Pontianak | Wed 31/03/2010
SELAMA kurun waktu tiga tahun terakhir ini, Pemerintah Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat (Kalbar) telah mengeluarkan izin perkebunan sawit sebanyak 90 buah dengan luas keseluruhan areal mencapai 1,4 juta hektare. Fenomena ini sekaligus menunjukkan bahwa 40 persen daratan Kabupaten Ketapang telah dikuasai perkebunan sawit dalam skala besar.
Hal itu dikatakan Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kalimantan Barat (Kalbar), Blasius Hendi Candra usai peluncuran buku “Pengurusan yang Gagal-Penghindaran Tanggung Jawab” di Pontianak, Selasa (30/3). “Banyak izin telah dikeluarkan tanpa persetujuan analisa mengenai dampak lingkungan (Amdal) perusahaan yang disyaratkan secara hukum,” kata Hendi.
Dari sumber data yang ada, tahun 2008 Kementerian Lingkungan Hidup menemukan 78 persen mutu laporan Amdal tergolong rendah, termasuk Ketapang. Sedangkan pada tahun yang sama di Ketapang, hanya 17 dari sekitar 90 perusahaan perkebunan sawit yang memiliki persetujuan Amdal, bahkan Ketapang tidak memiliki Komisi Amdal.
“Berbagai perusahaan anggota Konferensi Minyak Sawit Lestari (RSPO) seperti Sime Darby, Cargill dan SMART telah memulai kegiatan di lapangan tanpa mendapat persetujuan atas laporan Amdal. Pemerintah Ketapang mengeluarkan izin bagi sedikitnya 39 perusahaan sawit yang sebagian tumpang tindih dengan sekitar 400.000 hektare kawasan hutan. Ini dapat menyebabkan deforestasi, pengeringan lahan gambut dan menghasilkan emisi karbon,” ujarnya.
Di sisi lain, Hendi menyebut, jika hal ini tak segera dibenahi, maka Indonesia akan kehilangan pajak kehutanan akibat konversi kawasan hutan ini sebesar US$150 juta. Sementara masyarakat lokal baru tahu bahwa tanah tempat menggantungkan hidup mereka telah diserahkan ke perusahaan sawit ketika buldoser sudah masuk, bahkan menggusur.
Mekanisme ini, jelas Hendi, telah menghapus syarat hukum yang dirancang untuk melindungi lingkungan dan masyarakat lokal serta menjamin pendapatan negara dari konversi hutan. “Saya bersama Claudia Thaile, peneliti Belanda telah melihat skema kebijakan pengembangan bahan bakar nabati dan inisiatif sektor sawit telah gagal mencegah kegiatan ilegal, deforestasi, emisi karbon dan konflik sosial di Ketapang,” ucapnya.
Di Ketapang, sambung Hendi, sepanjang tahun 2008 tercatat sedikitnya 20 konflik tanah terjadi. Tren ke depan angkanya diperkirakan naik, sebab masyarakat sudah telanjur terpengaruh oleh janji perusahaan seperti mendapatkan plasma, namun pada akhirnya mereka akan menunggu tanpa kepastian.
Sementara peneliti asal Belanda, Claudia Thaile menambahkan, pembangunan perkebunan sawit di Ketapang tidah lebih dari pencaplokan lahan yang mengakibatkan hilangnya kehati dan emisi karbon dari pembukaan lahan ilegal di kawasan hutan dan lahan gambut.
Claudia berharap, pemerintah setempat segera mengubah program perkebunannya yang ekstrem, dan meninjau ulang izin-izin yang ada. “Segera lakukan audit lingkungan dan perizinan. Sebaiknya pemerintah mengedepankan pangan, karena masih banyak energi terbaru lainnya yang ramah lingkungan dan tidak merusak hutan.”
Sumber :
http://www.jurnalnasional.com/show/newspaper?rubrik=Nusantara&berita=125988&
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar