Kamis, 22/04/2010/pk/06:26
by. Teguh Imam Wibowo
Pontianak (ANTARA News) - Putusan bebas, tuntutan yang lemah secara hukum, dan sikap majelis hakim, menjadi bagian dari keresahan Kepala Bidang Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Dinas Kehutanan Provinsi Kalbar, Sunarno, selama melihat proses penanganan kasus-kasus pembalakan liar di provinsi itu.
Pria paruh baya yang kerap bicara blak-blakan dengan wartawan ini bahkan yakin di Kalbar ada mafia pembalakan liar dari berbagai kasus yang pernah ditangani hingga pengadilan.
Mafia pembalakan liar ini tidak hanya melibatkan pihak luar, namun juga di internal Kementerian Kehutanan dan aparat penegak hukum lainnya.
"Saya siap buka kembali data-data mengenai kasus-kasus hukum yang terkait pembalakan liar di Kalbar," kata Sunarno kepada wartawan ketika menghadiri pernyataan tiga lembaga swadaya peduli lingkungan Kalbar mengenai dugaan mafia kehutanan di Cafe Tapaz, Pontianak, Rabu (21/4).
Bentuk dukungan Sunarno itu terlihat dari kehadirannya di acara tersebut melalui pemberitahuan tidak resmi para pengurus lembaga tersebut selaku pengundang.
Harapan Sunarno dan aktivis lingkungan hidup lainnya maupun masyarakat Kalbar mengenai penanganan yang adil terhadap kasus-kasus pembalakan liar kembali mencuat setelah ada pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono awal April sebelum berangkat ke Hanoi, Vietnam.
"Saya percaya ada mafia di illegal logging. Saya minta Satgas (Satgas Pemberantasan Mafia Hukum) harus bisa menjamah itu, untuk mengurangi bahkan menghentikannya," kata Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Bandara Halim Perdana Kusumah, Jakarta, Rabu (7/4).
Menurut Presiden, pemberantasan mafia kasus pembalakan liar sangat penting selain untuk penegakan hukum juga untuk melestarikan hutan dan lingkungan hidup di seluruh wilayah Indonesia.
Sunarno menegaskan, untuk Kalbar ia siap memberi yang terbaik. Berbagai aktivitas penebangan membuat luas lahan kritis di dalam kawasan hutan produksi di Kalbar mencapai dua juta hektare.
"Lahan disebut kritis karena ada aktivitas di dalamnya," kata Kepala Dinas Kehutanan Kalbar Cornelius Kimha yang juga mantan Bupati Kabupaten Pontianak.
Aktivitas itu seperti pembukaan lahan untuk perkebunan, berladang, dan kebutuhan lainnya.
Sikap Hukum
Yayasan Titian, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia dan Lembaga Lembaga Pengkajian dan Studi Arus Informasi Regional (LPS-AIR) Kalbar pun menduga terdapat mafia dalam kasus pembalakan liar di provinsi itu sehingga banyak terdakwa yang akhirnya dinyatakan bebas.
"Meski kasus kejahatan kehutanan tergolong luar biasa, namun belum ada penanganan kasus yang menciptakan efek jera dan memenuhi rasa keadilan masyarakat Kalbar," kata Direktur Yayasan Titian Yuyun Kurniawan.
Ia mengatakan, perlu ditinjau kembali terhadap berbagai putusan yang "aneh" di bidang kejahatan kehutanan di Kalbar.
Ketiga lembaga ini akan mengumpulkan data mengenai dugaan mafia hukum tersebut sebelum dilaporkan ke Satgas Pemberantasan Mafia Hukum. Mereka juga akan memanfaatkan momentum Hari Bumi yang diperingati setiap tanggal 22 April.
Salah satu kasus yang menarik perhatian adalah vonis yang dijatuhkan majelis hakim terhadap Tian Hartono alias Buntia. Buntia merupakan Direktur PT Rimba Kapuas Lestari (RKL) yang ada di kawasan Hutan Lindung Lubuk Lintang, Kabupaten Sintang. Kasus ini mencuat tahun 2006.
Investigasi Dinas Kehutanan Kalbar menemukan jalan angkutan kayu atas nama PT RKL yang masuk ke dalam kawasan hutan lindung sepanjang 11.337,5 meter terdiri jalan utama 8.820 meter dan jalan cabang 2.517 meter.
Selain itu, ada tonggak kayu bekas tebangan di atas lahan seluas sekitar 140 hektare serta 1.365 pohon dengan perkiraan volume tegakan 10.600 meter kubik.
Buntia diancam berlapis dengan UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Tuntutan utama melakukan penebangan tanpa izin yang sah dari pejabat yang berwenang. Sedangkan tuntutan kedua Buntia telah memasukkan peralatan berat ke dalam kawasan hutan lindung yang tidak memenuhi keputusan Menteri Kehutanan. Jaksa meminta majelis menjatuhkan vonis 10 tahun penjara dan denda Rp2 miliar.
Majelis hakim di Pengadilan Negeri Pontianak menyatakan Buntia tidak bersalah dalam penebangan tanpa izin, melainkan terbukti membawa alat ke hutan lindung. Hakim menjatuhkan vonis dua tahun penjara kepada Buntia dan denda Rp1 miliar dengan subsider empat bulan kurungan.
Namun Pengadilan Tinggi Kalbar mengurangi vonis itu menjadi hukuman penjara satu tahun, dan denda Rp500 juta. Sementara Mahkamah Agung akhirnya memvonis bebas Buntia dari segala tuntutan.
Kasus lain yang menarik perhatian masyarakat di antaranya Prasetyo Gow alias Asong yang divonis bebas majelis hakim Pengadilan Tinggi Kalbar. Ng Tung Peng alias Apeng, warga negara Malaysia yang hingga kini masih dalam daftar pencarian orang.
Selain itu ada lagi vonis bebas bersyarat terhadap M Sun`an dan Syaiful di tingkat pengadilan negeri serta Bupati Kapuas Hulu dalam kasus korupsi dana provisi sumber daya hutan dan dana reboisasi.
Pengalaman Bersaksi
Sunarno mempunyai pengalaman tersendiri terhadap sejumlah kasus pembalakan liar di Kalbar yang ditangani penegak hukum.
Ia mencontohkan kasus Buntia. Keterangan di persidangan dari beberapa saksi terkesan aneh dan menggelikan baginya. "Ada petugas di dinas yang berpengalaman dengan peta hutan. Tetapi ketika ditunjukkan mengenai tapal batas, lalu bersaksi bahwa status batas yang dipermasalahkan dalam kasus Buntia, tidak jelas," kata Sunarno.
Selain itu, selama di persidangan hakim terkesan berpihak ke satu sisi saja. Saksi yang meringankan juga dari pihak konsultan yang pemahamannya tentang aturan kehutanan, kurang.
"Sebenarnya ada bukti otentik dari PT RKL yang secara tertulis menjelaskan mereka tidak menebang di Bukit Paku, tetapi di bukit lain yang masuk kawasan hutan lindung," katanya.
Pemeriksaan di lapangan juga menunjukkan ada kesalahan dari PT RKL dalam mengelola lahan di kawasan itu. Ia juga masih terheran-heran bahwa Buntia selaku terdakwa memiliki surat dari pejabat setingkat Dirjen di Kementerian Kehutanan kepada Menteri Kehutanan yang sifatnya rahasia.
"Saya menduga ini melibatkan orang dalam di lingkup kehutanan," kata Sunarno.
Majelis hakim yang menangani perkara Buntia di Pengadilan Negeri Pontianak mulanya diketuai D Tuwa Togu dengan anggota U Simangunsong dan Pangeran Napitupulu. Mulanya Sunarno yakin kepemimpinan D Tuwa Togu dapat membawa Buntia ke penjara dalam jangka waktu lama.
Namun di tengah masa persidangan, D Tuwa Togu dan Pangeran Napitupulu, pindah.
Buntia yang selama persidangan dikenai tahanan kota masih bisa pergi pulang ke Jakarta dari Pontianak. Sunarno juga mengungkapkan Buntia pernah satu pesawat dengan salah seorang jaksa yang menangani perkara itu menuju Jakarta.
Prasetyo Gow alias Asong yang tersangkut kasus seribu kubik kayu yang diangkut menggunakan dua kapal di Kabupaten Ketapang. Kayu yang diangkut tidak mempunyai Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH). "Ada staf di Dishut yang dapat menyediakan dokumen kayu itu sesudahnya. Itu tidak boleh," kata dia.
Satu minggu setelah vonis terhadap Buntia, ia mendapat informasi kalau hakim, jaksa bertemu dengan kerabat Buntia di satu meja.
Sedangkan di Kabupaten Sintang ada perkara dengan terdakwa Rudy karena kepemilikan kapal pembawa kayu tanpa izin. Majelis hakim kemudian memutuskan barang bukti berupa kapal dan kayu untuk dikelola Rudy.
Ia sepakat bahwa tidak mudah untuk membasmi mafia kasus pembalakan liar.
"Tapi kalau mau ditelusuri, sebenarnya sangat mudah. Tergantung niat untuk memberantas, sampai mana," demikian Sunarno. (T011/K004)
Sumber:
http://antaranews.com/berita/1271892375/buka-bukaan-mafia-pembalakan-liar-di-kalbar
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar