Kerusakan lingkungan tahun 2011 diperkirakan naik 70 persen. Konflik masyarakat sekitar hutan dengan perusahaan tambang dan perkebunan akan meruncing.
Hervin Saputra/Angga Haksoro
13 Januari 2011 - 12:52 WIB
VHRmedia, Jakarta - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia memprediksi kerusakan lingkungan tahun 2011 meningkat 70 persen. Sebab, pemerintah belum berhenti memberikan izin pengelolaan hutan untuk usaha pertambangan, perkebunan, dan kayu.
”Pada 2011 masih akan terjadi peningkatan kerusakan lingkungan hidup antara 50 persen sampai 70 persen,” kata Kepala Departemen Advokasi Walhi Mukri Priyatna, Rabu (12/1).
Menurut Mukri, indikasi lain yang menunjukkan potensi meningkatnya kerusakan lingkungan adalah aturan pembuangan limbah yang longgar. Selain itu, pemerintah belum mengeluarkan aturan tentang kajian lingkungan hidup strategis. Banyak pemerintah provinsi dan kabupaten/kota belum memiliki peraturan daerah tentang perubahan tata ruang. Industri dan rumah sakit juga belum memiliki instalasi pengolahan limbah serta pemerintah lamban menangani kasus pencemaran lingkungan.
Walhi memprediksi konflik dan pelanggaran HAM bidang lingkungan akan meningkat di 11 provinsi, yaitu Aceh, Jambi, Riau, Sumatera Selatan, Lampung, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Papua Barat, dan Sulawesi Tengah.
Konflik terjadi karena Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan terus memberi izin pengelolaan hutan. Zulkifli Hasan tidak konsisten mengumumkan jumlah luas hutan yang masih ada. Pada tahun 2007 Menteri Kehutanan menyatakan luas hutan mencapai 127 juta hektare, namun tahun 2010 menyebutkan luas hutan 136 juta hektare. ”Tambahan luas itu lahan siapa? Akan terjadi konflik dengan masyarakat adat. Kekerasan dan pelanggaran HAM akan berlanjut,” ujar Mukri.
Menurut Mukri, korupsi sumber daya alam tahun 2010 mencapai Rp 6,66 triliun. Terjadi 9 kasus korupsi sumber daya alam di Riau, Sumatera Utara, dan Kalimantan Timur.
Negara memperoleh pendapatan Rp 168,7 miliar dari 101 perusahaan ekstaktif hutan. Jumlah itu turun menjadi Rp 78,7 miliar dari 112 perusahaan ekstraktif. Rata-rata satu perusahaan ekstraktif hanya membayar Rp 500 juta. ”Nilainya tidak sebanding dengan apa yang terjadi,” kata Mukri.
Di sisi pelanggaran HAM, Walhi mencatat 79 konflik pengelolaan perkebunan dan kehutanan pada tahun 2010. Di antara konflik tersebut, 7 orang ditembak dan 3 orang tewas. Sebagian konflik itu melibatkan polisi. "Polisi sebagai pengayom harusnya bersifat netral dan tidak mudah mengeluarkan peluru," kata Mukri.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia mengakui meningkatnya kasus pelanggaran HAM dalam konflik sumber daya alam. Komisioner Komnas HAM Nurcholis mengatakan, pemerintah lebih berpihak kepada korporasi ketimbang membela hak masyarakat. Pemerintah kerap melimpahkan tanggung jawab melindungi hak tanah rakyat ke korporasi. ”Lama-lama negara ini dikendalikan swasta,” katanya.
Menurut Nurcholis, korporasi internasional menyebabkan kemiskinan dan penderitaan masyarakat lokal. Indonesia tidak memiliki mekanisme yang dapat menyeret korporasi internasional ke pengadilan pidana internasional jika melanggar HAM di bidang sumber daya alam. ”Belum pernah ada perusahaan besar yang kita bawa ke pengadilan (internasional), terutama kasus pidana.”
Nurcholis pesimistis pemerintah dapat menegakkan HAM untuk urusan sumber daya alam. ”Penegakan HAM untuk sumber daya alam berpotensi gagal,” katanya. (E1)
Sumber: http://www.vhrmedia.com/2010/detail.php?.e=958
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar