paling harganya cuma Rp 30 ribu.
Kantin satu-satunya tempat hiburan bagi para penambang emas. Selain HP yang berisi gambar dan film porno. Ada kebanggaan saat para penambang mendapatkan gambar atau film porno bagus. Mereka saling berbagi dan memperlihatkan koleksi masing-masing.
Bila penambang pulang kampung, biasanya mampir dulu di Singkawang mencari hiburan. Kombinasi tempat karaoke, minuman keras, dan pekerja seks komersial, membuat mereka betah tinggal dua hingga tiga malam di Singkawang.
Adi Sulistyono punya pengalaman tersendiri selama kerja di tambang. Saat kerja di Indotani, Ketapang, dia bergelimang uang. Lokasi penambangan berupa hamparan pasir. Pondoknya diapit kantin. Pokoknya tak bisa tidur awal. Musik berdentum 24 jam. Non stop. Di Sagatani, musik hanya terdengar malam hari.
“Kita betah kerja di sana karena senang,” kata Adi. “Kalau tak senang, tak akan betah.”
Adi berfoya-foya saat dapat uang. Dia punya masalah pribadi. Adi frustasi setelah ayahnya meninggal dan ibunya kawin lagi. “Jadi aku hidup terserah sendiri,” katanya.
Di lokasi pertambangan di Ketapang ada 78 kantin. Setiap kantin dijaga lima hingga enam perempuan pelayan. Rata-rata berumur 17 sampai 18 tahun. Ada yang masih SMP.
Parapelayan kantin dapat uang dari selisih harga menjual minuman. Misalnya, bir dari pemilik kantin dihargai Rp 10 ribu, oleh pelayan dijual ke tamu seharga Rp 15 ribu. Ada selisih Rp 5 ribu.
Namun, dia harus menemani tamu agar minum terus. Semakin banyak minuman dijual, semakin banyak uang didapat. Adi pernah menghabiskan dua krat bir. Satu krat berisi 12 botol.
“Bila minum habis Rp 500 ribu, sudah ada cewek menunggu,” kata Adi.
Adaruang lesehan dengan dinding kayu berukuran empat kali enam meter. Ruangan itu digunakan untuk bercinta. Tak takut penyakit? “Kan pakai pengaman, Bang,” kata Adi sembari tersenyum. Ada kondom tersedia.
Adi mengatakan, tak semua teman seperti itu. Kalau pekerja tambang sudah punya dua atau tiga anak, biasanya tak bandel. Ada kebutuhan yang harus ditanggung.
Setelah kerja tujuh tahun, Adi pulang ke rumah tak bawa apa pun. Dia pulang hanya membawa bungkusan tas berisi baju dan celana!
Danau Serantangan dan Ancaman Merkuri
“Kita berharap dari pemerintah, membuat aturan bagi pertambangan rakyat,” kata Iwan Suaidi.
Iwan salah satu bos penambang di Sagatani. Menurut dia, pemerintah kurang membuka pekerjaan. Sehingga warga bekerja menjadi penambang emas. Selain itu, pemerintah tak pernah memberikan sosialisasi dampak tambang yang merusak lingkungan.
Iwan berharap, Pemerintah Kota Singkawang membangun sistem tambang rakyat. Hal itu memberikan pemasukan bagi daerah. Yang penting harus ada koordinator. Setiap bulan ditentukan berapa iuran atau pajak yang dikenakan terhadap pengusaha tambang. Sehingga para penambang bisa kerja tenang dan tidak diganggu.
“Kalau pun lokasi itu ditutup, saya akan cari lokasi lain,” kata Iwan.
Menanggapi pernyataan para penambang emas, Dwi Saputra, Kepala Dinas Bina Marga, Sumber Daya Air, dan Energi Sumber Daya Mineral Kota Singkawang mengatakan, pemerintah tidak mengeluarkan izin pertambangan kecuali untuk tambang galian C: pasir, batu, dan lainnya.
Emas termasuk klasifikasi bahan tambang galian A. Ada keputusan menteri mengenai Izin Usaha Pertambangan (IUB). Menteri yang mengeluarkan peraturan dan izin tambang galian A. Mendapat izin galian A tidak mudah. Banyak syarat harus terpenuhi. Misalnya bekas areal tambang harus direklamasi ulang. Kalau Wilayah Penambangan Rakyat (WRP), yang mengeluarkan izin kepala daerah. Luasnya maksimal 25 hektare.
Ada beberapa perusahaan mengajukan izin, tapi tidak diberikan. Alasannya, berdasarkan tata ruang, Singkawang tidak mengakomodir tambang. Wilayah Singkawang sempit. Hanya 50,4 kilometer persegi. Perusahaan tambang butuh lahan ribuan hektare. Selain itu kegiatan tambang juga merusak lingkungan.
Menurut Dwi Saputra, berdasarkan aturan tata ruang Pemkot Singkawang, para penambang emas di Sagatani menyandang status penambang liar. “Sampai kapan pun mereka akan disebut illegal mining,” kata Saputra.
Dari sisi kelestarian lingkungan, apa yang dilakukan para penambang emas di Sagatani, berbahaya bagi lingkungan. Apalagi, lokasi tambang dekat Danau Serantangan.
Danau Serantangan merupakan tiga danau yang akhirnya menyatu karena proses alam. Luas danau sekitar 185 hektare. Masyarakat menyebutnya Danau Kaca Mata, karena bentuk danau seperti kaca mata. Danau Serantangan sumber air baku, sumber perikanan, dan pariwisata.
Di samping Danau Serantangan ada Sungai Enau yang menjadi pusat kegiatan penambangan emas. Pernah ada normalisasi Sungai Enau dan pembuatan tanggul. Normalisasi bertujuan memperlancar aliran air dari hulu sungai. Pembuatan tanggul untuk menahan banjir dan masuknya air dari Sungai Enau ke Danau Serantangan. Dana pembangunan dari Pemerintah Provinsi Kalbar.
Karena keterbatasan dana, antara tahun 2000-2009 tidak pernah ada normalisasi dan rehabilitasi Sungai Enau. Bahkan tanggul penahan banjir bocor di tiga titik. Dua titik karena faktor alam. Tanggul berada di tikungan sungai. Sedimentasi membuat tanggul semakin rendah dan ada kebocoran. Kebocoran lainnya karena sungai digunakan sebagai jalur transportasi penambang emas.
Parapenambang sering dirazia. Dalam setiap operasi selalu dapat barang bukti. Tapi orangnya tak ada. “Berarti razianya bocor. Barang bukti dibakar. Mereka selalu kembali,” kata Saputra.
Menurut Saputra, yang paling penting Pemkot Singkawang mengamankan Danau Serantangan agar tidak tercemar. Caranya dengan penyuluhan. Melibatkan semua elemen. Seperti polisi, tentara, Satpol PP, pejabat kecamatan, kelurahan, dan lainnya.
Profesi dasar para penambang adalah pekerja perkebunan dan pertanian. Tapi karena hasil emas lebih besar, mereka meninggalkan kebun dan lahan pertanian. Padahal, menambang hanya pekerjaan sesaat yang efek buruknya akan dirasakan sampai ke anak cucu.
“Mereka ambil enaknya saja. Tidak sadar, efek yang ditimbulkan dari illegal mining,” kata Saputra.
Mengubah prilaku tak semudah membalikkan telapak tangan. Menurut Saputra, penambangan emas tanpa izin dapat ditutup jika pemodal diberantas. “Pada prinsipnya, kita bahu membahu. Jangan sampai penambangan emas tanpa izin berkembang terus,” kata Saputra.
Banyak lokasi bekas penambangan emas di Singkawang yang ditinggalkan penambang, kondisinya memprihatinkan. Banyak kubangan dan tanah lapang berupa pasir. Tak ada tanaman sanggup tumbuh.
Hendrikus Adam, Kepala Divisi Kampanye Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kalimantan Barat mengatakan, di Sagatani dan sekitarnya, Danau Serantangan mestinya dapat menjadi objek wisata. Dengan adanya penambangan emas, kondisi Danau Serantangan kini terancam. Juga lingkungan dan kehidupan warganya.
Sekitar tahun 2008, Adam melihat tiang dan gardu listrik berdiri megah di Sagatani. Namun listrik hingga kini belum menerangi pemukiman warga.
”Kondisi itu begitu miris,” kata Adam.
Berdasarkan data penelitian terakhir di kantor Badan Lingkungan Hidup Kota Singkawang pada 2009, kondisi air di Danau Serantangan mengandung air raksa (merkuri) sekitar 0,020 Ppb. Untuk kadar baku air minum, maksimalnya 1 Ppb. Tapi untuk membuktikan apakah masyarakat sudah terpapar merkuri, harus dilakukan analisa di lapangan.
Kandungan merkuri harus dibuktikan secara ilmiah, tidak hanya dari air. Tapi juga biota dan masyarakat yang berada di sekitar Danau Serantangan. “Sejauh ini belum ada penelitian ke sana,” kata seorang staf BLH Kota Singkawang.
Tasman, Ketua Komisi C DPRD Kota Singkawang mengatakan, jika penambangan dihentikan harus ada solusinya. “Jangan selesaikan satu masalah, tapi timbulkan masalah baru,” kata Tasman. Komisi C DPRD Kota Singkawang mengurusi bidang pembangunan.
Menghentikan penambangan akan menyebabkan ribuan orang menganggur. Tapi kalau dibiarkan, lingkungan akan hancur. “Kita harus menangani secara bijak. Tapi jangan korbankan ekositem,” kata Tasman.
Belum adanya prosedur dan mekanisme penambangan emas membuat berbagai institusi atau pribadi mendapatkan keuntungan dari kegiatan ini. Aparat memanfaatkan hal itu untuk mencari uang. “Dana itu larinya ke mana? Tidak jelas,” ujar Tasman. (*)
Foto: VHRmedia/Muhlis Suhaeri
Sumber: http://www.vhrmedia.com/2010/detail.php?.e=2811
Jumat, 03 Juni 2011
Rabu, 01 Juni 2011
Bumi Khatulistiwa Nangis Sambut SBY
Citizen Reporter
SBY Kunjungi Pontianak
Senin, 30 Mei 2011 20:45 WIB
Oleh : Hendrikus Adam
Walhi Kalimantan Barat
Kehadiran Presiden SBY bersama rombongan Senin 30 Mei 2011 disambut meriah oleh pemerintah daerah.
Hal ini ditandai dengan begitu maraknya pemasangan sejumlah material berupa baliho, spanduk dan sejenisnya berisi ucapan selamat datang diberbagai penjuru khususnya di sepanjang jalan Ahmad Yani.
Hal lain yang menandai fenomena ini adalah ketatnya penjagaan yang dilakukan oleh aparat bersenjata lengkap di setiap sudut kota sekitar pelaksanaan kegiatan.
Fenomena yang “mencolok” ini seringkali disuguhkan oleh setiap pemerintah di daerah manakala ada kunjungan pejabat negara.
Harus diakui seringkali penyambutan yang dilakukan terkadang “berlebihan” dan terkesan “dipaksakan”, padahal untuk efisiensi tidak selalu harus demikian.
Apa hubungannya kedatangan Presiden beserta Rombongan dan para Gubernur se-Indonesia di Pontianak? Apakah hanya sekedar menghadiri Hari Puncak Gotong Rotong Masyarakat dan Hari Gerak PKK semata, sebagaimana yang diberitakan?
Tanpa bermaksud mempersalahkan ritual penyambutan Presiden, tentunya menjadi harapan masyarakat banyak bahwa kehadiran SBY beserta rombongan tidak hanya sekedar menghadiri dua kegiatan di atas.
Masih begitu banyak persoalan masyarakat Kalimantan Barat yang perlu mendapat sentuhan dari pemerintah pusat.
Salah satu dari persoalan tersebut adalah besarnya potensi konflik sosial terkait pengelolaan sumber daya alam (SDA) yang kemudian berimbas pada perampasan hak warga atas ruang kelolanya dan degradasi lingkungan.
Dengan demikian, hal ini butuh kepastian dan sikap jelas perlindungan pemerintah kepada hak-hak warganya atas kondisi lingkungan yang baik dan sehat sebagai bagian dari HAM.
Perampasan ruang kelola masyarakat melalui kebijakan perkebunan sawit skala besar yang saat ini menjadi kebijakan primadona pemerintah telah melahirkan sejumlah konsekuensi logis berupa terabaikannya hak-hak masyarakat untuk dapat melakukan akses maupun kontrol terhadap SDA secara maksimal.
Dalam banyak kasus di Kalimantan Barat, selain fenomena degradasi kondisi lingkungan, konflik sosial yang berujung pada kriminalisasi masyarakat seringkali terjadi.
Fenomena ini merubakan bagian dari catatan penting dari persoalan yang hadir dalam masyarakat yang kemudian berimbas pada berbagai aspek kehidupan masyarakat.
Fenomena banjir, hilangnya sumber air bersih, perambahan ruang kelola dan pertanian warga, perampasan tanah warga, penghilangan fungsi hutan melalui kebijakan pembukaan hutan skala besar, konflik dan kriminalisasi warga, adalah sejumlah persoalan yang mengemuka dan terus berlangsung saat ini di Kalimantan Barat seiring dengan kebijakan pemerintah yang cenderung tunduk pada pemodal.
Atas nama kepentingan rakyat, hak warga atas tanah maupun ruang kelolanya pun dikorbankan.
Singkat kata, pemerintah selama ini cenderung memaksakan kehendak atas ruang investasi perkebunan skala besar yang diberikan kepada pemodal tanpa memeprhatikan aspek sosial dan lingkungan berkelanjutan secara serius.
Kebijakan pembukaan perkebunan skala besar (Sawit) di Kalimantan Barat hingga saat ini miasalnya, melalui izin yang dikeluarkan telah mencapai hampir empat juta hektar. Melebihi quota yang dialokasikan (1,5 juta Ha).
Fenomena inkonsistensi luasan peruntukan di sektor perkebunan sawit ini juga tidak terlepas dari bergulirnya otonomi daerah selama ini yang memberikan kewenangan lebih kepada pemerintah di daerah untuk memberikan legalitas.
Apalagi bila tidak disertai kontrol serius pihak legislative didaerah dan perwakilan pemerintah pusat di Kalimantan Barat.
Disamping memunculkan potensi persoalan tumpang tindih perizinan, juga membuka kran potensi korupsi dalam sektor pengelolaan SDA oleh pemerintah.
Besarnya potensi konflik SDA dan penyalaghunaan kewenangan yang dapat berujung pada korupsi di sektor pengelolaan SDA tersebut, maka peran Negara melalui pemerintah pusat menjadi harapan.
Disamping persoalan pengelolaan SDA di sektor pengembangan perkebunan sawit skala besar, upaya untuk mendongkrak sumber energi dari nuklir melalui rencana kebijakan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) saat ini juga sedang giat-giatnya di promosikan oleh Pemerintah Indonesia.
Atas rencana ini para promotor PLTN telah menetapkan sejumlah tempat untuk dikembangkan sebagai tapak PLTN di Indonesia.
Semenanjung Muria, selanjutnya Bangka Belitung menjadi target utama selama ini untuk dijadikan lokasi pembangunan PLTN di Indonesia sekalipun masih belum bisa di realisasikan karena sikap keras warga yang menolak dan bahkan hingga memfatwa haram rencana PLTN.
Penolakan yang keras dari berbagai elemen masyarakat dengan basis argumentasi yang kuat ini menjadi pertimbangan bagi pemerintah Indonesia, sehingga dengan demikian berbagai tempat lainnya sangat mungkin dijadikan lokasi target pembangunan PLTN berikutnya.
Provinsi Kalimantan Barat khususnya dan pulau Kalimantan umumnya, adalah bagian dari wilayah target pengembangan energi berbahaya tersebut (PLTN).
Alas pikir pengembangan PLTN tersebut karena diindikasikan sebagai kawasan yang aman dari potensi bencana alam dan memiliki bahan mentah (Uranium).
Sejauh ini pemerintah daerah Kalimantan Barat membuka diri dengan wacana pengembangan PLTN, namun disayangkan sikap ”wellcome” pemerintah daerah selama ini hanya sepihak.
Terlebih sejauh ini juga, belum ada penjelasan resmi pemerintah daerah Kalbar berkenaan dengan wacana pembangunan PLTN di daerah ini. Padahal sikap transparan sebagai wujud dari tata pemerintahan yang baik mestinya menjadi semangat bagi pemerintah daerah dalam menggalakkan kebijakan pembangunan bila memang sungguh diarahkan untuk kepentingan publik.
Sikap ”tertutup” ini harusnya tidak perlu terjadi bila pemerintah memiliki niat baik untuk memberikan yang terbaik bagi warganya.
Bagaimanapun kebijakan pengembangan PLTN di Indonesia umumnya dan di Kalimantan Barat khususnya bukan sebuah prioritas, bukan pilihan bijak. Bukan juga sebuah jawaban atas fenomena krisis energi (listrik) yang seringkali dijadikan sebagai alasan klasik.
Karena pada kenyataannya, maish terlalu banyak potensi energi terbarukan lainnya (panas bumi, air, angin, surya) yang sangat mungkin dikembangkan namun belum ada upaya maksimal yang serius dilakukan.
Berkaca dari berbagai bencana nuklir (PLTN) diberbagai belahan dunia yang mampu memberikan dampak negatif yang luar biasa terhadap kehidupan, maka menjadi penting dan mendesak bagi pemerintah untuk melakukan evaluasi dan memikirkan langkah bijak yang tidak memiliki resiko besar.
Tidak ada jaminan bahwa pengembangan PLTN akan berjalan mulus dan bebas dari bencana, sekalipun berada di daerah yang diidentifikasi sebagai kawasan yang aman dari bencana alam.
Kecelakaan fatal karena berbagai faktor (lalai, kecelakaan, kesengajaan) sangat mungkin terjadi, sehingga pilihan pengembangan PLTN merupakan bagian dari kebijakan yang terlalu di paksakan dan beresiko besar.
Berkaca dari uraian diatas, maka hadirnya kepala negara beserta rombongan di Pontianak tidak akan memberi manfaat besar bila hanya sekedar menghadiri kedua acara seremonial tersebut diatas semata.
Kehadiran Presiden SBY bersama rombongan diharapkan dapat mengakomodir berbagai persoalan yang dihadapi warga Kalimantan Barat. Kebijakan pengembangan perkebunan kelapa sawit skala besar di dan rencana pembangunan PLTN disamping berbagai persoalan sosial lain, kiranya penting mendapat perhatian serius pemerintah.
Kebijakan pembukaan perkebunan sawit skala besar terlalu banyak memberikan dampak destruktif bagi warga Kalimantan Barat khususnya karena dengan sendirinya menghilangkan hak kelola dan menjadikan warga bukan sebagai tuan, melainkan buruh.
Disamping itu dengan demikian akses warga untuk menghasilkan sumber pangan juga akhirnya terbatas, karena sebagian besar ruang kelola diserahkan secara sepihak kepada pemodal melalui kepala daerah.
Persoalan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) juga menjadi fenomena yang tidak terpisahkan dari kebijakan yang cenderung eksploitatif dan ”tunduk” pada pemodal ini.
Demikian juga halnya rencana kebijakan pembangunan PLTN oleh pemerintah yang terlalu berbahaya bagi keselamatan hidup dan kehidupan. Bencana Chernobyl tahun 1986 di Ukraina dan bencana meledaknya PLTN Fukushima Daichii di Jepang
Tahun 2011 hendaknya dapat menjadi catatan penting pemerintah atas rencana pembangunan PLTN. Terlebih untuk saat ini pemeirntah Jepang dan sejumlah negara maju telah memikirkan untuk menghentikan pengembangan PLTN di negara mereka.
Sementara pemerintah Indonesia yang masih memiliki banyak keterbatasan terkesan ’ngotot’ dan memaksakan diri uttuk terus maju dengan rencana pengembangan PLTN.
Dengan demikian, hadirnya Presiden SBY bersama rombongan bagi warga Kalbar tentunya diharapkan dapat menjadi angin sejuk terutama bagaimana kemudian dapat memberikan perhatian serius atas berbagai persoalan sosial dan persoalan lingkungan.
Presiden SBY beserta rombongan diharapkan dapat melakukan intervensi terhadap kebijakan pengembangan perkebunan sawit skala besar dan rencana pembangunan PLTN di Indonesia.
Kepala negara beserta segenap lini pemeritahan hingga ke daerah diharapkan tidak gampang tunduk pada pemodal.
Hentikan berbagai potensi konflik SDA di Kalimantan Barat dengan melakukan evaluasi serius atas kebijakan perkebunan sawit dan hentikan kebijakan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN).
Editor : Marlen Sitinjak
Sumber : Tribun Pontianak
http://pontianak.tribunnews.com/2011/05/30/alam-khatulistiwa-nangis-sambut-sby
SBY Kunjungi Pontianak
Senin, 30 Mei 2011 20:45 WIB
Oleh : Hendrikus Adam
Walhi Kalimantan Barat
Kehadiran Presiden SBY bersama rombongan Senin 30 Mei 2011 disambut meriah oleh pemerintah daerah.
Hal ini ditandai dengan begitu maraknya pemasangan sejumlah material berupa baliho, spanduk dan sejenisnya berisi ucapan selamat datang diberbagai penjuru khususnya di sepanjang jalan Ahmad Yani.
Hal lain yang menandai fenomena ini adalah ketatnya penjagaan yang dilakukan oleh aparat bersenjata lengkap di setiap sudut kota sekitar pelaksanaan kegiatan.
Fenomena yang “mencolok” ini seringkali disuguhkan oleh setiap pemerintah di daerah manakala ada kunjungan pejabat negara.
Harus diakui seringkali penyambutan yang dilakukan terkadang “berlebihan” dan terkesan “dipaksakan”, padahal untuk efisiensi tidak selalu harus demikian.
Apa hubungannya kedatangan Presiden beserta Rombongan dan para Gubernur se-Indonesia di Pontianak? Apakah hanya sekedar menghadiri Hari Puncak Gotong Rotong Masyarakat dan Hari Gerak PKK semata, sebagaimana yang diberitakan?
Tanpa bermaksud mempersalahkan ritual penyambutan Presiden, tentunya menjadi harapan masyarakat banyak bahwa kehadiran SBY beserta rombongan tidak hanya sekedar menghadiri dua kegiatan di atas.
Masih begitu banyak persoalan masyarakat Kalimantan Barat yang perlu mendapat sentuhan dari pemerintah pusat.
Salah satu dari persoalan tersebut adalah besarnya potensi konflik sosial terkait pengelolaan sumber daya alam (SDA) yang kemudian berimbas pada perampasan hak warga atas ruang kelolanya dan degradasi lingkungan.
Dengan demikian, hal ini butuh kepastian dan sikap jelas perlindungan pemerintah kepada hak-hak warganya atas kondisi lingkungan yang baik dan sehat sebagai bagian dari HAM.
Perampasan ruang kelola masyarakat melalui kebijakan perkebunan sawit skala besar yang saat ini menjadi kebijakan primadona pemerintah telah melahirkan sejumlah konsekuensi logis berupa terabaikannya hak-hak masyarakat untuk dapat melakukan akses maupun kontrol terhadap SDA secara maksimal.
Dalam banyak kasus di Kalimantan Barat, selain fenomena degradasi kondisi lingkungan, konflik sosial yang berujung pada kriminalisasi masyarakat seringkali terjadi.
Fenomena ini merubakan bagian dari catatan penting dari persoalan yang hadir dalam masyarakat yang kemudian berimbas pada berbagai aspek kehidupan masyarakat.
Fenomena banjir, hilangnya sumber air bersih, perambahan ruang kelola dan pertanian warga, perampasan tanah warga, penghilangan fungsi hutan melalui kebijakan pembukaan hutan skala besar, konflik dan kriminalisasi warga, adalah sejumlah persoalan yang mengemuka dan terus berlangsung saat ini di Kalimantan Barat seiring dengan kebijakan pemerintah yang cenderung tunduk pada pemodal.
Atas nama kepentingan rakyat, hak warga atas tanah maupun ruang kelolanya pun dikorbankan.
Singkat kata, pemerintah selama ini cenderung memaksakan kehendak atas ruang investasi perkebunan skala besar yang diberikan kepada pemodal tanpa memeprhatikan aspek sosial dan lingkungan berkelanjutan secara serius.
Kebijakan pembukaan perkebunan skala besar (Sawit) di Kalimantan Barat hingga saat ini miasalnya, melalui izin yang dikeluarkan telah mencapai hampir empat juta hektar. Melebihi quota yang dialokasikan (1,5 juta Ha).
Fenomena inkonsistensi luasan peruntukan di sektor perkebunan sawit ini juga tidak terlepas dari bergulirnya otonomi daerah selama ini yang memberikan kewenangan lebih kepada pemerintah di daerah untuk memberikan legalitas.
Apalagi bila tidak disertai kontrol serius pihak legislative didaerah dan perwakilan pemerintah pusat di Kalimantan Barat.
Disamping memunculkan potensi persoalan tumpang tindih perizinan, juga membuka kran potensi korupsi dalam sektor pengelolaan SDA oleh pemerintah.
Besarnya potensi konflik SDA dan penyalaghunaan kewenangan yang dapat berujung pada korupsi di sektor pengelolaan SDA tersebut, maka peran Negara melalui pemerintah pusat menjadi harapan.
Disamping persoalan pengelolaan SDA di sektor pengembangan perkebunan sawit skala besar, upaya untuk mendongkrak sumber energi dari nuklir melalui rencana kebijakan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) saat ini juga sedang giat-giatnya di promosikan oleh Pemerintah Indonesia.
Atas rencana ini para promotor PLTN telah menetapkan sejumlah tempat untuk dikembangkan sebagai tapak PLTN di Indonesia.
Semenanjung Muria, selanjutnya Bangka Belitung menjadi target utama selama ini untuk dijadikan lokasi pembangunan PLTN di Indonesia sekalipun masih belum bisa di realisasikan karena sikap keras warga yang menolak dan bahkan hingga memfatwa haram rencana PLTN.
Penolakan yang keras dari berbagai elemen masyarakat dengan basis argumentasi yang kuat ini menjadi pertimbangan bagi pemerintah Indonesia, sehingga dengan demikian berbagai tempat lainnya sangat mungkin dijadikan lokasi target pembangunan PLTN berikutnya.
Provinsi Kalimantan Barat khususnya dan pulau Kalimantan umumnya, adalah bagian dari wilayah target pengembangan energi berbahaya tersebut (PLTN).
Alas pikir pengembangan PLTN tersebut karena diindikasikan sebagai kawasan yang aman dari potensi bencana alam dan memiliki bahan mentah (Uranium).
Sejauh ini pemerintah daerah Kalimantan Barat membuka diri dengan wacana pengembangan PLTN, namun disayangkan sikap ”wellcome” pemerintah daerah selama ini hanya sepihak.
Terlebih sejauh ini juga, belum ada penjelasan resmi pemerintah daerah Kalbar berkenaan dengan wacana pembangunan PLTN di daerah ini. Padahal sikap transparan sebagai wujud dari tata pemerintahan yang baik mestinya menjadi semangat bagi pemerintah daerah dalam menggalakkan kebijakan pembangunan bila memang sungguh diarahkan untuk kepentingan publik.
Sikap ”tertutup” ini harusnya tidak perlu terjadi bila pemerintah memiliki niat baik untuk memberikan yang terbaik bagi warganya.
Bagaimanapun kebijakan pengembangan PLTN di Indonesia umumnya dan di Kalimantan Barat khususnya bukan sebuah prioritas, bukan pilihan bijak. Bukan juga sebuah jawaban atas fenomena krisis energi (listrik) yang seringkali dijadikan sebagai alasan klasik.
Karena pada kenyataannya, maish terlalu banyak potensi energi terbarukan lainnya (panas bumi, air, angin, surya) yang sangat mungkin dikembangkan namun belum ada upaya maksimal yang serius dilakukan.
Berkaca dari berbagai bencana nuklir (PLTN) diberbagai belahan dunia yang mampu memberikan dampak negatif yang luar biasa terhadap kehidupan, maka menjadi penting dan mendesak bagi pemerintah untuk melakukan evaluasi dan memikirkan langkah bijak yang tidak memiliki resiko besar.
Tidak ada jaminan bahwa pengembangan PLTN akan berjalan mulus dan bebas dari bencana, sekalipun berada di daerah yang diidentifikasi sebagai kawasan yang aman dari bencana alam.
Kecelakaan fatal karena berbagai faktor (lalai, kecelakaan, kesengajaan) sangat mungkin terjadi, sehingga pilihan pengembangan PLTN merupakan bagian dari kebijakan yang terlalu di paksakan dan beresiko besar.
Berkaca dari uraian diatas, maka hadirnya kepala negara beserta rombongan di Pontianak tidak akan memberi manfaat besar bila hanya sekedar menghadiri kedua acara seremonial tersebut diatas semata.
Kehadiran Presiden SBY bersama rombongan diharapkan dapat mengakomodir berbagai persoalan yang dihadapi warga Kalimantan Barat. Kebijakan pengembangan perkebunan kelapa sawit skala besar di dan rencana pembangunan PLTN disamping berbagai persoalan sosial lain, kiranya penting mendapat perhatian serius pemerintah.
Kebijakan pembukaan perkebunan sawit skala besar terlalu banyak memberikan dampak destruktif bagi warga Kalimantan Barat khususnya karena dengan sendirinya menghilangkan hak kelola dan menjadikan warga bukan sebagai tuan, melainkan buruh.
Disamping itu dengan demikian akses warga untuk menghasilkan sumber pangan juga akhirnya terbatas, karena sebagian besar ruang kelola diserahkan secara sepihak kepada pemodal melalui kepala daerah.
Persoalan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) juga menjadi fenomena yang tidak terpisahkan dari kebijakan yang cenderung eksploitatif dan ”tunduk” pada pemodal ini.
Demikian juga halnya rencana kebijakan pembangunan PLTN oleh pemerintah yang terlalu berbahaya bagi keselamatan hidup dan kehidupan. Bencana Chernobyl tahun 1986 di Ukraina dan bencana meledaknya PLTN Fukushima Daichii di Jepang
Tahun 2011 hendaknya dapat menjadi catatan penting pemerintah atas rencana pembangunan PLTN. Terlebih untuk saat ini pemeirntah Jepang dan sejumlah negara maju telah memikirkan untuk menghentikan pengembangan PLTN di negara mereka.
Sementara pemerintah Indonesia yang masih memiliki banyak keterbatasan terkesan ’ngotot’ dan memaksakan diri uttuk terus maju dengan rencana pengembangan PLTN.
Dengan demikian, hadirnya Presiden SBY bersama rombongan bagi warga Kalbar tentunya diharapkan dapat menjadi angin sejuk terutama bagaimana kemudian dapat memberikan perhatian serius atas berbagai persoalan sosial dan persoalan lingkungan.
Presiden SBY beserta rombongan diharapkan dapat melakukan intervensi terhadap kebijakan pengembangan perkebunan sawit skala besar dan rencana pembangunan PLTN di Indonesia.
Kepala negara beserta segenap lini pemeritahan hingga ke daerah diharapkan tidak gampang tunduk pada pemodal.
Hentikan berbagai potensi konflik SDA di Kalimantan Barat dengan melakukan evaluasi serius atas kebijakan perkebunan sawit dan hentikan kebijakan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN).
Editor : Marlen Sitinjak
Sumber : Tribun Pontianak
http://pontianak.tribunnews.com/2011/05/30/alam-khatulistiwa-nangis-sambut-sby
Selasa, 31 Mei 2011
Kuasa Juragan Tambang
Tambang Emas Singkawang (3)
Migrasi kuli penambang emas sangat dinamis. Bos tambang menentukan dimana mata pipa dipancang.
Muhlis Suhaeri / Angga Haksoro
27 Mei 2011 - 15:11 WIB
Surga tambang emas. Tak terjamah.
Hampir tak ada wilayah di Kalimantan Barat yang bebas dari penambangan emas. Mulai ujung perbatasan bagian barat hingga timur. Termasuk wilayah-wilayah pedalaman. Puluhan sungai besar jadi pusat aktivitas penambangan emas tanpa izin. Migrasi para penambang emas sangat dinamis.
Penambang emas di Sagatani, Singkawang, 80 persen dari Sintang. Mereka datang secara rombongan. “Biasanya dicari yang mau kerja dan tahan lama. Kerja ini berat. Jangan sampai 2-3 hari minta pulang,” kata Anton. Pekerja yang dicari biasanya yang lincah dan rajin.
Anton bos pekerja tambang emas di Sagatani. Lelaki 30 tahun ini punya dua set mesin dan sepuluh anak buah.
Cara mencari penambang, melalui koordinator atau kepala rombongan. Penambang yang sudah pernah kerja disuruh pulang, untuk mencari pekerja baru. Mereka sendiri yang tahu, dan bisa cocok dengan siapa. Kepala rombongan biasanya mencari pekerja.
“Kalau pekerja tidak bagus, kita tinggal menegur kepala rombongan,” ujar Anton.
Kepala rombongan tak harus memiliki pengalaman kerja lama. Meski baru bekerja, kalau sudah lihai dan mampu memimpin pekerja di lapangan, bisa jadi kepala rombongan.
Ketika cari pekerja, bos biasanya menangggung biaya transportasi calon pekerja. Berapa pun biayanya akan ditanggung. Termasuk uang pinjaman Rp 1 juta sampai Rp 2 juta untuk anak dan istri calon pekerja.
Biaya transportasi Rp 500 ribu. Ongkos Singkawang-Sintang sekitar Rp 150 ribu. Dari Sintang ke kampung masing-masing, kadang membutuhkan waktu satu hingga dua hari.
Kerjanya dengan sistem kontrak. Kalau bisa bertahan kerja lebih dari satu bulan, ongkos pulang kampung ditanggung bos. Bila tak sampai sebulan, pekerja tanggung sendiri ongkosnya.
Cara pengupahan buruh dompeng dilakukan dengan sistem bagi hasil. Namun tak ada perjanjian tertulis. Pekerja bisa pindah kapan saja ke bos lain. Begitu juga kalau bos tambang bangkrut, pekerja otomatis berhenti.
Struktur kerja di pertambangan emas tanpa izin memiliki beberapa tingkatan. Pertama, penambang atau pekerja di lokasi. Kedua, bos para penambang. Bos penambang juga bertindak sebagai pengumpul emas dari para pendulang liar.
Ketiga, bos besar atau juragan emas yang membeli emas dari para bos tambang. Keempat, bos cetak atau yang menerima emas dari bos besar dan mencetaknya menjadi emas batangan.
Penambangan emas memiliki jaringan tersendiri. Saling terkait dan sukar diputus. Seperti pembalakan liar. Terorganisir. Kalaupun ada razia, paling hanya pekerja rendahan yang ditangkap. Para bos tambang, seringkali tak terjamah.
”Karena biasanya selalu ada oknum dari pihak terkait yang turut terlibat,” kata Hendrikus Adam, Kepala Divisi Riset dan Kampanye Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalimantan Barat.
Tak heran bila setiap ada razia, lokasi tambang selalu sepi. Informasi bocor duluan. Mereka yang jadi bos tambang biasanya orang bermodal. Membuka tambang emas butuh biaya besar. Bos tambang juga punya hubungan baik dengan aparat, orang di pemerintahan, politikus, serta para tokoh masyarakat lokal yang disegani.
”Tak tanggung, para bos tambang biasanya menyediakan jatah khusus atau upeti untuk aparat tersebut,” ujar Adam.
Menurut dia, momentum pemilihan kepala daerah dari tingkatan desa hingga kabupaten, biasanya terkait tambang emas ilegal. Ada hubungan timbal balik antara mereka.
”Para bos tambang berharap usahanya aman dan dilindungi. Sementara figur yang mencalonkan diri dalam sebuah suksesi berharap dapat dukungan agar bisa dipilih dan menang,” kata Adam.
Janji politik mampu membius warga. Hubungan antara para elit dengan para penambangan liar sangat kompleks. Ibarat benang kusut yang sukar diurai.
Hal itu bisa dilihat dari pola distribusi merkuri di Kalimantan Barat yang sulit dideteksi. Padahal semestinya gampang saja. Banyaknya operasi penertiban yang gagal, juga jadi indikasi adanya pihak lain di balik kegiatan ini.
Menurut Adam, kegiatan penambangan emas ilegal biasanya terkait dengan ”orang-orang penting” di sekitar wilayah tambang. Mereka memiliki andil besar memberikan izin tambang.
Umumnya juga melibatkan para bos dan pekerja dari luar daerah, sebagai pemilik mesin dan penggarap. Sementara warga setempat kebanyakan jadi penonton. Kalau pun ada, hanya sedikit yang terlibat. Warga setempat biasanya lebih banyak melakukan aktivitas keseharian seperti menoreh karet, berladang, atau mencari hasil hutan.
Adam memberikan beberapa contoh. Di Nguap, Kabupaten Landak, praktik penambangan emas ada di sepanjang tepian Sungai Belantian yang bermuara di Sungai Landak. Belasan tahun warga terpaksa menggunakan air sungai yang keruh dan pekat untuk mandi, cuci, dan kakus. Aparat desa punya andil besar atas hal itu. Para penambang di Nguap sebagian besar dari Sekadau.
Di Kabupaten Mandor pun demikian. Aktivitas penambangan emas ilegal tak terkendali. Lubang penggalian bahkan menjorok hingga ke pinggir kompleks pemakaman bersejarah, Makam Juang Mandor.
”Para pelaku tak terjamah. Kalaupun pelaku tertangkap tangan, biasanya berakhir damai.”
Di beberapa kawasan daerah aliran sungai Kalimantan Barat, aktivitas penambangan berperan merusak lingkungan dan mencemari air. Padahal sungai, bagian tak terpisahkan dari kehidupan warga.
”Ini tidak lepas dari andil pemerintah dan aparat terkait, yang terkesan selalu kompromi dan terlibat kongkalikong,” kata Adam.
Pemerintah ikut memperparah kondisi dengan membuka lebar peluang usaha tambang emas. Berdasarkan data Dinas Pertambangan dan Energi (Distamben) Kalbar, hingga tahun 2009 pemerintah telah memberikan izin pertambangan lebih dari dua juta hektare. Jumlah itu diluar penambangan liar.
Warga sekitar lokasi tambang paling sedikit mendapatkan keuntungan. Yang meraup rupiah paling banyak, pemodal dan “orang-orang penting” tersebut. Hanya segelintir pekerja yang berasal dari daerah tambang.
”Ini butuh penanganan serius dan menyeluruh,” kata Adam.
Migrasi para penambang emas tak lepas dari eratnya hubungan para bos tambang. Mereka biasanya duduk satu meja di rumah bos besar. Para bos tambang saling tukar informasi, daerah mana yang sedang ditemukan banyak emas. Dari informasi tersebut, mereka akan mengarahkan tujuan penambangan emas.
Begitu pun para pekerja emas. Saat dapat informasi dari rekannya, mereka segera menuju lokasi tersebut. “Biasanya kalau ada kabar di daerah itu banyak hasilkan emas, kami akan ke sana,” kata Snegar, penambang emas berusia 17 tahun. Sejak lulus SMP, dia sudah kerja di tambang emas.
Snegar dari Kabupaten Sintang. Jarak Sintang ke Singkawang sehari semalam naik bus. Untuk ongkos dan makan di jalan, butuh uang sekitar Rp 500 ribu.
Begitu juga Fransiskus Nanang Saputra. Tempat tinggalnya tak kalah jauh. Dia dari Serawai, Sintang. Dari Singkawang butuh waktu naik bus sehari dua malam. Ditambanh naik speed boat. Ongkosnya Rp 400 ribu. Sekali jalan, paling sedikit bawa uang Rp 1 juta.
Mereka pulang sebulan atau dua bulan sekali. Atau, tergantung hasil perolehan emas.
Migrasi para penambang tak lepas dari hasil yang menjanjikan. Namun, uang kadang menguap begitu saja. Seperti kisah Adi Sulistyono.
Adi baru kerja 10 hari di Sagatani. Hasilnya belum terlihat. Sebelumnya, dia kerja tambang emas di Indotani, Sandai, Kabupaten Ketapang. Tujuh tahun dia bertahan. Kerja itu dilakoni setelah Adi tak lulus SMA di Pontianak.
Jalan menuju lokasi pertambangan sulit sekali. Jalan ambles sampai 1,5 meter. Banyak truk terguling melewati jalan tersebut. Dari Ketapang naik ojek sekitar 12 jam. Ongkosnya Rp 250 ribu.
Ada ribuan penambang di Indotani. Sekitar 500-an set mesin beroperasi di daerah tersebut. Satu set mesin dipegang 12 pekerja. Para penambang memiliki tukang masak di setiap kamp. Pekerja tak sempat lagi memasak.
Untuk minum, para bos tambang biasanya pesan air galon. Terkadang mereka pakai air hujan yang ditampung dalam drum. Setelah itu dimasak. Makan tiga kali sehari. Kadang ada lauk, kadang tidak. Energinya dari mana? “Ya, tak ada energinya,” kata Adi.
Jika beruntung, pekerja dapat makan nasi berkawan telur atau ikan gaben, sejenis tongkol.
Jam kerja di penambangan tak tentu. Kadang mulai kerja pukul 10 atau 11. Kerja selesai pukul 5 atau 6 sore. Setelah itu, cuci baju, membersihkan badan, dan mendulang emas. Selepas itu, emas dibakar diatas piring yang dibungkus kertas rokok. Emas dicor agar padat.
Setiap pekerja di Indotani bisa dapat emas 100 gram seminggu. Satu gram emas dihargai Rp 470 ribu. Kadar emasnya tinggi.
Kalau pakai sistem bagi hasil 50:50 dengan bos tambang, pekerja bayar makan sendiri. Mereka utang dulu ke bos tambang. Dengan sistem itu, pekerja bebas pilih makanan. Tinggal pesan ke bos. Semua yang dibutuhkan pasti ada. Setelah 15 hari kerja, hasilnya dihitung. Hasil itu dikurangi biaya makan.
“Kalau perbandingan 70:30, susah karena semua kebutuhan ditanggung bos,” kata Adi. Pekerja tidak bisa pesan sesuatu sesuai yang diinginkan.
Kerja di Indotani lebih berat. Emas diangkat dengan cara melubangi rawa. Lubang ditembak dengan air penyemprot. Setelah itu, air disedot. Air di permukaan harus kering. Kadang harus membongkar batu cadas. Bila tidak hati-hati, badan bisa remuk terhimpit batu.
Hasil menambang emas di Ketapang, jarang meleset. Tiap bayaran, rata-rata dapat Rp 3 juta. Jumlah itu sudah bersih, setelah dipotong utang uang makan pada bos.
Di Indotani, pekerja juga bisa utang makan atau rokok ke kantin. Setelah 10 hari ambil rokok, minum es, atau utang apa pun, orang kantin akan percaya. Di Sagatani, orang belum percaya.
Kegiatan penambangan di Sagatani mengundang pedagang keliling. Hambali misalnya. Pria 54 tahun asal Brebes, Jawa Tengah ini, biasa membawa makanan keliling lokasi penambangan. Sudah setahun dia berjualan keliling penambangan emas di Sagatani.
Hambali jualan empat hari sekali. Dagangannya mulai dari jagung hingga berbagai obat-obatan. Seperti obat encok, asam urat, obat kuat, dan lainnya. Jagung dibawa dari kebun di Pasiran, Singkawang. Dalam satu keranjang biasanya ada 50 tongkol jagung.
Dia berjalan seharian mengelilingi lokasi penambangan. Sore hari, balik ke rumahnya di Pasiran, Singkawang.
Sebagian besar penambang emas di Sagatani rata-rata pernah bekerja di lima hingga tujuh lokasi penambangan. Mengapa para penambang mau meninggalkan rumah, dan bekerja di lokasi yang demikian jauh?
“Kerja emas menjamin hidup,” kata Dedi Hermanto dari Sungai Ulak, Kecamatan Kapuas Kanan Hulu, Sintang.
Dedi kerja tambang emas setelah lulus SMP. Dia termasuk yang berhasil. Dedi sudah punya rumah besar di kampungnya. Anaknya umur lima tahun. Sekarang istrinya sedang hamil delapan bulan.
Sebanyak 70 persen hasil tambang untuk bos. Hasil 30 persen untuk para pekerja. Sepuluh persen untuk koordinator pekerja, diambil dari jatah bos tambang. Tugas koordinator cukup berat. Dia harus bisa mengkoordinasikan semua pekerja. Bila tidak kompak, berpengaruh pada hasil.
Gaji dihitung seminggu sekali. “Rata-rata dapat Rp 1 juta seminggu,” kata Dedi.
Di Sagatani ada sekitar 500 bos tambang. Bos tambang menyediakan berbagai keperluan pekerja. Mulai dari makan tiga kali sehari. Rokok dua bungkus sehari. Bahan bakar mesin diesel, dan lainnya. Bos menanggung semua kebutuhan pekerja. Kesehatan pekerja dijamin. Kalau pekerja sakit, bos tambang bertanggung jawab. Bahkan ada uang pati, bila ada pekerja yang meninggal karena kecelakaan.
Dedi sudah lima bulan bekerja di Sagatani. Awalnya Dedi kerja di Sagatani dengan bos dari Sintang. Bos berhenti karena tak ada hasil. Dedi pindah bos.
Bulan puasa makin banyak orang kerja emas, karena mengejar uang untuk Idul Fitri. “Kerja emas enak tak enak tergantung hasil.”
Dedi juga pernah kerja di penambangan emas di Balai Karangan, Sanggau, tahun 1986. Sistem kerjanya harian, dibayar Rp 8 ribu dan diberi satu karung pasir mengandung emas.
Emas didulang sendiri. Satu karung dapat sekitar 15 gram. Emas kemudian dijual ke penampung. Satu gram emas dibayar Rp 50 ribu sampai Rp 60 ribu. Sekarang harga emas di tingkat pengumpul Rp 325 ribu per gram. Ada kenaikan harga, sesuai kenaikan harga emas dunia. Sebelumnya cuma Rp 300 ribu.
Dedi juga pernah kerja di tambang emas Nanga Kayan, Kabupaten Melawi. Menurutnya, kalau masih bujangan, biasanya uang akan habis begitu saja. Di lokasi penambangan emas ada kantin. Yang menyediakan berbagai macam kebutuhan para penambang. Mulai rokok, makan, minuman keras. Bahkan ada karaoke dan meja biliar.
“Uang habis untuk happy-happy. Ya, abang tahu sendirilah….” Kata Dedi dengan santai. (bersambung)
Foto: VHRmedia/Muhlis Suhaeri
Sumber: http://www.vhrmedia.com/2010/detail.php?.e=2765
Migrasi kuli penambang emas sangat dinamis. Bos tambang menentukan dimana mata pipa dipancang.
Muhlis Suhaeri / Angga Haksoro
27 Mei 2011 - 15:11 WIB
Surga tambang emas. Tak terjamah.
Hampir tak ada wilayah di Kalimantan Barat yang bebas dari penambangan emas. Mulai ujung perbatasan bagian barat hingga timur. Termasuk wilayah-wilayah pedalaman. Puluhan sungai besar jadi pusat aktivitas penambangan emas tanpa izin. Migrasi para penambang emas sangat dinamis.
Penambang emas di Sagatani, Singkawang, 80 persen dari Sintang. Mereka datang secara rombongan. “Biasanya dicari yang mau kerja dan tahan lama. Kerja ini berat. Jangan sampai 2-3 hari minta pulang,” kata Anton. Pekerja yang dicari biasanya yang lincah dan rajin.
Anton bos pekerja tambang emas di Sagatani. Lelaki 30 tahun ini punya dua set mesin dan sepuluh anak buah.
Cara mencari penambang, melalui koordinator atau kepala rombongan. Penambang yang sudah pernah kerja disuruh pulang, untuk mencari pekerja baru. Mereka sendiri yang tahu, dan bisa cocok dengan siapa. Kepala rombongan biasanya mencari pekerja.
“Kalau pekerja tidak bagus, kita tinggal menegur kepala rombongan,” ujar Anton.
Kepala rombongan tak harus memiliki pengalaman kerja lama. Meski baru bekerja, kalau sudah lihai dan mampu memimpin pekerja di lapangan, bisa jadi kepala rombongan.
Ketika cari pekerja, bos biasanya menangggung biaya transportasi calon pekerja. Berapa pun biayanya akan ditanggung. Termasuk uang pinjaman Rp 1 juta sampai Rp 2 juta untuk anak dan istri calon pekerja.
Biaya transportasi Rp 500 ribu. Ongkos Singkawang-Sintang sekitar Rp 150 ribu. Dari Sintang ke kampung masing-masing, kadang membutuhkan waktu satu hingga dua hari.
Kerjanya dengan sistem kontrak. Kalau bisa bertahan kerja lebih dari satu bulan, ongkos pulang kampung ditanggung bos. Bila tak sampai sebulan, pekerja tanggung sendiri ongkosnya.
Cara pengupahan buruh dompeng dilakukan dengan sistem bagi hasil. Namun tak ada perjanjian tertulis. Pekerja bisa pindah kapan saja ke bos lain. Begitu juga kalau bos tambang bangkrut, pekerja otomatis berhenti.
Struktur kerja di pertambangan emas tanpa izin memiliki beberapa tingkatan. Pertama, penambang atau pekerja di lokasi. Kedua, bos para penambang. Bos penambang juga bertindak sebagai pengumpul emas dari para pendulang liar.
Ketiga, bos besar atau juragan emas yang membeli emas dari para bos tambang. Keempat, bos cetak atau yang menerima emas dari bos besar dan mencetaknya menjadi emas batangan.
Penambangan emas memiliki jaringan tersendiri. Saling terkait dan sukar diputus. Seperti pembalakan liar. Terorganisir. Kalaupun ada razia, paling hanya pekerja rendahan yang ditangkap. Para bos tambang, seringkali tak terjamah.
”Karena biasanya selalu ada oknum dari pihak terkait yang turut terlibat,” kata Hendrikus Adam, Kepala Divisi Riset dan Kampanye Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalimantan Barat.
Tak heran bila setiap ada razia, lokasi tambang selalu sepi. Informasi bocor duluan. Mereka yang jadi bos tambang biasanya orang bermodal. Membuka tambang emas butuh biaya besar. Bos tambang juga punya hubungan baik dengan aparat, orang di pemerintahan, politikus, serta para tokoh masyarakat lokal yang disegani.
”Tak tanggung, para bos tambang biasanya menyediakan jatah khusus atau upeti untuk aparat tersebut,” ujar Adam.
Menurut dia, momentum pemilihan kepala daerah dari tingkatan desa hingga kabupaten, biasanya terkait tambang emas ilegal. Ada hubungan timbal balik antara mereka.
”Para bos tambang berharap usahanya aman dan dilindungi. Sementara figur yang mencalonkan diri dalam sebuah suksesi berharap dapat dukungan agar bisa dipilih dan menang,” kata Adam.
Janji politik mampu membius warga. Hubungan antara para elit dengan para penambangan liar sangat kompleks. Ibarat benang kusut yang sukar diurai.
Hal itu bisa dilihat dari pola distribusi merkuri di Kalimantan Barat yang sulit dideteksi. Padahal semestinya gampang saja. Banyaknya operasi penertiban yang gagal, juga jadi indikasi adanya pihak lain di balik kegiatan ini.
Menurut Adam, kegiatan penambangan emas ilegal biasanya terkait dengan ”orang-orang penting” di sekitar wilayah tambang. Mereka memiliki andil besar memberikan izin tambang.
Umumnya juga melibatkan para bos dan pekerja dari luar daerah, sebagai pemilik mesin dan penggarap. Sementara warga setempat kebanyakan jadi penonton. Kalau pun ada, hanya sedikit yang terlibat. Warga setempat biasanya lebih banyak melakukan aktivitas keseharian seperti menoreh karet, berladang, atau mencari hasil hutan.
Adam memberikan beberapa contoh. Di Nguap, Kabupaten Landak, praktik penambangan emas ada di sepanjang tepian Sungai Belantian yang bermuara di Sungai Landak. Belasan tahun warga terpaksa menggunakan air sungai yang keruh dan pekat untuk mandi, cuci, dan kakus. Aparat desa punya andil besar atas hal itu. Para penambang di Nguap sebagian besar dari Sekadau.
Di Kabupaten Mandor pun demikian. Aktivitas penambangan emas ilegal tak terkendali. Lubang penggalian bahkan menjorok hingga ke pinggir kompleks pemakaman bersejarah, Makam Juang Mandor.
”Para pelaku tak terjamah. Kalaupun pelaku tertangkap tangan, biasanya berakhir damai.”
Di beberapa kawasan daerah aliran sungai Kalimantan Barat, aktivitas penambangan berperan merusak lingkungan dan mencemari air. Padahal sungai, bagian tak terpisahkan dari kehidupan warga.
”Ini tidak lepas dari andil pemerintah dan aparat terkait, yang terkesan selalu kompromi dan terlibat kongkalikong,” kata Adam.
Pemerintah ikut memperparah kondisi dengan membuka lebar peluang usaha tambang emas. Berdasarkan data Dinas Pertambangan dan Energi (Distamben) Kalbar, hingga tahun 2009 pemerintah telah memberikan izin pertambangan lebih dari dua juta hektare. Jumlah itu diluar penambangan liar.
Warga sekitar lokasi tambang paling sedikit mendapatkan keuntungan. Yang meraup rupiah paling banyak, pemodal dan “orang-orang penting” tersebut. Hanya segelintir pekerja yang berasal dari daerah tambang.
”Ini butuh penanganan serius dan menyeluruh,” kata Adam.
Migrasi para penambang emas tak lepas dari eratnya hubungan para bos tambang. Mereka biasanya duduk satu meja di rumah bos besar. Para bos tambang saling tukar informasi, daerah mana yang sedang ditemukan banyak emas. Dari informasi tersebut, mereka akan mengarahkan tujuan penambangan emas.
Begitu pun para pekerja emas. Saat dapat informasi dari rekannya, mereka segera menuju lokasi tersebut. “Biasanya kalau ada kabar di daerah itu banyak hasilkan emas, kami akan ke sana,” kata Snegar, penambang emas berusia 17 tahun. Sejak lulus SMP, dia sudah kerja di tambang emas.
Snegar dari Kabupaten Sintang. Jarak Sintang ke Singkawang sehari semalam naik bus. Untuk ongkos dan makan di jalan, butuh uang sekitar Rp 500 ribu.
Begitu juga Fransiskus Nanang Saputra. Tempat tinggalnya tak kalah jauh. Dia dari Serawai, Sintang. Dari Singkawang butuh waktu naik bus sehari dua malam. Ditambanh naik speed boat. Ongkosnya Rp 400 ribu. Sekali jalan, paling sedikit bawa uang Rp 1 juta.
Mereka pulang sebulan atau dua bulan sekali. Atau, tergantung hasil perolehan emas.
Migrasi para penambang tak lepas dari hasil yang menjanjikan. Namun, uang kadang menguap begitu saja. Seperti kisah Adi Sulistyono.
Adi baru kerja 10 hari di Sagatani. Hasilnya belum terlihat. Sebelumnya, dia kerja tambang emas di Indotani, Sandai, Kabupaten Ketapang. Tujuh tahun dia bertahan. Kerja itu dilakoni setelah Adi tak lulus SMA di Pontianak.
Jalan menuju lokasi pertambangan sulit sekali. Jalan ambles sampai 1,5 meter. Banyak truk terguling melewati jalan tersebut. Dari Ketapang naik ojek sekitar 12 jam. Ongkosnya Rp 250 ribu.
Ada ribuan penambang di Indotani. Sekitar 500-an set mesin beroperasi di daerah tersebut. Satu set mesin dipegang 12 pekerja. Para penambang memiliki tukang masak di setiap kamp. Pekerja tak sempat lagi memasak.
Untuk minum, para bos tambang biasanya pesan air galon. Terkadang mereka pakai air hujan yang ditampung dalam drum. Setelah itu dimasak. Makan tiga kali sehari. Kadang ada lauk, kadang tidak. Energinya dari mana? “Ya, tak ada energinya,” kata Adi.
Jika beruntung, pekerja dapat makan nasi berkawan telur atau ikan gaben, sejenis tongkol.
Jam kerja di penambangan tak tentu. Kadang mulai kerja pukul 10 atau 11. Kerja selesai pukul 5 atau 6 sore. Setelah itu, cuci baju, membersihkan badan, dan mendulang emas. Selepas itu, emas dibakar diatas piring yang dibungkus kertas rokok. Emas dicor agar padat.
Setiap pekerja di Indotani bisa dapat emas 100 gram seminggu. Satu gram emas dihargai Rp 470 ribu. Kadar emasnya tinggi.
Kalau pakai sistem bagi hasil 50:50 dengan bos tambang, pekerja bayar makan sendiri. Mereka utang dulu ke bos tambang. Dengan sistem itu, pekerja bebas pilih makanan. Tinggal pesan ke bos. Semua yang dibutuhkan pasti ada. Setelah 15 hari kerja, hasilnya dihitung. Hasil itu dikurangi biaya makan.
“Kalau perbandingan 70:30, susah karena semua kebutuhan ditanggung bos,” kata Adi. Pekerja tidak bisa pesan sesuatu sesuai yang diinginkan.
Kerja di Indotani lebih berat. Emas diangkat dengan cara melubangi rawa. Lubang ditembak dengan air penyemprot. Setelah itu, air disedot. Air di permukaan harus kering. Kadang harus membongkar batu cadas. Bila tidak hati-hati, badan bisa remuk terhimpit batu.
Hasil menambang emas di Ketapang, jarang meleset. Tiap bayaran, rata-rata dapat Rp 3 juta. Jumlah itu sudah bersih, setelah dipotong utang uang makan pada bos.
Di Indotani, pekerja juga bisa utang makan atau rokok ke kantin. Setelah 10 hari ambil rokok, minum es, atau utang apa pun, orang kantin akan percaya. Di Sagatani, orang belum percaya.
Kegiatan penambangan di Sagatani mengundang pedagang keliling. Hambali misalnya. Pria 54 tahun asal Brebes, Jawa Tengah ini, biasa membawa makanan keliling lokasi penambangan. Sudah setahun dia berjualan keliling penambangan emas di Sagatani.
Hambali jualan empat hari sekali. Dagangannya mulai dari jagung hingga berbagai obat-obatan. Seperti obat encok, asam urat, obat kuat, dan lainnya. Jagung dibawa dari kebun di Pasiran, Singkawang. Dalam satu keranjang biasanya ada 50 tongkol jagung.
Dia berjalan seharian mengelilingi lokasi penambangan. Sore hari, balik ke rumahnya di Pasiran, Singkawang.
Sebagian besar penambang emas di Sagatani rata-rata pernah bekerja di lima hingga tujuh lokasi penambangan. Mengapa para penambang mau meninggalkan rumah, dan bekerja di lokasi yang demikian jauh?
“Kerja emas menjamin hidup,” kata Dedi Hermanto dari Sungai Ulak, Kecamatan Kapuas Kanan Hulu, Sintang.
Dedi kerja tambang emas setelah lulus SMP. Dia termasuk yang berhasil. Dedi sudah punya rumah besar di kampungnya. Anaknya umur lima tahun. Sekarang istrinya sedang hamil delapan bulan.
Sebanyak 70 persen hasil tambang untuk bos. Hasil 30 persen untuk para pekerja. Sepuluh persen untuk koordinator pekerja, diambil dari jatah bos tambang. Tugas koordinator cukup berat. Dia harus bisa mengkoordinasikan semua pekerja. Bila tidak kompak, berpengaruh pada hasil.
Gaji dihitung seminggu sekali. “Rata-rata dapat Rp 1 juta seminggu,” kata Dedi.
Di Sagatani ada sekitar 500 bos tambang. Bos tambang menyediakan berbagai keperluan pekerja. Mulai dari makan tiga kali sehari. Rokok dua bungkus sehari. Bahan bakar mesin diesel, dan lainnya. Bos menanggung semua kebutuhan pekerja. Kesehatan pekerja dijamin. Kalau pekerja sakit, bos tambang bertanggung jawab. Bahkan ada uang pati, bila ada pekerja yang meninggal karena kecelakaan.
Dedi sudah lima bulan bekerja di Sagatani. Awalnya Dedi kerja di Sagatani dengan bos dari Sintang. Bos berhenti karena tak ada hasil. Dedi pindah bos.
Bulan puasa makin banyak orang kerja emas, karena mengejar uang untuk Idul Fitri. “Kerja emas enak tak enak tergantung hasil.”
Dedi juga pernah kerja di penambangan emas di Balai Karangan, Sanggau, tahun 1986. Sistem kerjanya harian, dibayar Rp 8 ribu dan diberi satu karung pasir mengandung emas.
Emas didulang sendiri. Satu karung dapat sekitar 15 gram. Emas kemudian dijual ke penampung. Satu gram emas dibayar Rp 50 ribu sampai Rp 60 ribu. Sekarang harga emas di tingkat pengumpul Rp 325 ribu per gram. Ada kenaikan harga, sesuai kenaikan harga emas dunia. Sebelumnya cuma Rp 300 ribu.
Dedi juga pernah kerja di tambang emas Nanga Kayan, Kabupaten Melawi. Menurutnya, kalau masih bujangan, biasanya uang akan habis begitu saja. Di lokasi penambangan emas ada kantin. Yang menyediakan berbagai macam kebutuhan para penambang. Mulai rokok, makan, minuman keras. Bahkan ada karaoke dan meja biliar.
“Uang habis untuk happy-happy. Ya, abang tahu sendirilah….” Kata Dedi dengan santai. (bersambung)
Foto: VHRmedia/Muhlis Suhaeri
Sumber: http://www.vhrmedia.com/2010/detail.php?.e=2765
Walhi calls on president to evaluate oil palm plantation development
Mon, May 30 2011 17:36 | 195 Views
Pontianak, West Kalimantan (ANTARA News) - The West Kalimantan chapter of the Indonesian Forum for the Environment (WALHI) has called on President Susilo Bambang Yudhoyono to evaluate the massive way in which oil palm plantations were being opened in the country and to abandon plans to build a nuclear power plant.
"We hope the government will not force its will in developing oil palm plantations and planning to build a nuclear power plant without paying attention to their social and environmental aspects," said Hendrikus Adam, chairman of the West Kalimantan chapter of WAHLI`s Research and Campaign Division.
West Kalimantan reportedly has around four million hectares of oil palm plantations, exceeding the quota of 1.5 million hectares.
The massive development of oil palm cultivation in West Kalimantan could cause conflicts between indigenous people as owners of traditional land and plantation developers.
"We and the people need certainty and a clear stance of the government in protecting the people`s right to enjoy good and healthy environmental conditions," he said.
According to the local WALHI`s data, there have been 6,632 ecology-related disasters. Data from Oil Palm Watch shows there have been 630 conflicts regarding oil palm plantations and 200 monoculture plantation conflicts up to 2010.
From 1980s to 2009, a total of 229 companies have received licenses to open 3.57 million hectares of oil palm plantations, but only 318,560 hectares have been developed, according to data from the Dayakology Institute and Oil Palm Watch collected from six districts in West Kalimantan Province.
President Susilo Bambang Yudhoyono is scheduled to visit Pontianak on May 30 and 31, 2011.
(Uu.F001/HAJM)
sumber: http://www.antaranews.com/en/news/1306751780/walhi-calls-on-president-to-evaluate-oil-palm-plantation-development
Pontianak, West Kalimantan (ANTARA News) - The West Kalimantan chapter of the Indonesian Forum for the Environment (WALHI) has called on President Susilo Bambang Yudhoyono to evaluate the massive way in which oil palm plantations were being opened in the country and to abandon plans to build a nuclear power plant.
"We hope the government will not force its will in developing oil palm plantations and planning to build a nuclear power plant without paying attention to their social and environmental aspects," said Hendrikus Adam, chairman of the West Kalimantan chapter of WAHLI`s Research and Campaign Division.
West Kalimantan reportedly has around four million hectares of oil palm plantations, exceeding the quota of 1.5 million hectares.
The massive development of oil palm cultivation in West Kalimantan could cause conflicts between indigenous people as owners of traditional land and plantation developers.
"We and the people need certainty and a clear stance of the government in protecting the people`s right to enjoy good and healthy environmental conditions," he said.
According to the local WALHI`s data, there have been 6,632 ecology-related disasters. Data from Oil Palm Watch shows there have been 630 conflicts regarding oil palm plantations and 200 monoculture plantation conflicts up to 2010.
From 1980s to 2009, a total of 229 companies have received licenses to open 3.57 million hectares of oil palm plantations, but only 318,560 hectares have been developed, according to data from the Dayakology Institute and Oil Palm Watch collected from six districts in West Kalimantan Province.
President Susilo Bambang Yudhoyono is scheduled to visit Pontianak on May 30 and 31, 2011.
(Uu.F001/HAJM)
sumber: http://www.antaranews.com/en/news/1306751780/walhi-calls-on-president-to-evaluate-oil-palm-plantation-development
Seruan Walhi Kepada Presiden
PONTIANAK, Kalbarinfo - Kehadiran Presiden SBY bersama rombongan hari ini (30 Mei 2011) disambut meriah oleh pemerintah daerah. Hal ini ditandai dengan begitu maraknya pemasangan sejumlah material berupa baliho, spanduk dan sejenisnya berisi ucapan selamat datang diberbagai penjuru khususnya di sepanjang jalan Ahmad Yani. Hal lain yang menandai fenomena ini adalah ketatnya penjagaan yang dilakukan oleh aparat bersenjata lengkap di setiap sudut kota sekitar pelaksanaan kegiatan.
Fenomena yang “mencolok” ini seringkali disuguhkan oleh setiap pemerintah di daerah manakala ada kunjungan pejabat negara. Harus diakui seringkali penyambutan yang dilakukan terkadang “berlebihan” dan terkesan “dipaksakan”, padahal untuk efisiensi tidak selalu harus demikian. Apa hubungannya kedatangan Presiden beserta Rombongan dan para Gubernur se-Indonesia di Pontianak? Apakah hanya sekedar menghadiri Hari Puncak Gotong Rotong Masyarakat dan Hari Gerak PKK semata, sebagaimana yang diberitakan? , ungkap aktivis Walhi Kalbar, Hendrikus Adam melalui pesan elektronik kepada Kalbarinfo, kemarin.
Ia mengatakan tentunya menjadi harapan masyarakat banyak bahwa kehadiran SBY beserta rombongan tidak hanya sekedar menghadiri kedua kegiatan diatas. Masih begitu banyak persoalan masyarakat Kalimantan Barat yang perlu mendapat sentuhan dari pemerintah pusat. Salah satu dari persoalan tersebut adalah besarnya potensi konflik sosial terkait pengelolaan sumber daya alam (SDA) yang kemudian berimbas pada perampasan hak warga atas ruang kelolanya dan degradasi lingkungan. Dengan demikian, hal ini butuh kepastian dan sikap jelas perlindungan pemerintah kepada hak-hak warganya atas kondisi lingkungan yang baik dan sehat sebagai bagian dari HAM.
Perampasan ruang kelola masyarakat melalui kebijakan perkebunan sawit skala besar yang saat ini menjadi kebijakan primadona pemerintah telah melahirkan sejumlah konsekuensi logis berupa terabaikannya hak-hak masyarakat untuk dapat melakukan akses maupun kontrol terhadap SDA secara maksimal. “Dalam banyak kasus di Kalimantan Barat, selain fenomena degradasi kondisi lingkungan, konflik sosial yang berujung pada kriminalisasi masyarakat seringkali terjadi. Fenomena ini merubakan bagian dari catatan penting dari persoalan yang hadir dalam masyarakat yang kemudian berimbas pada berbagai aspek kehidupan masyarakat. Fenomena banjir, hilangnya sumber air bersih, perambahan ruang kelola dan pertanian warga, perampasan tanah warga, penghilangan fungsi hutan melalui kebijakan pembukaan hutan skala besar, konflik dan kriminalisasi warga, adalah sejumlah persoalan yang mengemuka dan terus berlangsung saat ini di Kalimantan Barat seiring dengan kebijakan pemerintah yang cenderung tunduk pada pemodal”, ucapnya.
Atas nama kepentingan rakyat, dikatakan Hendrikus Adam hak warga atas tanah maupun ruang kelolanya pun dikorbankan. “Pemerintah selama ini cenderung memaksakan kehendak atas ruang investasi perkebunan skala besar yang diberikan kepada pemodal tanpa memeprhatikan aspek sosial dan lingkungan berkelanjutan secara serius”, terangnya.
Kebijakan pembukaan perkebunan skala besar (Sawit) di Kalimantan Barat hingga saat ini miasalnya, melalui izin yang dikeluarkan telah mencapai hampir empat juta hektar. Melebihi quota yang dialokasikan (1,5 juta Ha). Fenomena inkonsistensi luasan peruntukan di sektor perkebunan sawit ini juga tidak terlepas dari bergulirnya otonomi daerah selama ini yang memberikan kewenangan lebih kepada pemerintah di daerah untuk memberikan legalitas. Apalagi bila tidak disertai kontrol serius pihak legislative didaerah dan perwakilan pemerintah pusat di Kalimantan Barat. Disamping memunculkan potensi persoalan tumpang tindih perizinan, juga membuka kran potensi korupsi dalam sektor pengelolaan SDA oleh pemerintah. Besarnya potensi konflik SDA dan penyalaghunaan kewenangan yang dapat berujung pada korupsi di sektor pengelolaan SDA tersebut, maka peran Negara melalui pemerintah pusat menjadi harapan.
Disamping persoalan pengelolaan SDA di sektor pengembangan perkebunan sawit skala besar, upaya untuk mendongkrak sumber energi dari nuklir melalui rencana kebijakan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) saat ini juga sedang giat-giatnya di promosikan oleh Pemerintah Indonesia. Atas rencana ini para promotor PLTN telah menetapkan sejumlah tempat untuk dikembangkan sebagai tapak PLTN di Indonesia. Semenanjung Muria, selanjutnya Bangka Belitung menjadi target utama selama ini untuk dijadikan lokasi pembangunan PLTN di Indonesia sekalipun masih belum bisa di realisasikan karena sikap keras warga yang menolak dan bahkan hingga memfatwa haram rencana PLTN. Penolakan yang keras dari berbagai elemen masyarakat dengan basis argumentasi yang kuat ini menjadi pertimbangan bagi pemerintah Indonesia, sehingga dengan demikian berbagai tempat lainnya sangat mungkin dijadikan lokasi target pembangunan PLTN berikutnya.
Provinsi Kalimantan Barat khususnya dan pulau Kalimantan umumnya, adalah bagian dari wilayah target pengembangan energi berbahaya tersebut (PLTN). Alas pikir pengembangan PLTN tersebut karena diindikasikan sebagai kawasan yang aman dari potensi bencana alam dan memiliki bahan mentah (Uranium). Sejauh ini pemerintah daerah Kalimantan Barat membuka diri dengan wacana pengembangan PLTN, namun disayangkan sikap ”wellcome” pemerintah daerah selama ini hanya sepihak. Terlebih sejauh ini juga, belum ada penjelasan resmi pemerintah daerah Kalbar berkenaan dengan wacana pembangunan PLTN di daerah ini. Padahal sikap transparan sebagai wujud dari tata pemerintahan yang baik mestinya menjadi semangat bagi pemerintah daerah dalam menggalakkan kebijakan pembangunan bila memang sungguh diarahkan untuk kepentingan publik. Sikap ”tertutup” ini harusnya tidak perlu terjadi bila pemerintah memiliki niat baik untuk memberikan yang terbaik bagi warganya.
Bagaimanapun kebijakan pengembangan PLTN di Indonesia umumnya dan di Kalimantan Barat khususnya bukan sebuah prioritas, bukan pilihan bijak. Bukan juga sebuah jawaban atas fenomena krisis energi (listrik) yang seringkali dijadikan sebagai alasan klasik. Karena pada kenyataannya, maish terlalu banyak potensi energi terbarukan lainnya (panas bumi, air, angin, surya) yang sangat mungkin dikembangkan namun belum ada upaya maksimal yang serius dilakukan. Berkaca dari berbagai bencana nuklir (PLTN) diberbagai belahan dunia yang mampu memberikan dampak negatif yang luar biasa terhadap kehidupan, maka menjadi penting dan mendesak bagi pemerintah untuk melakukan evaluasi dan memikirkan langkah bijak yang tidak memiliki resiko besar. Tidak ada jaminan bahwa pengembangan PLTN akan berjalan mulus dan bebas dari bencana, sekalipun berada di daerah yang diidentifikasi sebagai kawasan yang aman dari bencana alam. Kecelakaan fatal karena berbagai faktor (lalai, kecelakaan, kesengajaan) sangat mungkin terjadi, sehingga pilihan pengembangan PLTN merupakan bagian dari kebijakan yang terlalu di paksakan dan beresiko besar.
Hadirnya kepala negara beserta rombongan di Pontianak tidak akan memberi manfaat besar bila hanya sekedar menghadiri kedua acara seremonial tersebut diatas semata. Kehadiran Presiden SBY bersama rombongan diharapkan dapat mengakomodir berbagai persoalan yang dihadapi warga Kalimantan Barat. Kebijakan pengembangan perkebunan kelapa sawit skala besar di dan rencana pembangunan PLTN disamping berbagai persoalan sosial lain, kiranya penting mendapat perhatian serius pemerintah.
Kebijakan pembukaan perkebunan sawit skala besar terlalu banyak memberikan dampak destruktif bagi warga Kalimantan Barat khususnya karena dengan sendirinya menghilangkan hak kelola dan menjadikan warga bukan sebagai tuan, melainkan buruh. Disamping itu dengan demikian akses warga untuk menghasilkan sumber pangan juga akhirnya terbatas, karena sebagian besar ruang kelola diserahkan secara sepihak kepada pemodal melalui kepala daerah. Persoalan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) juga menjadi fenomena yang tidak terpisahkan dari kebijakan yang cenderung eksploitatif dan ”tunduk” pada pemodal ini. Demikian juga halnya rencana kebijakan pembangunan PLTN oleh pemerintah yang terlalu berbahaya bagi keselamatan hidup dan kehidupan. Bencana Chernobyl tahun 1986 di Ukraina dan bencana meledaknya PLTN Fukushima Daichii di Jepang 2011 hendaknya dapat menjadi catatan penting pemerintah atas rencana pembangunan PLTN. Terlebih untuk saat ini pemeirntah Jepang dan sejumlah negara maju telah memikirkan untuk menghentikan pengembangan PLTN di negara mereka. Sementara pemerintah Indonesia yang masih memiliki banyak keterbatasan terkesan ’ngotot’ dan memaksakan diri uttuk terus maju dengan rencana pengembangan PLTN.
Dengan demikian, hadirnya Presiden SBY bersama rombongan bagi warga Kalbar tentunya diharapkan dapat menjadi angin sejuk terutama bagaimana kemudian dapat memberikan perhatian serius atas berbagai persoalan sosial dan persoalan lingkungan. Presiden SBY beserta rombongan diharapkan dapat melakukan intervensi terhadap kebijakan pengembangan perkebunan sawit skala besar dan rencana pembangunan PLTN di Indonesia. Kepala negara beserta segenap lini pemeritahan hingga ke daerah diharapkan tidak gampang tunduk pada pemodal. Hentikan berbagai potensi konflik SDA di Kalimantan Barat dengan melakukan evaluasi serius atas kebijakan perkebunan sawit dan hentikan kebijakan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN). (riz/ctr)
Sumber : http://www.kalbarinfo.com/news/seruan-walhi-kepada-prsiden.html
Fenomena yang “mencolok” ini seringkali disuguhkan oleh setiap pemerintah di daerah manakala ada kunjungan pejabat negara. Harus diakui seringkali penyambutan yang dilakukan terkadang “berlebihan” dan terkesan “dipaksakan”, padahal untuk efisiensi tidak selalu harus demikian. Apa hubungannya kedatangan Presiden beserta Rombongan dan para Gubernur se-Indonesia di Pontianak? Apakah hanya sekedar menghadiri Hari Puncak Gotong Rotong Masyarakat dan Hari Gerak PKK semata, sebagaimana yang diberitakan? , ungkap aktivis Walhi Kalbar, Hendrikus Adam melalui pesan elektronik kepada Kalbarinfo, kemarin.
Ia mengatakan tentunya menjadi harapan masyarakat banyak bahwa kehadiran SBY beserta rombongan tidak hanya sekedar menghadiri kedua kegiatan diatas. Masih begitu banyak persoalan masyarakat Kalimantan Barat yang perlu mendapat sentuhan dari pemerintah pusat. Salah satu dari persoalan tersebut adalah besarnya potensi konflik sosial terkait pengelolaan sumber daya alam (SDA) yang kemudian berimbas pada perampasan hak warga atas ruang kelolanya dan degradasi lingkungan. Dengan demikian, hal ini butuh kepastian dan sikap jelas perlindungan pemerintah kepada hak-hak warganya atas kondisi lingkungan yang baik dan sehat sebagai bagian dari HAM.
Perampasan ruang kelola masyarakat melalui kebijakan perkebunan sawit skala besar yang saat ini menjadi kebijakan primadona pemerintah telah melahirkan sejumlah konsekuensi logis berupa terabaikannya hak-hak masyarakat untuk dapat melakukan akses maupun kontrol terhadap SDA secara maksimal. “Dalam banyak kasus di Kalimantan Barat, selain fenomena degradasi kondisi lingkungan, konflik sosial yang berujung pada kriminalisasi masyarakat seringkali terjadi. Fenomena ini merubakan bagian dari catatan penting dari persoalan yang hadir dalam masyarakat yang kemudian berimbas pada berbagai aspek kehidupan masyarakat. Fenomena banjir, hilangnya sumber air bersih, perambahan ruang kelola dan pertanian warga, perampasan tanah warga, penghilangan fungsi hutan melalui kebijakan pembukaan hutan skala besar, konflik dan kriminalisasi warga, adalah sejumlah persoalan yang mengemuka dan terus berlangsung saat ini di Kalimantan Barat seiring dengan kebijakan pemerintah yang cenderung tunduk pada pemodal”, ucapnya.
Atas nama kepentingan rakyat, dikatakan Hendrikus Adam hak warga atas tanah maupun ruang kelolanya pun dikorbankan. “Pemerintah selama ini cenderung memaksakan kehendak atas ruang investasi perkebunan skala besar yang diberikan kepada pemodal tanpa memeprhatikan aspek sosial dan lingkungan berkelanjutan secara serius”, terangnya.
Kebijakan pembukaan perkebunan skala besar (Sawit) di Kalimantan Barat hingga saat ini miasalnya, melalui izin yang dikeluarkan telah mencapai hampir empat juta hektar. Melebihi quota yang dialokasikan (1,5 juta Ha). Fenomena inkonsistensi luasan peruntukan di sektor perkebunan sawit ini juga tidak terlepas dari bergulirnya otonomi daerah selama ini yang memberikan kewenangan lebih kepada pemerintah di daerah untuk memberikan legalitas. Apalagi bila tidak disertai kontrol serius pihak legislative didaerah dan perwakilan pemerintah pusat di Kalimantan Barat. Disamping memunculkan potensi persoalan tumpang tindih perizinan, juga membuka kran potensi korupsi dalam sektor pengelolaan SDA oleh pemerintah. Besarnya potensi konflik SDA dan penyalaghunaan kewenangan yang dapat berujung pada korupsi di sektor pengelolaan SDA tersebut, maka peran Negara melalui pemerintah pusat menjadi harapan.
Disamping persoalan pengelolaan SDA di sektor pengembangan perkebunan sawit skala besar, upaya untuk mendongkrak sumber energi dari nuklir melalui rencana kebijakan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) saat ini juga sedang giat-giatnya di promosikan oleh Pemerintah Indonesia. Atas rencana ini para promotor PLTN telah menetapkan sejumlah tempat untuk dikembangkan sebagai tapak PLTN di Indonesia. Semenanjung Muria, selanjutnya Bangka Belitung menjadi target utama selama ini untuk dijadikan lokasi pembangunan PLTN di Indonesia sekalipun masih belum bisa di realisasikan karena sikap keras warga yang menolak dan bahkan hingga memfatwa haram rencana PLTN. Penolakan yang keras dari berbagai elemen masyarakat dengan basis argumentasi yang kuat ini menjadi pertimbangan bagi pemerintah Indonesia, sehingga dengan demikian berbagai tempat lainnya sangat mungkin dijadikan lokasi target pembangunan PLTN berikutnya.
Provinsi Kalimantan Barat khususnya dan pulau Kalimantan umumnya, adalah bagian dari wilayah target pengembangan energi berbahaya tersebut (PLTN). Alas pikir pengembangan PLTN tersebut karena diindikasikan sebagai kawasan yang aman dari potensi bencana alam dan memiliki bahan mentah (Uranium). Sejauh ini pemerintah daerah Kalimantan Barat membuka diri dengan wacana pengembangan PLTN, namun disayangkan sikap ”wellcome” pemerintah daerah selama ini hanya sepihak. Terlebih sejauh ini juga, belum ada penjelasan resmi pemerintah daerah Kalbar berkenaan dengan wacana pembangunan PLTN di daerah ini. Padahal sikap transparan sebagai wujud dari tata pemerintahan yang baik mestinya menjadi semangat bagi pemerintah daerah dalam menggalakkan kebijakan pembangunan bila memang sungguh diarahkan untuk kepentingan publik. Sikap ”tertutup” ini harusnya tidak perlu terjadi bila pemerintah memiliki niat baik untuk memberikan yang terbaik bagi warganya.
Bagaimanapun kebijakan pengembangan PLTN di Indonesia umumnya dan di Kalimantan Barat khususnya bukan sebuah prioritas, bukan pilihan bijak. Bukan juga sebuah jawaban atas fenomena krisis energi (listrik) yang seringkali dijadikan sebagai alasan klasik. Karena pada kenyataannya, maish terlalu banyak potensi energi terbarukan lainnya (panas bumi, air, angin, surya) yang sangat mungkin dikembangkan namun belum ada upaya maksimal yang serius dilakukan. Berkaca dari berbagai bencana nuklir (PLTN) diberbagai belahan dunia yang mampu memberikan dampak negatif yang luar biasa terhadap kehidupan, maka menjadi penting dan mendesak bagi pemerintah untuk melakukan evaluasi dan memikirkan langkah bijak yang tidak memiliki resiko besar. Tidak ada jaminan bahwa pengembangan PLTN akan berjalan mulus dan bebas dari bencana, sekalipun berada di daerah yang diidentifikasi sebagai kawasan yang aman dari bencana alam. Kecelakaan fatal karena berbagai faktor (lalai, kecelakaan, kesengajaan) sangat mungkin terjadi, sehingga pilihan pengembangan PLTN merupakan bagian dari kebijakan yang terlalu di paksakan dan beresiko besar.
Hadirnya kepala negara beserta rombongan di Pontianak tidak akan memberi manfaat besar bila hanya sekedar menghadiri kedua acara seremonial tersebut diatas semata. Kehadiran Presiden SBY bersama rombongan diharapkan dapat mengakomodir berbagai persoalan yang dihadapi warga Kalimantan Barat. Kebijakan pengembangan perkebunan kelapa sawit skala besar di dan rencana pembangunan PLTN disamping berbagai persoalan sosial lain, kiranya penting mendapat perhatian serius pemerintah.
Kebijakan pembukaan perkebunan sawit skala besar terlalu banyak memberikan dampak destruktif bagi warga Kalimantan Barat khususnya karena dengan sendirinya menghilangkan hak kelola dan menjadikan warga bukan sebagai tuan, melainkan buruh. Disamping itu dengan demikian akses warga untuk menghasilkan sumber pangan juga akhirnya terbatas, karena sebagian besar ruang kelola diserahkan secara sepihak kepada pemodal melalui kepala daerah. Persoalan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) juga menjadi fenomena yang tidak terpisahkan dari kebijakan yang cenderung eksploitatif dan ”tunduk” pada pemodal ini. Demikian juga halnya rencana kebijakan pembangunan PLTN oleh pemerintah yang terlalu berbahaya bagi keselamatan hidup dan kehidupan. Bencana Chernobyl tahun 1986 di Ukraina dan bencana meledaknya PLTN Fukushima Daichii di Jepang 2011 hendaknya dapat menjadi catatan penting pemerintah atas rencana pembangunan PLTN. Terlebih untuk saat ini pemeirntah Jepang dan sejumlah negara maju telah memikirkan untuk menghentikan pengembangan PLTN di negara mereka. Sementara pemerintah Indonesia yang masih memiliki banyak keterbatasan terkesan ’ngotot’ dan memaksakan diri uttuk terus maju dengan rencana pengembangan PLTN.
Dengan demikian, hadirnya Presiden SBY bersama rombongan bagi warga Kalbar tentunya diharapkan dapat menjadi angin sejuk terutama bagaimana kemudian dapat memberikan perhatian serius atas berbagai persoalan sosial dan persoalan lingkungan. Presiden SBY beserta rombongan diharapkan dapat melakukan intervensi terhadap kebijakan pengembangan perkebunan sawit skala besar dan rencana pembangunan PLTN di Indonesia. Kepala negara beserta segenap lini pemeritahan hingga ke daerah diharapkan tidak gampang tunduk pada pemodal. Hentikan berbagai potensi konflik SDA di Kalimantan Barat dengan melakukan evaluasi serius atas kebijakan perkebunan sawit dan hentikan kebijakan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN). (riz/ctr)
Sumber : http://www.kalbarinfo.com/news/seruan-walhi-kepada-prsiden.html
SBY Urged to Evaluate Oil Palm Plantation Development
Senin, 30 Mei 2011 | 14:49 WIB
PONTIANAK, KOMPAS.com - The West Kalimantan chapter of the Indonesian Forum for the Environment (WALHI) has called on President Susilo Bambang Yudhoyono to evaluate the massive way in which oil palm plantations were being opened in the country and to abandon plans to build a nuclear power plant.
"We hope the government will not force its will in developing oil palm plantations and planning to build a nuclear power plant without paying attention to their social and environmental aspects," said Hendrikus Adam, chairman of the West Kalimantan chapter of WAHLI’s Research and Campaign Division.
West Kalimantan reportedly has around four million hectares of oil palm plantations, exceeding the quota of 1.5 million hectares. The massive development of oil palm cultivation in West Kalimantan could cause conflicts between indigenous people as owners of traditional land and plantation developers.
"We and the people need certainty and a clear stance of the government in protecting the people’s right to enjoy good and healthy environmental conditions," he said.
According to the local WALHI’s data, there have been 6,632 ecology-related disasters. Data from Oil Palm Watch shows there have been 630 conflicts regarding oil palm plantations and 200 monoculture plantation conflicts up to 2010.
From 1980s to 2009, a total of 229 companies have received licenses to open 3.57 million hectares of oil palm plantations, but only 318,560 hectares have been developed, according to data from the Dayakology Institute and Oil Palm Watch collected from six districts in West Kalimantan Province. President Susilo Bambang Yudhoyono is scheduled to visit Pontianak on May 30 and 31, 2011.
Sumber: http://english.kompas.com/read/2011/05/30/14495568/SBY.Urged.to.Evaluate.Oil.Palm.Plantation.Development.
PONTIANAK, KOMPAS.com - The West Kalimantan chapter of the Indonesian Forum for the Environment (WALHI) has called on President Susilo Bambang Yudhoyono to evaluate the massive way in which oil palm plantations were being opened in the country and to abandon plans to build a nuclear power plant.
"We hope the government will not force its will in developing oil palm plantations and planning to build a nuclear power plant without paying attention to their social and environmental aspects," said Hendrikus Adam, chairman of the West Kalimantan chapter of WAHLI’s Research and Campaign Division.
West Kalimantan reportedly has around four million hectares of oil palm plantations, exceeding the quota of 1.5 million hectares. The massive development of oil palm cultivation in West Kalimantan could cause conflicts between indigenous people as owners of traditional land and plantation developers.
"We and the people need certainty and a clear stance of the government in protecting the people’s right to enjoy good and healthy environmental conditions," he said.
According to the local WALHI’s data, there have been 6,632 ecology-related disasters. Data from Oil Palm Watch shows there have been 630 conflicts regarding oil palm plantations and 200 monoculture plantation conflicts up to 2010.
From 1980s to 2009, a total of 229 companies have received licenses to open 3.57 million hectares of oil palm plantations, but only 318,560 hectares have been developed, according to data from the Dayakology Institute and Oil Palm Watch collected from six districts in West Kalimantan Province. President Susilo Bambang Yudhoyono is scheduled to visit Pontianak on May 30 and 31, 2011.
Sumber: http://english.kompas.com/read/2011/05/30/14495568/SBY.Urged.to.Evaluate.Oil.Palm.Plantation.Development.
Walhi Harapkan Presiden Evaluasi Pengembangan Sawit
Senin, 30 Mei 2011 12:39 WIB | 757 Views
Pontianak (ANTARA News) - Wahana lingkungan Hidup Indonesia Kalimantan Barat berharap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk mengevaluasi pengembangan perkebunan sawit dalam skala besar dan menghentikan agenda pembangunan PLTN.
"Kami berharap pemerintah tidak memaksakan kehendaknya dalam mengembangkan perkebunan sawit dan PLTN tanpa memperhatikan aspek sosial dan lingkungan," kata Kepala Devisi Riset dan Kampanye WALHI Kalbar Hendrikus Adam di Pontianak, Senin.
Ia mencontohkan, saat ini kepala daerah di Kalbar berebut melepaskan lahannya untuk pengembangan sawit, malah luasnya sudah mencapai sekitar empat juta hektare atau melebihi dari kuota sebesar 1,5 juta hektare.
Akibatnya sangat berpotensi menimbulkan konflik antara pengusaha dan masyarakat sebagai pemilik tanah adat yang kondisi tanahnya terancam diambil oleh pihak pengemban perkebunan.
"Kami dan masyarakat membutuhkan kepastian dan sikap jelas atas perlindungan dari pemerintah terhadap warganya atas kondisi lingkungan yang baik dan sehat sebagai bagian dari Hak Asasi Manusia," katanya.
Menurut catatan WALHI Kalbar, dalam kurun 13 tahun terakhir telah terjadi 6.632 bencana terkait ekologi, data Sawit Watch hingga 2010 telah terjadi 630 konflik terkait perkebunan sawit, sebanyak 200 konflik perkebunan monokultur terjadi di Kalbar.
Sementara menurut data dari Institut Dayakologi dan Sawit Watch di enam kabupaten di Kalbar, perluasan perkebunan sawit sejak tahun 1980-an hingga 2009 sudah 229 perusahaan yang mengantongi izin perluasan sawit dengan luas 3,57 juta hektare, namun baru terealisasi sekitar 318.560 ribu hektare.
Sementara itu, Kepala Devisi Riset dan Kampanye WALHI Kalbar menyatakan, terkait rencana pengembangan PLTN di Kalbar sebaiknya disosialisasikan dahulu apakah masyarakat menerimanya atau menolak.
"Keputusan akan mengembangkan PLTN di Indonesia dan Kalbar belum prioritas dan bukan pilihan bijak untuk mengatasi krisis energi karena masih banyak potensi energi terbarukan, seperti panas bumi, air, angin dan surya," katanya.
Hingga saat ini belum ada jaminan dari pengembangan PLTN karena risikonya cukup besar akibat kelalaian, kecelakaan dan kesengajaan sehingga keputusan itu terlalu dipaksakan dan beresiko besar, kata Hendrikus.
Menurut WALHI Kalbar, kehadiran Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan rombongan dalam rangkaian kegiatan kunjungan memperingati Bulan Bhakti Gotong Royong Masyarakat VIII dan Hari Kesatuan Gerak PKK ke-39 di Pontianak, 30 - 31 Mei diharapkan tidak hanya seremonial semata.
Kehadiran Presiden SBY bersama rombongan diharapkan dapat mengakomodir berbagai persoalan yang dihadapi masyarakat Kalbar, seperti memberikan perhatian khusus terhadap kebijakan pengembangan perkebunan kelapa sawit rencana pembangunan PLTN.
(A057/S026)
Sumber : http://www.antaranews.com/berita/260837/walhi-harapkan-presiden-evaluasi-pengembangan-sawit
Pontianak (ANTARA News) - Wahana lingkungan Hidup Indonesia Kalimantan Barat berharap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk mengevaluasi pengembangan perkebunan sawit dalam skala besar dan menghentikan agenda pembangunan PLTN.
"Kami berharap pemerintah tidak memaksakan kehendaknya dalam mengembangkan perkebunan sawit dan PLTN tanpa memperhatikan aspek sosial dan lingkungan," kata Kepala Devisi Riset dan Kampanye WALHI Kalbar Hendrikus Adam di Pontianak, Senin.
Ia mencontohkan, saat ini kepala daerah di Kalbar berebut melepaskan lahannya untuk pengembangan sawit, malah luasnya sudah mencapai sekitar empat juta hektare atau melebihi dari kuota sebesar 1,5 juta hektare.
Akibatnya sangat berpotensi menimbulkan konflik antara pengusaha dan masyarakat sebagai pemilik tanah adat yang kondisi tanahnya terancam diambil oleh pihak pengemban perkebunan.
"Kami dan masyarakat membutuhkan kepastian dan sikap jelas atas perlindungan dari pemerintah terhadap warganya atas kondisi lingkungan yang baik dan sehat sebagai bagian dari Hak Asasi Manusia," katanya.
Menurut catatan WALHI Kalbar, dalam kurun 13 tahun terakhir telah terjadi 6.632 bencana terkait ekologi, data Sawit Watch hingga 2010 telah terjadi 630 konflik terkait perkebunan sawit, sebanyak 200 konflik perkebunan monokultur terjadi di Kalbar.
Sementara menurut data dari Institut Dayakologi dan Sawit Watch di enam kabupaten di Kalbar, perluasan perkebunan sawit sejak tahun 1980-an hingga 2009 sudah 229 perusahaan yang mengantongi izin perluasan sawit dengan luas 3,57 juta hektare, namun baru terealisasi sekitar 318.560 ribu hektare.
Sementara itu, Kepala Devisi Riset dan Kampanye WALHI Kalbar menyatakan, terkait rencana pengembangan PLTN di Kalbar sebaiknya disosialisasikan dahulu apakah masyarakat menerimanya atau menolak.
"Keputusan akan mengembangkan PLTN di Indonesia dan Kalbar belum prioritas dan bukan pilihan bijak untuk mengatasi krisis energi karena masih banyak potensi energi terbarukan, seperti panas bumi, air, angin dan surya," katanya.
Hingga saat ini belum ada jaminan dari pengembangan PLTN karena risikonya cukup besar akibat kelalaian, kecelakaan dan kesengajaan sehingga keputusan itu terlalu dipaksakan dan beresiko besar, kata Hendrikus.
Menurut WALHI Kalbar, kehadiran Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan rombongan dalam rangkaian kegiatan kunjungan memperingati Bulan Bhakti Gotong Royong Masyarakat VIII dan Hari Kesatuan Gerak PKK ke-39 di Pontianak, 30 - 31 Mei diharapkan tidak hanya seremonial semata.
Kehadiran Presiden SBY bersama rombongan diharapkan dapat mengakomodir berbagai persoalan yang dihadapi masyarakat Kalbar, seperti memberikan perhatian khusus terhadap kebijakan pengembangan perkebunan kelapa sawit rencana pembangunan PLTN.
(A057/S026)
Sumber : http://www.antaranews.com/berita/260837/walhi-harapkan-presiden-evaluasi-pengembangan-sawit
Warga Serawai Tolak Ekspansi Kebun Sawit
Kamis, 05 Mei 2011 , 10:04:00
Diduga Serobot Tanah Adat
PONTIANAK - Ekspansi besar-besaran perkebunan kelapa sawit lagi-lagi menuai kontroversi. Kemarin rombongan yang menamakan diri Masyarakat Adat Desa Gurung Sengiang, Kecamatan Serawai, Kabupaten Sintang datang ke Pontianak untuk mengadukan kejadian yang mereka alami ke lembaga-lembaga terkait. Ceritanya, dua perkebunan skala besar secara sepihak telah memasukan 30 hektar ladang warga dan hutan adat ke dalam rencana proyek sawitnya.Padahal pendirian kebun sawit tersebut telah ditolak oleh sebagian besar masyarakat. “Kami tidak mau menyerahkan wilayah adat kepada pihak perusahaan sawit atau perusahaan lainnya. Kalau kami serahkan, itu sama artinya membuat keturunan kami untuk menjadi kuli,” ujar anggota rombongan, Antonius Maca.
Bagi masyarakat setempat, hutan dan ladang adalah pusat aktifitas ekonomi dan sumber air bersih. “Tujuan kami mempertahankan tanah, air, dan hutan adalah kekayaan leluhur. Kalau perkebunan sawit dipaksakan, berarti mereka mau membunuh masyarakat kami. Biarlah tanah kami dikelola sesuai kemampuan. Ini merupakan nafas masyarakat adat,” sambung Marsianus Tono, ketua Adat Gurung Seriang.Rombongan juga mengecam segelintir pejabat dan perangkat desa yang ikut terlibat dalam proyek tersebut. Sebagai informasi, Desa Gurung Seriang terbagi lagi menjadi empat dusun, yaitu Nanga Mentibar, Melaku Kanan, Sungai Gurung, dan Laman Gunung. Di internal warga sendiri terjadi perpecahan soal perkebunan sawit ini. Namun, penuturan rombongan menyebut 80 persen warga menolak pendirian perkebunan sawit.
Kepala Desa Gurung Sengiang Yohanes Niko termasuk yang mendukung masuknya perkebunan sawit itu. Sementara dari empat kepala dusun, hanya satu yang pro-kebun sawit yaitu Apin, Kepala Dusun Mentibar. Namun sang kepala desa memecat orang-orang yang tidak sepaham dengannya, seperti Kepala Dusun Sungai Garung, L Edar dan anggota BPD, M Ujek. Namun warga mengecam pemecatan tersebut, dan hingga kini keduanya masih menjabat.Penilaian rombongan cukup sarkastis tentang orang-orang yang merelakan tanahnya untuk perusahaan sawit. “Hanya orang pemalas dan tidak mau berladang yang seperti itu. Mereka tidak mau susah-susah bekerja tapi malah menjual tanah nenek moyangnya. Padahal di situ ada sejarah adat, kuburan, dan tanah keramat. Mereka juga tidak tahu sedang ditipu perusahaan,” sebut L Edar, kepala Dusun Sungai Garung.
Penawaran yang diajukan oleh pihak perusahaan menurut rombongan jelas tidak adil. Rasionya adalah delapan berbanding dua. “Delapan untuk perusahaan, untuk warga hanya dua saja. Itupun masih diberikan sistem kredit. Setiap bulan harus membayar uang ke perusahaan,” sebut Kepala Dusun Melaku Kanan, F Asam.Rombongan mengaku hanya menjalankan amanat masyarakatnya. Mereka juga sudah melayangkan surat ke Bupati Sintang, meski belum ada jawaban. “Kami tidak ada tujuan apa-apa, hanya mau menyelamatkan tanah adat kami saja. Kalau ada yang mau jual tanahnya, itu silakan. Tapi jangan paksa orang yang tidak mau menjual. Kami masih memikirkan kehidupan anak cucu,” ungkap Marsianus Tono.Kemarin rombongan menggelar konferensi pers di markas Lembaga Bela Banua Talino, Jalan Budi Utomo, Siantan. Hadir pula sejumlah LSM macam Wahana Lingkungan Hidup, Pemberdayaan Pengelolaan Sumber Daya Alam Kerakyatan. Setelah itu rombongan mengadukan nasib mereka ke Komnas HAM Provinsi Kalbar. (ars)
Sumber: http://www.pontianakpost.com/index.php?mib=komentar&id=90837
Diduga Serobot Tanah Adat
PONTIANAK - Ekspansi besar-besaran perkebunan kelapa sawit lagi-lagi menuai kontroversi. Kemarin rombongan yang menamakan diri Masyarakat Adat Desa Gurung Sengiang, Kecamatan Serawai, Kabupaten Sintang datang ke Pontianak untuk mengadukan kejadian yang mereka alami ke lembaga-lembaga terkait. Ceritanya, dua perkebunan skala besar secara sepihak telah memasukan 30 hektar ladang warga dan hutan adat ke dalam rencana proyek sawitnya.Padahal pendirian kebun sawit tersebut telah ditolak oleh sebagian besar masyarakat. “Kami tidak mau menyerahkan wilayah adat kepada pihak perusahaan sawit atau perusahaan lainnya. Kalau kami serahkan, itu sama artinya membuat keturunan kami untuk menjadi kuli,” ujar anggota rombongan, Antonius Maca.
Bagi masyarakat setempat, hutan dan ladang adalah pusat aktifitas ekonomi dan sumber air bersih. “Tujuan kami mempertahankan tanah, air, dan hutan adalah kekayaan leluhur. Kalau perkebunan sawit dipaksakan, berarti mereka mau membunuh masyarakat kami. Biarlah tanah kami dikelola sesuai kemampuan. Ini merupakan nafas masyarakat adat,” sambung Marsianus Tono, ketua Adat Gurung Seriang.Rombongan juga mengecam segelintir pejabat dan perangkat desa yang ikut terlibat dalam proyek tersebut. Sebagai informasi, Desa Gurung Seriang terbagi lagi menjadi empat dusun, yaitu Nanga Mentibar, Melaku Kanan, Sungai Gurung, dan Laman Gunung. Di internal warga sendiri terjadi perpecahan soal perkebunan sawit ini. Namun, penuturan rombongan menyebut 80 persen warga menolak pendirian perkebunan sawit.
Kepala Desa Gurung Sengiang Yohanes Niko termasuk yang mendukung masuknya perkebunan sawit itu. Sementara dari empat kepala dusun, hanya satu yang pro-kebun sawit yaitu Apin, Kepala Dusun Mentibar. Namun sang kepala desa memecat orang-orang yang tidak sepaham dengannya, seperti Kepala Dusun Sungai Garung, L Edar dan anggota BPD, M Ujek. Namun warga mengecam pemecatan tersebut, dan hingga kini keduanya masih menjabat.Penilaian rombongan cukup sarkastis tentang orang-orang yang merelakan tanahnya untuk perusahaan sawit. “Hanya orang pemalas dan tidak mau berladang yang seperti itu. Mereka tidak mau susah-susah bekerja tapi malah menjual tanah nenek moyangnya. Padahal di situ ada sejarah adat, kuburan, dan tanah keramat. Mereka juga tidak tahu sedang ditipu perusahaan,” sebut L Edar, kepala Dusun Sungai Garung.
Penawaran yang diajukan oleh pihak perusahaan menurut rombongan jelas tidak adil. Rasionya adalah delapan berbanding dua. “Delapan untuk perusahaan, untuk warga hanya dua saja. Itupun masih diberikan sistem kredit. Setiap bulan harus membayar uang ke perusahaan,” sebut Kepala Dusun Melaku Kanan, F Asam.Rombongan mengaku hanya menjalankan amanat masyarakatnya. Mereka juga sudah melayangkan surat ke Bupati Sintang, meski belum ada jawaban. “Kami tidak ada tujuan apa-apa, hanya mau menyelamatkan tanah adat kami saja. Kalau ada yang mau jual tanahnya, itu silakan. Tapi jangan paksa orang yang tidak mau menjual. Kami masih memikirkan kehidupan anak cucu,” ungkap Marsianus Tono.Kemarin rombongan menggelar konferensi pers di markas Lembaga Bela Banua Talino, Jalan Budi Utomo, Siantan. Hadir pula sejumlah LSM macam Wahana Lingkungan Hidup, Pemberdayaan Pengelolaan Sumber Daya Alam Kerakyatan. Setelah itu rombongan mengadukan nasib mereka ke Komnas HAM Provinsi Kalbar. (ars)
Sumber: http://www.pontianakpost.com/index.php?mib=komentar&id=90837
Konflik Sawit, Perusahaan Diminta Gencar Sosialisasi
Jum'at, 06 Mei 2011 , 16:07:00
PONTIANAK - Kepala Dinas Perkebunan Kalimantan Barat Hiarsolih, meminta agar perusahaan-perusahaan perkebunan dapat lebih menggencarkan sosialisasi kepada masyarakat. Hal ini guna mencegah terjadinya konflik sebagaimana yang kerap mencuat ke permukaan. Menurut Hiarsolih, dalam setiap izin usaha perkebunan (IUP) yang diterbitkan oleh bupati, sebetulnya sudah termuat diktum yang mensyaratkan bahwa perusahaan harus memenuhi hak masyarakat dan menyelesaikan persoalan sosial sebelum beroperasi. Persoalan sosial itu misalnya berupa ganti rugi lahan.
Jika ganti rugi lahan belum diselesaikan atau belum disepakati, otomatis perusahaan belum dapat beroperasi di lokasi yang bersangkutan. “Misalnya begini. Kalau dalam suatu IUP, perusahaan dapat izin 10 ribu hektar, tetapi perusahaan hanya bisa menyelesaikan persoalan sosial untuk lahan 3000 hektar, maka perusahaan hanya bisa beroperasi di 3000 hektar itu, bukan 10 ribu,” jelasnya.Karena itu, Hiarsolih menilai istilah penyerobotan atau perampasan tanah petani atau tanah adat oleh perusahaan sawit sebagaimana yang sering digaungkan selama ini adalah kurang tepat. Di sisi lain dia juga menyebutkan, dalam suatu areal perkebunan, seringkali tidak semua warga melakukan penolakan. Ada pula warga yang setuju.
Sebagai antisipasi konflik, dia menyarankan agar perusahaan terus melakukan sosialisasi demi mencapai kesepakatan dengan masyarakat tentang ganti rugi lahan. “Kalau tidak sepakat, tidak bisa jalan,” ujar dia. Pernyataan ini disampaikan
menyusul aspirasi tentang konflik lahan yang disampaikan Aspirasi Front Perjuangan Rakyat (FPR) Kalimantan Barat di Hari Buruh, (2/5) lalu.Dalam salah satu butir aspirasinya, FPR meminta agar perampasan tanah petani dan tanah adat oleh perusahaan sawit dan perusahaan lain dapat dihentikan. Kasus-kasus seperti itu dirasakan sering terjadi. Bahkan, dua hari lalu, kasus serupa juga dilaporkan oleh serombongan warga yang menamakan diri Masyarakat Adat Desa Gurung Sengiang, Kecamatan Serawai, Kabupaten Sintang.
Mereka datang ke Pontianak untuk mengadukan PT Sumber Hasil Prima dan PT Sawit Sumber Andalan yang dinilai secara sepihak telah memasukkan 30 hektar ladang warga dan hutan adat ke dalam rencana proyek sawitnya. Padahal pendirian kebun sawit tersebut telah ditolak oleh sebagian besar masyarakat. Terkait persoalan lahan ini, Ketua Komisi A DPRD Kalbar, Retno Pramudya, meminta agar Dinas Perkebunan Kalbar melakukan evaluasi terhadap izin-izin yang dikeluarkan dan melakukan survei ke lapangan. Hal ini untuk menjamin agar perusahaan menjalankan operasinya sesuai aturan atau tidak merugikan masyarakat.
“Harus dilihat, apakah kewajiban-kewajiban perusahaan sudah dijalankan atau tidak terhadap lahan masyarakat,” katanya. Masyarakat, menurutnya sering mengeluh karena ganti rugi lahan yang dirasakan tidak sesuai. Padahal, masuknya investor perkebunan diharapkan dapat mendongkrak kesejahteraan masyarakat lokal. “Upaya pemerintah menarik investor kita sambut dengan positif. Tetapi, kita harapkan ada antisipasi terhadap perusahaan nakal yang melanggar aturan,” ujarnya. Untuk itu, pengawasan diharapkan dapat dilakukan secara maksimal oleh pemerintah daerah. (rnl
Sumber : http://www.pontianakpost.com/index.php?mib=berita.detail&id=91015
PONTIANAK - Kepala Dinas Perkebunan Kalimantan Barat Hiarsolih, meminta agar perusahaan-perusahaan perkebunan dapat lebih menggencarkan sosialisasi kepada masyarakat. Hal ini guna mencegah terjadinya konflik sebagaimana yang kerap mencuat ke permukaan. Menurut Hiarsolih, dalam setiap izin usaha perkebunan (IUP) yang diterbitkan oleh bupati, sebetulnya sudah termuat diktum yang mensyaratkan bahwa perusahaan harus memenuhi hak masyarakat dan menyelesaikan persoalan sosial sebelum beroperasi. Persoalan sosial itu misalnya berupa ganti rugi lahan.
Jika ganti rugi lahan belum diselesaikan atau belum disepakati, otomatis perusahaan belum dapat beroperasi di lokasi yang bersangkutan. “Misalnya begini. Kalau dalam suatu IUP, perusahaan dapat izin 10 ribu hektar, tetapi perusahaan hanya bisa menyelesaikan persoalan sosial untuk lahan 3000 hektar, maka perusahaan hanya bisa beroperasi di 3000 hektar itu, bukan 10 ribu,” jelasnya.Karena itu, Hiarsolih menilai istilah penyerobotan atau perampasan tanah petani atau tanah adat oleh perusahaan sawit sebagaimana yang sering digaungkan selama ini adalah kurang tepat. Di sisi lain dia juga menyebutkan, dalam suatu areal perkebunan, seringkali tidak semua warga melakukan penolakan. Ada pula warga yang setuju.
Sebagai antisipasi konflik, dia menyarankan agar perusahaan terus melakukan sosialisasi demi mencapai kesepakatan dengan masyarakat tentang ganti rugi lahan. “Kalau tidak sepakat, tidak bisa jalan,” ujar dia. Pernyataan ini disampaikan
menyusul aspirasi tentang konflik lahan yang disampaikan Aspirasi Front Perjuangan Rakyat (FPR) Kalimantan Barat di Hari Buruh, (2/5) lalu.Dalam salah satu butir aspirasinya, FPR meminta agar perampasan tanah petani dan tanah adat oleh perusahaan sawit dan perusahaan lain dapat dihentikan. Kasus-kasus seperti itu dirasakan sering terjadi. Bahkan, dua hari lalu, kasus serupa juga dilaporkan oleh serombongan warga yang menamakan diri Masyarakat Adat Desa Gurung Sengiang, Kecamatan Serawai, Kabupaten Sintang.
Mereka datang ke Pontianak untuk mengadukan PT Sumber Hasil Prima dan PT Sawit Sumber Andalan yang dinilai secara sepihak telah memasukkan 30 hektar ladang warga dan hutan adat ke dalam rencana proyek sawitnya. Padahal pendirian kebun sawit tersebut telah ditolak oleh sebagian besar masyarakat. Terkait persoalan lahan ini, Ketua Komisi A DPRD Kalbar, Retno Pramudya, meminta agar Dinas Perkebunan Kalbar melakukan evaluasi terhadap izin-izin yang dikeluarkan dan melakukan survei ke lapangan. Hal ini untuk menjamin agar perusahaan menjalankan operasinya sesuai aturan atau tidak merugikan masyarakat.
“Harus dilihat, apakah kewajiban-kewajiban perusahaan sudah dijalankan atau tidak terhadap lahan masyarakat,” katanya. Masyarakat, menurutnya sering mengeluh karena ganti rugi lahan yang dirasakan tidak sesuai. Padahal, masuknya investor perkebunan diharapkan dapat mendongkrak kesejahteraan masyarakat lokal. “Upaya pemerintah menarik investor kita sambut dengan positif. Tetapi, kita harapkan ada antisipasi terhadap perusahaan nakal yang melanggar aturan,” ujarnya. Untuk itu, pengawasan diharapkan dapat dilakukan secara maksimal oleh pemerintah daerah. (rnl
Sumber : http://www.pontianakpost.com/index.php?mib=berita.detail&id=91015
Tolak Perkebunan Sawit Perangkat Desa Dipecat
12.30 WIB Sintang, Kalimantan Barat
Kamis, 05 Mei 2011 00:00 WIB
MI/Aris M
DUA perangkat Desa Gurung Sengiang, Kecamatan Serawai, Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat, dipecat akibat menolak pembangunan perkebunan kelapa sawit. Mereka adalah Sekretaris Badan Perwakilan Desa Gurung Sengiang M Ujek dan Kepala Dusun Sungaigarung L Edar.
"Saya dianggap menentang program pembangunan dari pemerintah," kata L Edar.
Kemarin, Edar dan Ujek mendatangi kantor Lembaga Bela Banua Talino di Pontianak untuk meminta pembelaan hukum. Keduanya dipecat Kepala Desa Gurung Sengiang Yohanes Niko.
Ujek mengungkapkan pemecatan mengakibatkan aktivitas pemerintahan di desa lumpuh dan menimbulkan konflik di masyarakat. Pasalnya, tindakan kepala desa itu menyalahi prosedur dan tanpa melalui persetujuan warga.
"Kami sudah mengadukan masalah ini ke kecamatan. Menurut camat, kepala desa tidak berwenang memecat anggota BPD dan kepala dusun," ungkap Ujek.
Pemecatan terjadi setelah dua perusahaan berencana membangun perkebunan kelapa sawit di tanah ulayat. Edar, Ujek, perangkat adat, dan sebagian besar warga menolak rencana itu. Perkebunan juga akan membabat 500 hektare lahan milik 20 keluarga.(AR/N-2)
sumber: http://www.mediaindonesia.com/read/2011/05/05/223535/76/20/Tolak-Perkebunan-Sawit-Perangkat-Desa-Dipecat
Kamis, 05 Mei 2011 00:00 WIB
MI/Aris M
DUA perangkat Desa Gurung Sengiang, Kecamatan Serawai, Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat, dipecat akibat menolak pembangunan perkebunan kelapa sawit. Mereka adalah Sekretaris Badan Perwakilan Desa Gurung Sengiang M Ujek dan Kepala Dusun Sungaigarung L Edar.
"Saya dianggap menentang program pembangunan dari pemerintah," kata L Edar.
Kemarin, Edar dan Ujek mendatangi kantor Lembaga Bela Banua Talino di Pontianak untuk meminta pembelaan hukum. Keduanya dipecat Kepala Desa Gurung Sengiang Yohanes Niko.
Ujek mengungkapkan pemecatan mengakibatkan aktivitas pemerintahan di desa lumpuh dan menimbulkan konflik di masyarakat. Pasalnya, tindakan kepala desa itu menyalahi prosedur dan tanpa melalui persetujuan warga.
"Kami sudah mengadukan masalah ini ke kecamatan. Menurut camat, kepala desa tidak berwenang memecat anggota BPD dan kepala dusun," ungkap Ujek.
Pemecatan terjadi setelah dua perusahaan berencana membangun perkebunan kelapa sawit di tanah ulayat. Edar, Ujek, perangkat adat, dan sebagian besar warga menolak rencana itu. Perkebunan juga akan membabat 500 hektare lahan milik 20 keluarga.(AR/N-2)
sumber: http://www.mediaindonesia.com/read/2011/05/05/223535/76/20/Tolak-Perkebunan-Sawit-Perangkat-Desa-Dipecat
Masyarakat Tolak PT SHP dan PT SSA
Kamis, 5 Mei 2011
Pontianak – Mayoritas masyarakat adat Desa Gurung Sengiang di Kecamatan Serawai, Kabupaten Sintang menolak perkebunan sawit di daerah mereka.
PT Sumber Hasil Prima (SHP) dan PT Sawit Sumber Andalan (SSA) berencana menanam perkebunan sawit skala besar di desa seluas 11 hektare itu. Sampai kapan pun masyarakat berjanji dan bertekad tetap menolak sawit, meski nyawa menjadi taruhan.
Penolakan sudah berlangsung sejak tahun 2007. Lahan, hutan, dan air, menurut Ketua Adat Desa Gurung Sengiang, M Tono merupakan harta berharga yang kelak diwariskan kepada generasi penerus. Selama ini, masyarakat cenderung berkebun karet sebagai mata pencarian. “Sawit masuk sama saja membunuh warga,” kata dia ditemui di kantor Lembaga Bela Banua Talino (LBBT) bersama dengan lima rekannya, Rabu (3/5) siang.
Dua perusahaan sawit tersebut, kata Sekretaris Badan Permusyawaratan Daerah (BPD), Martinus Ujek, pada tahap survei. Sebagian besar daerah yang disurvei untuk menjadi kebun sawit adalah lahan karet masyarakat. Surat penolakan yang dikirimkan kepada Bupati Sintang, Kapolres Sintang, dan berbagai pihak lainnya, tak kunjung dibalas. “Hari ini (Rabu) kami akan ke Komnas HAM Perwakilan Pontianak,” paparnya.
LBBT, PPSDAK, dan Walhi Kalbar turut memfasilitasi dan mengadvokasi perjuangan tersebut. Perjuangan masyarakat diakui Martino dari unsur pemuda, banyak mendapat tantangan serta ancaman. Konflik di tengah masyarakat diwujudkan dengan pemecatan kepala dusun oleh kepala desa. Bahkan beberapa masyarakat telah mendapat surat pemanggilan dari kepolisian setempat.
Desa Gurung Sengiang terdiri dari Dusun Nanga Mentibar, Dusun Melaku Kanan dan Dusun Sungai Garung, dihuni 30 kepala keluarga. Perkebunan sawit sudah mulai merambah Kecamatan Serawai meski sudah berkali-kali mengalami penolakan dari warga setempat. (man)
sumber: http://www.equator-news.com/patroli/masyarakat-tolak-pt-shp-dan-pt-ssa
Pontianak – Mayoritas masyarakat adat Desa Gurung Sengiang di Kecamatan Serawai, Kabupaten Sintang menolak perkebunan sawit di daerah mereka.
PT Sumber Hasil Prima (SHP) dan PT Sawit Sumber Andalan (SSA) berencana menanam perkebunan sawit skala besar di desa seluas 11 hektare itu. Sampai kapan pun masyarakat berjanji dan bertekad tetap menolak sawit, meski nyawa menjadi taruhan.
Penolakan sudah berlangsung sejak tahun 2007. Lahan, hutan, dan air, menurut Ketua Adat Desa Gurung Sengiang, M Tono merupakan harta berharga yang kelak diwariskan kepada generasi penerus. Selama ini, masyarakat cenderung berkebun karet sebagai mata pencarian. “Sawit masuk sama saja membunuh warga,” kata dia ditemui di kantor Lembaga Bela Banua Talino (LBBT) bersama dengan lima rekannya, Rabu (3/5) siang.
Dua perusahaan sawit tersebut, kata Sekretaris Badan Permusyawaratan Daerah (BPD), Martinus Ujek, pada tahap survei. Sebagian besar daerah yang disurvei untuk menjadi kebun sawit adalah lahan karet masyarakat. Surat penolakan yang dikirimkan kepada Bupati Sintang, Kapolres Sintang, dan berbagai pihak lainnya, tak kunjung dibalas. “Hari ini (Rabu) kami akan ke Komnas HAM Perwakilan Pontianak,” paparnya.
LBBT, PPSDAK, dan Walhi Kalbar turut memfasilitasi dan mengadvokasi perjuangan tersebut. Perjuangan masyarakat diakui Martino dari unsur pemuda, banyak mendapat tantangan serta ancaman. Konflik di tengah masyarakat diwujudkan dengan pemecatan kepala dusun oleh kepala desa. Bahkan beberapa masyarakat telah mendapat surat pemanggilan dari kepolisian setempat.
Desa Gurung Sengiang terdiri dari Dusun Nanga Mentibar, Dusun Melaku Kanan dan Dusun Sungai Garung, dihuni 30 kepala keluarga. Perkebunan sawit sudah mulai merambah Kecamatan Serawai meski sudah berkali-kali mengalami penolakan dari warga setempat. (man)
sumber: http://www.equator-news.com/patroli/masyarakat-tolak-pt-shp-dan-pt-ssa
Selasa, 24 Mei 2011
Walhi Tolak Pembangunan PLTN di Kalbar
Selasa, 24 Mei 2011 , 10:04:00
PONTIANAK - Wacana pengembangan sumber energi melalui Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir yang digulirkan pemerintah ditolak oleh Wahana Lingkungan Hidup. “Terlepas bahwa energi listrik memang sangat dibutuhkan, namun demikian PLTN bukanlah solusi terbaik. Masih banyak sumber energi terbarukan lainnya yang dapat dimaksimalkan dan jauh lebih aman seperti sumber energi panas bumi, angin, air, maupun sumber energi surya. Sebaliknya, energi nuklir justeru lebih kotor dan berbahaya. Telah banyak peristiwa mengerikan yang berakibat fatal bagi hidup dan kehidupan,” ujar aktivis Walhi Kalbar, Hendrikus Adam.
Ia lalu memaparkan contoh-contoh kerusakan yang disebabkan oleh radiasi nuklir. Di Mayak, Rusia misalnya, pada 29 September 1957, 272 ribu orang terkena radiasi tingkat tinggi. Kejadian lain yang dicontohkannya adalah di Seversk, Siberia pada 6 April 1993, Meledaknya PLTN di Semipalatinsk, tahun 1949 hingga 1962. “Musibah fatal energi nuklir fenomenal akhir-akhir ini terjadi pada 11 Maret 2011 di Fukushima Daiici, Jepang yang menyebabkan kerugian puluhan ribu nyawa dan material lainnya yang tak terhingga. Sebuah tragedi memiriskan. Ini peringatan penting atas rencana pengembangan energi nuklir di Kalimantan Barat.,” kata Hendrikus.
Hendrikus menilai Kalimantan Barat belum siap menggunakan energi berbahan uranium ini. Ia membandingkannya dengan Jepang sebagai negara pelopor tekonologi. “Disaat begitu banyak pihak yang memuji teknologi maju dan canggih dengan memiliki standar keselamatan, kedisiplinan serta kesiap-siagaan bencana, Jepang faktanya tidak berdaya. Bahkan di Jepang sedikitnya telah terjadi kebocoran nuklir antara 1997-2007 sebanyak delapan kali” jelas orang yang berposisi sebagai Kepala Divisi Riset dan Kampanye Walhi Kalbar ini.
Reaktor nuklir dipaparkannya, merupakan sumber tenaga listrik yang kotor dan berbahaya, dan akan selalu berpotensi menimbulkan dampak fatal jika terjadi kebocoran. “Berkaca dari potensi dampak mudarat dari energi nuklir tersebut, demi kepentingan kemanusiaan dan lingkungan berkelanjutan yang baik dan sehat sebagai bagian dari hak asasi manusia kami berharap agar pemeirntah Indonesia dan khususnya Kalimantan Barat tidak memberikan ruang dibangunnya PLTN di daerah ini. PLTN bukan pilihan,” tegasnya.
Sumber: http://www.pontianakpost.com/index.php?mib=berita.detail&id=92124
PONTIANAK - Wacana pengembangan sumber energi melalui Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir yang digulirkan pemerintah ditolak oleh Wahana Lingkungan Hidup. “Terlepas bahwa energi listrik memang sangat dibutuhkan, namun demikian PLTN bukanlah solusi terbaik. Masih banyak sumber energi terbarukan lainnya yang dapat dimaksimalkan dan jauh lebih aman seperti sumber energi panas bumi, angin, air, maupun sumber energi surya. Sebaliknya, energi nuklir justeru lebih kotor dan berbahaya. Telah banyak peristiwa mengerikan yang berakibat fatal bagi hidup dan kehidupan,” ujar aktivis Walhi Kalbar, Hendrikus Adam.
Ia lalu memaparkan contoh-contoh kerusakan yang disebabkan oleh radiasi nuklir. Di Mayak, Rusia misalnya, pada 29 September 1957, 272 ribu orang terkena radiasi tingkat tinggi. Kejadian lain yang dicontohkannya adalah di Seversk, Siberia pada 6 April 1993, Meledaknya PLTN di Semipalatinsk, tahun 1949 hingga 1962. “Musibah fatal energi nuklir fenomenal akhir-akhir ini terjadi pada 11 Maret 2011 di Fukushima Daiici, Jepang yang menyebabkan kerugian puluhan ribu nyawa dan material lainnya yang tak terhingga. Sebuah tragedi memiriskan. Ini peringatan penting atas rencana pengembangan energi nuklir di Kalimantan Barat.,” kata Hendrikus.
Hendrikus menilai Kalimantan Barat belum siap menggunakan energi berbahan uranium ini. Ia membandingkannya dengan Jepang sebagai negara pelopor tekonologi. “Disaat begitu banyak pihak yang memuji teknologi maju dan canggih dengan memiliki standar keselamatan, kedisiplinan serta kesiap-siagaan bencana, Jepang faktanya tidak berdaya. Bahkan di Jepang sedikitnya telah terjadi kebocoran nuklir antara 1997-2007 sebanyak delapan kali” jelas orang yang berposisi sebagai Kepala Divisi Riset dan Kampanye Walhi Kalbar ini.
Reaktor nuklir dipaparkannya, merupakan sumber tenaga listrik yang kotor dan berbahaya, dan akan selalu berpotensi menimbulkan dampak fatal jika terjadi kebocoran. “Berkaca dari potensi dampak mudarat dari energi nuklir tersebut, demi kepentingan kemanusiaan dan lingkungan berkelanjutan yang baik dan sehat sebagai bagian dari hak asasi manusia kami berharap agar pemeirntah Indonesia dan khususnya Kalimantan Barat tidak memberikan ruang dibangunnya PLTN di daerah ini. PLTN bukan pilihan,” tegasnya.
Sumber: http://www.pontianakpost.com/index.php?mib=berita.detail&id=92124
Sabtu, 14 Mei 2011
Walhi Minta Tertibkan Izin Sawit
Sintang
SINTANG, TRIBUN - Kadiv Riset dan Kampanye Walhi Kalbar Hendrikus Adam mengatakan, permasalahan sengketa antara masyarakat dan perusahaan perkebunan bukan hanya kali ini saja terjadi. Di sejumlah daerah di Kalbar juga mengalami nasib serupa.
"Untuk itu saya mengharapkan pemerintah bisa melakukan upaya progres
evaluasi terhadap perizinan perkebunan kelapa sawit yang ada di Kalbar dan
khususnya di Sintang," kata adam kepada Tribun Pontianak, Selasa (10/5).
Selain banyak memicu perselisihan antara perusahaan dan warga acapkali
perusahaan perkebunan juga berdampak pada pegerusakan lingkungan. Untuk itu
pemerintah juga sudah sepantasnya melakukan audit lingkungan yang terindikasi
tidak sesuai dengan perizinan yang telah dikeluarkan oleh pemerintah. *
Reporter: Ali | Editor: Kim
Sumber: http://pontianak.tribunnews.com/read/artikel/21954/walhi-minta-tertibkan-izin-sawit
SINTANG, TRIBUN - Kadiv Riset dan Kampanye Walhi Kalbar Hendrikus Adam mengatakan, permasalahan sengketa antara masyarakat dan perusahaan perkebunan bukan hanya kali ini saja terjadi. Di sejumlah daerah di Kalbar juga mengalami nasib serupa.
"Untuk itu saya mengharapkan pemerintah bisa melakukan upaya progres
evaluasi terhadap perizinan perkebunan kelapa sawit yang ada di Kalbar dan
khususnya di Sintang," kata adam kepada Tribun Pontianak, Selasa (10/5).
Selain banyak memicu perselisihan antara perusahaan dan warga acapkali
perusahaan perkebunan juga berdampak pada pegerusakan lingkungan. Untuk itu
pemerintah juga sudah sepantasnya melakukan audit lingkungan yang terindikasi
tidak sesuai dengan perizinan yang telah dikeluarkan oleh pemerintah. *
Reporter: Ali | Editor: Kim
Sumber: http://pontianak.tribunnews.com/read/artikel/21954/walhi-minta-tertibkan-izin-sawit
Jumat, 06 Mei 2011
Tolak Kebun Sawit, Perangkat Desa Dipecat
Kalimantan
Penulis : Aris Munandar
Rabu, 04 Mei 2011 16:27 WIB
PONTIANAK--MICOM: Dua perangkat Desa Gurung Sengiang, Kecamatan Serawai, Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat, dipecat akibat menolak pembangunan perkebunan kelapa sawit.
"Saya dianggap menentang program pembangunan dari pemerintah," kata Kepala Dusun Sungaigarung L Edar, saat konferensi pers di Kantor Lembaga Bela Banua Talino (LBBT), di Pontianak, Rabu (4/5).
Edar dipecat kepala desa setempat, Yohanes Niko, yang mendukung pembangunan perkebunan kelapa sawit di wilayah mereka. Pemecatan secara sepihak dengan alasan serupa juga dilakukan terhadap Sekretaris Badan Perwakilan Desa (BPD) Gurung Sengiang M Ujek.
Ujek mengungkapkan pemecatan tersebut mengakibatkan aktivitas pemerintahan di desa mereka lumpuh dan menimbulkan konflik di masyarakat. Pasalnya, tindakan kepala desa itu menyalahi prosedur dan tanpa melalui persetujuan warga.
"Kami sudah mengadukan masalah ini ke kecamatan. Menurut camat, kepala desa tidak berwenang memecat anggota BPD dan kepala dusun," ungkap Ujek.
Sengketa antarperangkat desa ini merupakan buntut dari konflik rencana pembangunan perkebunan kelapa sawit oleh PT SSA dan PT SHP. Ujek dan Edar beserta perangkat adat dan didukung sebagian besar warga menolak rencana tersebut.
Penolakan itu antara lain dilakukan warga melalui pernyataan tertulis dan disertai pembubuhan cap jempol. Warga keberatan jika tanah ulayat yang selama ini ditanami dan dicadangkan untuk lahan karet itu dijadikan hamparan perkebunan kelapa sawit.
"da sekitar 500 hektare (ha) lahan milik 20 keluarga yang terkena rencana pembebasan, dan itu semuanya masih berkonflik," jelas Ujek.
Warga mengultimatum pihak perusahaan agar segera menghentikan ekspansi perkebunan kelapa sawit tersebut. Sebab, aktivitas itu dikhawatirkan memicu konflik sosial yang lebih luas. "Jika tidak, jangan salahkan kami bila masyarakat melakukan tindakan yang merugikan perusahaan," tegas Ketua Adat Dayak Desa Gurung Sengiang. (AR/OL-11)
Sumber : http://www.mediaindonesia.com/read/2011/05/04/223336/127/101/Tolak-Kebun-Sawit-Perangkat-Desa-Dipecat
Penulis : Aris Munandar
Rabu, 04 Mei 2011 16:27 WIB
PONTIANAK--MICOM: Dua perangkat Desa Gurung Sengiang, Kecamatan Serawai, Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat, dipecat akibat menolak pembangunan perkebunan kelapa sawit.
"Saya dianggap menentang program pembangunan dari pemerintah," kata Kepala Dusun Sungaigarung L Edar, saat konferensi pers di Kantor Lembaga Bela Banua Talino (LBBT), di Pontianak, Rabu (4/5).
Edar dipecat kepala desa setempat, Yohanes Niko, yang mendukung pembangunan perkebunan kelapa sawit di wilayah mereka. Pemecatan secara sepihak dengan alasan serupa juga dilakukan terhadap Sekretaris Badan Perwakilan Desa (BPD) Gurung Sengiang M Ujek.
Ujek mengungkapkan pemecatan tersebut mengakibatkan aktivitas pemerintahan di desa mereka lumpuh dan menimbulkan konflik di masyarakat. Pasalnya, tindakan kepala desa itu menyalahi prosedur dan tanpa melalui persetujuan warga.
"Kami sudah mengadukan masalah ini ke kecamatan. Menurut camat, kepala desa tidak berwenang memecat anggota BPD dan kepala dusun," ungkap Ujek.
Sengketa antarperangkat desa ini merupakan buntut dari konflik rencana pembangunan perkebunan kelapa sawit oleh PT SSA dan PT SHP. Ujek dan Edar beserta perangkat adat dan didukung sebagian besar warga menolak rencana tersebut.
Penolakan itu antara lain dilakukan warga melalui pernyataan tertulis dan disertai pembubuhan cap jempol. Warga keberatan jika tanah ulayat yang selama ini ditanami dan dicadangkan untuk lahan karet itu dijadikan hamparan perkebunan kelapa sawit.
"da sekitar 500 hektare (ha) lahan milik 20 keluarga yang terkena rencana pembebasan, dan itu semuanya masih berkonflik," jelas Ujek.
Warga mengultimatum pihak perusahaan agar segera menghentikan ekspansi perkebunan kelapa sawit tersebut. Sebab, aktivitas itu dikhawatirkan memicu konflik sosial yang lebih luas. "Jika tidak, jangan salahkan kami bila masyarakat melakukan tindakan yang merugikan perusahaan," tegas Ketua Adat Dayak Desa Gurung Sengiang. (AR/OL-11)
Sumber : http://www.mediaindonesia.com/read/2011/05/04/223336/127/101/Tolak-Kebun-Sawit-Perangkat-Desa-Dipecat
Warga Desa Gurung Sengiang Tolak Perusahaan Sawit
Kamis, 05 Mei 2011 14:04 irwansyah
Pontianak, Indowarta
Demi menjaga kelestarian hutan dan tanah adat, masyarakat adat dari Dusun Nanga Mentibar, Dusun Melaku Kanan dan Dusun Sungai Garung di Desa Gurung Sengiang Kecamatan Serawai Kabupaten Sintang Provinsi Kalimantan Barat, menolak masuknya perusahaan sawit.
Penegasan tersebut disampaikan perwakilan mereka saat menggelar konferensi pers di kantor Lambaga Bela Banua Talino (LBBT) di Pontianak, Rabu (4/5). Kepala Adat Dusun Nanga Mentibar Antonius Maca mengatakan bahwa sebagian besar masyarakatnya menolak masuknya perusahaan apapun yang bersifat mengeksploitasi hutan dan tanah adat.
“PT SHP kami minta untuk segera menghentikan aktivitasnya, jika tidak maka jangan salahkan kalau suatu hari masyarakat melakukan tindakan terhadap perusahaan,” ancamnya.
Lanjutnya, kami tidak ingin menyerahkan wilayah adat yang ada kepada pihak perusahaan apapun bentuknya. ”Bila kami menyerahkan lahan untuk perkebunan sawit atau perusahaan yang lain, sama artinya kami mewariskan keturunan untuk jadi kuli. Yang jelas, tanah adat kami tidak untuk sawit,” ujarnya bersemangat.
Menurutnya, perusahaan tersebut sering mengatakan, apabila ada yang menolak silahkan tunjukkan kalau berani. “Pernyataan tersebut dapat memicu konflik dalam masyarakat, karena ada masyarakat yang pro masuknya sawit dan ada yang kontra dan ini jelas perusahaan telah memprovokasi,” tegasnya.
Menimpali rekannya, Sekretaris BPD Nanga Mentibar Martinus Ujek menyampaikan kronologis masuknya PT SHP dan PT SSA ke wilayah mereka. Dikatakannya, bahwa sejak tahun 2007 sudah ada perusahaan yang melakukan survey namun sebagian besar masyarakat menolak kehadiran kedua perusahaan perkebunan sawit tersebut.
“Tahun 2009 ada isu bahwa perusahaan akan masuk lagi ke Desa Gurung Sengiang, namun kembali ditolak oleh masyarakat,” tuturnya.
Ujek mengatakan, setelah sekian lama, pada 18 Februari 2011, secara sepihak Kepala Desa Gurung Sengiang Yohanes Niko membentuk satuan pelaksana (Satlak) sawit yang terdiri dari 18 orang.
”Mendengar pembentukan Satlak, masyarakat menolak dengan melakukan cap jempol. Dari sekitar 164 KK per Dusun, 80 persen diantaranya menolak masuknya perusahaan sawit,” papar Ujek.
Dari tanggal 24 sampai 29 Maret 2011, lanjut Ujek, tim melakukan kegiatan survey di wilayah Sungai Sare, Unsok Sungai Sare dan Sungai Rampo Mahebo. ”Totalnya sudah sekitar 500 hektar lahan milik 20 KK yang tanahnya diukur oleh tim survey,” lanjut Ujek.
Diceritakan juga, akibat penolakan yang dilakukan, dirinya menerima resiko diberhentikan dari jabatan Sekretaris BPD. “Karena kami menolak masuknya perusahaan sawit, kami dituduh tidak mengikuti program pemerintah. Oleh karenanya, Kepala Desa Gurung Sengiang Yohanes Niko memberhentikan saya dari jabatan Sekretaris BPD Nanga Mentibar dan Laurentius Edar diberhentikan dari jabatan Kepala Dusun Nanga Mentibar,” ulasnya.
Namun, dikatakan lagi, pemberhentian itu tidak disetujui oleh masyarakat. “Mereka mengadukannya ke Camat Serawai Octavianus Harsumpeda, S Sos, Msi yang justru mengatakan bahwa pemberhentian itu bukan wewenang kepala desa,” urainya.
Menurut Ujek, jika sawit tetap masuk juga, maka itu sama saja membunuh kami, karena mata pencaharian masyarakat ada di hutan. ”Tanaman obat-obatan dan sayur-sayuran juga bisa hilang dengan masuknya sawit,” ujarnya.
Selain kedua tokoh tersebut, tokoh masyarakat adat lainnya adalah Pengurus Adat Desa Gurung Sengiang Marsianus Tono, Kepala Dusun Melaku Kanan Florensius Asam, dan Kepala Desa Nanga Mentibar L. Edar. Usai kegiatan di Kantor LBBT, tim masyarakat adat didampingi oleh LBBT, Walhi kalbar dan Pemberdayaan Pengelolaan Sumber Daya Alam Kerakyatan (PPSDAK), mendatangi Komnas HAM Kalbar untuk mengadukan dan meminta bantuan hukum atas permasalahan tersebut. (Fai)
Sumber: http://www.indowarta.com/index.php?option=com_content&view=article&id=12397:warga-desa-gurung-sengiang-tolak-perusahaan-sawit&catid=137:kalimantan-barat&Itemid=376
Pontianak, Indowarta
Demi menjaga kelestarian hutan dan tanah adat, masyarakat adat dari Dusun Nanga Mentibar, Dusun Melaku Kanan dan Dusun Sungai Garung di Desa Gurung Sengiang Kecamatan Serawai Kabupaten Sintang Provinsi Kalimantan Barat, menolak masuknya perusahaan sawit.
Penegasan tersebut disampaikan perwakilan mereka saat menggelar konferensi pers di kantor Lambaga Bela Banua Talino (LBBT) di Pontianak, Rabu (4/5). Kepala Adat Dusun Nanga Mentibar Antonius Maca mengatakan bahwa sebagian besar masyarakatnya menolak masuknya perusahaan apapun yang bersifat mengeksploitasi hutan dan tanah adat.
“PT SHP kami minta untuk segera menghentikan aktivitasnya, jika tidak maka jangan salahkan kalau suatu hari masyarakat melakukan tindakan terhadap perusahaan,” ancamnya.
Lanjutnya, kami tidak ingin menyerahkan wilayah adat yang ada kepada pihak perusahaan apapun bentuknya. ”Bila kami menyerahkan lahan untuk perkebunan sawit atau perusahaan yang lain, sama artinya kami mewariskan keturunan untuk jadi kuli. Yang jelas, tanah adat kami tidak untuk sawit,” ujarnya bersemangat.
Menurutnya, perusahaan tersebut sering mengatakan, apabila ada yang menolak silahkan tunjukkan kalau berani. “Pernyataan tersebut dapat memicu konflik dalam masyarakat, karena ada masyarakat yang pro masuknya sawit dan ada yang kontra dan ini jelas perusahaan telah memprovokasi,” tegasnya.
Menimpali rekannya, Sekretaris BPD Nanga Mentibar Martinus Ujek menyampaikan kronologis masuknya PT SHP dan PT SSA ke wilayah mereka. Dikatakannya, bahwa sejak tahun 2007 sudah ada perusahaan yang melakukan survey namun sebagian besar masyarakat menolak kehadiran kedua perusahaan perkebunan sawit tersebut.
“Tahun 2009 ada isu bahwa perusahaan akan masuk lagi ke Desa Gurung Sengiang, namun kembali ditolak oleh masyarakat,” tuturnya.
Ujek mengatakan, setelah sekian lama, pada 18 Februari 2011, secara sepihak Kepala Desa Gurung Sengiang Yohanes Niko membentuk satuan pelaksana (Satlak) sawit yang terdiri dari 18 orang.
”Mendengar pembentukan Satlak, masyarakat menolak dengan melakukan cap jempol. Dari sekitar 164 KK per Dusun, 80 persen diantaranya menolak masuknya perusahaan sawit,” papar Ujek.
Dari tanggal 24 sampai 29 Maret 2011, lanjut Ujek, tim melakukan kegiatan survey di wilayah Sungai Sare, Unsok Sungai Sare dan Sungai Rampo Mahebo. ”Totalnya sudah sekitar 500 hektar lahan milik 20 KK yang tanahnya diukur oleh tim survey,” lanjut Ujek.
Diceritakan juga, akibat penolakan yang dilakukan, dirinya menerima resiko diberhentikan dari jabatan Sekretaris BPD. “Karena kami menolak masuknya perusahaan sawit, kami dituduh tidak mengikuti program pemerintah. Oleh karenanya, Kepala Desa Gurung Sengiang Yohanes Niko memberhentikan saya dari jabatan Sekretaris BPD Nanga Mentibar dan Laurentius Edar diberhentikan dari jabatan Kepala Dusun Nanga Mentibar,” ulasnya.
Namun, dikatakan lagi, pemberhentian itu tidak disetujui oleh masyarakat. “Mereka mengadukannya ke Camat Serawai Octavianus Harsumpeda, S Sos, Msi yang justru mengatakan bahwa pemberhentian itu bukan wewenang kepala desa,” urainya.
Menurut Ujek, jika sawit tetap masuk juga, maka itu sama saja membunuh kami, karena mata pencaharian masyarakat ada di hutan. ”Tanaman obat-obatan dan sayur-sayuran juga bisa hilang dengan masuknya sawit,” ujarnya.
Selain kedua tokoh tersebut, tokoh masyarakat adat lainnya adalah Pengurus Adat Desa Gurung Sengiang Marsianus Tono, Kepala Dusun Melaku Kanan Florensius Asam, dan Kepala Desa Nanga Mentibar L. Edar. Usai kegiatan di Kantor LBBT, tim masyarakat adat didampingi oleh LBBT, Walhi kalbar dan Pemberdayaan Pengelolaan Sumber Daya Alam Kerakyatan (PPSDAK), mendatangi Komnas HAM Kalbar untuk mengadukan dan meminta bantuan hukum atas permasalahan tersebut. (Fai)
Sumber: http://www.indowarta.com/index.php?option=com_content&view=article&id=12397:warga-desa-gurung-sengiang-tolak-perusahaan-sawit&catid=137:kalimantan-barat&Itemid=376
Warga Serawai Tolak Ekspansi Kebun Sawit
Kamis, 05 Mei 2011 , 10:04:00
Diduga Serobot Tanah Adat
PONTIANAK - Ekspansi besar-besaran perkebunan kelapa sawit lagi-lagi menuai kontroversi. Kemarin rombongan yang menamakan diri Masyarakat Adat Desa Gurung Sengiang, Kecamatan Serawai, Kabupaten Sintang datang ke Pontianak untuk mengadukan kejadian yang mereka alami ke lembaga-lembaga terkait. Ceritanya, dua perkebunan skala besar secara sepihak telah memasukan 30 hektar ladang warga dan hutan adat ke dalam rencana proyek sawitnya.Padahal pendirian kebun sawit tersebut telah ditolak oleh sebagian besar masyarakat. “Kami tidak mau menyerahkan wilayah adat kepada pihak perusahaan sawit atau perusahaan lainnya. Kalau kami serahkan, itu sama artinya membuat keturunan kami untuk menjadi kuli,” ujar anggota rombongan, Antonius Maca.
Bagi masyarakat setempat, hutan dan ladang adalah pusat aktifitas ekonomi dan sumber air bersih. “Tujuan kami mempertahankan tanah, air, dan hutan adalah kekayaan leluhur. Kalau perkebunan sawit dipaksakan, berarti mereka mau membunuh masyarakat kami. Biarlah tanah kami dikelola sesuai kemampuan. Ini merupakan nafas masyarakat adat,” sambung Marsianus Tono, ketua Adat Gurung Seriang.Rombongan juga mengecam segelintir pejabat dan perangkat desa yang ikut terlibat dalam proyek tersebut. Sebagai informasi, Desa Gurung Seriang terbagi lagi menjadi empat dusun, yaitu Nanga Mentibar, Melaku Kanan, Sungai Gurung, dan Laman Gunung. Di internal warga sendiri terjadi perpecahan soal perkebunan sawit ini. Namun, penuturan rombongan menyebut 80 persen warga menolak pendirian perkebunan sawit.
Kepala Desa Gurung Sengiang Yohanes Niko termasuk yang mendukung masuknya perkebunan sawit itu. Sementara dari empat kepala dusun, hanya satu yang pro-kebun sawit yaitu Apin, Kepala Dusun Mentibar. Namun sang kepala desa memecat orang-orang yang tidak sepaham dengannya, seperti Kepala Dusun Sungai Garung, L Edar dan anggota BPD, M Ujek. Namun warga mengecam pemecatan tersebut, dan hingga kini keduanya masih menjabat.Penilaian rombongan cukup sarkastis tentang orang-orang yang merelakan tanahnya untuk perusahaan sawit. “Hanya orang pemalas dan tidak mau berladang yang seperti itu. Mereka tidak mau susah-susah bekerja tapi malah menjual tanah nenek moyangnya. Padahal di situ ada sejarah adat, kuburan, dan tanah keramat. Mereka juga tidak tahu sedang ditipu perusahaan,” sebut L Edar, kepala Dusun Sungai Garung.
Penawaran yang diajukan oleh pihak perusahaan menurut rombongan jelas tidak adil. Rasionya adalah delapan berbanding dua. “Delapan untuk perusahaan, untuk warga hanya dua saja. Itupun masih diberikan sistem kredit. Setiap bulan harus membayar uang ke perusahaan,” sebut Kepala Dusun Melaku Kanan, F Asam.Rombongan mengaku hanya menjalankan amanat masyarakatnya. Mereka juga sudah melayangkan surat ke Bupati Sintang, meski belum ada jawaban. “Kami tidak ada tujuan apa-apa, hanya mau menyelamatkan tanah adat kami saja. Kalau ada yang mau jual tanahnya, itu silakan.
Tapi jangan paksa orang yang tidak mau menjual. Kami masih memikirkan kehidupan anak cucu,” ungkap Marsianus Tono.Kemarin rombongan menggelar konferensi pers di markas Lembaga Bela Banua Talino, Jalan Budi Utomo, Siantan. Hadir pula sejumlah LSM macam Wahana Lingkungan Hidup, Pemberdayaan Pengelolaan Sumber Daya Alam Kerakyatan. Setelah itu rombongan mengadukan nasib mereka ke Komnas HAM Provinsi Kalbar. (ars)
Sumber: http://www.pontianakpost.com/index.php?mib=berita.detail&id=90837
Diduga Serobot Tanah Adat
PONTIANAK - Ekspansi besar-besaran perkebunan kelapa sawit lagi-lagi menuai kontroversi. Kemarin rombongan yang menamakan diri Masyarakat Adat Desa Gurung Sengiang, Kecamatan Serawai, Kabupaten Sintang datang ke Pontianak untuk mengadukan kejadian yang mereka alami ke lembaga-lembaga terkait. Ceritanya, dua perkebunan skala besar secara sepihak telah memasukan 30 hektar ladang warga dan hutan adat ke dalam rencana proyek sawitnya.Padahal pendirian kebun sawit tersebut telah ditolak oleh sebagian besar masyarakat. “Kami tidak mau menyerahkan wilayah adat kepada pihak perusahaan sawit atau perusahaan lainnya. Kalau kami serahkan, itu sama artinya membuat keturunan kami untuk menjadi kuli,” ujar anggota rombongan, Antonius Maca.
Bagi masyarakat setempat, hutan dan ladang adalah pusat aktifitas ekonomi dan sumber air bersih. “Tujuan kami mempertahankan tanah, air, dan hutan adalah kekayaan leluhur. Kalau perkebunan sawit dipaksakan, berarti mereka mau membunuh masyarakat kami. Biarlah tanah kami dikelola sesuai kemampuan. Ini merupakan nafas masyarakat adat,” sambung Marsianus Tono, ketua Adat Gurung Seriang.Rombongan juga mengecam segelintir pejabat dan perangkat desa yang ikut terlibat dalam proyek tersebut. Sebagai informasi, Desa Gurung Seriang terbagi lagi menjadi empat dusun, yaitu Nanga Mentibar, Melaku Kanan, Sungai Gurung, dan Laman Gunung. Di internal warga sendiri terjadi perpecahan soal perkebunan sawit ini. Namun, penuturan rombongan menyebut 80 persen warga menolak pendirian perkebunan sawit.
Kepala Desa Gurung Sengiang Yohanes Niko termasuk yang mendukung masuknya perkebunan sawit itu. Sementara dari empat kepala dusun, hanya satu yang pro-kebun sawit yaitu Apin, Kepala Dusun Mentibar. Namun sang kepala desa memecat orang-orang yang tidak sepaham dengannya, seperti Kepala Dusun Sungai Garung, L Edar dan anggota BPD, M Ujek. Namun warga mengecam pemecatan tersebut, dan hingga kini keduanya masih menjabat.Penilaian rombongan cukup sarkastis tentang orang-orang yang merelakan tanahnya untuk perusahaan sawit. “Hanya orang pemalas dan tidak mau berladang yang seperti itu. Mereka tidak mau susah-susah bekerja tapi malah menjual tanah nenek moyangnya. Padahal di situ ada sejarah adat, kuburan, dan tanah keramat. Mereka juga tidak tahu sedang ditipu perusahaan,” sebut L Edar, kepala Dusun Sungai Garung.
Penawaran yang diajukan oleh pihak perusahaan menurut rombongan jelas tidak adil. Rasionya adalah delapan berbanding dua. “Delapan untuk perusahaan, untuk warga hanya dua saja. Itupun masih diberikan sistem kredit. Setiap bulan harus membayar uang ke perusahaan,” sebut Kepala Dusun Melaku Kanan, F Asam.Rombongan mengaku hanya menjalankan amanat masyarakatnya. Mereka juga sudah melayangkan surat ke Bupati Sintang, meski belum ada jawaban. “Kami tidak ada tujuan apa-apa, hanya mau menyelamatkan tanah adat kami saja. Kalau ada yang mau jual tanahnya, itu silakan.
Tapi jangan paksa orang yang tidak mau menjual. Kami masih memikirkan kehidupan anak cucu,” ungkap Marsianus Tono.Kemarin rombongan menggelar konferensi pers di markas Lembaga Bela Banua Talino, Jalan Budi Utomo, Siantan. Hadir pula sejumlah LSM macam Wahana Lingkungan Hidup, Pemberdayaan Pengelolaan Sumber Daya Alam Kerakyatan. Setelah itu rombongan mengadukan nasib mereka ke Komnas HAM Provinsi Kalbar. (ars)
Sumber: http://www.pontianakpost.com/index.php?mib=berita.detail&id=90837
Jumat, 29 April 2011
Nuclear Energy in Pontianak? Oh...NO!!!!
Some of the activists from WALHI organized a campaign for rejecting the use of nuclear energy a couple days ago. The campaign was centered around Digulist Monument. The activists distributed a thousand sheets of paper titled "Keep West Kalimantan away from (Disaster) Nuclear Energy." They said that the purpose of this campaign is to remind the Government of West Kalimantan to stay away from the idea of the construction of Nuclear Power. There must be no nuclear power plants in West Kalimantan, because there are many examples of the negative impact of nuclear matter, particularly a humanitarian catastrophe.
The issue of developing PLTN Kalbar is sounded after the discovered the location of uranium in Melawi recently. Moreover, Kalbar quite safe from causing damage to the reactor because of earthquake and tsunami. However, there is no guarantee of safety for nuclear technology in Indonesia. As we can see, the damage at nuclear reactor in Fukushima, Japan has made people worried about the radiation. Well, from this experience, it is unwise to make people feel unsafe, even in their own environment. WALHI also sent a letter to President Yudhoyono and all heads of state as Southeast Asia, requesting that the plan to establish nuclear power plants should be stopped immediately.
Actually, Kalbar has abundant energy sources. Government can apply solar cells, bio fuels from plants and animals as well as water and wind power. If we can use these kinds of energy sources, why should we use nuclear, and feel worry all the time?
Sumber: http://pontianakinfocus2.blogspot.com/2011/04/nuclear-energy-in-pontianak-ohno.html
The issue of developing PLTN Kalbar is sounded after the discovered the location of uranium in Melawi recently. Moreover, Kalbar quite safe from causing damage to the reactor because of earthquake and tsunami. However, there is no guarantee of safety for nuclear technology in Indonesia. As we can see, the damage at nuclear reactor in Fukushima, Japan has made people worried about the radiation. Well, from this experience, it is unwise to make people feel unsafe, even in their own environment. WALHI also sent a letter to President Yudhoyono and all heads of state as Southeast Asia, requesting that the plan to establish nuclear power plants should be stopped immediately.
Actually, Kalbar has abundant energy sources. Government can apply solar cells, bio fuels from plants and animals as well as water and wind power. If we can use these kinds of energy sources, why should we use nuclear, and feel worry all the time?
Sumber: http://pontianakinfocus2.blogspot.com/2011/04/nuclear-energy-in-pontianak-ohno.html
Kamis, 28 April 2011
Diungkap 19 Hotspot Perkebunan Sawit
Pontianak | Selasa, 26 Apr 2011
Andi Fachrizal
WAHANA Lingkungan Hidup (Walhi) Kalimantan Barat (Kalbar) membeberkan temuan 19 hotspot (titik api) di 16 area perkebunan sawit di Kabupaten Pontianak, Kubu Raya, Sambas, Bengkayang, Landak, Sanggau, dan Kabupaten Sintang. Kasus pembakaran lahan perkebunan sawit ini memicu polusi udara dan berdampak langsung pada kesehatan manusia.
Data Walhi Kalbar sejak 8 April lalu menyebutkan kebakaran lahan di beberapa lokasi perkebunan sawit dapat disaksikan secara kasat mata. Antara lain, di perkebunan sawit milik PT Sintang Raya di Kubu Raya, PT LG Internasional di Dusun Engkuning, Desa Tapang Pulau, Kabupaten Sekadau, dan PT Peniti Sungai Purun (PSP) di Kabupaten Pontianak.
Koordinator Divisi Riset dan Kampanye Walhi Kalbar, Hendrikus Adam menyebutkan, kebakaran lahan di perkebunan sawit selama ini para pelaku belum dapat sanksi. "Padahal, cerita mandul penegakan hukum atas perusahaan nakal bukan hanya berlangsung saat ini," katanya di Pontianak, Senin (25/4).
Selama ini, pihak terkait hanya mampu menindak reaktif semata. Lemahnya sikap atas pembakar lahan khusus di perkebunan sawit ini seharusnya tidak terus berulang. Sebab, hal ini tak memberi efek jera. "Kita berharap, ancaman pidana selama 10 tahun dan denda Rp5 miliar bagi pelaku pembakar lahan harusnya tidak hanya tertulis dalam Pasal 48 UU Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan. Sanksi hukum untuk menindak tegas pelaku pembakaran lahan mestinya harus dilakukan untuk memberi efek jera," ucap Adam.
Demikian pula evaluasi atas keberadaan perusahaan sawit dan perizinan, harus dengan cara menindak tegas perusahaan nakal. "Mari kita satukan komitmen dan menjadikan hukum sebagai panglima. Jangan malah sebaliknya memosisikan perusahaan nakal itu sebagai raja."
Dalam catatan Walhi, sejak 2007-2008, terdeteksi dua perusahaan sawit milik Wilmar Group di Kabupaten Sambas yang membakar lahan. Perusahaan itu adalah PT Wilmar Sambas Plantation (PT WSP) dan PT Buluh Cawang Plantation (PT BCP). Namun kedua perusahaan itu lolos dari jeratan hukum.
Pada 13 September 2006, kebakaran serupa terjadi dan menghanguskan Bukit Kuali di Dusun Lais, Desa Lalang, Kecamatan Tayan Hilir, Kabupaten Sanggau yang bersumber dari PT Mega Sawindo Perkasa (MSP).
Pada tahun sama, Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (Bapedalda) Kalbar menyebutkan, ada sembilan perusahaan terbukti membakar dengan total area 2.773-3.173 hektare tersebar di seluruh Kalbar. Kebakaran hutan dan lahan terbesar sepanjang sejarah perkebunan sawit terjadi di area PT ANI di Kabupaten Landak dan menghanguskan 60 hektare lahan perkebunan hingga sebagian hutan adat.
[Andi Fachrizal]
Sumber : http://nasional.jurnas.com/halaman/11/2011-04-26/167586
Andi Fachrizal
WAHANA Lingkungan Hidup (Walhi) Kalimantan Barat (Kalbar) membeberkan temuan 19 hotspot (titik api) di 16 area perkebunan sawit di Kabupaten Pontianak, Kubu Raya, Sambas, Bengkayang, Landak, Sanggau, dan Kabupaten Sintang. Kasus pembakaran lahan perkebunan sawit ini memicu polusi udara dan berdampak langsung pada kesehatan manusia.
Data Walhi Kalbar sejak 8 April lalu menyebutkan kebakaran lahan di beberapa lokasi perkebunan sawit dapat disaksikan secara kasat mata. Antara lain, di perkebunan sawit milik PT Sintang Raya di Kubu Raya, PT LG Internasional di Dusun Engkuning, Desa Tapang Pulau, Kabupaten Sekadau, dan PT Peniti Sungai Purun (PSP) di Kabupaten Pontianak.
Koordinator Divisi Riset dan Kampanye Walhi Kalbar, Hendrikus Adam menyebutkan, kebakaran lahan di perkebunan sawit selama ini para pelaku belum dapat sanksi. "Padahal, cerita mandul penegakan hukum atas perusahaan nakal bukan hanya berlangsung saat ini," katanya di Pontianak, Senin (25/4).
Selama ini, pihak terkait hanya mampu menindak reaktif semata. Lemahnya sikap atas pembakar lahan khusus di perkebunan sawit ini seharusnya tidak terus berulang. Sebab, hal ini tak memberi efek jera. "Kita berharap, ancaman pidana selama 10 tahun dan denda Rp5 miliar bagi pelaku pembakar lahan harusnya tidak hanya tertulis dalam Pasal 48 UU Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan. Sanksi hukum untuk menindak tegas pelaku pembakaran lahan mestinya harus dilakukan untuk memberi efek jera," ucap Adam.
Demikian pula evaluasi atas keberadaan perusahaan sawit dan perizinan, harus dengan cara menindak tegas perusahaan nakal. "Mari kita satukan komitmen dan menjadikan hukum sebagai panglima. Jangan malah sebaliknya memosisikan perusahaan nakal itu sebagai raja."
Dalam catatan Walhi, sejak 2007-2008, terdeteksi dua perusahaan sawit milik Wilmar Group di Kabupaten Sambas yang membakar lahan. Perusahaan itu adalah PT Wilmar Sambas Plantation (PT WSP) dan PT Buluh Cawang Plantation (PT BCP). Namun kedua perusahaan itu lolos dari jeratan hukum.
Pada 13 September 2006, kebakaran serupa terjadi dan menghanguskan Bukit Kuali di Dusun Lais, Desa Lalang, Kecamatan Tayan Hilir, Kabupaten Sanggau yang bersumber dari PT Mega Sawindo Perkasa (MSP).
Pada tahun sama, Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (Bapedalda) Kalbar menyebutkan, ada sembilan perusahaan terbukti membakar dengan total area 2.773-3.173 hektare tersebar di seluruh Kalbar. Kebakaran hutan dan lahan terbesar sepanjang sejarah perkebunan sawit terjadi di area PT ANI di Kabupaten Landak dan menghanguskan 60 hektare lahan perkebunan hingga sebagian hutan adat.
[Andi Fachrizal]
Sumber : http://nasional.jurnas.com/halaman/11/2011-04-26/167586
Rabu, 27 April 2011
WALHI Kalbar Tolak PLTN Di Indonesia
Selasa, 26 April 2011 14:37
Pontianak, Indowarta
Mengacu pada kejadian Chernobyl di Ukraina pada 1986 lalu serta kejadian meledaknya reaktor nuklir di Fukushima-Jepang, Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Kalbar menolak rencana pemerintah untuk mengembangkan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) sebagai sumber energi terbarukan dalam mengatasi krisis energi yang terjadi di Indonesia. Penolakan tersebut diwujudkan dalam aksi damai di Kawasan Tugu Digulis-Bundaran Universitas Tanjungpura, Selasa (26/4) dengan membagikan seribu brosur tentang bahaya PLTN.
Koordinator Aksi, Hendrikus Adam mengatakan bahwa pengembangan PLTN merupakan kebijakan yang sarat kepentingan dari para pejabat yang ngotot agar proyek tersebut segera dilaksanakan. “Masih banyak sumber-sumber energi terbarukan yang bisa dikembangkan,” ungkapnya.
Hal tersebut senada dengan seruan dalam selebaran mereka yang menyatakan bahwa Pemerintah tidak memaksakan pembangunan PLTN, tetapi mengalihkan investasi yang ada pada pengembangan sumber-sumber energi terbarukan seperti energi air, surya, angin serta panas bumi (geothermal), yang tidak hanya ramah lingkungan, tetapi juga terjangkau secara finansial dan dapat diandalkan untuk jangka panjang.
Menurut Adam seruan ini mereka fokuskan kepada tiga kepala negara yang sedang gencar merencanakan pembangunan PLTN yaitu Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono, Presiden Filiphina Benigno Aquino serta PM Thailand Abhisit Vejjajiva.
Adam juga mengatakan bahwa promotor energi nuklir diantaranya Batan, Bappeten serta Kementerian Riset dan Teknologi, yang menjadi pihak pendorong pemerintah untuk mengembangkan energi nuklir, penuh kebohongan dalam promosi yang mereka ajukan.
Ketika disinggung tentang upaya Pemerintah Kalbar yang gencar mempromosikan kepada para investor dalam dan luar negeri, terkait potensi Uranium di Kabupaten Melawi, Adam mengatakan bahwa pemerintah daerah hingga saat ini belum transparan terkait hal itu.
“Jika dikaitkan dengan rencana pembangunan PLTN, kami mendesak agar Pemerintah daerah menutup ruang bagi pembangunan PLTN diwilayahnya, khusunya di Kalimantan Barat,”ujar Adam. (Fai/Ry)
Sumber : http://www.indowarta.com/index.php?option=com_content&view=article&id=12280:walhi-kalbar-tolak-pltn-di-indonesia-&catid=137:kalimantan-barat&Itemid=376
Pontianak, Indowarta
Mengacu pada kejadian Chernobyl di Ukraina pada 1986 lalu serta kejadian meledaknya reaktor nuklir di Fukushima-Jepang, Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Kalbar menolak rencana pemerintah untuk mengembangkan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) sebagai sumber energi terbarukan dalam mengatasi krisis energi yang terjadi di Indonesia. Penolakan tersebut diwujudkan dalam aksi damai di Kawasan Tugu Digulis-Bundaran Universitas Tanjungpura, Selasa (26/4) dengan membagikan seribu brosur tentang bahaya PLTN.
Koordinator Aksi, Hendrikus Adam mengatakan bahwa pengembangan PLTN merupakan kebijakan yang sarat kepentingan dari para pejabat yang ngotot agar proyek tersebut segera dilaksanakan. “Masih banyak sumber-sumber energi terbarukan yang bisa dikembangkan,” ungkapnya.
Hal tersebut senada dengan seruan dalam selebaran mereka yang menyatakan bahwa Pemerintah tidak memaksakan pembangunan PLTN, tetapi mengalihkan investasi yang ada pada pengembangan sumber-sumber energi terbarukan seperti energi air, surya, angin serta panas bumi (geothermal), yang tidak hanya ramah lingkungan, tetapi juga terjangkau secara finansial dan dapat diandalkan untuk jangka panjang.
Menurut Adam seruan ini mereka fokuskan kepada tiga kepala negara yang sedang gencar merencanakan pembangunan PLTN yaitu Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono, Presiden Filiphina Benigno Aquino serta PM Thailand Abhisit Vejjajiva.
Adam juga mengatakan bahwa promotor energi nuklir diantaranya Batan, Bappeten serta Kementerian Riset dan Teknologi, yang menjadi pihak pendorong pemerintah untuk mengembangkan energi nuklir, penuh kebohongan dalam promosi yang mereka ajukan.
Ketika disinggung tentang upaya Pemerintah Kalbar yang gencar mempromosikan kepada para investor dalam dan luar negeri, terkait potensi Uranium di Kabupaten Melawi, Adam mengatakan bahwa pemerintah daerah hingga saat ini belum transparan terkait hal itu.
“Jika dikaitkan dengan rencana pembangunan PLTN, kami mendesak agar Pemerintah daerah menutup ruang bagi pembangunan PLTN diwilayahnya, khusunya di Kalimantan Barat,”ujar Adam. (Fai/Ry)
Sumber : http://www.indowarta.com/index.php?option=com_content&view=article&id=12280:walhi-kalbar-tolak-pltn-di-indonesia-&catid=137:kalimantan-barat&Itemid=376
Tindak Tegas Perusahaan Membakar Lahan
Rabu, 27 April 2011 , 08:44:00
PONTIANAK – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia meminta agar perusahaan perkebunan yang membuka lahan dengan cara membakar ditindak tegas. “Biar ada efek jera,” tegas Divisi Kampanye dan Riset Walhi Kalbar Hendrikus Adam di Pontianak, kemarin. Walhi mencatat per 8 April 2011 ditemukan 19 titik api (hotspot) pada 16 perusahaan sawit yang tersebar di Kabupaten Sambas, Bengkayang, Kubu Raya, Kabupaten Pontianak, Sintang, Landak, dan Sanggau. Di beberapa lokasi perkebunan sawit terlihat langsung, misalnya, areal milik PT. Sintang Raya (Kubu Raya), PT. LG Internasional (Sekadau), dan PT. Peniti Sungai Purun (Kab. Pontianak).
“Pada tiga tempat ini, nyata-nyata terjadi kebakaran di arealnya. Kebakaran di Dusun Engkuning, Sekadau malah membakar kebun karet produktif warga,” kata Adam.Pihaknya menyayangkan kebakaran yang terjadi di perkebunan kelapa sawit belum mendapat respon dan sanksi tegas dari lembaga berwenang. Cerita mandulnya penegakan hukum atas perusahaan nakal bukan hanya berlangsung saat ini. Di tahun 2007-2008, dua perusahaan sawit milik Wilmar Group di Sambas, yakni PT Wilmar Sambas Plantation dan PT Buluh Cawang Plantation malah lolos dari jeratan hukum.
Menurut Adam, ekspansi perkebunan kelapa sawit skala besar di Kalbar bukan hanya menghilangkan fungsi hutan, tetapi juga menggusur hutan. Akan tetapi, telah menyebabkan terjadinya kabut asap yang berkontribusi pada akumulasi polusi udara yang mengganggu aktivitas warga. “Anehnya, saat belum masa musim membuka lahan bagi peladang, kebakaran lahan di perkebunan sawit justru tetap saja terjadi,” ungkap Adam. Ia mengatakan, ancaman pidana selama 10 tahun dengan denda sebesar Rp5 miliar bagi pelaku pembakar lahan harusnya tidak hanya tertulis sebagaimana pasal 48 UU 18 tahun 2004 tentang Perkebunan. Sanksi hukum untuk menindak tegas pelaku pembakaran lahan mestinya harus dilakukan untuk memberi efek jera. (*/mnk)
Sumber : http://www.pontianakpost.com/index.php?mib=berita.detail&id=90354
PONTIANAK – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia meminta agar perusahaan perkebunan yang membuka lahan dengan cara membakar ditindak tegas. “Biar ada efek jera,” tegas Divisi Kampanye dan Riset Walhi Kalbar Hendrikus Adam di Pontianak, kemarin. Walhi mencatat per 8 April 2011 ditemukan 19 titik api (hotspot) pada 16 perusahaan sawit yang tersebar di Kabupaten Sambas, Bengkayang, Kubu Raya, Kabupaten Pontianak, Sintang, Landak, dan Sanggau. Di beberapa lokasi perkebunan sawit terlihat langsung, misalnya, areal milik PT. Sintang Raya (Kubu Raya), PT. LG Internasional (Sekadau), dan PT. Peniti Sungai Purun (Kab. Pontianak).
“Pada tiga tempat ini, nyata-nyata terjadi kebakaran di arealnya. Kebakaran di Dusun Engkuning, Sekadau malah membakar kebun karet produktif warga,” kata Adam.Pihaknya menyayangkan kebakaran yang terjadi di perkebunan kelapa sawit belum mendapat respon dan sanksi tegas dari lembaga berwenang. Cerita mandulnya penegakan hukum atas perusahaan nakal bukan hanya berlangsung saat ini. Di tahun 2007-2008, dua perusahaan sawit milik Wilmar Group di Sambas, yakni PT Wilmar Sambas Plantation dan PT Buluh Cawang Plantation malah lolos dari jeratan hukum.
Menurut Adam, ekspansi perkebunan kelapa sawit skala besar di Kalbar bukan hanya menghilangkan fungsi hutan, tetapi juga menggusur hutan. Akan tetapi, telah menyebabkan terjadinya kabut asap yang berkontribusi pada akumulasi polusi udara yang mengganggu aktivitas warga. “Anehnya, saat belum masa musim membuka lahan bagi peladang, kebakaran lahan di perkebunan sawit justru tetap saja terjadi,” ungkap Adam. Ia mengatakan, ancaman pidana selama 10 tahun dengan denda sebesar Rp5 miliar bagi pelaku pembakar lahan harusnya tidak hanya tertulis sebagaimana pasal 48 UU 18 tahun 2004 tentang Perkebunan. Sanksi hukum untuk menindak tegas pelaku pembakaran lahan mestinya harus dilakukan untuk memberi efek jera. (*/mnk)
Sumber : http://www.pontianakpost.com/index.php?mib=berita.detail&id=90354
Walhi Tolak PLTN Kalbar
Daerah - Kalimantan
Ditulis oleh Era Baru News Rabu, 27 April 2011
Pontianak - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Kalimantan Barat menolak wacana pembangunan Pusat Listrik Tenaga Nuklir di provinsi Kalbar yang memiliki sumber Uranium berlimpah di Kabupaten Melawi.
"Reaktor nuklir adalah sumber tenaga listrik yang kotor dan berbahaya, dan akan selalu berpotensi menimbulkan dampak yang fatal akibat kombinasi kekhilafan maupun kesengajaan manusia, kesalahan dalam rancang bangun, serta bencana alam," kata Kepala Divisi Riset dan Kampanye Walhi Kalbar, Hendrikus Adam disela aksi Tolak Nuklir di Kalbar, di Pontianak, Selasa (26/4)
Menurut dia, banyak terjadi bencana yang bersumber dari kegagalan pengelolaan reaktor nuklir di sejumlah negara.
Bencana tersebut menimbulkan dampak dalam jangka panjang, cakupan yang luas serta berbiaya sangat besar.
"Peringatan dari berbagai bencana nuklir juga kiranya penting sampai pada masyarakat di daerah ini dan lebih khusus sebagai peringatan bagi Pemda Kalbar yang sedang 'mempersiapkan diri' untuk PLTN," kata dia.
Ia mencontohkan kejadian di Chernobyl, tanggal 26 April 1986, yang memporak-porandakan kehidupan di Ukraina seiring dengan meledaknya reaktor nuklir yang mengakibatkan sedikitnya sebanyak tujuh juta orang harus menderita setiap hari.
Kemudian di Mayak, Rusia, tanggal 29 September 1957, yang mengakibatkan 272 ribu orang terkena radiasi tingkat tinggi.
"Banyak orang menderita penyakit kronis, hipertensi, masalah jantung, arthritis dan asma," katanya.
Setiap detik orang dewasa menderita kemandulan, satu dari tiga bayi yang baru lahir menderita cacat, dan satu dari 10 anak lahir secara prematur serta jumlah orang yang menderita kanker meningkat pesat.
Di Seversk (dulu Tomsk-7) Siberia pada 6 April 1993 yang menunjukkan dampak gejala serupa berupa kelainan darah dan kerusakan genetik.
Hal yang sama juga terjadi di Semipalatinsk, Astana pada tahun 1949 hingga tahun 1962 sehingga hampir setengah dari populasi menderita disfungsi sistem syaraf motorik.
Di Jepang, juga pernah terjadi ketika Kota Hiroshima dan Nagasaki diserang tentara sekutu Amerika dengan bom atom serta bencana nuklir di Three Mile Island Amerika pada 1979 yang juga memakan banyak korban.
"Yang paling baru, di Jepang, ketika PLTN Fukushima Daiici dihantam gempa dan tsunami pada 11 Maret lalu," katanya.
Hingga saat ini, lanjut dia, belum ada kepastian dan jaminan pulihnya situasi dari bencana tersebut termasuk kondisi kesehatan warga yang terpapar radiasi nuklir yang berbahaya.
"Bencana nuklir di PLTN Fukushima Daiici sungguh tragis dan patut menjadi pelajaran berharga," katanya menegaskan.
Walhi Kalbar meminta Presiden selaku kepala negara beserta pihak terkait promotor energi nuklir (Batan, Bappeten, dan Kementerian Riset dan Teknologi) menghentikan rencana pengembangan maupun pembangunan energi nuklir melalui PLTN di Indonesia.
Kemudian, Pemerintah Daerah tidak memberi ruang dengan menghentikan rencana pengembangan energi nuklir di Kalbar.
Pemerintah tidak memaksakan pembangunan PLTN, tetapi mengalihkan investasi yang ada pada pengembangan sumber-sumber energi terbarukan (energi air, energi surya, energi angin, panas bumi/geothermal) yang tidak hanya ramah lingkungan, tapi juga terjangkau secara finansial dan dapat diandalkan untuk jangka panjang.
"Kami mengajak segenap lapisan masyarakat untuk peduli serta proaktif melakukan kontrol atas kebijakan agar Kalbar dijauhkan dari (bencana) energi nuklir," kata Hendrikus Adam.
Kalbar memiliki sekitar 24.112 ton uranium yang tersebar di Kabupaten Melawi. Sekitar 910 ton di antaranya yang sudah terukur.
Lokasi utama berada di Desa Kalan, Kecamatan Ella Hilir. Potensi uranium lainnya juga diperkirakan berada di Kabupaten Sanggau dan Landak dengan jumlah yang lebih sedikit.
Jumlah uranium sebanyak itu diperkirakan mampu untuk PLTN selama 150 tahun dengan kapasitas 1.000 Mega Watt.(ant/waa)
Sumber: http://www.erabaru.net/daerah/117-kalimantan/25646-walhi-tolak-pltn-kalbar
Ditulis oleh Era Baru News Rabu, 27 April 2011
Pontianak - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Kalimantan Barat menolak wacana pembangunan Pusat Listrik Tenaga Nuklir di provinsi Kalbar yang memiliki sumber Uranium berlimpah di Kabupaten Melawi.
"Reaktor nuklir adalah sumber tenaga listrik yang kotor dan berbahaya, dan akan selalu berpotensi menimbulkan dampak yang fatal akibat kombinasi kekhilafan maupun kesengajaan manusia, kesalahan dalam rancang bangun, serta bencana alam," kata Kepala Divisi Riset dan Kampanye Walhi Kalbar, Hendrikus Adam disela aksi Tolak Nuklir di Kalbar, di Pontianak, Selasa (26/4)
Menurut dia, banyak terjadi bencana yang bersumber dari kegagalan pengelolaan reaktor nuklir di sejumlah negara.
Bencana tersebut menimbulkan dampak dalam jangka panjang, cakupan yang luas serta berbiaya sangat besar.
"Peringatan dari berbagai bencana nuklir juga kiranya penting sampai pada masyarakat di daerah ini dan lebih khusus sebagai peringatan bagi Pemda Kalbar yang sedang 'mempersiapkan diri' untuk PLTN," kata dia.
Ia mencontohkan kejadian di Chernobyl, tanggal 26 April 1986, yang memporak-porandakan kehidupan di Ukraina seiring dengan meledaknya reaktor nuklir yang mengakibatkan sedikitnya sebanyak tujuh juta orang harus menderita setiap hari.
Kemudian di Mayak, Rusia, tanggal 29 September 1957, yang mengakibatkan 272 ribu orang terkena radiasi tingkat tinggi.
"Banyak orang menderita penyakit kronis, hipertensi, masalah jantung, arthritis dan asma," katanya.
Setiap detik orang dewasa menderita kemandulan, satu dari tiga bayi yang baru lahir menderita cacat, dan satu dari 10 anak lahir secara prematur serta jumlah orang yang menderita kanker meningkat pesat.
Di Seversk (dulu Tomsk-7) Siberia pada 6 April 1993 yang menunjukkan dampak gejala serupa berupa kelainan darah dan kerusakan genetik.
Hal yang sama juga terjadi di Semipalatinsk, Astana pada tahun 1949 hingga tahun 1962 sehingga hampir setengah dari populasi menderita disfungsi sistem syaraf motorik.
Di Jepang, juga pernah terjadi ketika Kota Hiroshima dan Nagasaki diserang tentara sekutu Amerika dengan bom atom serta bencana nuklir di Three Mile Island Amerika pada 1979 yang juga memakan banyak korban.
"Yang paling baru, di Jepang, ketika PLTN Fukushima Daiici dihantam gempa dan tsunami pada 11 Maret lalu," katanya.
Hingga saat ini, lanjut dia, belum ada kepastian dan jaminan pulihnya situasi dari bencana tersebut termasuk kondisi kesehatan warga yang terpapar radiasi nuklir yang berbahaya.
"Bencana nuklir di PLTN Fukushima Daiici sungguh tragis dan patut menjadi pelajaran berharga," katanya menegaskan.
Walhi Kalbar meminta Presiden selaku kepala negara beserta pihak terkait promotor energi nuklir (Batan, Bappeten, dan Kementerian Riset dan Teknologi) menghentikan rencana pengembangan maupun pembangunan energi nuklir melalui PLTN di Indonesia.
Kemudian, Pemerintah Daerah tidak memberi ruang dengan menghentikan rencana pengembangan energi nuklir di Kalbar.
Pemerintah tidak memaksakan pembangunan PLTN, tetapi mengalihkan investasi yang ada pada pengembangan sumber-sumber energi terbarukan (energi air, energi surya, energi angin, panas bumi/geothermal) yang tidak hanya ramah lingkungan, tapi juga terjangkau secara finansial dan dapat diandalkan untuk jangka panjang.
"Kami mengajak segenap lapisan masyarakat untuk peduli serta proaktif melakukan kontrol atas kebijakan agar Kalbar dijauhkan dari (bencana) energi nuklir," kata Hendrikus Adam.
Kalbar memiliki sekitar 24.112 ton uranium yang tersebar di Kabupaten Melawi. Sekitar 910 ton di antaranya yang sudah terukur.
Lokasi utama berada di Desa Kalan, Kecamatan Ella Hilir. Potensi uranium lainnya juga diperkirakan berada di Kabupaten Sanggau dan Landak dengan jumlah yang lebih sedikit.
Jumlah uranium sebanyak itu diperkirakan mampu untuk PLTN selama 150 tahun dengan kapasitas 1.000 Mega Watt.(ant/waa)
Sumber: http://www.erabaru.net/daerah/117-kalimantan/25646-walhi-tolak-pltn-kalbar
Walhi Kampanye Antinuklir
Rabu, 27 April 2011 , 10:48:00
PONTIANAK – Belasan aktivis Wahana Lingkungan Hidup Kalbar kemarin (26/4) sore turun ke jalan mengkampanyekan penolakan penggunaan energi nuklir. Unjuk rasa berjalan damai. Aksi ini dipusatkan di Bundaran Universitas Tanjungpura. Para aktivis membagikan seribu lembar tulisan berjudul “Jauhkan Kalbar dari (Bencana) Energi Nuklir”.Koordinator Aksi Hendrikus Adam mengatakan tujuan Walhi ini adalah mengingatkan kepada Pemerintah Kalbar agar menjauhkan diri dari ide pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir. “Jangan sampai ada PLTN di Kalbar. Sudah banyak contoh soal dampak negatif dari nuklir, terutama bencana kemanusiaan,” ujarnya.
Wacana pembangunan PLTN Kalbar memang sayup-sayup terdengar setelah baru-baru ini ditemukan lokasi uranium di Melawi. Apalagi Kalbar cukup aman dari penyebab kerusakan reactor macam gempa dan tsunami. Namun kata Hendrikus, tidak ada jaminan keamanan untuk teknologi nuklir di negeri ini.
Radiasi nuklir di Fukushima, Jepang telah membuat gempar dunia akhir-akhir ini. “Kita lihat Ukraina tahun 1986 (bagian Uni Soviet dulu), dan Jepang baru-baru ini. Negara-negara yang sangat maju tapi tidak mampu mengatasi kebocoran reaktor nuklir. Tapi terlepas dari gempa dan tsunami, informasi kami reaktor Jepang sudah lebih delapan kali bocor,” jelasnya.
Menurut Hendrikus, Kalbar punya sumber-sumber energi terbarukan yang melimpah. Ia lalu mencontohkan penggunaan sel surya, bioenergi dari tumbuhan dan hewan, tenaga air dan angin. Menanggapi isu PLTN di daerah lain, pria ini juga tegas menolak. “Lalu untuk apa ada nuklir? Untuk kepentingan siapa? Jangan-jangan untuk kepentingan segelintir elit saja,” kata Hendrikus kesal.
Selain di Pontianak, kegiatan ini juga dilakukan oleh Walhi pusat dan daerah-daerah lain. Tidak hanya unjuk rasa. Walhi juga mengirim surat ke Presiden SBY dan semua kepala negara se-Asia Tenggara. Isinya meminta supaya rencana pendirian PLTN segera dihentikan.Aksi ini bertepatan dengan peringatan ke-25 tahun bencana nuklir di Chernobyl, Ukraina Uni Soviet. Peristiwa Chernobyl, adalah kecelakaan reaktor nuklir terburuk dalam sejarah. Pada tanggal 26 April 1986 salah satu rektor nuklir di Chernobyl meledak. Akibatnya, kebakaran hebat terjadi dan efek radioaktif pun menyebar. Puluhan ribu penduduk terpaksa diungsikan dari kota ini. (ars)
Sumber: http://www.pontianakpost.com/index.php?mib=berita.detail&id=90428
PONTIANAK – Belasan aktivis Wahana Lingkungan Hidup Kalbar kemarin (26/4) sore turun ke jalan mengkampanyekan penolakan penggunaan energi nuklir. Unjuk rasa berjalan damai. Aksi ini dipusatkan di Bundaran Universitas Tanjungpura. Para aktivis membagikan seribu lembar tulisan berjudul “Jauhkan Kalbar dari (Bencana) Energi Nuklir”.Koordinator Aksi Hendrikus Adam mengatakan tujuan Walhi ini adalah mengingatkan kepada Pemerintah Kalbar agar menjauhkan diri dari ide pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir. “Jangan sampai ada PLTN di Kalbar. Sudah banyak contoh soal dampak negatif dari nuklir, terutama bencana kemanusiaan,” ujarnya.
Wacana pembangunan PLTN Kalbar memang sayup-sayup terdengar setelah baru-baru ini ditemukan lokasi uranium di Melawi. Apalagi Kalbar cukup aman dari penyebab kerusakan reactor macam gempa dan tsunami. Namun kata Hendrikus, tidak ada jaminan keamanan untuk teknologi nuklir di negeri ini.
Radiasi nuklir di Fukushima, Jepang telah membuat gempar dunia akhir-akhir ini. “Kita lihat Ukraina tahun 1986 (bagian Uni Soviet dulu), dan Jepang baru-baru ini. Negara-negara yang sangat maju tapi tidak mampu mengatasi kebocoran reaktor nuklir. Tapi terlepas dari gempa dan tsunami, informasi kami reaktor Jepang sudah lebih delapan kali bocor,” jelasnya.
Menurut Hendrikus, Kalbar punya sumber-sumber energi terbarukan yang melimpah. Ia lalu mencontohkan penggunaan sel surya, bioenergi dari tumbuhan dan hewan, tenaga air dan angin. Menanggapi isu PLTN di daerah lain, pria ini juga tegas menolak. “Lalu untuk apa ada nuklir? Untuk kepentingan siapa? Jangan-jangan untuk kepentingan segelintir elit saja,” kata Hendrikus kesal.
Selain di Pontianak, kegiatan ini juga dilakukan oleh Walhi pusat dan daerah-daerah lain. Tidak hanya unjuk rasa. Walhi juga mengirim surat ke Presiden SBY dan semua kepala negara se-Asia Tenggara. Isinya meminta supaya rencana pendirian PLTN segera dihentikan.Aksi ini bertepatan dengan peringatan ke-25 tahun bencana nuklir di Chernobyl, Ukraina Uni Soviet. Peristiwa Chernobyl, adalah kecelakaan reaktor nuklir terburuk dalam sejarah. Pada tanggal 26 April 1986 salah satu rektor nuklir di Chernobyl meledak. Akibatnya, kebakaran hebat terjadi dan efek radioaktif pun menyebar. Puluhan ribu penduduk terpaksa diungsikan dari kota ini. (ars)
Sumber: http://www.pontianakpost.com/index.php?mib=berita.detail&id=90428
Selasa, 26 April 2011
Chernobyl Day Ingatkan Bahaya Nuklir
Bencana Chernobyl membawa korban 7 juta orang terpapar radiasi. Masih banyak energi alternatif belum digali.
VHRmedia, Pontianak -Wahana Lingkungan Hidup Kalimantan Barat memperingati bencana kebocoran reaktor nuklir Chernobyl atau Chernobyl Days. Mereka mengelar aksi dan membagikan 1.000 pamflet peringatan bahaya nuklir di bundaran Universitas Tanjungpura, Pontianak, Selasa (26/4).
Bencana Chernobyl terjadi pada 25 April 1986 di Ukraina, dulu Uni Soviet. Sekitar 7 juta orang menjadi korban dan terpapar radiasi. Berbagai bencana nuklir di seluruh dunia mengingatkan pada rentannya pemakaian nuklir sebagai energi listrik.
“Aksi ini merupakan rangkaian dari aksi yang dilakukan secara nasional,” kata Kepala Divisi Kampanye Walhi Kalbar Hendrikus Adam.
Walhi mendesak Presiden dan pihak terkait menghentikan rencana pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir. Walhi juga mengimbau Pemda Kalbar tidak memberikan ruang dengan menghentikan rencana pengembangan energi nuklir di Kalbar.
Selama ini energi alternatif belum digali maksimal. Misalnya energi angin, air, surya, dan panas bumi. “Pemerintah bisa memaksimalkan energi terbarukan,” kata Hendrikus.
Selain aksi peringatan bencana Chernobyl, Walhi juga mengirimkan surat terbuka kepada presiden Indonesia, Filipina dan Thailand. Sebab, tiga negara itu mempunyai rencana mengembangkan PLTN. (E4)
Foto: VHRmedia / Muhlis Suhaeri
Sumber: http://www.vhrmedia.com/2010/detail.php?.e=2349
Senin, 25 April 2011
Pemerintah Tak Tegas pada Pembakar Lahan
Tak ada tindakan tegas terhadap pembakar hutan dan lahan di Kalbar. Pembakaran lahan sawit telah masuk perkebunan warga.
VHRmedia, Pontianak -Pemerintah tidak tegas menangani berbagai kasus kabut asap di Kalimantan Barat. Tidak ada tindakan tegas terhadap para pembakar hutan dan lahan, khususnya di sekitar perkebunan kelapa sawit.
Hal itu dikatakan Hendrikus Adam, Kepala Divisi Kampanye Wahana Lingkungan Hidup (Walhi)Kalimantan Barat. Menurut dia, kebakaran lahan perkebunan sawit kini bahkan masuk ke perkebunan karet warga di sekitar perkebunan.
Adam memberikan beberapa contoh kebakaran di hot spot atau titik api. Seperti terjadi di areal perkebunan sawit di Kabupaten Kubu Raya, Kabupaten Sekadau, dan di Kabupaten Pontianak. Bahkan kebakaran lahan sawit di Sekadau telah masuk hingga ke perkebunan karet produktif warga. “Di ketiga tempat ini telah nyata-nyata terjadi kebakaran,” katanya.
Menurut Adam, kebakaran lahan di perkebunan sawit bukti lemahnya pemerintah mengantisipasi dan menangani permasalahan. Penanganan kebakaran lahan hanya reaktif. Lemahnya penegakan hukum terhadap pelaku pembakaran lahan di areal konsesi perkebunan sawit menunjukkan tidak berjalannyaperan negara. “Ini juga bukti masih lemahnya komitmen perusahaan,” kata Adam. (E4)
Foto: VHRmedia / Muhlis Suhaeri
Sumber: http://m.vhrmedia.com/detailmobile.php?.e=2224
VHRmedia, Pontianak -Pemerintah tidak tegas menangani berbagai kasus kabut asap di Kalimantan Barat. Tidak ada tindakan tegas terhadap para pembakar hutan dan lahan, khususnya di sekitar perkebunan kelapa sawit.
Hal itu dikatakan Hendrikus Adam, Kepala Divisi Kampanye Wahana Lingkungan Hidup (Walhi)Kalimantan Barat. Menurut dia, kebakaran lahan perkebunan sawit kini bahkan masuk ke perkebunan karet warga di sekitar perkebunan.
Adam memberikan beberapa contoh kebakaran di hot spot atau titik api. Seperti terjadi di areal perkebunan sawit di Kabupaten Kubu Raya, Kabupaten Sekadau, dan di Kabupaten Pontianak. Bahkan kebakaran lahan sawit di Sekadau telah masuk hingga ke perkebunan karet produktif warga. “Di ketiga tempat ini telah nyata-nyata terjadi kebakaran,” katanya.
Menurut Adam, kebakaran lahan di perkebunan sawit bukti lemahnya pemerintah mengantisipasi dan menangani permasalahan. Penanganan kebakaran lahan hanya reaktif. Lemahnya penegakan hukum terhadap pelaku pembakaran lahan di areal konsesi perkebunan sawit menunjukkan tidak berjalannyaperan negara. “Ini juga bukti masih lemahnya komitmen perusahaan,” kata Adam. (E4)
Foto: VHRmedia / Muhlis Suhaeri
Sumber: http://m.vhrmedia.com/detailmobile.php?.e=2224
Hidup Dengan Kapuas Yang Penuh Ancaman
Senin, 25 April 2011
Berita DAerah-alimantan) Kalimantan Barat boleh berbangga memiliki salah satu keajaiban alam berupa Sungai Kapuas yang juga sungai terpanjang di Indonesia.
Panjangnya mencapai 1.086 kilometer, melewati tujuh kabupaten dan kota mulai dari Kapuas Hulu dan bermuara di Kabupaten Pontianak-Kabupaten Kubu Raya.
Daerah aliran sungai (DAS) Kapuas mencakup kawasan dengan luas lebih dari 10 juta hektare.
"Sedikitnya ada 1,7 juta jiwa penduduk Kalbar yang hidupnya bergantung pada keberlanjutan DAS Kapuas," kata Kepala Divisi Riset dan Kampanye Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalbar, Hendrikus Adam.
Dapat dibayangkan betapa banyaknya jiwa penduduk di Kalbar yang terkena dampak langsung maupun tidak kalau DAS Kapuas terganggu dan tercemar. Dan kondisi itu yang sepertinya terjadi.
Hendrikus Adam mengatakan, kualitas air di Sungai Kapuas kian menurun akibat tingginya pencemaran secara kimiawi dan biologis.
"Sungai Kapuas tidak hanya tercemar oleh zat kimia merkuri, tetapi juga oleh limbah pabrik, rumah tangga, bakteri ecoli dan pestisida dari perkebunan," kata dia.
DAS Kapuas tergolong agak kritis dengan luas mencapai 4,24 juta hektare dan yang berpotensi kritis 2,89 juta hektare (data 2009).
DAS Kapuas memiliki kekhususan tersendiri serta menjadi muara dari 9 sub-DAS yakni Kapuas Hulu, Sentarum, Silat/Manday, Melawi (Melawi-Sintang), Ketungau (Kabupaten Sintang), Sekayam, Sekadau, Landak, Mendawak (Kabupaten Pontianak, Sanggau, Ketapang).
Selama ini pemanfaatan kawasan sungai/DAS untuk sumber air bersih dan mandi cuci kakus (MCK), sarana transportasi, sumber penghidupan (pengairan pertanian, budidaya dan menangkap ikan bagi nelayan) serta sarana sosial, budaya dan bahkan religi bagi warga.
Pemantauan Terbatas
Sementara itu, Ketua Badan Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Kalbar, Darmawan mengakui, pantauan terhadap kualitas air Sungai Kapuas masih kurang memadai karena terbatasnya anggaran.
"Anggaran yang terbatas membuat lokasi pengambilan kualitas masih jauh dari angka ideal," kata Darmawan beberapa waktu lalu.
Menurut dia, Sungai Kapuas dengan panjang 1.086 kilometer idealnya mempunyai lokasi pengambilan sampel air sebanyak 720 tempat. Pertimbangannya, jarak antarlokasi sekitar 1,5 kilometer. Biaya yang dibutuhkan diperkirakan Rp1,8 miliar dengan rentang waktu pengambilan contoh air sebanyak enam kali dalam setahun.
Namun, lanjut dia, saat ini pihaknya hanya mampu mengambil contoh air di 30 titik. "Dengan jarak antarlokasi sekitar 35 kilometer," kata Darmawan.
Meski jumlah lokasi pengambilan contoh air belum ideal, namun Darmawan menyatakan bahwa hasil penelitian terhadap kualitas Sungai Kapuas sudah akurat.
Ia menegaskan, secara umum kualitas air Sungai Kapuas dalam kondisi baik.
Ia melanjutkan, kalau pun terjadi peningkatan kadar merkuri, umumnya saat musim penghujan dengan jumlah yang tidak melebihi kadar yang berbahaya.
Ia menjelaskan, meningkatnya kadar merkuri di musim penghujan karena zat tersebut massa jenisnya lebih berat dari air. "Ketika hujan, air yang mengalir lebih deras di sungai sehingga mendorong merkuri naik ke permukaan," katanya.
Sedangkan untuk pencemaran, ia memperkirakan kondisi Sungai Landak yang bermuara di Sungai Kapuas, cukup parah.
Pencemaran terutama berasal dari maraknya penambangan emas tanpa izin yang ada di sekitar daerah aliran sungai Landak tersebut.
Ancaman Emas
Maraknya penambangan emas tanpa izin di Kalbar yang umumnya berada di tepian sungai kini menjadi ancaman tambahan bagi pengguna air DAS Kapuas.
Data Dinas Pertambangan dan Energi Kalbar, hingga Juli 2009 ada 351 izin perusahaan dengan total areal 2.150.171 hektare; 93 izin dengan total 523.155 hektare sudah mengeksploitasi.
Terdapat pula 267 titik PETI (Penambangan Emas Tanpa Izin) di Kalbar dengan luas lahan 6.613 hektare.
Di Tahun 2003, Fakultas MIPA Universitas Tanjungpura Pontianak dan Program Pemberdayaan Sumber Daya Alam Kerakyatan (PPSDAK), lembaga anggota Walhi Kalbar untuk Balai Riset dan Standarisasi Industri dan Perdagangan melakukan penelitian pada tiga kelompok masyarakat.
Yakni pekerja tambang (Sungai Ayak, Sungai Sekayam, Sungai Tayan, Nanga Sepauk, dan Sungai Mandor), warga sekitar tambang dan warga pengguna PDAM. Hasilnya, Sungai Kapuas telah tercemar zat kimia merkuri.
Hal itu terlihat pada pengguna PDAM dengan rata-rata kadar merkuri di kuku adalah 2,80 mg (mikro gram)/g (gram) dengan kadar merkuri tertinggi 27,01 mg/g. Sedangkan rata-rata merkuri pada rambut adalah 1,30 mg/g.
Kadar merkuri pada rambut tertinggi sebesar 8,15 mg/g. Sebanyak 18 persen sampel penambang (11 sampel dari 60 sampel), 6 persen penduduk (3 sampel dari 50 sampel), dan 5 persen pengguna PDAM (2 sampel dari 40 sampel) mempunyai kandungan merkuri 6,0 mikrogram/g.
Hendrikus Adam menambahkan, sementara penelitian Lasmi Yulistiana (2010), mahasiswa pascasarjana Institut Pertanian Bogor, bahwa air Kapuas di Kota Pontianak sudah tercemar dengan indikasi konsentrasi polutan yang tinggi, seperti parameter fisika, kimia dan biologi.
Untuk fisika, menunjukan konsentrasi rata-rata TDS (Total Dissolved Solid/ zat padat terlarut) sebesar 1.223 mg (miligram)/I (liter) dan TSS (Toxic Shock Syndrome) sebesar 250mg/L di muara Jungkat.
Sedangkan untuk parameter kimia menunjukan konsentrasi tinggi dan telah melewati baku mutu air kelas I, II, III dan IV yaitu PP no 82 tahun 2001 yang diindikasikan melalui adanya indikator dimana Sungai Kapuas telah tercemar oleh hg (Merkuri).
Hendrikus Adam melanjutkan, kondisi itu menunjukkan bahwa Sungai Kapuas sebenarnya sudah tidak memenuhi syarat untuk digunakan sebagai air baku minum.
"Sungai Kapuas hanya memenuhi syarat untuk digunakan bagi keperluan irigasi dan keperluan lain karena pencemaran air sangat berdampak pada kesehatan dan biota air yang ada di dalamnya," kata Hendrikus Adam.
Ia mengungkapkan, ada dua komponen, biologi dan non biologis, yang masuk dan dimasukkan ke dalam badan air Sungai Kapuas sehingga kualitas menurun dan tidak sesuai dengan peruntukkannya.
Komponen non biologis dapat berupa pupuk, sampah, minyak, bahan radioaktif, senyawa anorganik dan mineral, termasuk logam-logam berat serta komponen organik sintetik seperti residu pestisida dan deterjen.
Sementara komponen biologis seperti mikroba, khususnya mikroba yang bersifat merugikan manusia dan makhluk hidup lainnya, seperti bakteri patogen dan bakteri pencemar.
Sebelum Terlambat
Hendrikus Adam mengatakan, masih ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk menekan pencemaran di sungai yang luasnya 68,39 persen dari total luas Provinsi Kalbar itu.
Di antaranya, peningkatan pengendalian terhadap eksploitasi serta rehabilitasi hutan dan lahan, konsistensi terhadap tata ruang, meningkatkan kesadaran masyarakat dalam pengelolaan sumber daya air yang lestari.
Selain itu, peningkatan kedisiplinan pemenuhan ketentuan penambangan pasir yang ramah lingkungan, penegakan hukum terhadap penambangan emas tanpa izin, menertibkan pengelolaan daerah sempadan sungai termasuk penertiban bangunan liar.
Kemudian pemberian penghargaan maupun hukuman terhadap lembaga usaha atau pemerintah dalam upaya menjaga mutu air, peningkatan SDM baik internal maupun eksternal, koordinasi seluruh pemangku kepentingan, menyamakan persepsi tentang konservasi sumber daya air, penguatan kelembagaan forum daerah aliran sungai, serta penambahan program muatan lokal tentang lingkungan hidup pada kurikulum sekolah.
"Isu lingkungan harus menjadi pola pikir bersama segenap pihak dan bukan hanya dibicarakan oleh pegiat lingkungan dan atau guru IPA saja," kata dia.
Dibutuhkan pula advokasi yang mengarahkan konsistensi kebijakan dan penataan ruang untuk mengendalikan model global pembangunan yang cenderung eksploitatif dan destruktif.
"Kedepankan aspek pembangunan jangka panjang," katanya.
Ia mengimbau, agar diperkuat akses dan kontrol warga atas sumber daya air dengan menghargai kearifan lokal.
(ma/MA/bd-ant)
Sumber: http://beritadaerah.com/artikel/kalimantan/38292
Berita DAerah-alimantan) Kalimantan Barat boleh berbangga memiliki salah satu keajaiban alam berupa Sungai Kapuas yang juga sungai terpanjang di Indonesia.
Panjangnya mencapai 1.086 kilometer, melewati tujuh kabupaten dan kota mulai dari Kapuas Hulu dan bermuara di Kabupaten Pontianak-Kabupaten Kubu Raya.
Daerah aliran sungai (DAS) Kapuas mencakup kawasan dengan luas lebih dari 10 juta hektare.
"Sedikitnya ada 1,7 juta jiwa penduduk Kalbar yang hidupnya bergantung pada keberlanjutan DAS Kapuas," kata Kepala Divisi Riset dan Kampanye Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalbar, Hendrikus Adam.
Dapat dibayangkan betapa banyaknya jiwa penduduk di Kalbar yang terkena dampak langsung maupun tidak kalau DAS Kapuas terganggu dan tercemar. Dan kondisi itu yang sepertinya terjadi.
Hendrikus Adam mengatakan, kualitas air di Sungai Kapuas kian menurun akibat tingginya pencemaran secara kimiawi dan biologis.
"Sungai Kapuas tidak hanya tercemar oleh zat kimia merkuri, tetapi juga oleh limbah pabrik, rumah tangga, bakteri ecoli dan pestisida dari perkebunan," kata dia.
DAS Kapuas tergolong agak kritis dengan luas mencapai 4,24 juta hektare dan yang berpotensi kritis 2,89 juta hektare (data 2009).
DAS Kapuas memiliki kekhususan tersendiri serta menjadi muara dari 9 sub-DAS yakni Kapuas Hulu, Sentarum, Silat/Manday, Melawi (Melawi-Sintang), Ketungau (Kabupaten Sintang), Sekayam, Sekadau, Landak, Mendawak (Kabupaten Pontianak, Sanggau, Ketapang).
Selama ini pemanfaatan kawasan sungai/DAS untuk sumber air bersih dan mandi cuci kakus (MCK), sarana transportasi, sumber penghidupan (pengairan pertanian, budidaya dan menangkap ikan bagi nelayan) serta sarana sosial, budaya dan bahkan religi bagi warga.
Pemantauan Terbatas
Sementara itu, Ketua Badan Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Kalbar, Darmawan mengakui, pantauan terhadap kualitas air Sungai Kapuas masih kurang memadai karena terbatasnya anggaran.
"Anggaran yang terbatas membuat lokasi pengambilan kualitas masih jauh dari angka ideal," kata Darmawan beberapa waktu lalu.
Menurut dia, Sungai Kapuas dengan panjang 1.086 kilometer idealnya mempunyai lokasi pengambilan sampel air sebanyak 720 tempat. Pertimbangannya, jarak antarlokasi sekitar 1,5 kilometer. Biaya yang dibutuhkan diperkirakan Rp1,8 miliar dengan rentang waktu pengambilan contoh air sebanyak enam kali dalam setahun.
Namun, lanjut dia, saat ini pihaknya hanya mampu mengambil contoh air di 30 titik. "Dengan jarak antarlokasi sekitar 35 kilometer," kata Darmawan.
Meski jumlah lokasi pengambilan contoh air belum ideal, namun Darmawan menyatakan bahwa hasil penelitian terhadap kualitas Sungai Kapuas sudah akurat.
Ia menegaskan, secara umum kualitas air Sungai Kapuas dalam kondisi baik.
Ia melanjutkan, kalau pun terjadi peningkatan kadar merkuri, umumnya saat musim penghujan dengan jumlah yang tidak melebihi kadar yang berbahaya.
Ia menjelaskan, meningkatnya kadar merkuri di musim penghujan karena zat tersebut massa jenisnya lebih berat dari air. "Ketika hujan, air yang mengalir lebih deras di sungai sehingga mendorong merkuri naik ke permukaan," katanya.
Sedangkan untuk pencemaran, ia memperkirakan kondisi Sungai Landak yang bermuara di Sungai Kapuas, cukup parah.
Pencemaran terutama berasal dari maraknya penambangan emas tanpa izin yang ada di sekitar daerah aliran sungai Landak tersebut.
Ancaman Emas
Maraknya penambangan emas tanpa izin di Kalbar yang umumnya berada di tepian sungai kini menjadi ancaman tambahan bagi pengguna air DAS Kapuas.
Data Dinas Pertambangan dan Energi Kalbar, hingga Juli 2009 ada 351 izin perusahaan dengan total areal 2.150.171 hektare; 93 izin dengan total 523.155 hektare sudah mengeksploitasi.
Terdapat pula 267 titik PETI (Penambangan Emas Tanpa Izin) di Kalbar dengan luas lahan 6.613 hektare.
Di Tahun 2003, Fakultas MIPA Universitas Tanjungpura Pontianak dan Program Pemberdayaan Sumber Daya Alam Kerakyatan (PPSDAK), lembaga anggota Walhi Kalbar untuk Balai Riset dan Standarisasi Industri dan Perdagangan melakukan penelitian pada tiga kelompok masyarakat.
Yakni pekerja tambang (Sungai Ayak, Sungai Sekayam, Sungai Tayan, Nanga Sepauk, dan Sungai Mandor), warga sekitar tambang dan warga pengguna PDAM. Hasilnya, Sungai Kapuas telah tercemar zat kimia merkuri.
Hal itu terlihat pada pengguna PDAM dengan rata-rata kadar merkuri di kuku adalah 2,80 mg (mikro gram)/g (gram) dengan kadar merkuri tertinggi 27,01 mg/g. Sedangkan rata-rata merkuri pada rambut adalah 1,30 mg/g.
Kadar merkuri pada rambut tertinggi sebesar 8,15 mg/g. Sebanyak 18 persen sampel penambang (11 sampel dari 60 sampel), 6 persen penduduk (3 sampel dari 50 sampel), dan 5 persen pengguna PDAM (2 sampel dari 40 sampel) mempunyai kandungan merkuri 6,0 mikrogram/g.
Hendrikus Adam menambahkan, sementara penelitian Lasmi Yulistiana (2010), mahasiswa pascasarjana Institut Pertanian Bogor, bahwa air Kapuas di Kota Pontianak sudah tercemar dengan indikasi konsentrasi polutan yang tinggi, seperti parameter fisika, kimia dan biologi.
Untuk fisika, menunjukan konsentrasi rata-rata TDS (Total Dissolved Solid/ zat padat terlarut) sebesar 1.223 mg (miligram)/I (liter) dan TSS (Toxic Shock Syndrome) sebesar 250mg/L di muara Jungkat.
Sedangkan untuk parameter kimia menunjukan konsentrasi tinggi dan telah melewati baku mutu air kelas I, II, III dan IV yaitu PP no 82 tahun 2001 yang diindikasikan melalui adanya indikator dimana Sungai Kapuas telah tercemar oleh hg (Merkuri).
Hendrikus Adam melanjutkan, kondisi itu menunjukkan bahwa Sungai Kapuas sebenarnya sudah tidak memenuhi syarat untuk digunakan sebagai air baku minum.
"Sungai Kapuas hanya memenuhi syarat untuk digunakan bagi keperluan irigasi dan keperluan lain karena pencemaran air sangat berdampak pada kesehatan dan biota air yang ada di dalamnya," kata Hendrikus Adam.
Ia mengungkapkan, ada dua komponen, biologi dan non biologis, yang masuk dan dimasukkan ke dalam badan air Sungai Kapuas sehingga kualitas menurun dan tidak sesuai dengan peruntukkannya.
Komponen non biologis dapat berupa pupuk, sampah, minyak, bahan radioaktif, senyawa anorganik dan mineral, termasuk logam-logam berat serta komponen organik sintetik seperti residu pestisida dan deterjen.
Sementara komponen biologis seperti mikroba, khususnya mikroba yang bersifat merugikan manusia dan makhluk hidup lainnya, seperti bakteri patogen dan bakteri pencemar.
Sebelum Terlambat
Hendrikus Adam mengatakan, masih ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk menekan pencemaran di sungai yang luasnya 68,39 persen dari total luas Provinsi Kalbar itu.
Di antaranya, peningkatan pengendalian terhadap eksploitasi serta rehabilitasi hutan dan lahan, konsistensi terhadap tata ruang, meningkatkan kesadaran masyarakat dalam pengelolaan sumber daya air yang lestari.
Selain itu, peningkatan kedisiplinan pemenuhan ketentuan penambangan pasir yang ramah lingkungan, penegakan hukum terhadap penambangan emas tanpa izin, menertibkan pengelolaan daerah sempadan sungai termasuk penertiban bangunan liar.
Kemudian pemberian penghargaan maupun hukuman terhadap lembaga usaha atau pemerintah dalam upaya menjaga mutu air, peningkatan SDM baik internal maupun eksternal, koordinasi seluruh pemangku kepentingan, menyamakan persepsi tentang konservasi sumber daya air, penguatan kelembagaan forum daerah aliran sungai, serta penambahan program muatan lokal tentang lingkungan hidup pada kurikulum sekolah.
"Isu lingkungan harus menjadi pola pikir bersama segenap pihak dan bukan hanya dibicarakan oleh pegiat lingkungan dan atau guru IPA saja," kata dia.
Dibutuhkan pula advokasi yang mengarahkan konsistensi kebijakan dan penataan ruang untuk mengendalikan model global pembangunan yang cenderung eksploitatif dan destruktif.
"Kedepankan aspek pembangunan jangka panjang," katanya.
Ia mengimbau, agar diperkuat akses dan kontrol warga atas sumber daya air dengan menghargai kearifan lokal.
(ma/MA/bd-ant)
Sumber: http://beritadaerah.com/artikel/kalimantan/38292
Langganan:
Postingan (Atom)