Sabtu, 5 Februari 2011 10:24 Endang Kusmiyati
Paska dikenakan wajib lapor atas sengketa melawan perusahaan yang berinvestasi di tanah mereka sendiri, 13 warga Sejirak yang sebelumnya sempat ditahan kepolisian mengeluhkan persoalan hidupnya. Apalagi kini mereka tak lagi memiliki pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Rawan pangan pun kini menghantui kehidupan 13 warga Sejirak yang kini harus terus datang melapor ke Polres Sintang setiap pekan.
“Tolong kami mas Adam. Kami kini sudah tidak punya apa-apa lagi. Berladang pun sudah tak bisa. Saya bahkan sudah menjual harta benda, tanah, sawah dan sebagian perabotan rumah. Bahkan kemarin saya terpaksa menjual kalung istri saya, karena hanya itu yang tersisa. Apakah kami harus makan nasi campur singkong?”
Itulah jeritan Yunus, salah seorang dari 13 orang warga Sejirak yang kini dikenakan wajib lapor oleh pihak Kepolisian Resort Sintang kepada Hendrikus Adam, aktivis Walhi Kalbar yang menemui mereka di kampung Sejirak belum lama ini.
Sebagaimana pemberitaan sebelumnya, ke-13 warga Desa Sejirak tersebut dikenakan wajib lapor sejak Agustus 2010 lalu hingga saat ini, meski pihak pelapor dalam hal ini PT. Finantara telah mencabut laporan. Curhat Yunus tersebut diperlihatkan oleh Adam pada sejumlah wartawan di Sintang. Hendrikus Adam merupakan Kepala Divisi Kampanye Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kalbar yang selama ini mendampingi warga Sejirak.
Ditambahkan Hendrikus bahwa dari 13 orang kepala keluarga yang dikenakan wajib lapor tersebut kini juga sudah putar otak kesana-kemari untuk mencukupi kebutuhan mereka sehari-hari. Belum lagi mereka sudah tak bisa mengusahakan kerja lain, karena satu-satunya kepandaian mereka untuk berladang dan bercocok tanam di lahan warisan juga sudah tak bisa dilakukan. “Hak mereka untuk mendapat penghidupan, hak untuk mendapatkan pangan yang menjadi hak dasar telah dihalangi dengan mencuatnya kasus ini,” tutur Hendrikus.
Ia mengkhawatirkan, jika tak segera tuntas penanganannya dan tak juga dihentikan kewajiban untuk melapor ke Polres Sintang, bisa jadi 13 warga Sejirak itu akan makin terpuruk dilanda rawan pangan.
“Tidak hanya mereka, warga Sejirak lain juga tak diperkenankan mengusahakan ladang untuk kebutuhan makan mereka sehari-hari. Bagaimana mungkin para pihak terkait tega membiarkan hal ini terjadi,” ujarnya.
Khusus 13 orang warga yang dikenakan wajib lapor dalam beberapa bulan terakhir menurutnya memang sangat keberatan dan keteteran mencari biaya untuk turun ke Sintang. Untuk pergi dari Sejirak di Ketungau Hilir ke Sintang, setidaknya setiap orang mesti menyiapkan uang minimal Rp 150 ribu sekali berangkat. Angka itu menurut Adam adalah angka yang tidak sedikit buat warga Sejirak yang kini tak lagi punya pekerjaan. Atas dasar keprihatinan tersebut, WALHI menyusun sejumlah konsolidasi dengan semua pihak, termasuk pihak Kepolisian. Apalagi pihak Finantara juga sudah mencabut laporan mereka.
“Atas dasar kemanusiaan kami meminta kepada para pihak untuk mempertimbangkan kesulitan warga Sejirak saat ini, karena mereka juga punya hak mengupayakan ladang sebagai mata pencaharian untuk kebutuhan pangan,” tuturnya.
Pemerintah Harus Turun Tangan
Kasus Sejirak ini merupakan salah satu masalah yang muncul ke permukaan dari sekian banyak masalah yang muncul akibat masuknya investasi khususnya perkebunan di kabupaten Sintang. Lahan di Sejirak memang sudah lama diwarisi warga turun-temurun. Hal inilah yang membuat status kepemilikan secara defacto adalah milik warga, namun memang secara dejure, lahan-lahan tersebut kini sudah dilimpahkan pengelolaannya kepada investor, dalam hal ini PT Finantara Intiga.
Sayangnya sejak awal, Walhi mencurigai kalau posisi tawar masyarakat sudah lemah sejak awal mula investasi. Hasilnya seluruh lahan di Sejirak sejara dejure memang tidak memperkenankan warga menggarap, meski hanya untuk berladang dan memenuhi kebutuhan pangan.
“Yang kami khawatirkan adalah warga sudah dijerumuskan dengan kesepakatan yang tidak memposisikan warga dalam posisi tawar yang memadai. Sehingga ujung-ujungnya warga juga yang dirugikan,” tuturnya.
Walhi juga meminta pemerintah untuk tidak tinggal diam atas kasus ini. Apalagi kini Walhi sudah mengkoordinasikan laporan kepada sejumlah pihak, termasuk Kementrian Kehutanan RI yang sebelumnya meminta laporan kasus terkait termasuk juga ke Komnas HAM.
“Ini persoalan hak masyarakat untuk hidup, negara juga harus bertanggungjawab.” Pungkasnya.
Sumber:
http://www.borneotribune.com/headline/walhi-advokasi-13-warga-sejirak-adam-mereka-terancam-rawan-pangan.html
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar