Rabu, 02 Februari 2011 12:43
Ditulis oleh WALHI Kalbar
[Seorang warga mengambil jamur yang tumbuh di pohon akasia HTI PT. Finnantara Intiga (Doc. WALHI Kalbar)]
“Mas adam, tolong kami, kami sudah habis harta benda kami sudah jual tanah, jual lahan karet, jual petak sawah, jual mesin disel, jual kalung istri, mau noreh hujan tiap hari , kerja lain tak ada, sekarang kami sudah habis biaya turun. Kami harus biaya dari mana kami sekarang harus makan nasi campur singkong dengan anak istri tiap hari senen harus turun wajib lapor kami tdak tau apa yang harus kami perbuat selain saya berdoa kepada Tuhan” (Yunus, Warga Sejirak )
Penangkapan yang merupakan bentuk kriminalisasi terhadap masyarakat adat (MA) seringkali terjadi dan dapat ditemui dalam sejumlah kasus konflik atas ”pemanfaatan dan pengelolaan” sumber daya alam. Akhir-akhir ini fenomena tersebut kerap menimpa warga yang disertai dengan terabaikannya hak-haknya.
Terjadinya kriminalisasi adalah bukti masih rentannya Masyarakat Adat yang mengandalkan hidup dan kehidupannya dari SDA terhadap perlakuan yang tidak memenuhi rasa keadilan dan kemanusiaan. Fakta bahwa warga yang dengan sadar berjuang justru ingin menjaga dan mempertahankan hutan-tanah-airnya yang merupakan bagian dari mata rantai kehidupannya untuk memenuhi sumber gizi dalam bentuk protein, vitamin, maupun karbohidrat dan kandungan gizi dari bahan pangan lainnya seringkali dihadapkan pada kondisi lain.
Kasus yang menimpa warga kampung Sejirak, Kecamatan Ketungau Hulu, Kabupaten Sintang yang berjuang untuk mempertahankan hidupnya (berladang) di kawasan yang secara de fakto adalah wilayah kelola masyarakat setempat adalah sebuah fenomena yang memiriskan bagi eksistensi diri sebagai bagian dari komunitas warga kita (Masyarakat Adat) yang umumnya tinggal dan mengandalkan hidup dan kehidupan dari hutan-tanah-air sebagai sumber pangan masyarakat.
Dalam kasus ini sebanyak 15 orang warga Sejirak yang dilaporkan (pada tanggal 17 Juli 2010) managemen PT. Finnantara Intiga karena berladang. Warga menghadap pihak kepolisian tanggal 12 Agustus 2010. Atas laporan tersebut 13 warga yang divonis bersalah oleh pihak Kepolisian kemudian ditahan sejak tanggal 13 Agustus 2010. Tanggal 25 Agustus 2010 warga ditangguhkan, namun kemudian wajib lapor hingga saat ini.
Keterbatasan kawasan bagi warga mengembangkan pertanian karena sebagian besar yakni sekitar 90% wilayah kelola masyarakat Sejirak telah beralih menjadi kawasan HTI milik PT. Finnantara Intiga dengan jenis tanaman akasia adalah kenyataan yang dihadapi warga saat ini. Sementara sekitar 10% wilayah kelola lainnya adalah pemukiman dan kawasan pengembangan ekonomi warga. Krisis pangan sebenarnya telah dialami warga. Dengan kondisi demikian, krisis pangan yang dialami warga akan terus berlanjut. Bahkan Marjuni memperkirakan di tahun 2011 ancaman kelaparan dan kemiskinan akan sangat tinggi kedepan .
Ketersediaan sumber pangan merupakan hal vital dan fundamental atas kebebasan dari kelaparan dan kurang gizi karena bagian dari hak dasar manusia. Hak Asasi Manusia atas bahan pangan yang layak mempunyai arti penting yang krusial untuk pemenuhan dari semua hak asasi .
Kian menyempitnya pemukiman dan kawasan kelola masyarakat sebagai akibat dari peralihan atas potensi sumber daya alam (hutan-tanah-air) ke kawasan konsesi HTI adalah persoalan ekologi penting yang turut mempengaruhi akses warga terhadap kondisi lingkungan yang baik. Dengan fakta perimbangan wilayah kelola konsesi HTI yang sangat luas dari pada wilayah pemukiman warga, menunjukkan ketidakseimbangan yang turut berpengaruh langsung terhadap kondisi ekologi dan sosial masyarakat. Kondisi demikian menunjukkan bahwa telah terjadi upaya penghancuran atas sumbe rhidup dan kehidupan warga. Penghancuran atas sumber hidup merupakan penghancuran terhadap hak warga atas sumber pangan.
Disamping persoalan lingkungan dan penyempitan kawasan kelola pertanian-sumber pangan, dari fakta lapangan dari catatan penelusuran Walhi Kalbar bahwa pihak managemen perusahaan juga dianggap telah menutup diri (tidak terbuka kepada masyarakat), ketidakkonsistenan terhadap kesepakatan awal dalam menyelesaikan persoalan, tidak terawatnya kawasan konsesi, tidak berlakunya lagi pola reward kepada mamsyarakat .
Persoalan hukum yang sedang berlangsung saat ini hanyalah fenomena gunung es yang tampak dari luar sebagai dampak dari tindakan berladang warga yang dinilai salah. Tetapi persoalan mendasar yang melatarbelakangi terjadinya tindakan warga harusnya menjadi perhatian. Sehingga dengan demikian penyelesaian dan penuntasan kasus hukum hendaknya sampai pada proses penuntasan akar persoalan yang dihadapi warga Sejirak.
”Kami menyayangkan sikap perusahaan. Pencabutan laporan yang dilakukan oleh pihak perusahan padahal berkasnya telah dilimpahkan kepihak Pengadilan Negeri sebagaimana diberitakan bukanlah sebagai bentuk dari niat baik perusahaan karena seharusnya hal tersebut telah dilakukan jauh hari sebelum; waktu, tenaga, pikiran serta biaya warga terkuras. Sementara saat ini warga telah berkorban baik materil maupun kondisi psikis karena trauma dengan kondisi yang dialami. Yang paling mendasar, hak warga atas pangan yang merupakan bagian dari hak dasar sebagai manusia terancam. Bahkan sadar atau tidak, kondisi pangan yang kritis itu sedang dialami warga saat ini dengan fakta ketika warga tidak dapat lagi maksimal menyuplai sendiri sumber pangan. Dalam hal ini negara harus bertanggungjawab,” jelas Hendrikus Adam, Kadiv Riset dan Kampanye Walhi Kalbar.
Dengan kasus yang dialami warga Sejirak ini, maka Walhi Kalimantan Barat meminta kepada berbagai pihak terkait untuk;
1. Menghentikan kriminalisasi dan proses hukum yang dialami terhadap Masyarakat Adat khususnya warga Sejirak dengan memberi rasa keadilan bagi warga.
2. Agar pihak terkait sesuai kewenangannya (Komnas HAM, Pemerintah Pusat, Pemerintah Kabupaten Sintang, Legislatif, Pengadilan Negeri, Aparat Penegak Hukum) dapat melakukan langkah-langkah penyelesaian kasus hingga ke akar persoalan.
3. Mencabut izin konsesi PT. Finnantara Intiga (Sinar Mas Group) yang terbukti melakukan pelanggaran HAM.
4. Menghentikan konversi hutan alam untuk kebun kayu (HTI).
5. Mendorong agar DPRD sesuai tupoksinya memberikan perlindungan maksimal kepada masyarakat.
6. Agar multipihak terkait sesuai tupoksinya mendorong pemulihan hak warga atas sumber pangan yang layak (merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia) serta mendorong pemulihan akses warga atas lingkungan baik.
Sumber: http://walhi.or.id/id/kampanye-dan-advokasi/tematik/hutan/264-tuntaskan-akar-persoalan-kasus-sejirak-kalbar
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar